Perubahan aura perempuan itu seketika dirasakan Dev. Hawa kemarahan yang kuat, bercampur dengan rasa takut. Dev bisa merasakan itu melalui raut ekspresi dari Eve.
"Mengapa cecunguk-cecunguk itu ingin mengincar tempat tinggal kalian? Dan bagaimana mungkin kalian tidak melapor pada pihak berwajib?" tanya Dev to the point dan tegas.
Eve terlihat mengembuskan napasnya dengan sangat gusar. Seolah ada beban besar mengganjal dadanya yang sulit dikeluarkan begitu saja.
"Entahlah." Eve mengangkat bahu, mencoba bersikap santai.
Jeda menarik napas, Eve lantas memalingkan wajah kearah Dev dan melanjutkan ucapannya.
"Lagipula itu tidak penting buatmu untuk tahu, kan? Orang luar sepertimu seharusnya tidak perlu terlibat jauh dengan masalah kami," tandas Eve dingin.
Ucapan dingin itu tanpa sadar menarik satu simpulan senyum di bibir Dev. Karena ini pertama kalinya ada perempuan yang bersikap dingin kepada Dev.
"Aku hanya memberikanmu saran yang wajar, kok. Kalau memang ada penjahat yang mengganggu ketentraman penduduk, sebaiknya kau langsung melapor polisi. Tidak perlu sampai berlagak seperti preman melawan mereka, kan? Itu justru bisa membahayakan orang-orang di sekitarmu lho," ucap Dev santai dan bernada acuh.
Sedikit tertegun dengan ucapan Dev, Eve kembali menarik fokusnya dan menghela napas. Lalu menyunggingkan senyum remeh.
"Mereka bukan cecunguk bodoh sembarangan, Tuan Jagoan. Kau lihat bagaimana mereka menyerangmu tadi, kan?"
Dev tercenung, namun tak urung juga merasa penasaran. Karena jujur, Dev tidak tahu apapun tentang perampok di kota M ini--kota yang berbatasan dengan selatan kota P itu.
'Mungkinkah para perampok itu adalah orang-orang yang sama dengan para komplotan teror bom yang selama ini kami cari? Atau mereka hanya cecunguk biasa dari kota M? Tapi, kalau melihat Eve mengakui kehebatan mereka, sepertinya para cecunguk tidak bisa diremehkan,' batin Dev.
"Sepertinya kau sudah lama berhadapan dengan mereka. Jadi pasti kau tahu idenditas mereka, kan?" tanya Dev tanpa bosa-basi.
Eve mendongak sebentar, memasang senyum sama. "Tidak. Aku tidak pernah mengenal mereka. Mereka selalu mengenakan pakaian serba tertutup."
Eve kembali menunduk. Mengalihkan fokusnya sebentar untuk memberikan sentuhan akhir pada perban di kaki Dev.
"Selesai," katanya kemudian. "Sekarang ayo ke ruang makan--"
Sebelum Eve bangkit dari duduknya, Dev buru-buru menarik tangan perempuan itu.
"Kenapa? Kau ingin aku menggendongmu ke ruang makan?" tanya Eve dengan nada mengejek, tapi juga sedikit bercanda.
Alih-alih menjawab, justru cengkraman tangan Dev mengetat di lengan Eve. Seiring dengan tatapannya yang menajam.
"Kembalikan ponselku, atau tanganmu akan hancur."
Mata Eve mengerjap sekilas. Namun setelahnya ia pun tersenyum lebar. Terlihat wajahnya sama sekali tidak ada rasa takut sedikitpun mendengar ancaman Dev.
Beberapa detik lalu, Dev baru menyadari kalau ponsel yang ia sembunyikan di balik kantong jaket dalamnya itu tiba-tiba raib. Dan Dev jelas mengira kalau Eve lah yang mengambilnya. Tepat saat mereka berdebat dalam jarak dekat--beberapa menit lalu.
Perempuan ini ... tangannya licin juga. Saking lihainya, Dev tidak bisa merasakan sentuhan Eve saat mengambil ponselnya. Entah apa modus perempuan itu mengambil ponsel Dev, tapi tindakannya itu tidak bisa dimaafkan. Eve ternyata kucing pencuri yang licik.
Senyuman Eve yang manis itu perlahan berubah menyeringai. Lalu manik matanya melirik ke area bawah tubuhnya. Ternyata ponsel itu sudah ada di selipan tali ikat pinggang kecil yang melingkar di paha dalamnya. Itu tali ikat pinggang yang biasa digunakan Eve untuk menyembunyikan senjata tajam seperti pisau.
Maka makin geramlah Dev. Dia merasa sangat dipermainkan. Lagi-lagi perempuan itu bertingkah menyebalkan. Entah bermaksud menggoda jiwa lelaki Dev atau bukan, Dev sangat membenci tingkah Eve yang menurutnya sungguh murahan ini.
"Ambil saja. Silahkan," tantang Eve.
Tentu saja, Dev yang egonya merasa tersentil itu berusaha untuk tidak gentar. Menjawab tantangan itu dengan memberikan remasan kuat pada paha bawah perempuan itu dengan tangannya.
"Arrgh!"
Lalu dengan gerakan cepat, Dev menerobos dress itu dari bawah. Berusaha meraih ponsel itu dari paha dalam Eve.
Tindakan tidak terduga itu sontak membuat Eve bergerak melawan. Dan sebelum Dev berhasil meraih ponsel itu duluan, tangan Eve pun bergerak menahan tangan Dev agar tidak lebih masuk. Lalu satu tangan lainnya mengambil ponsel itu dengan cepat. Tapi karena tangan Eve selip, ponsel itu pun jatuh hingga layarnya retak.
KRAK!
"Sial!" geram Dev dengan wajah menegang. Lalu mengambil ponsel itu dengan cepat.
"Sebenarnya apa maumu??" bentak Dev kasar. Sementara satu tangannya kembali mencengkram tengan atas Eve lebih keras.
Sesaat Eve meringis kesakitan. Tapi itu tidak berlangsung lama kaeena setelahnya Eve justru memasang seringaiannya dan berkata.
"Lalu bagaimana denganmu? Apa maumu sebenarnya datang kemari?" tanyanya sinis. "Seorang reporter dengan kemampuan bela diri diatas rata-rata, datang kemari repot-repot untuk mengejarku. Kau pikir aku tidak merasa aneh dengan itu?"
Dugaan Dev tidak meleset. Eve tentu sudah mencurigainya. Tapi tentu saja, Dev sudah menyiapkan jawaban untuk itu.
"Kalau kau memang dari awal sudah curiga seperti itu, kenapa kau malah menyelamatkan dan membawaku kemari?" tanya Dev dengan sinis.
"Hemph!" Eve mendengus remeh. "Sederhana saja. Komplotan perampok itu biasanya suka menyerang orang asing mencurigakan yang bukan dari kota ini. Jangankan penduduk sipil biasa. Bahkan polisi sekalipun berani mereka jarah semua. Tanpa terkecuali. Jadi dari pada kau tertangkap oleh mereka dan membuatku repot, lebih baik kubawa kau kesini."
Dev menggeram. "Kau--"
Ucapan Dev kemudian teeputus saat Eve tiba-tiba bergerak mendekat. Mengikis jarak pandangnya dengan Dev hingga tersisa beberapa senti saja.
"Tapi karena kau tidak mau membayar hutang budi atas jasaku menolongmu tadi, sudah seharusnya kau membayar dengan barang yang kau punya, kan?"
Sejenak Dev menahan napas sebelum akhirnya ia menarik satu simpulan senyum miring sambil berkata. "Dasar kucing pencuri kecil yang licik. Lalu apa bedanya kau dengan para perampok itu--"
CKLEK!
Tidak terduga sebuah suara pintu ruangan terbuka. Memaksa mereka untuk menjauhkan diri dan menunda perdebatan mereka.
"Kenapa kalian lama sekali? Ayo, anak-anak lain bahkan sudah selesai makan beberapa menit lalu." Ternyata itu Nenek panti.
Eve yang melihat kedatangan Nenek itu refleks mengubah jati dirinya kembali seperti Eve yang Nenek itu kenal. Menjadi wanita dewasa yang penurut dan lemah lembut.
"Baik, Nek."
Ketiganya pun kemudian pergi ke ruang tengah, tempat jamuan makan malam Nenek.
Ketika masuk lebih dalam ke rumah itu, Dev baru mengerti kalau ruangan yang ia masuki tadi letaknya berada di belakang rumah. Mungkin ruangan itu semacam ruang markas? Bisa jadi.
Untuk ukuran rumah panti, rumah ini terbilang sangat luas. Tidak heran, bangunan rumah model jaman penjajahan memang biasanya seluas itu.
Dinding-dinding di belakang rumah panti memang dari kayu. Namun semakin berjalan kedalam, dinding sekitar sana pun berubah menjadi dinding bata pada umumnya.
Model rumahnya pun cukup kuno dan sudah banyak kerusakan. Mungkin dimakan usia atau ... bekas pertempuran? Dev belum bisa memastikan.
'Apa istimewanya panti ini sampai dia harus mempertahankannya mati-matian? Bahkan para begundal itu pun mengincar tempat ini! Seperti ada harta karun emas saja disini!' Dev membatin penasaran sembari manik matanya memicing setiap sudut di rumah panti itu. Berharap ada satu dua petunjuk mencurigakan.
Sesampainya di meja makan, Dev dijamu cukup baik dan menyenangkan. Makanannya pun juga sangat enak.
"Oh iya, Pak Fotografer." Nenek itu mulai membuka pembicaraan pada Dev. "Kalau boleh tahu siapa nama Anda? Dan mulai kapan Anda kenal dengan Eve?"
Dev terhenyak. Baru sadar kalau dari tadi dia belum memperkenalkan diri sejak awal bertemu dengan mereka.
Dan Eve sendiri juga tidak terpikir untuk menanyakan idenditas nama Dev. Padahal mereka sudah berdebat banyak.
"Ah, maaf. Perkenalkan, nama saya Bram." Dev memperkenalkan diri dengan nama pers samarannya.
"Saya dari perusahaan pers di kota J." Dev sedikit membungkukkan badan. "Kebetulan saya sedang mencari model untuk halaman fashion di majalah Beauty. Dan saya sangat tertarik dengan ..." Ia melirik sedikit kearah Eve sembari menyeringai. "--visual kecantikan langka dari seorang perempuan albino seperti Eve."
Sekilas kelopak mata Eve refleks tampak mengerjap. Namun setelahnya dia memasang ekspresi heran, seolah memperlihatkan ketidakpercayaannya saat mendengar ucapan sandiwara Dev itu.
'Hooo ... Ternyata dia menyadari kalau aku albino? Dia tidak bodoh rupanya!' batin Eve sinis.
Awalnya Dev memang ragu dengan ucapannya itu. Tapi setelah mengamati seluruh tubuh Eve dengan jelas tadi, Dev sudah bisa menduga kalau Eve adalah seorang albino. Dan lagi, Dev juga tahu kalau seorang albino terkadang perlu menutupi tubuhnya dengan pakaian panjang agar tidak terkena cahaya matahari langsung.
"Oh baguslah! Akhirnya ada mata yang jeli melihat kecantikan unik Eve! Kalau begitu sebaiknya kau terima saja, Eve! Itu pasti akan menyenangkan!" sahut Nenek itu senang.
Hm, sepertinya Sang Nenek tidak tahu sama sekali dengan konflik perampok yang mengincar rumah panti. Terbukti, beliau sama sekali tidak merasa khawatir dan malah memperbolehkan Eve pergi.
"Hah?" Bola mata Eve melotot kaget, tapi sedetik kemudian dia cepat menutupi ekspresinya. "Oh, um ... Aku tidak bisa pergi, Nek. Siapa yang menjaga Nenek dan anak-anak jika aku pergi? Lagipula aku--sama sekali tidak tertarik," tolaknya halus.
Kerutan di dahi Nenek bertambah. "Aneh. Bukannya menjadi model adalah impianmu sejak kecil?" tanya beliau heran.
Dan kontan saja wajah Eve memerah. Malu karena merasa terjebak oleh sandiwaranya sendiri. Dan pintarnya, Dev bisa memanfaatkan kesempatan sandiwara Eve dan menjadikannya senjata untuk membawa pergi Eve tanpa kekerasan sesuai rencananya.
"Ah, benarkah?" Dev menyeringai. "Kalau begitu kau harus ikut, Eve! Kita bisa pergi secepat mungkin! Perusahaan pasti akan 'membayarmu tinggi' karena kau memiliki kecantikan yang unik!" ucap Dev sok antusias, lengkap dengan wajah yang dibuat berbinar-binar. Serta memberi penekanan pada kata 'membayar tinggi'.
Sejauh ini sandiwara Dev sudah cukup bagus. Walau jujur, sebenarnya perut Dev dari tadi terasa mual karena terpaksa memuji-muji perempuan itu.
'Kalau bukan karena misi pekerjaan, ogah banget muji-muji maling sial itu! Ewh!' maki Dev membatin.
"Membayar tinggi?" Tiba-tiba Eve menyahut.
Dan sesuai dugaan Dev, strategi iming-imingnya itu bisa memancing ketertarikan Eve. Karena tentu saja, kalau Dev tidak salah menebak, Eve pasti tidak akan tahan dengan tawaran yang berkaitan dengan uang. Setiap pencuri pasti inginkan uang, kan?
**
To be continued."Jadi bagaimana, hum? Kalau kau setuju, besok kita bisa berangkat." Dev sedikit mendekat, lalu mencondongkan tubuh kepada Eve yang duduk di hadapannya. Memasang senyum ramah yang Eve yakin kalau itu adalah senyum pencitraan Dev. Sungguh, rasanya Eve ingin melempar gelas minum yang ia genggam ke wajah Dev--kalau seandainya tidak ada Neneknya disitu. "Aku--" "Nenek, kuenya sudah jadi!" Tiba-tiba muncul satu anak perempuan remaja membawa baki berisi beberapa kue kering yang sepertinya baru diangkat dari pemanggangan di ruang dapur. Nenek lantas terkekeh sekilas, lalu hendak bangkit dari duduknya. Lalu meraih baki itu untuk disuguhkan kepada Dev. "Ini kue buatan nenek. Baru matang. Silahkan dinikmati selagi kalian mengobrol--" "Sepertinya tidak perlu, Nek." potong Eve cepat. "Alangkah baiknya Pak Fotografer harus cepat pulang sebelum larut malam. Akan sangat bahaya diluar saat malam." Lalu Eve menoleh kepada Dev. "Benar begitu kan, Pak Fot
Tatapan nyalang Eve seketika melemah. Tergantikan oleh kabut nanar. Itu saat Eve melirik lencana kepolisian yang ditunjukkan oleh Dev. Dev memang sengaja menunjukkan lencana itu agar dia terkesan punya wewenang untuk menanyakan keberadaan Yongkie pada Eve. Sebenarnya lencana itu bukan punya Dev. Tapi anggaplah Dev menunjukkan lencana itu untuk kamuflase, menutupi idenditas agen rahasianya. Dan tidak seperti sebelumnya, kali ini Eve hanya terdiam. Tidak juga mengelak, dan tidak pula merengek minta dilepaskan seperti tadi. Barangkali dia masih kaget setelah mengetahui idenditas Dev. Melihat Eve sudah jauh lebih tenang, Dev pun menghelakan napasnya. "Eve, dengar." Suara Dev seketika berubah melembut. "Kalau kau masih bersikeras melindungi kriminal seperti dia, itu sama saja kau membahayakan warga negara kita. Jangan hanya karena mencintainya, kau berusaha melindungi Yongkie. Itu bukan tindakan yang benar." Usai Dev mengatakan itu, kepala
Entah sudah berapa jam Eve tidak sadarkan diri. Karena di detik saat ia membuka mata, Eve merasakan sinar matahari menerpa wajahnya. Mungkin saja Eve pingsan semalaman, atau bahkan sudah terlewat beberapa hari. Siapa yang tahu? Karena bisa saja obat bius yang disuntikkan padanya itu memiliki efek yang cukup lama. Dan benar saja. Ketika Eve menoleh kesamping, dia melihat jam digital berkedip yang terletak diatas nakas. Ada tanggal yang tertera disana. Tanggal tiga belas. Itu artinya Eve sudah pingsan hampir dua hari. Di waktu itu pula, Eve baru menyadari ada satu keanehan. Bukankah dua hari lalu Eve dibawa oleh Dev, disekap dan didudukkan di ruangan serba putih? Tapi sekarang ... Eve malah berada dalam posisi tidur di atas ranjang. Tapi tetap, ruangan disini serba putih. Dan hanya ada dia sendiri, ranjang, dan nakas. Itu saja. Hendak turun dari ranjang itu, mendadak satu ingatan muncul di benak Eve. Itu bayangan tentang mimpinya semalam. Mimpi itu cuku
Ternyata memang benar yang dikatakan mereka. Penjagaan di gedung itu sedang diperlemah. Eve merasakan kalau CCTV di sepanjang lorong di lantai tempat ruangan Eve berada itu tidak aktif. Karena kalau memang aktif, sudah dari tadi para penjaga memergoki Eve. Atau mungkin bisa saja para penjaga CCTV juga bersekongkol dengan para agen untuk mengabaikan penjagaan. Eve masih belum bisa memastikan itu, dan memilih untuk tidak peduli. Dari pada memikirkan semua itu, Eve lebih baik mencari cara agar bisa keluar dari sini. Sambil menunggu dua pria itu keluar dari toilet. "Eh bentar deh. Kayaknya tadi pintu ini nggak nutup deh! Apa ada orang? Tapi kok aku nggak denger langkah orang masuk, ya?" heran salah seorang pria itu seraya mengetuk-ngetuk pelan bilik yang ditempati Eve bersembunyi. "Hallo???" 'Cklek cklek!' Satu pria lainnya kemudian mencoba membuka pintu bilik itu. "Dikunci dari dalam. Berarti memang ada orang. Tapi kok sepi ya?" Merasa curiga, du
Mustahil bagi Eve untuk kabur saat ini. Tapi dia pantang menyerah. Sebisa mungkin Eve menyeret satu kakinya yang terluka itu, berjalan lambat dan terseok-seok. Mencoba peruntungannya, Eve mencoba untuk nekat. Berencana kabur dengan menjatuhkan dirinya pada tenda atap yang kebetulan berada di bawah gedung yang dipijaknya. Mungkin agak beresiko, tapi itu adalah cara yang paling cepat untuk menghindar dari Dev saat ini, mengingat kondisi kakinya tidak begitu memungkinkan untuk turun melalui tangga atau melompat. Tapi Eve kalah cepat. Dev sudah lebih dahulu menarik bagian belakang pakaian Eve. Dan menghempaskan kembali tubuh perempuan itu hingga kembali ke posisi semula. "Berhentilah melawan dan menyusahkanku, Eve! Atau aku tidak akan segan lagi padamu!" hardik Dev. Bola mata Eve seketika mengabur. Masih dalam posisi tengkurapnya. Menangis, antara menahan rasa sakit dari kaki, dan marah karena ucapan Dev barusan. "Kalau kamu tidak ingin susah, leb
Tanpa mengucap sepatah kata pamit pun, Eve bergegas pergi, tepat setelah Dev membukakan jalan untuknya. Tapi tentunya Eve tidak bisa lari cepat, karena kakinya yang terluka. Kalau boleh jujur, Eve sebenarnya tidak tega meninggalkan Dev bertarung sendirian. Apalagi teman-teman Dion itu banyak dan bersenjata. Sementara Dev hanya menggunakan satu pisau kecil saja, sisanya dia harus pakai tangan kosong dengan bela dirinya. Dilihat dari manapun, pertarungan ini sangat tidak seimbang. Walaupun Eve tahu kalau Dev itu kuat, tapi kalau menghadapi orang sebanyak itu rasanya ... akan mustahil jika Dev mengalahkan semua sekaligus. Karena jika ada satu orang musuh yang jatuh, maka yang lainnya akan berbondong-bondong menyerang membela temannya. Dan jika teman musuh itu sudah ditumbangkan Dev, pasti teman yang tumbang tadi sudah agak pulih dan melanjutkan untuk melawan Dev. Begitu seterusnya. Sudah dipastikan kalau pertarungan tidak akan ada habisnya."Ohok!!" D
"Ini bukan jalan menuju panti. Kau tidak sedang berusaha membawaku pergi lagi kan?" Eve dan Dev sudah sampai di kota M beberapa menit lalu. Dan kini mereka mengendarai mobil pribadi Dev yang tadinya terparkir manis di dekat kawasan bandara. Dan Eve terkejut, kalau Dev membawa mobilnya ke jalan yang bukan seharusnya. Wajar kalau sekarang Eve merasa sangat khawatir dan curiga kalau Dev membawanya pergi lagi. "BRAM!" Eve kesal sekali diabaikan begini. Dev tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Malah fokus terus menyetir. Hingga ... CKIIITTT! Dev mendadak memberhentikan mobil di pinggir jalan. Lalu terdiam. Mengambil dua tiga lembar tissue dan mengusapkan ke mulutnya yang ternyata kembali mengeluarkan darah. Ah, ya. Eve ingat kalau Dev sempat mendapatkan tendangan yang cukup keras tadi di bagian perutnya. Dev pasti sangat kesakitan sekarang. Dan pantas saja Dev tidak banyak bicara. Mungkin dia sedang menahan sakitnya. "B-Bram ... ka
Untuk sementara waktu, Dev akan tetap berada di kota M. Memastikan panti dan juga seluruh wilayah disini aman dari para perampok yang meresahkan warga. Dev mengambil tempat kamar sewa yang dekat dengan panti tempat tinggal Eve, tepat di depan panti. Sementara para agen pengaman mengambil mess di perbatasan kota sebagai tempat berkumpul mereka. Dev sendiri lah yang memimpin mereka secara langsung untuk upaya penjagaan wilayah, dan tentunya sudah mendapatkan izin penuh dari Pak Marco. Apalagi mengingat para perampok itu bukan sembarang penjahat tanpa keahlian. Sudah pasti Pak Marco akan menugaskan Dev dalam misi ini. Tapi tetap saja, Pak Marco menugaskan pendamping bagi Dev. Dan lagi-lagi Budiman yang dikirim oleh beliau. Dev pun tidak begitu mempermasalahkan partnernya siapa, asalkan dia cekatan dan cukup kuat untuk mengimbanginya. Dan sepengetahuan Dev, Budiman cukup memenuhi standarnya. Walau kadang Budiman itu agak ... playboy. Itulah sikap Budiman yang cuk