Share

3. Tawaran Menjadi Calon Agen Intelijen?

"Tunggu Pak!" Dev menahan langkahnya ditempat sebelum mencapai ambang pintu keluar.

"Apa lagi?"

Kepala Dev lantas meleneng ke arah Bapak Kos yang berdiri tidak jauh dari pintu. Menampilkan sorot mata minta belas kasih kepada beliau.

"Pak, tolong saya ..."

Dahi Pak Kos menyerngit. "Ngapain? Orang kamunya yang salah! Bawa-bawa sabu!"

"Tapi itu bukan punya saya Pak! Saya aja nggak tahu kalau barang itu di lemari! Saya kan baru pindah!!" elak Dev.

"Hei!" Pak Polisi kembali mendorong Dev. "Kalau kamu terus merengek seperti ini, kamu malah makin kita curigai loh!"

"Benar. Kalau kamu memang bukan pemilik sabu itu, mustinya kamu nggak takut dibawa untuk diperiksa lebih lanjut! Kami hanya mau tes urin kamu untuk lebih memastikan!" timpal polisi satunya.

Dev tercenung. Satu pikiran menduga sesuatu di benaknya.

"Tunggu sebentar." Dev lantas menoleh kearah Pak Kos. "Anda sekalian mungkin menemukan sabu itu di kamar saya. Tapi kan saya baru pindah. Bisa saja ini milik anak kos sebelum saya. Dan bisa saja ini milik Pak Kos."

DEG!

Tanpa disadari, gesture tubuh Pak Kos menegang. Matanya mengerjap dua kali. Entah karena shock atau tidak terima dengan tuduhan itu. Tapi yang pasti, air mukanya langsung berubah marah.

"Kamu nuduh saya? Yang bener aja! Jelas-jelas sabu itu diketemukan di kamar kamu, kan?"

Dev memutar bola matanya, berpindah menyorot ke pak polisi berjanggut. Lalu menerbitkan seringaian kepada beliau.

"Tuh, Bapak denger sendiri. Bapak Kos aja lebih tahu kalau barang narkotik itu jenisnya sabu. Padahal Pak polisi belum ngasih tahu kan?"

Semua yang ada disana seketika membeku. Dalam hati masing-masing membenarkan ucapan Dev. Dari tadi Pak polisi sama sekali belum memberitahu jenis narkotika itu pada siapapun. Termasuk pada Pak Kos.

"Ya saya nebak aja! Kebetulan pas bener! Kamu nggak boleh su'udzon!" hardik Pak Kos tidak terima.

Giliran ketiga Pak polisi itu melirik Pak Kos dengan tatapan menyelidik. Tapi itu tetap tidak membuat gentar Pak Kos.

"Baik!! Silahkan saja kalau kalian mau menggeledah rumah saya!! Saya nggak takut!!" tantang Bapak Kos itu.

Helaan napas Pak polisi berjanggut itu terdengar pelan. Katup matanya memejam sebentar, lalu membuka untuk kembali menatap dalam pada Pak Kos.

"Baiklah. Bapak silahkan ikut kami juga untuk melakukan tes urin."

Sontak bola mata Pak Kos membelak lebar. "Lah? Kenapa sekarang malah bawa-bawa saya?"

Dua polisi yang dibelakang Dev itu mengangguk bersamaan. Lalu saling memberi isyarat untuk menarik Pak Kos juga.

"Hanya tes urin saja kok, Pak. Jadi Bapak nggak usah khawatir."

Untuk sesaat Pak Kos tercenung. Lalu menarik napas panjang.

"Baiklah. Saya bersedia!"

Tepat saat Pak Polisi hendak menarik lengan Pak Kos, secara tidak sengaja tubuh tambun beliau menyenggol etalase tempat baju-baju jualan milik istrinya yang terletak di belakang punggungnya.

BRUK! 

Tak ayal, tumpukan lipatan baju dalam bungkusan plastik itu pun tumpah sebagian.

Tanpa menghiraukan Pak polisi yang menarik bahunya agar berdiri, Pak Kos malah terburu-buru memasukkan pakaian itu dan menatanya kembali.

Dev yang melihat pemandangan itu pun menyipitkan kelopak matanya. Memicing kepada tumpukan pakaian itu. Ada yang aneh dengan kaos-kaos itu. Ada beberapa bercak putih yang sangat tipis.

"Tunggu sebentar, Pak!"

Dev mendekati Pak Kos. Berusaha meraih salah satu bungkusan pakaian di etalase itu. Lalu membawanya keluar menuju tempat kran pancuran taman.

"Hei! Mau apa kamu sama baju dagangan saya! Jangan macam-macam kamu!" Suara bariton Pak Kos terdengar makin lantang saat beliau juga ikut berjalan keluar mengikuti Dev.

Mengabaikan omelan itu, Dev langsung mengeluarkan satu pakaian kaos biru cerah polos itu dari plastiknya. Lalu merentangkan kaos itu dan membasahinya dengan air kran mengalir sampai basah kuyup.

Kain basah itu kemudian diperas, dan air perasan itu ditampung pada satu ember kosong yang memang ada di bawah pancuran kran itu.

Sementara Dev melakukan semua itu, ketiga polisi itu hanya memandangi Dev dengan tatapan antisipasi. Sorot mata mereka terarah pada satu tujuan.

Pada hasil perasan air di ember itu.

"Ini ..."

Serempak ketiga polisi itu mendekat ke Dev. Memperhatikan air perasan ember yang berbentuk aneh. Sedikit berbusa. Itu sesuatu yang tidak wajar.

"Tono!" panggil Pak polisi berjanggut pada polisi muda. Kepalanya lantas menoleh. "Tolong kau periksa air itu!"

"Siap, Pak!" Polisi muda itu menurut. Mulai mengenakan sarung tangannya dan mempersiapkan alat tes.

Namun tidak disangka, Pak Kos menendang ember itu.

BRUK!

Sontak Dev melotot. "Pak! Apa yang--"

Suara Dev terputus tatkala mendengar suara menggelegar. Persis seperti suara ledakan bom.

DUAAARR!

Refleks ketiga polisi dan Dev tiarap. Dengan kedua tangan yang berpegang pada tengkuk mereka masing-masing.

Ternyata sumber ledakan itu tidak jauh dari sana. Sangat dekat. Bahkan indra penciuman Dev bisa menangkap aroma gosong. Bertepatan dengan itu, mulai terdengar suara histeris dan derap langkah warga yang sangat gaduh.

"Ada bom! Ada bom!" teriak mereka panik.

Disituasi keos itulah, tidak terduga Pak Kos melancarkan serangan kepada Dev sengan cepat. Menancapkan sekop taman berujung tajam ke punggung Dev. Seketika darah segar perlahan mengalir dari sana. Menimbulkan aroma amis yang menusuk hidung.

"Aaaarrrgh!" Dev mengerang bersamaan dengan tubuhnya yang ambruk kedepan karena tidak sanggup menahan rasa sakit yang luar biasa.

Polisi berjanggut yang melihat itu pun segera melakukan tindakan cepat untuk membekuk Pak Kos. Sementara polisi lain membawa Dev ke rumah sakit.

**

Beberapa jam pasca operasi, Dev akhirnya membuka mata. Yang pertama Dev rasakan saat kesadarannya pulih adalah rasa nyeri di punggungnya. Ia pun meringis.

Berusaha mengalihkan rasa sakit itu, Dev mencoba mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Lalu satu dua bayangan ingatan pun mulai muncul dalam benaknya. Tentang bagaimana Dev bisa terbaring di kamar perawatan ini. Dan bagaimana Dev bisa mendapatkan luka punggung.

Bertepatan dengan itu, sepasang daun telinga Dev menangkap suara pintu dibuka. Lalu Dev pun menoleh. Mendapati satu pria dewasa berjaket hitam yang tidak ia kenal. Seketika Dev memasang gesture waspada.

"Tenang. Saya Marco. Anggota Intel dari Kepolisian." Bapak itu lantas menunjukkan tanda pengenal pada Dev.

"Siapa nama kamu?" tanya beliau kemudian.

Dev pun menjawab, "Devlin, Pak."

Perlahan Dev mengendurkan tubuhnya saat merasa Bapak tersebut bukanlah ancaman.

"Kamu tidak usah khawatir. Kamu aman sekarang disini."

Pak Marco lantas beringsut mendekati Dev, menarik kursi pengunjung untuk duduk.

"Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa sudah merasa lebih baik?"

Dev menjawab dengan satu anggukan kecil. "Alhamdulillah, Pak."

Senyum kelegaan terbit sekilas di garis bibir Pak Marco.

Sekilas ingatan Dev tentang insiden suara bom yang terdengar sebelum ia ditusuk oleh sekop itu muncul. Menimbulkan pertanyaan yang terlontar dari bibirnya.

"Ledakan itu ... Saya sempet denger ada suara bom--"

"Kamu nggak perlu mikirin itu," potong Bapak itu. "Itu cuma bom pengalih dari komplotan pengedar narkotik. Tidak ada korban jiwa. Kami sudah ditangani itu dengan baik. Yang penting kamu selamat."

Dev mengangguk. Walau sebenarnya dalam hati dia cukup penasaran dengan bom itu.

"Oh iya Dev ..."

Suara Pak Marco membuat Dev terkesiap sejenak. Kepala Dev pun menoleh kepada beliau.

"Saya tadi dengar cerita dari tim penggerebek, katanya kamu yang menemukan kandungan sabu di baju dagangan istrinya Pak Kos ya?"

"Benar, Pak."

Pak Marco manggut-manggut. "Saya cukup terkesan. Anak seusia kamu ternyata cukup mengerti dengan modus penyelundupan narkotika seperti itu. Matamu cukup jeli bisa mengenali endapan sabu yang tertempel di pakaian warna terang itu."

Pujian itu sontak memancing Dev untuk melontarkan kekehan pelan. "Kebetulan saja itu, Pak. Hehehe."

Jeda beberapa detik dalam kesunyian sesaat, ingatan Dev tentang hal lain pun mulai merasuki benaknya. Bayangan kalau dia hendak ditangkap saat ia difitnah Pak Kos sebagai pemakai sabu.

Dari ingatan itulah Dev menduga kalau jangan-jangan Pak Marco ini kemari hanya untuk menunggu kesembuhannya, sesudah itu Dev akan ditangkap. Dugaan negatif itulah yang membuat Dev tergerak untuk bangkit.

"Kamu mau kemana?"

Masih sedikit meringis sambil memegangi punggungnya, Dev pun menjawab dengan asal.

"Saya mau pulang."

"Sebaiknya kamu istirahat dulu, Dev," saran beliau seraya menahan Dev untuk kembali berbaring.

Dev terpaksa menurut, karena merasakan sakit di punggungnya yang kembali kambuh.

Beberapa menit setelah Dev cukup tenang, Pak Marco pun bangkit. Mengambil sesuatu dari dalam lemari di dekat tempat tidur.

"Kemarin tim menemukan ini di dalam tasmu."

Dev terkejut saat Pak Marco menyodorkan benda yang ternyata itu adalah brosur beasiswa Sekolah Kepolisian miliknya.

"Kau ingin masuk Sekolah Kepolisian?" tanya beliau.

Dev mengangguk. "Iya, Pak. Saya ke kota J untuk daftar beasiswa Sekolah Kepolisian."

Jawaban Dev itu membuat lengkungan di bibir Pak Marco kembali merekah.

"Kalau saya boleh memberi kamu penawaran. Bagaimana kalau kamu mendaftar di beasiswa sekolah intelijen? Saya pikir kamu bisa mengembangkan kemampuanmu dengan bergabung disana. Lalu setelah lulus, kamu punya kesempatan untuk menjadi bekerja menjadi agen Intel Negara. Bagaimana?"

Tawaran itu sontak menimbulkan sorot mata melotot dari Dev sebagai ekspresi ketidakpercayaannya. Yang benar dia ditawari masuk di sekolah keren itu?

"Sekolah intelijen?"

**

To be continued.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status