Kebahagiaan tampaknya sedang berpihak pada Rosa. Manajernya baru saja menyampaikan bahwa MAISON sedang mencari wajah baru untuk kampanye koleksi akhir tahun mereka. Dan, kabar baiknya, sebelum manajernya turun tangan mendapatkan proyek itu, pihak MAISON sudah lebih dulu menghubungi agensinya. Mereka meminta agar kerja sama dengan Rosa dipertimbangkan kembali.
“Kau memang punya daya tarik yang luar biasa, Rosaline,” puji sang manajer sambil merapikan letak kacamatanya.
Sebelah sudut bibir Rosa terangkat, “Anggap saja aku cukup beruntung dalam hal itu.”
Dengan anggun, ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi ruang meeting. Sekelebat pikiran melintas, menancap cukup dalam, dan ia memutuskan membaginya dengan wanita di hadapannya.
Pita emas digunting serempak, disambut tepuk tangan meriah dan kilau confetti yang berhamburan di udara. Siang itu, gerai MAISON resmi berdiri di tengah-tengah kemewahan Grand Aurora.Lampu kristal berkilau dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke interior butik yang dirancang dengan nuansa putih gading dan emas yang elegan. Barisan kamera berjejer rapi, menyorot setiap momen. Para tamu undangan memenuhi ruangan dengan percakapan hangat dan gelas sampanye yang beradu ringan.Para petinggi Grand Aurora, perwakilan MAISON dari Paris, hingga artis-artis papan atas tampil memukau dalam balutan busana terbaik mereka. Namun, sorotan sesungguhnya jatuh pada Rosa.Kehadirannya bagai pusat gravitasi. Dia tampil anggun dalam balutan koleksi terbaru MAISON: gaun satin berwarna midnight blue dengan potongan berbentuk hati di bagian dada, dihiasi detail kristal halus yang berkilauan setiap kali ia bergerak. Potongan gaunnya jatuh sempurna mengikuti lekuk tubuhnya hingga ke lantai, memberi
“Apa karena sekarang kau sudah diakui Geral, kau jadi berani memintaku menemuimu?” Rosa menyunggingkan senyum sinis, sorot matanya menancap tajam pada Yunda.“Saya tidak akan minta bertemu kalau Anda tidak lebih dulu mendatangi keluarga saya,” jawab Yunda, berusaha terdengar tegas.Rosa menyeringai, bersedekap dengan angkuh.“Ah… jadi aku bisa ketahuan secepat itu, ya?”“Mau apa Anda menemui Ibu saya?”“Aku hanya penasaran,” suara Rosa terdengar pelan, tapi beracun. “Ingin tahu wanita seperti apa yang berani mengikat Geral diam-diam.”Matanya menelusuri Yunda dari ujung kepala hingga kaki dengan senyum yang kian sinis, “Sepertinya aku bisa sedikit mengerti kenapa Geral sama sekali tidak punya nyali memperkenalkanmu pada keluarganya.”Yunda menelan ludah, berusaha menahan gejolak di dadanya. Tiba-tiba ia merasa terlalu kecil di hadapan Rosa.“Itu urusan kami berdua. Tidak perlu Anda campuri.”Rosa terkekeh, sama sekali tidak terlihat tersinggung.“Kalau aku jadi dirimu, lebih baik aku
Lantai khusus luxury brands di Grand Aurora sudah lengang malam itu. Semua butik telah tertutup rapat. Hanya deretan papan penutup sementara di depan gerai baru yang menjadi pusat keramaian.Dari celah terbuka, cahaya lampu kerja memancar terang. Suara bor listrik, dentuman palu, dan instruksi singkat saling bersahutan. Beberapa teknisi terlihat merapikan kabel lampu sorot yang digantungkan di plafon tinggi, sementara yang lain lalu-lalang mengangkut boks-boks besar berisi koleksi MAISON.Geral berdiri dengan jas masih melekat di tubuhnya meski dasinya sudah longgar. Sebelah tangannya terselip di saku, sorot matanya tajam menelusuri setiap sudut yang sedang dikerjakan. Di sampingnya, Yunda mencatat cepat di tablet, berusaha menangkap setiap detail yang ia sebutkan.“Pak Direktur, signage utama sudah tiba di gudang siang tadi,” lapor seorang supervisor. “Masih sementara perakitan. Kemungkinan baru bisa dipasang besok “Geral mengangguk singkat, “Pastikan selesai paling lambat besok pag
Jeffrey menyambut dengan senyum lebar ketika Rosa menjejakkan kaki ke kantornya.“Aku sebenarnya ada rapat dengan tim produksi, tapi demi dirimu, aku menundanya,” ujar lelaki itu bangga.Rosa tidak peduli pada rayuan itu. Dia mengeluarkan sebuah map dari tas dan meletakkannya di atas meja. Di halaman depan terpampang beberapa foto seorang gadis cantik.“Aku ingin kau mendekatinya,” ucapnya lugas. “Dia seorang konten kreator rendahan. Kalau kau memberinya iming-iming ketenaran, aku yakin dia akan tergiur.”Jeffrey menyipitkan mata, lalu mulai membolak-balik lembar demi lembar data perempuan itu. Dari raut wajahnya, Rosa tahu ia tertarik.Meski belum pernah bertemu secara langsung, Rosa akui Winda memang cantik. Visualnya memenuhi standar para pemburu bintang seperti Jeffrey.“Kau ini aneh, Sayang,” goda Jeffry sambil menutup map sebentar. “Kau paling benci kalau aku main-main dengan perempuan lain. Tapi sekarang kau malah menyodorkan mangsa padaku.”Rosa menyeringai dingin, “Lucu sekal
Geral meletakkan cangkir kopinya kembali ke meja, lalu menyalakan layar ponsel untuk mengecek jadwal hari ini sebelum meninggalkan ruang makan.“Permisi, Tuan.” Seorang pelayan menghampiri dengan sopan. “Apakah sarapan untuk Nyonya mau diantarkan ke kamar seperti kemarin, atau disiapkan di sini saja, Tuan?”Kening Geral sedikit berkerut. Sejak kejadian malam itu, ia jarang pulang ke rumah dan memilih tidak peduli dengan apa pun yang dilakukan Rosa. Namun, dari penjelasan pelayan, ia baru tahu kalau Rosa sudah dua hari tidak keluar kamar. Makanannya selalu diantar ke sana, bahkan sempat meminta obat pereda nyeri.Geral sebenarnya enggan ambil pusing, tapi sebagai tuan rumah ia juga tidak bisa sepenuhnya mengabaikan.“Biar saya saja yang antar ke kamar,” ucapnya.Bersama senampan makanan, ia pun menaiki tangga menuju kamar dengan niat sekadar menengok keadaan wanita itu sebelum berangkat ke kantor.Geral mengetuk pintu kamar penghubung. Tak lama, suara Rosa terdengar dari dalam.“Letakk
Dengan langkah berat, Rosa memasuki ruang kerja ayahnya. Aroma kayu tua bercampur asap cerutu langsung menyergap inderanya, menambah beban yang sudah menyesakkan dada. Lelaki berpostur besar itu duduk tegak di balik meja kayu jati ukir. Sorot matanya dingin tanpa sedikit pun senyum.“Duduk,” ucapnya singkat. Dia bangkit untuk berpindah duduk ke sofa.Rosa menuruti meski setiap serat tubuhnya berteriak ingin kabur. Dia tidak pernah suka terjebak dalam ruang dan waktu yang sama dengan ayahnya. Karena sosoknya yang seharusnya melindungi justru hadir dalam memori Rosa sebagai sumber luka dan lara.Sejenak, pandangan Rosa berkunang. Ingatannya menyeret kembali ke suatu malam kelam ketika tubuhnya dipenuhi lebam. Saat itu, gosip murahan tentang dirinya tersebar di media. Dia dirumorkan menjadi wanita simpanan seorang sutradara ternama. Tidak ada bukti, tidak ada kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan, tapi ayahnya sama sekali tidak peduli.Ayahnya bahkan tidak memberinya kesempatan menje