Awas Typo:) Happy Reading .... *** Menatap wajah Raymond yang terlelap adalah kegiatan Regina saat ini, mungkin wanita itu sudah sekitar tiga puluh menit menatap wajah suaminya, menikmati paras yang tidak mempengaruhi Regina saat pertama mereka bertemu. Berani sumpah Regina memang tidak memandang fisik Raymond, ia tertarik karena sikap yang pria ini perlihatkan kepadanya pertamakali. Menarik napas, tangan kiri Regina terangkat, jatuh ke atas rahang kanan Raymond, membawa kepala si pria untuk menghadap dirinya. "Udah cinta belum ya?" bergumam tanya. "Nggak ngerti ini apa, tapi aku selalu khawatir sama kamu, Ray," berbisik, kepala Regina maju lebih mendekat agar jarak wajahnya dan wajah Raymond semakin menipis. Detik bergerak, diam dan menatap adalah kegiatan Regina. Mau tahu apa isi kepala wanita itu? Lumayan banyak, dan hampir rata semua yang berhubungan dengan Raymond Arthur William. Mengusap lembut rahang Raymond dengan ibu jarinya, Regina tersenyum lembut. Dia merasakan itu,
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Diam, hanya saling menatap. Regina menelan liur, sebarbar apapun dia, ini ..., urusan perasaan bukan? Sudah pasti wanita itu akan merasa gugup. Apalagi Raymond menatap sangat intens, sabar pula menunggu walau mereka berdiiri di tengah-tengah bandara internasional Soekarno Hatta. Oke-oke, beri waktu Regina menarik napas sejenak. Huh! Juga berikan dia beberapa detik untuk menghembuskan napas. "Iya." Dia jawab tegas. Sekarang gantian, beri Raymond waktu untuk menangkap jawaban Regina. Ini ..., serius istrinya mengaku? "Iya, Abang, aku sayang. Ya perasaannya bertahap dulu ya," jeda. "Pertama suka, terus sayang, besok ..., cinta," lanjut Regina menggigit bibir bawahnya kecil. Dalam hitungan ketiga Regina digendong ala-ala karung beras oleh Raymond. "Abang!" "Shut up," sahut Raymond menarik koper mereka dengan tangan satunya yang tidak menahan tubuh Regina. Coba-coba, apa yang akan Raymond lakukan kali ini? **** "Egh ...," mengerang, Regina ber
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Ternyata oh ternyata Raymond sudah menyiapkan semua keperluan mereka berlibur sebaik mungkin, pria itu ingin trip selama tiga sampai lima hari dengan Regina di pulau Jawa, hanya Jawa ujung ke ujung. Jadi kota-kota yang ada di sini adalah incaran Raymond, hal uniknya mereka pergi tanpa supir, benar-benar hanya mereka berdua. Lalu untuk apa keturunan William itu meminta disediakan apartemen di Jakarta? Satu jawabannya, hanya untuk istirahat satu malam agar jet lag hilang terlebih dulu. Lucunya ternyata bukan hanya untuk menghilangkan jet lag, apartemen itu saksi bisu Regina berulang kali mengerangkan nama suaminya penuh rasa sayang. Juga menjadi saksi bahwa Raymond bahagia mendengar pernyataan si istri. "Abang yakin tanpa supir? Nanti Abang capek bagaimana?" "Yakin." Sekarang mereka berdua sama-sama sedang sibuk, Regina sibuk mengepang rambut, Raymond sibuk mengabari bawahannya agar ia tidak diganggu selama seminggu ini, kecuali ada hal yang san
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Yuhuuu liburan!!!" Regina berteriak kuat mengangkat kedua tangannya. Raymond yang mendengar dan melirik itu tersenyum kecil, terus menyetir mobil Lamborghini pesanannya. Ya benar sekali, mereka sudah di jalan, dan detik ini sudah memasuki tol. Incaran pertama Regina adalah Jogja, dan Raymond memenuhi permintaan itu. Ini memang liburan mereka, maka apa yang Regina minta sebisa mungkin akan ia kabulkan, termasuk menjadikan Jogja sebagai kota pertama. Well, setelah berteriak kuat Regina menoleh ke arah Raymond, sumpah suaminya terlihat sepuluh juta kali lebih tampan saat menyetir sesantai itu, mana sedang memakai kacamata hitam lagi, semakin menjadi-jadi saja. Regina pun yang memakai kacamata mendorong benda itu ke atas kepalanya, pasang senyum lebar penuh rasa bahagia. "Abang!" memanggil Raymond. "Abang, aku mau nyetir! Boleh ya?!" lanjut menyuarakan apa yang ia mau, Regina langsung mendapatkan jawaban, "Tidak." "Abang please, setengah jam saj
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Aku sudah membaca surat kontrak dari Aris, dan aku menolaknya." Raymond menaiki ranjang hotel yang mana di atasnya ada Regina. "Why? Kenapa Abang tolak?" bertanya bingung, Regina mematikan ponsel yang sedari tadi ada dalam genggamannya, wanita itu baru menghubungi Mario lagi, ia sangat ingin tahu perkembangan Maria. "Produknya tidak bagus," jawaban seadanya, Raymond sudah duduk di samping Regina, wanita itu menoleh guna tetap menatap wajah suaminya. "Memangnya apa? Kenapa nggak diskusi dulu sama aku? Abang main ambil keputusan sendiri ih." Regina sebal tapi tidak untuk marah. Kedua bahu Raymond mengedik ringan, malas banyak berdebat, dia tidak suka perdebatan antara dirinya dan Regina. "Beritahu aku apa produknya, atau Abang bobok di bawah," mengancam. Raymond langsung menoleh, menatap ke arah Regina, mimik si wanita serius sih, tapi ya pasti tidak tega, 'kan? "Yang sedang kamu pakai." "Yang aku pakai? Apaan?" Menunduklah kepala Regina, m
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Rahang wanita dua puluh lima tahun itu mengetat dalam waktu cepat, kepalan di tangan kirinya pun sama eratnya, hal lebih parah genggaman tangan di ponselnya, sangat, amat, erat! Ada apa? Ada sebuah foto yang mengundang emosi Maria, itu foto Regina bersama Raymond. "Shit!" Prang! Mengumpat dan melempar si benda pipi ke atas lantai kamar kosnya. "Argh!!!" Prang! Sekarang Maria berteriak bersama tangan yang melempari ponsel tersebut dengan barang-barang di dekatnya. "Perebut! Perusak! Pria sialan!" ***** Well, di sisi lain ada yang tersenyum-senyum pagi ini, senyum antara happy, malu dan, malu-maluin. Iyaps, itu senyum nyonya muda William. Wanita itu baru saja membuka kedua netranya, masih berbaring di atas ranjang. Pemandangan pagi yang ia dapat indah sih, jadi jangan heran ada adegan senyum-senyum tidak jelas di sini. Apalagi kemarin malam ia baru mendengar pengakuan. 'Aku mulai berdebar.' Aaa!!! Masih tiga kata begitu aja Regina sudah ba
Awas Typo:) Happy Reading .... *** "Please ...," bisik Regina dengan napas terengah menahan kedua tangan Raymond yang ingin menyentuh tubuhnya. "Aku mau," lanjut berucap, Regina sudah memasang tatapan super sayu. "Kenapa aku harus menuruti maumu, Darling?" tanya Raymond serak, belum berusaha melepas kedua tangannya yang dikunci oleh Regina, padahal kalau dia mau itu sangat mudah untuk ia lakukan. "Karena aku mau Abang, aku ..., mau." "Apa hadiah untuk suamimu?" Sialan, pria ini sangat tidak mau rugi. "Apapun." Dan hebat, Regina sukses membuat seringai kemenangan ala Raymond Arthur William tercetak mengerikan. "Aku milikmu ..., Regina." Cup. Maka dimulai sudah apa yang Regina mau, memimpin permainan sebagaimana Raymond biasa memimpin. ***** Touch, menyentuh. Demi dewa dan dewi kayangan, Regina tidak pernah membayangkan adegan ini akan terjadi di hidupnya, dimana dialah yang mencari kepuasannya sendiri. Dimana dia ingin melihat pasangannya pasrah dan diam di bawahnya, tidak
Awas Typo:) Happy Reading .... *** Sekarang Regina menyadari itu, perhatian Raymond yang sangat jelas namun tak tampak. Bukan tak tampak, lebih tepatnya tak diperlihatkan. Raymond punya cara sendiri dalam memberi perhatian, dan bagaimana bisa Regina baru sadar? "Oh my god, ini enak banget Abang, serius! Ya ampun udah lama nggak makan gudeg." Heboh sendiri, Regina tidak menatap Raymond walau suaranya terus terdengar layaknya penyiar radio. Keluar dari hotel mereka memilih Malioboro sebagai tempat pertama, duduk di salah satu warung makan dan Regina memesan gudeg yang sudah sangat lama tak membelai indera perasanya, sedang Raymond memilih memesan pecel lele. "Huhu mau nangis, rasanya seperti pulang kampung." Masih mengoceh, Regina mengunyah penuh khimat, ia harus merasakan perpaduan telur, sayur dan semua jenis bumbu yang ada di makanan khas ini. Raymond sendiri tidak menanggapi kalimat Regina, pria itu hanya menopang kepala yang miring ke arah Regina, menatap si istri intens. "A