Dua minggu pasca ujian penentuan nasib kelulusan yang menjadi momok paling menakutkan bagi para murid SMA kelas tiga.
Ujian Nasional memang sudah berakhir, namun atmosfer ketegangannya masih terasa sangat pekat. Selama nilai ujian belum keluar, mereka masih belum bisa bernapas lega. Bahkan Dev pun juga sepertinya terlihat gelisah.
Dev tidak begitu takut nilai UN yang kurang memenuhi ekspektasi Ayahnya, namun ada hal lebih menguras pikirannya.
Menahan diri selama dua minggu untuk menanti hasil nilai UN dan Surat Keterangan Lulus itulah, yang membuat seorang Dev menjadi sangat tidak sabaran.
Tidak seperti murid-murid lain yang menunggu hasil kelulusan dan nilai ujian di rumah, Dev tetap pergi ke sekolah. Bahkan, sejak jam tujuh pagi Dev sudah stand by. Duduk di bangku taman. Tanpa kawan. Sendirian.
Ada satu urusan yang harus Dev selesaikan pagi itu. Dan tentu saja urusan tersebut sangat penting, hingga Dev harus rela pergi ke sekolah pagi-pagi.
Beberapa kali anak itu tampak mengecek penunjuk waktu yang tertempel di tugu patung yang berdiri tegak di tengah-tengah taman, tak jauh dari tempat Dev duduk.
Sudah pukul setengah delapan.
Maka Dev pun bangkit, bergegas melangkah pergi ke tempat yang sedari awal menjadi alasan Dev menunggu selama satu jam.
Ruang Bagian Kesiswaan.
"Fyuh ... Akhirnya buka juga ruangan ini!" desah Dev penuh kelegaan.
Dev pun kemudian mendorong pintu kaca ruangan tersebut sambil melirihkan salam sopan.
"Selamat pagi, Dev. Ada yang bisa Ibu bantu?" sapa Bu Ratih selaku salah satu guru pengurus kesiswaan itu dengan memasang senyum ramah.
Bu Ratih merentangkan satu tangan untuk mempersilahkan Dev duduk berhadapan dengannya.
"Saya kesini ingin membatalkan pengajuan beasiswa ke Universitas Darma, Bu."
Bu Ratih terperanjat. "Loh? Kenapa kamu tiba-tiba ingin membatalkan pengajuan itu? Padahal itu Universitas Favorit, loh!"
Dev tersenyum seraya menggelengkan kepala pelan. "Hanya masalah pribadi, Bu. Saya ingin mengajukan beasiswa ke tempat lain. Apa bisa, Bu?"
Nampak Bu Ratih mendengus pelan. Air wajahnya berubah menjadi sedikit kesal.
"Untung berkas pengajuan kamu belum dikirim ke Univ. Jadi masih bisa dibatalkan. Makanya, lain kali kalau kamu mau daftar tuh harus betul-betul yakin dulu, Dev!" omel beliau seraya menarik laci meja untuk mencari berkas Dev.
Kepala Dev menunduk sekilas sebagai isyarat permohonan maaf. Diiringi senyum tipis dari bibir Dev. "Terimakasih. Maaf merepotkan Ibu."
Setelah menandatangani beberapa kolom persetujuan pembatalan beasiswa, akhirnya Devlin bisa sedikit bernapas lega.
Makin lega lagi saat pengumuman kelulusan itu sudah keluar dan Dev pun menduduki peringkat pertama sebagai lulusan dengan nilai sempurna seangkatan.
Dev sangat bersyukur atas pencapaiannya yang membuahkan hasil yang memuaskan. Apalagi Dev menyaksikan sendiri pengumuman kelulusan dan hasil nilainya secara langsung di mading sekolah.
"Syukurlah semua nilaiku hampir sempurna. Dengan begini aku punya harapan untuk bisa diterima di Sekolah Kepolisian dengan jalur beasiswa!" gumam Dev dengan senyum lebar yang merekah.
**
Sejauh ini, semua rencana Dev berjalan sesuai harapan. Hari ini nilai kelulusan keluar, jadi Dev bisa langsung meminta Surat Keterangan Lulus kepada pihak sekolah untuk memenuhi salah satu syarat pendaftaran beasiswa di Sekolah Kepolisian. Ijazah bisa menyusul nanti.
Ditambah lagi, Minggu ini Ayah Dev juga kembali keluar kota untuk bekerja. Momennya betul-betul mendukung Dev untuk mendaftar beasiswa di Sekolah Kepolisian. Tuhan seolah memberkati Dev dan menuntunnya untuk mengikuti impiannya.
Memang benar. Sejak mata hatinya terbuka karena menemukan kertas impiannya di celengan itu, Dev mulai menyusun rencana untuk masuk beasiswa di Sekolah Kepolisian.
Sang Ayah mungkin bakal marah besar kalau tahu Dev mencabut pendaftarannya ke Universitas Darma. Jadi Dev putuskan untuk kabur saja. Dari pada nanti dihukum.
Lagipula, pendaftaran ke Sekolah Kepolisian juga disertai dengan tes kesehatan yang lengkap, jadi jika ingin mengajukan pendaftaran disana memang harus datang ke tempat Sekolah itu.
Meninggalkan kota P kampung halamannya, Dev melakukan perjalanan ke Ibukota J. Dan ini pertama kalinya Dev bepergian jauh. Nekat memang, apalagi Dev sama sekali tidak tahu tempat di kota J. Tapi itu jauh lebih baik dari pada bertahan di lingkungan yang tidak sehat.
Berbekal aplikasi peta online, Dev mencari lokasi Sekolah Kepolisian itu. Sesekali Dev bertanya pada beberapa orang yang hilir mudik di terminal dan jalan-jalan. Tapi dia malah semakin bingung dan dibuat berputar-putar. Sungguh, Dev tidak menyangka kalau jalanan kota J ternyata kompleks sekali.
Dev baru sampai di Sekolah Kedinasan itu pukul lima sore. Suasana disana sudah sepi sekali. Sayang sekali Dev harus melewatkan pendaftaran hari pertama.
"Untungnya masih ada dua hari lagi waktu pendaftaran dan cek kesehatan. Aku akan kembali kesini besok pagi. Sebaiknya sekarang aku harus mencari tempat berteduh."
Langkah perjalanannya mencari tempat kos seketika terhenti saat sepasang bola mata Dev tidak sengaja menyorot ke satu warung makan kecil di ujung jalan. Seketika Dev ingat kalau dia belum makan. Ia pun mampir dulu kesana.
"Permisi ... Saya mau pesan makan, Bu."
Melihat wajah Dev yang tidak familiar baginya, Ibu penjual itu menatap Dev dari atas ke bawah dengan sekilas. Sementara dua tangannya sibuk menyiapkan piring untuk pengunjung lain.
"Pendatang ya, Dek? Mau pesan apa?" tanya Ibu penjual ramah.
"Iya. Saya baru saja datang ke kota J. Saya pesen nasi sayur sama telor aja," jawab Dev sopan.
Ibu itu mengangguk. Lalu tangannya dengan cekatan mengambilkan pesanan dan memberikannya pada Dev.
"Oh ya, Bu!" Dev berbalik lagi ke Ibu penjual. "Disekitar sini ada kosan harga dibawah tiga ratusan ribu nggak?"
"Lah?" Bu penjual terkekeh sebentar. "Mana ada Dek harga kos segitu di kota J! Apa lagi jaman sekarang!"
"Kenapa nih??" Dari arah belakang tiba-tiba ada sapaan ramah dari seorang Bapak berkumis tebal. "Siapa yang mau cari kosan?"
Ibu penjual melirik kepada Dev.
Bapak itu mengikuti arah lirikan mata Ibu penjual. Menatap aneh kepada Dev.
Dev yang merasa heran dipandang seperti itu pun menengok ke pakaiannya. Tidak ada yang salah dengan busananya hari ini. Kameja biru lautnya tidak ada yang keluar dari sabuk. Celana bahannya juga tidak kotor.
"Oh kamu? Mau cari kosan buat kuliah?"
Dev mengangguk kikuk.
"Kalau kamu nyari disini biasanya emang mahal, Dek. Karena lokasinya deket kampus. Kalau mau murah meriah, cari yang agak jauh," terang Bapak itu.
"Di daerah mana, Pak?" tanya Dev kemudian.
Bapak itu lantas mengarahkan telunjuknya ke satu arah mata angin. "Daerah selatan sana coba. Kayaknya banyak tuh anak-anak kuliah cowok kos disana."
*
Beruntung masih ada tempat kos di kota J yang mematok harga murah. Tapi resikonya memang lumayan jauh dari gedung sekolah. Tapi tidak masalah. Yang penting Dev bisa berteduh.
Tempat kos Dev masih satu lokasi dengan rumah induk Pak Kos. Hanya dibatasi oleh ruangan tempat istri Pak Kos berjualan pakaian.
Setelah bertemu Bapak kos dan membayar uang muka, Dev bergegas merapikan barang bawaannya sambil sedikit demi sedikit membersihkan debu di kamar itu.
Ada deringan panggilan dari Ayahnya, Dev tidak menghiraukan. Dia lebih memilih melanjutkan aktivitasnya mengeluarkan peralatan mandi. Ia ingin segera mandi, membersihkan sekaligus merilekskan diri setelah seharian berpetualang.
Ketika tangan Dev hendak meraih kenop pintu, ia dikejutkan oleh ketukan pintu yang kasar disertai suara gaduh dari luar.
BRAK BRAK BRAK!
"Tolong buka pintunya!!"
Dengan gerakan tergesa, Dev membukakan pintu. Memasang wajah bingung saat melihat ada tiga orang polisi berdiri di depan pintu.
"Maaf. Ada perlu apa ya, Pak?"
"Kami disini mohon izin untuk menggeledah kamar Anda," ucap salah seorang polisi yang berjanggut tebal itu seraya menunjukkan surat izin dari pusat.
Dev mengerjap dan menelan ludahnya kasar. Seketika tubuhnya membeku. "Kok kamar saya yang digeledah, Pak?"
"Kami memang diperintahkan untuk menggeledah semua kamar kos di lingkungan ini. Jadi kami berharap Adik bisa diajak kerjasama," jawab beliau lagi.
Karena tidak merasa menyimpan barang-barang berbahaya, Dev langsung membuka jalan bagi dua orang polisi itu untuk masuk ke kamarnya. Sementara satu polisi yang berjanggut itu memeriksa badan Dev.
Beberapa menit proses penggeledahan, salah seorang polisi menyahut dari dalam.
"Pak! Saya menemukan ini di lemari!"
Polisi itu menunjukkan satu bungkus kertas kecil, lalu menyerahkannya pada satu polisi lain untuk dicek menggunakan alat tes narkotika.
"Positif sabu."
DEG!
Bola mata Dev sontak membelak lebar. Bagaimana bisa benda haram itu ada di lemarinya?
"Itu bukan punya saya, Pak! Demi Allah!" seru Dev meninggi.
"Kalau itu bukan punya kamu, terus punya siapa?" tanya polisi berjanggut seraya mengeratkan cengkraman tangannya pada pergelangan tangan Dev.
"Argh!"
Dev berusaha menolak saat dua polisi lain memegangi dua pergelangan tangannya, bersiap menggiring Dev pergi.
"Saya baru aja pindah kesini, Pak! Demi Allah! Tanyakan saja sama Pak Kosnya! Saya betul-betul nggak tahu kalau ada barang itu di lemari! Itu mungkin punya anak kos sebelum saya!" seru Dev yang masih ngotot tidak ingin dibawa.
Tanpa mengindahkan pembelaannya, Dev lantas didorong paksa oleh dua orang polisi yang memegangi lengan kiri kanannya.
"Tunggu! Saya tidak--"
"Ayo! Sebaiknya Adik ikut kami untuk diperiksa!"
Makin paniklah Dev. "Tidak! Jangan bawa saya! Saya tidak tahu apa-apa!"
Astaga. Belum genap dua puluh empat jam berada di kota J, Dev sudah terlibat masalah besar seperti ini. Sempat Dev berfikir, mungkinkah ini ganjaran karena dia pergi tanpa pamit pada Ayahnya?
Dalam hati Dev berdoa semoga kesalahpahaman ini tidak membawanya kedalam masalah yang lebih pelik lagi.
**
To be continued.
Eve memang sering dengar Dev menyinggung soal atasannya, tapi Eve tidak pernah menyangka kalau atasan Dev itu adalah seorang pria tua yang sangat mirip dengan wajah Ayahnya. Dan tidak sampai disitu. Tadi Eve juga sempat mendengar perawat perempuan yang menjaga Bianca di bilik sebelah itu juga memanggil nama 'Pak Marco'. Yang mana nama itu juga nama yang sama dengan nama mendiang ayahnya. Kalau ini adalah kebetulan, jelas ini kebetulan yang keterlaluan. Tidak pernah Eve menemui kasus wajah dan nama orang yang sama persis. Tidak ada. Pun ada yang pernah bilang kalau manusia itu punya tujuh kembaran berbeda dan tersebar di muka bumi, tetap saja ini terlalu mirip! Tidak pernah ada wajah dan nama yang sama. Terkecuali kalau memang dia ... adalah orang yang sama. Tapi ... 'Nggak mungkin nenek bohong sama aku. Jelas-jelas nenek bilang kalau Ayah dan Ibu meninggal setelah kecelakaan itu. Hanya aku yang selamat. Lagipula untuk apa juga nenek menyembunyikan kalau misal ayah masih hidup?' "
Sesuai dugaan Eve. Ada agen pengkhianat yang masih tersebar di beberapa tempat di markas. Ada saja yang ingin menjatuhkan Devlin maupun Pak Marco. "Dari situlah kemudian aku coba mengikuti para pengkhianat itu, Bram. Aku masuk ke mobil mereka. Lalu ketika sampai di kasino, aku benar-benar melihat mereka meletakkan bom koper itu di mobil yang kamu pakai." Dev manggut-manggut mengerti. "Jadi begitu ceritanya kamu pada akhirnya bisa sampai ke kasino ... Kamu benar-benar nekat!" Eve memutar bola matanya. "Bisa tidak kamu hanya bilang 'terimakasih' saja? Bagaimanapun aku sudah menyelamatkan nyawamu dengan mencegahmu masuk ke mobil, lho. Kalau tidak, kamu pasti sudah jadi sapi panggang!" "Cih!" Dev mendecih. "Aku ada niatan untuk tidak ke mobil kok tadi! Kamu saja tadi yang tiba-tiba menghadang saat aku mau menyergap temanmu!" Percuma saja kalau menyuruh Dev minta maaf. Gengsinya selangit nirwana, mana sudi dia mau bilang begitu? Apalagi kali ini yang menolong si Eve. Perempuan. "Nah
Jet Mini didatangkan langsung dari markas pusat. Mendarat di titik lokasi tersembunyi di salah satu resort yang ada di pulau itu. Penjagaan sekitar resort dikerahkan, demi menjaga keamanan pendaratan Jet Mini tersebut. Seluruh resort juga sampai dikosongkan dari pengunjung, dan kini hanya diisi oleh satuan keamanan yang bertugas untuk mengawal pemimpin agen rahasia utama mereka--Pak Marco. "Kalian ini terlalu berlebihan deh ... Saya sungguh nggak apa, lho!" Sudah berapa kali Pak Marco bicara begitu. Beliau bilang tidak kenapa-kenapa, tapi sekujur tubuhnya kini tengah mengalami luka-luka dan sedang dalam penanganan berjalan di dalam Jet Mini. Kondisi Pak Marco memang harus segera ditangani, jadi tim ahli medis dikerahkan untuk melakukan penanganan medis langsung, sembari Jet Mini itu terbang memulangkan kembali Pak Marco ke markas pusat di pulau JW. Tidak perlu khawatir dengan kemampuan tenaga medis dan peralatannya, karena memang Jet Mini itu
Bukan hanya menghadang. Eve juga menahan perempuan berambut perak yang masih berusaha untuk melepaskan diri dari borgol itu. Mengambil cepat borgol Dev yang lainnya dan memakaikannya di dua pergelangan kaki si perempuan rambut perak. Gerakan yang begitu cepat, sehingga Dev sendiri sampai agak tertegun melihat bagaimana Eve meringkus perempuan rambut perak itu. Padahal mulanya Dev pikir Eve hendak menyelamatkan si rambut perak. Tapi tidak menyangka kalau Eve ternyata justru membekuk rambut perak. Itu artinya Eve masih ada di pihak Dev. Tapi yang menjadi tanda tanya sekarang, mengapa Eve menyerang Dev juga? "Eve, kau--" "Jangan menyerang temanku! Dan sebaiknya kau menjauh!" DEG! "Apa?? Jadi dia rekanmu??" "Pergi!" Dev benar-benar bingung sekarang. Tidak disangka Eve adalah teman si rambut perak. Mengejutkan, tapi dari ucapan Eve dan bagaimana Eve melindungi Dev agar menjauh dari si rambut perak, besar kemungkinan kalau Ev
Meja nomor tujuh. Senjata M. Dua informasi bagus yang sangat penting. Dengan begini terbukti sudah dugaan Pak Marco, kalau memang benar ada transaksi senjata gelap disini. Senjata-senjata tipe M, semestinya orang-orang seperti mereka tidak diperuntukkan untuk menjual belikannya. Karena itu senjata militer yang cukup vital dan bisa dibilang berbahaya jika orang awam dan tidak cukup pengalaman menggunakannya. Ada dua tipe senjata di dunia ini. W dan M. Keduanya sama-sama tidak boleh diperjual belikan, apapun alasannya. Karena memang senjata apapun tidak boleh dijual bebas dan serta merta dari kalangan apapun terkecuali pihak militer atau pihak yang berkaitan dengan penegak hukum. W tidak sebegitu bahaya dibanding M. Dan untuk katagori bom rakitan yang dibuat Yongkie dkk itu juga masuk katagori M yang berbahaya. Penggolongan ini berdasarkan tingkat bahayanya. Biasanya ada pihak tertentu yang mengelompokkan senjata-senjata temuan yang dipakai penja
Ternyata memang tidak mudah menemukan peluang waktu agar Dev bisa belajar ilmu kanuragan. Baru saja pria itu akan belajar selagi punya jeda waktu. Tapi memang sepertinya hal itu ditunda dulu sampai misi penyelidikan kali ini selesai. Bagaimanapun, Dev harus menjadi bertambah kuat. Musuh yang ia hadapi bukan yang serta merta bisa dikalahkan dengan serangan fisik biasa. Tapi membutuhkan 'tenaga lebih' untuk bisa mendongkrak pertahanan musuh. Memang sejak dulu, yang namanya penjahat dengan ilmu tenaga dalam menjadi masalah serius yang merepotkan dan tentu tidak bisa dianggap remeh. Dan Yongkie, dia ternyata menggunakan ilmu kuno itu dan membuat Dev menjadi cukup kuwalahan. Sejauh ini Dev tidak pernah kalah dengan siapapun, dan batu dikalahkan dengan orang pemilik ilmu kanuragan. Dan untuk bisa mengalahkan Yongkie, kekuatan fisik yang bagus saja ternyata tidak cukup. Dev butuh kekuatan lebih. Dengan kekuatan fisik yang mumpuni dan ditambah latihan kanuragan, Dev