Share

2. Nasib Apes Dev

Dua minggu pasca ujian penentuan nasib kelulusan yang menjadi momok paling menakutkan bagi para murid SMA kelas tiga.

Ujian Nasional memang sudah berakhir, namun atmosfer ketegangannya masih terasa sangat pekat. Selama nilai ujian belum keluar, mereka masih belum bisa bernapas lega. Bahkan Dev pun juga sepertinya terlihat gelisah.

Dev tidak begitu takut nilai UN yang kurang memenuhi ekspektasi Ayahnya, namun ada hal lebih menguras pikirannya.

Menahan diri selama dua minggu untuk menanti hasil nilai UN dan Surat Keterangan Lulus itulah, yang membuat seorang Dev menjadi sangat tidak sabaran.

Tidak seperti murid-murid lain yang menunggu hasil kelulusan dan nilai ujian di rumah, Dev tetap pergi ke sekolah. Bahkan, sejak jam tujuh pagi Dev sudah stand by. Duduk di bangku taman. Tanpa kawan. Sendirian.

Ada satu urusan yang harus Dev selesaikan pagi itu. Dan tentu saja urusan tersebut sangat penting, hingga Dev harus rela pergi ke sekolah pagi-pagi.

Beberapa kali anak itu tampak mengecek penunjuk waktu yang tertempel di tugu patung yang berdiri tegak di tengah-tengah taman, tak jauh dari tempat Dev duduk.

Sudah pukul setengah delapan.

Maka Dev pun bangkit, bergegas melangkah pergi ke tempat yang sedari awal menjadi alasan Dev menunggu selama satu jam.

Ruang Bagian Kesiswaan.

"Fyuh ... Akhirnya buka juga ruangan ini!" desah Dev penuh kelegaan.

Dev pun kemudian mendorong pintu kaca ruangan tersebut sambil melirihkan salam sopan.

"Selamat pagi, Dev. Ada yang bisa Ibu bantu?" sapa Bu Ratih selaku salah satu guru pengurus kesiswaan itu dengan memasang senyum ramah.

Bu Ratih merentangkan satu tangan untuk mempersilahkan Dev duduk berhadapan dengannya.

"Saya kesini ingin membatalkan pengajuan beasiswa ke Universitas Darma, Bu."

Bu Ratih terperanjat. "Loh? Kenapa kamu tiba-tiba ingin membatalkan pengajuan itu? Padahal itu Universitas Favorit, loh!"

Dev tersenyum seraya menggelengkan kepala pelan. "Hanya masalah pribadi, Bu. Saya ingin mengajukan beasiswa ke tempat lain. Apa bisa, Bu?"

Nampak Bu Ratih mendengus pelan. Air wajahnya berubah menjadi sedikit kesal.

"Untung berkas pengajuan kamu belum dikirim ke Univ. Jadi masih bisa dibatalkan. Makanya, lain kali kalau kamu mau daftar tuh harus betul-betul yakin dulu, Dev!" omel beliau seraya menarik laci meja untuk mencari berkas Dev.

Kepala Dev menunduk sekilas sebagai isyarat permohonan maaf. Diiringi senyum tipis dari bibir Dev. "Terimakasih. Maaf merepotkan Ibu."

Setelah menandatangani beberapa kolom persetujuan pembatalan beasiswa, akhirnya Devlin bisa sedikit bernapas lega.

Makin lega lagi saat pengumuman kelulusan itu sudah keluar dan Dev pun menduduki peringkat pertama sebagai lulusan dengan nilai sempurna seangkatan.

Dev sangat bersyukur atas pencapaiannya yang membuahkan hasil yang memuaskan. Apalagi Dev menyaksikan sendiri pengumuman kelulusan dan hasil nilainya secara langsung di mading sekolah.

"Syukurlah semua nilaiku hampir sempurna. Dengan begini aku punya harapan untuk bisa diterima di Sekolah Kepolisian dengan jalur beasiswa!" gumam Dev dengan senyum lebar yang merekah.

**

Sejauh ini, semua rencana Dev berjalan sesuai harapan. Hari ini nilai kelulusan keluar, jadi Dev bisa langsung meminta Surat Keterangan Lulus kepada pihak sekolah untuk memenuhi salah satu syarat pendaftaran beasiswa di Sekolah Kepolisian. Ijazah bisa menyusul nanti.

Ditambah lagi, Minggu ini Ayah Dev juga kembali keluar kota untuk bekerja. Momennya betul-betul mendukung Dev untuk mendaftar beasiswa di Sekolah Kepolisian. Tuhan seolah memberkati Dev dan menuntunnya untuk mengikuti impiannya.

Memang benar. Sejak mata hatinya terbuka karena menemukan kertas impiannya di celengan itu, Dev mulai menyusun rencana untuk masuk beasiswa di Sekolah Kepolisian.

Sang Ayah mungkin bakal marah besar kalau tahu Dev mencabut pendaftarannya ke Universitas Darma. Jadi Dev putuskan untuk kabur saja. Dari pada nanti dihukum.

Lagipula, pendaftaran ke Sekolah Kepolisian juga disertai dengan tes kesehatan yang lengkap, jadi jika ingin mengajukan pendaftaran disana memang harus datang ke tempat Sekolah itu.

Meninggalkan kota P kampung halamannya, Dev melakukan perjalanan ke Ibukota J. Dan ini pertama kalinya Dev bepergian jauh. Nekat memang, apalagi Dev sama sekali tidak tahu tempat di kota J. Tapi itu jauh lebih baik dari pada bertahan di lingkungan yang tidak sehat.

Berbekal aplikasi peta online, Dev mencari lokasi Sekolah Kepolisian itu. Sesekali Dev bertanya pada beberapa orang yang hilir mudik di terminal dan jalan-jalan. Tapi dia malah semakin bingung dan dibuat berputar-putar. Sungguh, Dev tidak menyangka kalau jalanan kota J ternyata kompleks sekali.

Dev baru sampai di Sekolah Kedinasan itu pukul lima sore. Suasana disana sudah sepi sekali. Sayang sekali Dev harus melewatkan pendaftaran hari pertama.

"Untungnya masih ada dua hari lagi waktu pendaftaran dan cek kesehatan. Aku akan kembali kesini besok pagi. Sebaiknya sekarang aku harus mencari tempat berteduh."

Langkah perjalanannya mencari tempat kos seketika terhenti saat sepasang bola mata Dev tidak sengaja menyorot ke satu warung makan kecil di ujung jalan. Seketika Dev ingat kalau dia belum makan. Ia pun mampir dulu kesana.

"Permisi ... Saya mau pesan makan, Bu."

Melihat wajah Dev yang tidak familiar baginya, Ibu penjual itu menatap Dev dari atas ke bawah dengan sekilas. Sementara dua tangannya sibuk menyiapkan piring untuk pengunjung lain.

"Pendatang ya, Dek? Mau pesan apa?" tanya Ibu penjual ramah.

"Iya. Saya baru saja datang ke kota J. Saya pesen nasi sayur sama telor aja," jawab Dev sopan.

Ibu itu mengangguk. Lalu tangannya dengan cekatan mengambilkan pesanan dan memberikannya pada Dev.

"Oh ya, Bu!" Dev berbalik lagi ke Ibu penjual. "Disekitar sini ada kosan harga dibawah tiga ratusan ribu nggak?"

"Lah?" Bu penjual terkekeh sebentar. "Mana ada Dek harga kos segitu di kota J! Apa lagi jaman sekarang!"

"Kenapa nih??" Dari arah belakang tiba-tiba ada sapaan ramah dari seorang Bapak berkumis tebal. "Siapa yang mau cari kosan?"

Ibu penjual melirik kepada Dev.

Bapak itu mengikuti arah lirikan mata Ibu penjual. Menatap aneh kepada Dev.

Dev yang merasa heran dipandang seperti itu pun menengok ke pakaiannya. Tidak ada yang salah dengan busananya hari ini. Kameja biru lautnya tidak ada yang keluar dari sabuk. Celana bahannya juga tidak kotor.

"Oh kamu? Mau cari kosan buat kuliah?"

Dev mengangguk kikuk.

"Kalau kamu nyari disini biasanya emang mahal, Dek. Karena lokasinya deket kampus. Kalau mau murah meriah, cari yang agak jauh," terang Bapak itu.

"Di daerah mana, Pak?" tanya Dev kemudian.

Bapak itu lantas mengarahkan telunjuknya ke satu arah mata angin. "Daerah selatan sana coba. Kayaknya banyak tuh anak-anak kuliah cowok kos disana."

*

Beruntung masih ada tempat kos di kota J yang mematok harga murah. Tapi resikonya memang lumayan jauh dari gedung sekolah. Tapi tidak masalah. Yang penting Dev bisa berteduh.

Tempat kos Dev masih satu lokasi dengan rumah induk Pak Kos. Hanya dibatasi oleh ruangan tempat istri Pak Kos berjualan pakaian.

Setelah bertemu Bapak kos dan membayar uang muka, Dev bergegas merapikan barang bawaannya sambil sedikit demi sedikit membersihkan debu di kamar itu.

Ada deringan panggilan dari Ayahnya, Dev tidak menghiraukan. Dia lebih memilih melanjutkan aktivitasnya mengeluarkan peralatan mandi. Ia ingin segera mandi, membersihkan sekaligus merilekskan diri setelah seharian berpetualang.

Ketika tangan Dev hendak meraih kenop pintu, ia dikejutkan oleh ketukan pintu yang kasar disertai suara gaduh dari luar.

BRAK BRAK BRAK!

"Tolong buka pintunya!!"

Dengan gerakan tergesa, Dev membukakan pintu. Memasang wajah bingung saat melihat ada tiga orang polisi berdiri di depan pintu.

"Maaf. Ada perlu apa ya, Pak?"

"Kami disini mohon izin untuk menggeledah kamar Anda," ucap salah seorang polisi yang berjanggut tebal itu seraya menunjukkan surat izin dari pusat.

Dev mengerjap dan menelan ludahnya kasar. Seketika tubuhnya membeku. "Kok kamar saya yang digeledah, Pak?"

"Kami memang diperintahkan untuk menggeledah semua kamar kos di lingkungan ini. Jadi kami berharap Adik bisa diajak kerjasama," jawab beliau lagi.

Karena tidak merasa menyimpan barang-barang berbahaya, Dev langsung membuka jalan bagi dua orang polisi itu untuk masuk ke kamarnya. Sementara satu polisi yang berjanggut itu memeriksa badan Dev.

Beberapa menit proses penggeledahan, salah seorang polisi menyahut dari dalam.

"Pak! Saya menemukan ini di lemari!"

Polisi itu menunjukkan satu bungkus kertas kecil, lalu menyerahkannya pada satu polisi lain untuk dicek menggunakan alat tes narkotika.

"Positif sabu."

DEG!

Bola mata Dev sontak membelak lebar. Bagaimana bisa benda haram itu ada di lemarinya?

"Itu bukan punya saya, Pak! Demi Allah!" seru Dev meninggi.

"Kalau itu bukan punya kamu, terus punya siapa?" tanya polisi berjanggut seraya mengeratkan cengkraman tangannya pada pergelangan tangan Dev.

"Argh!"

Dev berusaha menolak saat dua polisi lain memegangi dua pergelangan tangannya, bersiap menggiring Dev pergi.

"Saya baru aja pindah kesini, Pak! Demi Allah! Tanyakan saja sama Pak Kosnya! Saya betul-betul nggak tahu kalau ada barang itu di lemari! Itu mungkin punya anak kos sebelum saya!" seru Dev yang masih ngotot tidak ingin dibawa.

Tanpa mengindahkan pembelaannya, Dev lantas didorong paksa oleh dua orang polisi yang memegangi lengan kiri kanannya.

"Tunggu! Saya tidak--"

"Ayo! Sebaiknya Adik ikut kami untuk diperiksa!"

Makin paniklah Dev. "Tidak! Jangan bawa saya! Saya tidak tahu apa-apa!"

Astaga. Belum genap dua puluh empat jam berada di kota J, Dev sudah terlibat masalah besar seperti ini. Sempat Dev berfikir, mungkinkah ini ganjaran karena dia pergi tanpa pamit pada Ayahnya?

Dalam hati Dev berdoa semoga kesalahpahaman ini tidak membawanya kedalam masalah yang lebih pelik lagi.

**

To be continued.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status