Share

10. Tertangkapnya Kucing Pencuri

"Jadi bagaimana, hum? Kalau kau setuju, besok kita bisa berangkat."

Dev sedikit mendekat, lalu mencondongkan tubuh kepada Eve yang duduk di hadapannya. Memasang senyum ramah yang Eve yakin kalau itu adalah senyum pencitraan Dev. Sungguh, rasanya Eve ingin melempar gelas minum yang ia genggam ke wajah Dev--kalau seandainya tidak ada Neneknya disitu.

"Aku--"

"Nenek, kuenya sudah jadi!" Tiba-tiba muncul satu anak perempuan remaja membawa baki berisi beberapa kue kering yang sepertinya baru diangkat dari pemanggangan di ruang dapur.

Nenek lantas terkekeh sekilas, lalu hendak bangkit dari duduknya. Lalu meraih baki itu untuk disuguhkan kepada Dev.

"Ini kue buatan nenek. Baru matang. Silahkan dinikmati selagi kalian mengobrol--"

"Sepertinya tidak perlu, Nek." potong Eve cepat. "Alangkah baiknya Pak Fotografer harus cepat pulang sebelum larut malam. Akan sangat bahaya diluar saat malam." Lalu Eve menoleh kepada Dev. "Benar begitu kan, Pak Fotografer?"

NYUT!

Sebelum Dev menyuarakan protesnya, kaki Eve sudah lebih dulu menginjak kaki Dev yang habis diperban itu dengan teramat keras. Perempuan itu betul-betul tanpa ampun!

Bola mata Dev melotot horor kepada Eve. Sedangkan Eve tidak mau kalah. Ia turut melayangkan tatapan tajam, seperti mengisyaratkan kalau sebaiknya Dev menurut.

Tapi tentu saja, dasarnya Dev yang tidak suka diperintah seenaknya begitu, dia pun memberikan balasan berupa tendangan di betis Eve.

DUG!

Tendangan itu sontak membuat Eve menggigit bibirnya menahan sakit. Tak urung juga bola matanya ikut menatap horor pada Dev.

'Rasakan!' geram Dev membatin dan menyeringai puas.

"Benar juga. Ada banyak anak nakal diluar kalau sudah malam hari."

Gumaman Nenek itu kemudian mengalihkan perseteruan kaki Dev dan Eve dibawah meja itu.

"Bagaimana kalau Anda menginap disini saja untuk malam ini?"

"Nenek!!" seru Eve tidak terima. Dia tidak habis pikir kalau neneknya bisa dengan mudah menawarkan bantuan pada orang baru dengan mudahnya.

"Ini sudah malam, Eve. Kau tahu kan kalau disini sangat rawan keamanannya? Pak Fotografer ini sampai rela pergi kemari hanya untuk menawarkan pekerjaan padamu! Seharusnya kau berterimakasih," pungkas sang Nenek tegas.

"Tapi, Nek--"

Dev kemudian menyela. "Terimakasih atas tawaran Nenek. Tapi sepertinya Eve tidak suka kalau saya menginap disini." Ia pun memasang wajah sedih sandiwaranya, yang seketika membangkitkan rasa mual di perut Eve.

"Tidak usah dipikirkan. Keselamatan Anda itu lebih penting." Lalu Nenek itu menoleh pada Eve. "Setelah ini biar Eve yang menunjukkan dan mempersiapkan kamar untuk Anda."

Sebelum Eve kembali melempar kata protes, Nenek itu mengarahkan telunjuknya kearah pintu. Seperti mempertegas kalau perintahnya sudah tidak bisa dinego lagi.

"Ugh!" Eve menggeram seraya mengacak rambutnya frustasi. Lalu berjalan keluar ruang makan dengan tangannya yang ikut serta menarik lengan Dev agar pria itu berjalan mengikutinya.

Dev sendiri merasa cukup terhibur hanya dengan melihat wajah kesal perempuan menyebalkan itu. Hingga tanpa Dev sadari kalau sejak tadi bibirnya tidak henti-hentinya tersenyum lucu menatap Eve.

Eve menarik Dev ke sisi kanan di rumah besar itu. Lalu mereka bermuara di salah satu lorong gelap yang Dev yakini itu bukan lorong menuju kearah kamar atau semacam ruangan.

Sampai bertemu dengan tangga menuju lorong bawah tanah, barulah Dev paham kalau dia bukan ingin dibawa ke suatu tempat di bawah tanah.

Dev sendiri cukup terkejut dengan rumah ini yang ternyata punya banyak sekat rahasia yang tidak terduga. Namun Dev juga tidak begitu heran, mengingat rumah ini sudah berdiri sejak jaman penjajahan. Sudah bisa dipastikan masih ada jejak-jejak ruangan rahasia disini.

"Apa ini pertama kalinya kau melihat lorong bawah tanah?" Tiba-tiba Eve bertanya membuka pembicaraan. Dia sepertinya sadar dengan perubahan wajah Dev yang sedikit takjub saat diajak ke lorong bawah tanah ini.

Jujur, Dev sendiri sudah pernah melihat lorong seperti ini. Tapi ditempat lain.

"Lorong ini mengarah langsung ke jalan besar. Kau bisa pergi ke kota dengan mengikuti arah jalan besar itu. Kalau kau lewat lorong ini, kau akan aman dari para perampok itu," jelas Eve kemudian sembari menunjuk ke satu jalan lubang besar yang gelap di hadapan mereka.

Kemudian Eve meraih satu senter kecil dari selipan sabuk kecil yang melilit di paha bawahnya. Dan melemparkan senter itu kepada Dev dengan tidak sopan.

"Di lorong sangat gelap. Kau akan butuh senter itu. Lurus saja, maka kau temukan jalan keluar," kata Eve seraya menunjuk ke lorong itu.

Dev sedikit termangu dengan sikap Eve. Lagi-lagi ia dibuat heran oleh kerandoman Eve yang sama sekali tidak ia duga.

Dev berpikir kalau Eve bakal setuju untuk pergi bersamanya dengan iming-iming tawaran bayaran menjadi seorang model (walau Dev tahu kalau Eve tidak akan semudah itu percaya). Tapi melihat Eve yang menunjukkan jalan untuk pergi, Dev tahu kalau perempuan itu mengusirnya dengan cara halus. Sekaligus memberi penolakan tawaran itu secara tidak langsung.

Penolakan. Hal yang hampir bahkan tidak pernah sekalipun Dev dapatkan dalam hidupnya. Dan jika Eve memang benar menolaknya dengan cara seperti ini, maka Dev tentu tidak akan menyerah. Karena Dev ... terbiasa untuk mendapatkan segala sesuatu yang diinginkan. Termasuk menyelesaikan misinya secepat mungkin.

"Oh, apa ini artinya kau menolak penawaranku, Eve?" tanya Dev dengan memasang senyum miring. Lalu berjalan mendekat untuk mengikis jarak antara dia dan Eve.

Eve membalikkan badan dengan cepat. "Dari awal memang aku tidak pernah menyetujui tawaranmu. Harusnya kau sudah tahu itu, bukan?" Kemudian tatapan Eve berubah menajam pada Dev. "Tidak peduli berapapun kau membayarku, atau motif apa yang tersembunyi dibalik tawaranmu, aku tidak akan pergi dari sini! Karena aku harus melindungi tempat ini!"

Dev pun membalas gertakan itu dengan kekehan samar. "Lalu bagaimana jika aku memaksamu pergi denganku?"

Ditantang seperti itu tentu tidak akan menggentarkan nyali Eve. Justru perempuan itu semakin mendekat.

"Kalau kau ingin memaksaku pergi denganmu, maka aku tidak segan untuk mendepakmu sekarang juga. Dan aku pastikan untuk memberimu pelajaran berharga, agar kau berhenti ikut campur urusanku!"

Eve mulai bersiap dengan kuda-kudanya. Melayangkan satu tendangan pada Dev, yang langsung ditangkis dengan sigap oleh pria itu.

Tidak seperti Eve yang brutal mencoba menyerang sekuat tenaga, Dev hanya menangkis dan bertahan. Bukan bermaksud meremehkan Eve, tapi Dev sendiri juga agak sulit bergerak karena kakinya masih cidera. Dan bukan juga karena Dev ingin membiarkan Eve menyerangnya. Justru sebaliknya.

Seorang petarung professional tidak perlu menyerang secara membabi buta. Dev hanya akan menunggu satu momen tepat untuk menjatuhkan Eve sesuai rencana yang tersusun di kepalanya.

Dan tepat saat Dev melihat celah untuk melumpuhkan Eve, Dev memanfaatkan kelemahan perempuan itu dengan memberikan satu serangan pada punggungnya yang terluka.

Tanpa ampun Dev dengan cepat mendorong tubuh Eve hingga membentur tembok lorong. Juga mengunci tangan Eve diatas kepalanya. Dua kaki Eve juga ditekan kuat oleh himpitan tubuh Dev.

Eve pun akhirnya berhasil diringkus--walau Dev tidak pernah mengira kalau meringkus seorang perempuan bakal lebih lama dari yang dia kira.

BRUK!

"Aku tidak akan bosa-basi lagi. Sekarang kuharap kau bisa menjawab pertanyaanku dengan jujur."

Dev mengarahkan satu tangannya untuk menunjukkan sesuatu di depan Eve. Yaitu foto Yongkie.

"Katakan dimana dia sekarang. Maka aku akan melepasmu dan tidak akan mengganggumu lagi."

Tidak ketinggalan, Dev juga menyiapkan semacam suntikan penghilang kesadaran yang diarahkan langsung ke kulit leher Eve. Berjaga-jaga saja kalau semisal nanti Eve memberontak.

Eve menyipitkan pandangannya saat mengamati foto Yongkie. Lalu membelalakkan bola matanya saat tahu kalau di foto itu adalah orang dia kenal. Bahkan sangat ia kenal.

"A-Aku tidak tahu siapa dia!!" jawab Eve dengan suara bergetar.

Ketara sekali kalau Eve berbohong. Cara bicaranya saja terbata-bata begitu. Keringat dingin Eve juga mulai keluar dari keningnya.

Dev mengembuskan napasnya dalam-dalam. Dia sudah tahu kalau menginterogasi dengan cara langsung seperti ini tidak akan membuat Eve si kepala batu itu berbicara jujur.

Maka pilihan Dev jatuh kepada rencana awal. Membawa Eve tanpa kekerasan dengan melumpuhkan kesadarannya. Menyuntikkan obat itu ke leher Eve dengan cepat.

**

Pagi itu, Eve terbangun oleh gangguan silau cahaya yang menyoroti wajahnya.

Mengingat betapa terangnya cahaya itu, jelas sekali kalau itu bukan cahaya terik dari sinar matahari yang biasa menyapa Eve saat bangun tidur di kamar tidurnya.

Dan benar saja. Saat kelopak mata Eve membuka, ia pun disuguhi oleh pemandangan ruangan serba putih yang sangat asing. Itu sangat menganggu penglihatan Eve yang tidak pernah terbiasa berada ditempat terang. Iris matanya kurang toleran dengan cahaya terang seperti ini.

"Sudah bangun, Eve?"

Sapaan ramah itu yang pertama kali Eve tangkap di telinganya. Bersamaan dengan satu sosok pria yang muncul dari balik pintu.

Walau penglihatannya masih samar, Eve tahu kalau pria yang menyapanya itu adalah orang yang dikenalnya dengan nama Bram, yang tak lain adalah Dev. Dan Eve cukup terkejut, melihat wajah Dev yang berbeda tanpa kumis penyamaran.

Mencoba bangkit, mendadak Eve merasakan tubuhnya seperti tertahan. Dan melihat apa yang menahan pergerakan tubuhnya, makin terkejutlah Eve. Eve baru sadar kalau posisinya sekarang duduk di kursi dalam keadaan tangan dan kakinya yang diikat menempel pada kaki dan lengan kursi.

"Kau ..." Eve menggeram hebat. "Apa-apaan ini? Lepaskan aku sekarang juga!! Sudah kubilang aku tidak kenal pria di foto itu!!"

BRAK!

Dev yang kesal pun tak kuasa menahan diri untuk tidak memukul meja di hadapan Eve.

"Jangan bohong!!" hardik Dev kejam seraya menunjukkan foto Eve dan Yongkie di layar ponsel milik Eve. Bisa dilihat pose dua manusia di foto itu sangat intens. Persis seperti pose sepasang kekasih.

"Kau tidak bisa mengelak lagi, Eve. Jelas kalau kau memiliki hubungan dengan buronan ini! Sekarang katakan, dimana dia!!"

**

To be continued.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status