Derap langkah cepat dari lima remaja pria berseragam SMA menggema saat mereka melintasi jalanan sepi di distrik rumah susun malam itu.
Sudah bukan pemandangan yang asing lagi melihat para remaja nakal berlalu lalang disana. Biasanya mereka memang kerap memalak satu dua orang kurang beruntung yang berpapasan di tempat mereka biasa 'mangkal' selama belasan tahun.
Namun kini, tidak seperti kebiasaan mereka yang selalu duduk diam di pojok gang sempit di ujung jalan, sekarang kelima remaja itu menampakkan raut wajah marah sambil berjalan tergesa, dan sesekali menengok beberapa tempat yang berkemungkinan bisa digunakan orang untuk bersembunyi. Jelas, mereka sedang mencari seseorang.
Satu diantara mereka, yang mengenakan kaus hitam rangkap dengan kameja seragam, berambut landak dengan cat warna merah, tampak kesakitan sembari memegangi dagunya yang sudah basah oleh darah. Sepertinya dia habis dihajar seseorang. Namun empat anak lainnya tampak baik-baik saja.
"Kurang ajar betul bocah sial itu! Dia sudah mulai berani melawanku! Awas kalau ketemu, kupatahkan tulangnya!" hardik bocah rambut merah itu. Dia sedikit kesusahan untuk berbicara karena rahangnya terluka, jadi suaranya hanya terdengar seperti gumaman rendah.
"Tenang, Bro. Si culun itu pasti nggak akan jauh dari sini. Dia mana berani keluar jauh!" sahut salah seorang temannya yang satu-satunya memakai topi terbalik hitam itu.
"Heh! Yodah kita cabut yuk! Kayaknya dia nggak ada disini!" timpal kawannya yang lain.
Setelah memastikan satu gang sempit itu tidak ada orang, mereka pun beranjak ke tempat lain.
Tidak satupun dari mereka yang menyadari kalau ada satu tempat terlewat yang belum mereka periksa. Tepat di bawah tumpukan kayu dan besi di ujung gang itu, ada satu pergerakan kecil dari satu buah tangan milik seseorang yang bersembunyi disitu.
Tangan itu perlahan memindahkan satu demi satu bongkahan kayu dan batangan besi bekas yang menutupi sekujur tubuhnya. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara agar lima anak nakal tadi tidak kembali.
Sosok anak bersegaram SMA lusuh itu keluar dari tumpukan barang bekas bangunan itu. Dilihat dari atribut seragamnya, mirip dengan dengan milik lima anak preman tadi. Lambang bintang dan bulan setengah lingkaran di sisi kiri lengan baju seragam itu menjadi satu-satunya penanda atribut sekolah tempat mereka menimba ilmu.
Sambil bangkit dari posisi tengkurapnya, anak itu mengambil tas ransel lalu memakainya. Lalu berjalan mengendap-ngendap seraya mengedarkan pandangannya untuk memastikan apakah gerombolan preman sekolah itu betul-betul sudah pergi.
Menahan sakit di sekujur tubuhnya, anak itu mulai berjalan tertatih seraya berpegang pada tembok gang. Berjalan ke arah pulang ke tempat rumah susunnya.
Ketika ia hendak naik tangga samping menuju rusunnya, anak itu mengurungkan niatnya karena mendengar derap langkah misterius diatas sana. Diikuti bayangan-bayangan siluet manusia yang jumlahnya cukup banyak. Telinganya juga sempat menangkap suara familiar, mirip suara anak-anak nakal tadi.
"Astaga. Mereka mengepung rumahku. Sekarang bagaimana caranya aku bisa pulang?"
Terlintas dibenak anak itu untuk menginap sementara. Tapi itu tidak mungkin. Dia tidak punya uang karena sudah terlanjur dipalak oleh anak-anak nakal itu.
Dan kalaupun anak itu ingin menginap di rumah teman, rasanya juga mustahil. Dia bahkan tidak ingat kalau punya teman. Nyatanya tidak ada yang mau berteman dengan anak culun sepertinya.
"Devlin! Rupanya kau disini, hah?"
Tiba-tiba sebuah suara berat menyapa dari belakang anak itu.
"A-Ayah? Maaf aku--aduh!"
Ucapan Dev seketika terputus saat satu jeweran menarik telinganya.
"Bukannya menjemputku di terminal, kau malah disini! Apa kau berpura-pura lupa kalau Ayah minggu ini pulang jam tujuh malam tepat, hah?"
"A-ampun, Yah!" keluh Dev saat sang Ayah menarik telinganya sambil berjalan ke atas tangga.
Sampai di depan pintu rumah, Ayah Dev terkejut melihat lima anak nakal yang menghadangnya.
"Mau apa kalian disini??" tanya Ayah Dev bingung.
Anak berambut merah lantas menjawab hardikan Ayah Dev dengan meludah kesamping untuk membuang darah dari mulutnya.
"Cuih! Dev yang membuat rahangku begini! Jadi aku kesini ingin meminta pertanggungjawaban darinya!"
Sontak Ayah Dev melotot horror kepada Dev. "Kau berkelahi? Baru saja Ayah tinggal seminggu, kau jadi ugal-ugalan begini, hah? Siapa yang mengajarimu berkelahi? Dasar anak tidak tahu diuntung!"
Dev terperangah, lalu menjerit saat jeweran ditelinganya makin kencang. "Awww! Tidak, Yah! Dev tidak pernah berkelahi--"
"Masih mengelak kamu?? Cepat minta maaf padanya!" Ayah Dev lantas menundukkan kepala Dev dengan paksa.
Dev berusaha menegakkan kepalanya, lalu menggeleng. "Tidak! Dev tidak mau minta maaf! Dev tidak salah! Dev hanya membela diri karena mereka jahat!"
Ayah Dev kembali memaksa anaknya menundukkan kepala. "Sudah minta maaf saja! Jangan membuat suasananya makin rumit!!"
"Aku minta ganti rugi dua juta untuk pengobatan rahangku. Maka aku tidak akan memasukkan Dev ke penjara," ucap anak itu dengan seringaian liciknya.
Bola mata Dev dan Ayahnya pun refleks membelak.
"Du--dua juta?" cicit Ayah Dev melemas. Wajahnya pun memucat seketika.
Anak rambut merah itu lantas mengendikkan bahu angkuh. "Ya, kalau kau tidak bisa membayarnya, aku akan--"
"BAIK BAIK!" Ayah Dev dengan cekatan mengambil amplop coklat dari dalam tas ransel bawaannya. Lalu melemparnya ke arah anak itu.
"Ada sekitar dua juta di amplop itu. Aku harap itu cukup untuk menebus perlakuan anakku."
Anak itu menyeringai lagi, lalu mengangkat telunjuk untuk memberi isyarat pada teman-temannya untuk pergi dari sana.
"Ayo masuk!" Lagi-lagi Ayah Dev menjewer dan menarik Dev masuk ke rumah.
BRUK!
Dev langsung di dorong kasar ke kursi untuk didudukkan secara paksa.
"Bisa-bisanya kamu berkelahi dengan anak Pak Camat! Dimana otak kamu? Kamu ini bisanya nyusahin aja! Mana lagi itu uang gaji Ayah bulan ini pula! Sekarang kita mau makan apa, hah??"
Dev yang semula menunduk itu pun seketika menengadah. Menampilkan raut wajah yang memerah karena menahan amarah, disertai bola matanya yang mengarah tajam kepada sang Ayah. Dia jelas tidak terima dengan semua ucapan Ayahnya itu.
"Oh ... Mulai berani kamu ngelihat Ayah kayak gitu??"
Tangan Ayah Dev lantas terulur dan langsung mencengkeram rahang Dev dengan kasar, membuat tenggorokan Dev tercekik dan kesulitan bernapas.
Maka dengan susah payah Dev pun menjawab, "Dev cuma membela diri, Yah ... Johnny dan teman-temannya berusaha memalak Dev ..."
Ayah Dev menghela napas gusar. "Tapi kau tidak harus membuat rahangnya patah seperti itu, kan? Jadinya Ayah harus mengeluarkan uang untuknya lebih banyak! Dan itu semua gara-gara kamu!"
Air mata mulai menggenangi pelupuk mata saat Dev sudah tidak sanggup menutupi sakit hatinya. Dibandingkan khawatir dengan anaknya, sang Ayah malah mempermasalahkan uang gaji. Hati anak mana yang tidak sakit saat mendengar semua itu?
Kesal melihat raut wajah Dev saat menangis, Ayah Dev langsung membuang muka dan melepaskan cengkraman tangannya di rahang Dev itu dengan kasar. Membuat wajah Dev langsung berpaling kesamping.
"Anak laki-laki tidak boleh menangis. Hentikan tangisanmu itu!"
Dev beringsut mengusap air mata di pipinya menggunakan dua punggung tangannya.
Dirasa sudah cukup tenang, Dev kembali membuka suara.
"Kenapa Ayah malah lebih membela penjahat? Seharusnya Ayah bangga aku bisa melawan Johnny. Aku memberinya pelajaran agar dia terus memalak uang seenaknya. Aku tidak mau uang jajanku habis setiap hari hanya untuk membayarnya terus ..."
Bukannya luluh, Sang Ayah yang mendengar ucapan itu malah menggeram marah.
"Itu lebih baik dari pada kita dipenjara!"
"TIDAK!!" Dev berteriak seraya bangkit dari kursinya. Menatap dengan tegas kearah Ayahnya. "Aku sudah tidak tahan hidup di lingkungan yang penuh dengan ketidak adilan seperti ini!!"
"DEV!!" Ayah Dev kembali menggeram. Hampir saja tangannya terangkat untuk menampar wajah Dev, tapi ia urungkan niatnya karena mendadak dalam hatinya timbul rasa kasihan.
"Sudahlah ..." Ayah Dev menghela napas dalam-dalam untuk menetralkan kembali emosinya.
Beliau lantas membalikkan badan dan duduk membelakangi Dev sambil melepas sepatunya.
"Sekarang kau mandi. Lalu belajar. Senin depan kau sudah mulai Ujian Nasional, kan? Jadi kau harus belajar mulai sekarang agar lulus dengan hasil memuaskan. Kau harus bisa mendapatkan beasiswa Universitas itu agar kau bisa langsung diterima ke Fakultas Keguruan tanpa tes. Kau mengerti?"
Dev menatap nanar punggung Ayahnya. Menggeleng miris sebelum akhirnya beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Baru beberapa menit masuk kamar mandi, suara Ayahnya kembali terdengar disertai ketukan pintu.
"Kalau kau sudah selesai mandi, kau pergi ke kedai makanan. Pakai uang tabunganmu dulu untuk membeli makanan untuk kita berdua."
Sebelum Dev menyuarakan protesnya, sang Ayah sudah berjalan menjauh. Padahal Dev ingin mengatakan bagaimana jika nanti kalau dia dipalak lagi oleh anak-anak nakal tadi saat dalam perjalanan ke kedai makanan.
"Cepat selesaikan mandimu!! Aku juga ingin mandi!!"
Teriakan Ayahnya itu sontak memacu Dev untuk mempercepat mandi dan berganti pakaian.
Sampai di kamarnya, Dev bergegas mengambil dan membuka celengan plastiknya. Sekilas Dev melihat di dalam celengan itu didominasi oleh uang recehan, sisanya uang kertas.
Saat Dev menumpahkan isi celengan, ia dikejutkan oleh lipatan kertas putih yang ikut keluar bersama uang-uang recehan itu.
Dibukanya kertas itu. Dan Dev pun baru ingat kalau dia pernah dengan sengaja menyimpan kertas tersebut didalam celengan. Kertas yang bertuliskan list impiannya yang ingin dia capai saat dewasa nanti.
Dev ingat, kalau ia menulis list ini ketika dia masih berusia 10 tahun. Rencananya Dev akan membuka celengan dan kertas impian itu tepat di usia 21 tahun. Tapi Dev lupa dengan rencana itu dan malah membukanya sekarang.
Melihat deretan tulisan impian itu, membuat senyum Dev perlahan terkembang. Manik matanya bergerak-gerak, dan sesekali mulutnya juga ikut berkomat-kamit membaca tulisan itu.
"Aku bercita-cita menjadi seorang polisi saat dewasa nanti. Aku ingin melindungi orang-orang yang tidak bersalah dan membasmi para penjahat."
Membaca tulisan itu membuat gejolak Dev membuncah, seiring debaran jantungnya yang kian meningkat. Api semangat hidupnya yang selama ini meredup kini seolah tersulut hanya dengan mengingat impiannya yang tertulis di kertas itu.
Ditengah asyiknya Dev membaca list impiannya, ponsel Dev tiba-tiba berbunyi.
Ting!
Ada notifikasi video konten update dari akun sosmed motivasi yang biasa dia tonton via Yucub.
Judul konten itu tertulis : 'Follow your heart!'
Tiga kata itu cukup singkat, namun sangat bermakna bagi Dev. Kata-kata itu membuat Dev semakin yakin untuk mengikuti kata hati demi mewujudkan mimpinya. Apapun caranya. Meski mungkin itu harus menentang kehendak Ayahnya sendiri.
"Benar juga. Dari pada aku hidup sengsara terus-menerus dalam pusaran ketidakadilan disini, mungkin lebih baik aku pergi demi mewujudkan mimpiku."
**
To be continued.
Dua minggu pasca ujian penentuan nasib kelulusan yang menjadi momok paling menakutkan bagi para murid SMA kelas tiga. Ujian Nasional memang sudah berakhir, namun atmosfer ketegangannya masih terasa sangat pekat. Selama nilai ujian belum keluar, mereka masih belum bisa bernapas lega. Bahkan Dev pun juga sepertinya terlihat gelisah. Dev tidak begitu takut nilai UN yang kurang memenuhi ekspektasi Ayahnya, namun ada hal lebih menguras pikirannya. Menahan diri selama dua minggu untuk menanti hasil nilai UN dan Surat Keterangan Lulus itulah, yang membuat seorang Dev menjadi sangat tidak sabaran. Tidak seperti murid-murid lain yang menunggu hasil kelulusan dan nilai ujian di rumah, Dev tetap pergi ke sekolah. Bahkan, sejak jam tujuh pagi Dev sudah stand by. Duduk di bangku taman. Tanpa kawan. Sendirian. Ada satu urusan yang harus Dev selesaikan pagi itu. Dan tentu saja urusan
"Tunggu Pak!" Dev menahan langkahnya ditempat sebelum mencapai ambang pintu keluar. "Apa lagi?" Kepala Dev lantas meleneng ke arah Bapak Kos yang berdiri tidak jauh dari pintu. Menampilkan sorot mata minta belas kasih kepada beliau. "Pak, tolong saya ..." Dahi Pak Kos menyerngit. "Ngapain? Orang kamunya yang salah! Bawa-bawa sabu!" "Tapi itu bukan punya saya Pak! Saya aja nggak tahu kalau barang itu di lemari! Saya kan baru pindah!!" elak Dev. "Hei!" Pak Polisi kembali mendorong Dev. "Kalau kamu terus merengek seperti ini, kamu malah makin kita curigai loh!" "Benar. Kalau kamu memang bukan pemilik sabu itu, mustinya kamu nggak takut dibawa untuk diperiksa lebih lanjut! Kami hanya mau tes urin kamu untuk lebih memastikan!" timpal polisi satunya. Dev tercenung. Satu pikiran menduga sesuatu di benaknya.
Kesempatan jarang datang dua kali. Itulah yang Dev yakini. Maka dengan penuh kepercayaan diri, Dev pun menyetujui penawaran itu tanpa berpikir dua kali. Lewat jalur talenta, Dev lebih cenderung mendapat sorotan. Karena tidak banyak yang bisa ditarik melalui jalur itu. Namun bukan berarti jalur talenta bakal menjamin masuk. Tetap saja ada tes tersendiri di jalur talenta. Dan yang pastinya cukup selektif. Tidak hanya kemampuan intelegensi, fisik dan stamina juga menjadi pertimbangan. Bersyukur Dev membawa gen baik dari Ayahnya yang memiliki tinggi badan yang memenuhi standar. Tapi tidak dengan berat badannya yang terlalu kurus. Postur tubuh juga kurang menarik. Dan tubuh yang kurang ideal itu nyatanya cukup berpengaruh bagi kelancaran latihan fisik yang Dev jalani sekarang. "Cengkraman tanganmu kurang kuat, Dev! Cobalah untuk memaksimalkan tenagamu!" Itu teriakan dari Pak Marco. Sudah lebih dari belasan kali Dev mendengar suara teriakan itu dari
Sepuluh menit, Dev dan Budiman sudah berada di ruang simulasi. Mengambil misi baru mereka dalam bentuk chip seukuran kuku kelingking. Lalu memasangnya di headset di telinga masing-masing untuk memunculkan layar hologram melayang berisi instruksi video untuk mereka. "Kalian harus menyamar sebagai anggota reporter untuk menyelidiki lokasi bom di lahan pembangunan mall, kota P. Sekaligus mencari dan menangkap Yongkie, oknum mentor perakit bom." DEG! Dev terhenyak saat tahu lokasi misi itu berada cukup dekat dengan wilayah rusun tempat tinggalnya dulu. Seketika Dev jadi teringat pada Ayahnya. 'Bagaimana kabar Ayah sekarang ya? Beliau bahkan hanya menghubungiku satu kali sejak aku pergi dari rumah. Sepertinya beliau sudah tidak peduli padaku karena aku menentang keinginannya dan kabur dari rumah,' batin Dev sedih. Menyadari kalau pikirannya mulai kacau oleh perasaan sedih itu, Dev buru-buru menggelengkan kepala. Mengenyahkan rasa sedih itu karena d
Dev menatap lekat-lekat ke manik mata Max. "Perempuan berambut putih? Atau berambut pirang? Kedua hal itu jelas berbeda. Kau yakin kalau dia berambut putih?" Max mengangguk. "Dia berambut putih. Kulitnya juga sangat putih. Dia seperti bukan manusia. Bukan seperti bule yang berambut pirang." Kerutan di dahi Dev pun makin bertambah. Seiring dengan bola matanya yang melotot antusias. "Kau melihat wajahnya? Atau sempat mengambil gambarnya?" Max menggeleng. "Aku tak sempat melihat wajahnya. Dan dia menggunakan masker yang menutupi separuh wajahnya." Mendengar penjelasan itu membuat helaan napas keluar dari Budiman. "Lalu bagaimana kau bisa sampai dihajar begini?" "Aku ..." Max menelan ludah. "Dia menyerang kakiku dari belakang dan--" "Oh come on, Max." Devlin mendesah. "Dia perempuan kan? Bagaimana bisa kau kalah? Kau ini seorang agen laki-laki yang terlatih! Masa kau kalah dengan seorang perempuan warga sipil biasa? Buat malu saja!"
Setelah memastikan perempuan itu aman dan sudah kabur, anak-anak itu bergegas melarikan diri dengan cepat. Lari ke segala arah. Dan sebelum Dev sempat mengejar dan menangkap salah satu diantara mereka, tiba-tiba muncul beberapa warga dan petugas keamanan sekitar. Datang dari pintu utara dan berbondong-bondong membawa alat dapur seadanya. "Dasar anak-anak berandal! Pergi! Jangan membuat keributan disini!" Itu suara sahutan keributan dari warga saat menghardik anak-anak remaja itu. Dev yang menyadari kedatangan warga itu pun tak urung juga ikut kabur. Tentunya sebagai agen rahasia yang sedang bertugas, idenditas dan keberadaaannya jangan sampai diketahui warga sipil manapun. Dengan susah payah, Dev berusaha menyeret kakinya dan melompati pagar selatan. Dan tak lupa pula Dev juga menyempatkan waktu memanggil agen anak buahnya yang bertugas di dekat lokasi itu untuk segera menjemputnya. Hanya dalam hitungan menit, Anton--anak buah Dev itu datang d
Sedikit berjalan pincang sambil memegangi punggungnya, perempuan itu memaksakan diri untuk berjalan keluar ruangan. Dia tidak menjawab pertanyaan Dev, namun hanya memberikan gerakan isyarat melalui telunjuknya agar Dev tetap di tempat. Juga seolah memberitahu kalau dia akan segera kembali. Dan entah bagaimana, sikap perempuan misterius itu membuat Dev termangu. Hingga tak lama setelahnya, perempuan itu pun kembali dengan penampilan yang membuat bola mata Dev membulat kaget. Tubuh perempuan itu kini hanya berbalut dress putih selutut. Tidak lagi memakai jaket dan celana putih tadi. Rambut putih bergelombangnya tetap diikat tinggi. Tidak. Tentu bukan itu semua yang membuat Dev kaget. Tapi saat Dev menyadari kalau perempuan ini ... ternyata tidak pakai bra. Siapapun bisa melihat itu karena dress itu bahannya tipis. Astaga! Oke. Dev memang sudah sering melihat perempuan tidak tahu malu di dunia ini. Tapi bukannya tergiur, justru Dev merasa
Perubahan aura perempuan itu seketika dirasakan Dev. Hawa kemarahan yang kuat, bercampur dengan rasa takut. Dev bisa merasakan itu melalui raut ekspresi dari Eve. "Mengapa cecunguk-cecunguk itu ingin mengincar tempat tinggal kalian? Dan bagaimana mungkin kalian tidak melapor pada pihak berwajib?" tanya Dev to the point dan tegas. Eve terlihat mengembuskan napasnya dengan sangat gusar. Seolah ada beban besar mengganjal dadanya yang sulit dikeluarkan begitu saja. "Entahlah." Eve mengangkat bahu, mencoba bersikap santai. Jeda menarik napas, Eve lantas memalingkan wajah kearah Dev dan melanjutkan ucapannya. "Lagipula itu tidak penting buatmu untuk tahu, kan? Orang luar sepertimu seharusnya tidak perlu terlibat jauh dengan masalah kami," tandas Eve dingin. Ucapan dingin itu tanpa sadar menarik satu simpulan senyum di bibir Dev. Karena ini pertama kalinya ada perempuan yang bersikap dingin kepada Dev. "Aku hanya memberikanmu saran ya