Share

POV : Janji

"Ck!! Ayolah, Fer. Dia itu mahasiswimu. Bahkan belum genap 20 tahun" batin dan otak Ferdi saling beradu pendapat membuat dirinya hanya terpaku. Sementara tangannya mengendalikan setir mobil. Dia tidak menyangka pelukan yang tidak disengaja di perpustakaan tadi bisa mengacaukannya. Dia hanya ingi mencoba akrab dengan Muffin setelah beberapakali pertemuan mereka tidak mulus. Mahasiswinya itu selalu menunjukkan ketidaknyamanan setiap kali mereka bertemu. Dia hanya ingin mencoba menetralkan kembali semuanya. Pelukan itu melebihi ekspektasi.

"Fer, kamu kenapa?" tanya Grace pada Ferdian. Bukannya menajwab dia hanya diam tetap berusaha fokus menyetir di tengah-tengah kegaduhan nalarnya.

"Fer kenapa sih kok dari tadi diam aja? Lagi mikirin apa, sih?" Grace semakin mendesak, tapi tetap saja ferdi diam dan lebih memilih menyimpan semua fikirannya. Grace yang sudah mengerti bagaimana watak pria disampingnya itu pun berhenti bertanya. Grace membuang wajah kesal keluar jendela mobil.

"Grace..."

Grace segera memalingkan wajahnya kepada Ferdi.

"Ya? Katakanlah Fer, kita sudah saling mengerti satu sama lain, aku pasti akan mendengar setiap ceritamu"

“Ini bukan hanya cerita tentangku”

“Tentang kita maksudmu?”

Ferdi mengangguk ragu.

“Ungkapkan saja semuanya, Fer. Kita sudah bukan Grace dan Ferdi yang dulu lagi”

Mendengar kalimat yang sangat dibutuhkannya itu, Ferdi pun menepikan mobilnya. Dia menarik nafas dalam dalam, menghempaskannya begitu saja. Pandangannya pun dia alihkan memandang mata bening milik grace. Mata yang dulu sangat dia kagumi dan mampu mengalihkan seluruh hidupnya hanya untuk Grace. Dulu dia sangat dan sangat mencintai Wanita itu.

"Grace, aku rasa aku akan berhenti mengharapkanmu"

Grace terdiam mencelang. Wajahnya tidak lagi antusias. Separuh dirinya sudah terhisap habis terbawa angin yang melewati jendela mobil.

"Aku tidak bisa begini terus" Ferdi menatap lebih dalam lagi pada wanita di sampingnya itu yang sedang sekuat tenaga menahan gelegak di dadanya.

"Ini semua berubah menjadi terlalu membebaniku. Maafkan aku. Aku gagal untuk yang kedua kalinya. Aku gagal mempertahankanmu lagi, Grace"

"Aku melihat kalian berpelukan" Grace membuka suaranya membuat Ferdi terkejut.

"Jangan salah paham, bukan karena dia. Dia tidak tahu apa-apa"

"Aku tahu pelukan itu tidak disengaja antara kau dan dia, tapi itu berhasil membuat pikiranmu kacau, kan? Dulu setiap kali ada perempuan lain yang mendekatimu kau hanya akan bereaksi biasa saja. Bahkan kita biasanya akan menertawai mereka. Kali ini reaksimu berbeda…"

"Aku sudah bilang..."

"Jangan membohongiku Fer. Kita sudah lama bersama, aku tahu setiap perubahan dalam dirimu, apa penyebabnya dan bagaimana reaksimu. Kau bahkan tidak mendengarku tadi. Aku bahkan harus berlari mengejarmu ke parkiran karna kau tidak mendegarku memanggilmu. Kalau bukan karna itu, karna apa lagi?"

"Aku hanya tidak ingin membatasi diriku lagi terhadap semua yang ada di hadapanku. Begitu banyak hal yang kulewatkan. Aku sadar tak bisa selamanya menunggumu dengan menghambat kesempatan-kesempatan itu, Grace"

"Setelah dua tahun berlalu dan kau baru menyadari itu sekarang?”

“Sudah dua tahun dan kau masih menganggapku sama seperti dulu”

“Memang iya” mereka saling menatap satu sama lain. Grace dengan tatapan tajam menentangnya dan Ferdi dengan tatapan tidak percayanya. Dia tidak percaya Grace benar-benar tidak menghargai perubahannya atau setidaknya usahanya untuk berubah.

“Jadi selama dua tahun ini…”

“Ya, kau belum berubah di mataku. Kau masih sama saja” nafasnya memburu, mengharapkan Ferdi untuk merangkulnya, membawanya ke dalam dekapannya, mengelus rambutnya dan mengecup keningnya lembut seperti dulu bila setiap kali mereka berdebat. Jauh di dalam hatinya bukan kata-kata itu yang ingin dia keluarkan. Sejujurnya dia juga masih bingung apakah Ferdi sudah berubah total seperti janjinya. Masih ada keraguan apakah Ferdi memang sudah lebih dewasa dan matang bila dibandingkan dengan Ferdi yang dulu.

“Baiklah…kalau kamu memang menganggapnya seperti itu. Aku rasa tidak ada alasan lagi untukku bertahan kalau memang kau meng…”

“Sudah kuduga kau tidak akan bertahan pada janjimu” Grace memotong ucapan Ferdi karna dia tahu apa yang akan dia katakan selanjutnya. Perpisahan. Grace tidak ingin kata itu keluar dari Ferdi. Dia tidak sanggup mendengarnya dari pria yang dulu sangat dia cintai itu. Mereka dulu sangat begitu saling mencintai. Mencurahkan semuanya. Membakar semua sumbu cinta. Membiarkannya menyala-nyala. Hatinya tidak akan sanggup menahan kesakitan yang ditimbulkan nantinya.

“Grace, dua tahun bukan waktu yang singkat utnuk membuktikan semuanya”

“Dua tahun tidak cukup untuk merubah semuanya, Fer. Tidak akan cukup”

“Jadi, kau ingin aku berusaha lebih lama dan lebih keras lagi, begitu?”

Grace terdiam. Dia sendiri tidak tahu butuh berapa lama untuk mengubah sifat seseorang.

“Mungkin butuh seumur hidup untuk mengubahnya, Grace. Apa kau ingin aku seumur hidup berusaha hanya untuk meraih hatimu lagi? Kalau tidak dua tahun kau ingin berapa lama lagi agar yakin bahwa aku sudah berubah. Aku yakin aku sudah pantas dan layak mendapatkanmu lagi. Aku sudah pantas bersanding lagi denganmu membangun rumah tangga kita yang dulu sudah hancur, Grace. Tapi apa? Kau tidka bergeming sedikit pun. Tidak ada apresiasi atau pembahasan sampai sebelum kita mulai berdebat tadi. Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Grace?”

Grace menangis menutup telinganya. Suara emosi Ferdian membuatnya terkejut. Dia tidak sanggup terluka lagi karna perengkaran-pertengakaran seperti ini. Ini mengingatkannya kembali ke pertengkaran-pertengkaran mereka dulu. Sumbu api cinta itu tidak lagi mendekatkan mereka malah menciptakan kobaran api yang tidak bisa mereka redam. Semua perkataan Ferdian itu benar. Hanya saja hatinya sudah terlalu nyaman dengan keadaan mereka sekarang. Pernikahan mereka dulu membuatnya selalu ragu apakah mereka akan bisa lagi membangun kembali bahtera yang sudah lama karam.

“Tapi hatiku masih ragu. Masih terlalu ragu. Kita dulu terlalu ceroboh memberikan seluruh hati dan cinta kita ke bahtera yang kita bangun, Ferdian. Sekarang sudah tidak ada yang tersisa lagi”

“Tidak ada yang tersisa katamu? Lalu dua tahun ini kau menganggap usahaku apa?”

“Ada tapi aku masih ragu. Aku masih butuh waktu untuk bisa yakin kalau nanti rumah tangga kita tidak akan gagal lagi”

"Kamu butuh berapa lama, Grace? 3 tahun lagi? 4 tahun? 5 tahun? Katakan sekarang agar aku tidak terombang-ambing. Ini memang janjiku, tapi setidaknya kamu berikan aku sinyal, Grace. Selama 2 tahun ini kamu hanya diam tidak ada niat untuk membahasnya sedikit pun. Selalu menghindar setiap kali aku ingin bertanya. Sebenarnya maumu apa? Coba kamu katakan sekarang kamu...bukan....aku butuh berapa lama lagi untuk meyakinkanmu? Benar-benar meyakinkanmu"

Di tengah sesunggukan Grace menggelengkan kepalanya "Aku tidak tahu, Fer. Aku ga tau" tangisnya kembali pecah. Ferdian menggosok-gosok wajahnya dengan kedua telapak tangannya lalu menyapukan rambutnya kebelakang. Dia mengambil nafas dalam-dalam memikirkan semua yang telah mereka khususnya dia lalui untuk bisa kembali bersama Gracelia. Dia memikirkan solusi untuk mereka berdua. Tapi tidak ada. Sekeras apapun dia menggososk-gosok wajahnya, memikirkan semuanya, tidak ada solusi apapun yang muncul. Sementara Grace masih menangis menutup wajahnya. Ingin sekali rasanya dia menariknya kedalam pelukannya. Meredam tangis itu. Dulu dia selalu luluh jika Grace sudah menangis. Dia tidak pernah bisa membiarkan Grace menangis apalagi bila itu karna ulahnya. Hanya saja sekarang alasan-alasan itu sudah tidak sekuat itu untuk membuatnya kembali luluh. Ferdian menyenderkan tubuhnya membiarkan angin masuk menyapu wajahnya, membiarkan tangisan Grace mengisi setiap ruangan mobilnya, menunggunya tenang sendiri. Segalanya sedikit demi sedikit mulai berubah menjadi tawar. Hambar. Hampa. Hatinya sudah terlalu lama dibiarkan sepi. Mungkin juga itu yang terjadi pada Grace hingga semua perjuangannya sia-sia. Mungkin saja hati mereka sudah sama-sama mulai hambar.

Setelah beberapa menit berlalu, Grace pun mulai bisa menenangkan dirinya. Kebingungannya terhadap situasi yang tidak terduga itu mulai bisa dia kuasai. Pagi tadi baru saja mereka lari pagi dan sarapan bersama di tempat biasa mereka berdua biasa makan. Pembicaraan mereka normal-normal saja meski terasa sepi. Bahkan mungkin terkesan dingin. Grace menyadari bahwa ada sesuatu yang harus di gedor dari balik tembok yang tidak sengaja tercipta antara mereka berdua. Akan tetapi sungguh dia tidak menyangka dan tidak mengharapkan pembicaraan seperti ini yang menjadi pemicu gedoran itu.

“Kalau begitu, aku akan terima bila kamu memang menganggapku belum berubah. Sama sekali seperti katamu” Ferdian meletakkan kotak tisu di pangkuan Grace “Anggap saja aku masih Ferdi yang dulu. Ferdian yang gagal memenuhi ekspektasimu. Anggap saja aku laki-laki pengecut yang tidak mampu memenui janjinya. Anggap saja...kita sudah tidak punya alasan lagi untuk bersama”

Lama Grace berdiam diri menatap keluar sambil mencerna ucapan Ferdian. Mencerna isi pikirannya sendiri. Mencerna apa yang hatinya ucapkan. Mencerna semua situasi itu. Entah kenapa malah muncul sepercik kelegaan ketika akhirnya kejelasan dari janji itu terungkap. Disisi lain, sebagian besar hatinya seperti tidak rela akan berpisah. Benar-benar berpisah. Meski jantungnya tidak berdegup kencang sesering dulu saat bersama dan menatap Ferdi, tapi masih ada rasa nyaman ketika Ferdi ada di sekitarnya. Dia sudah terbiasa dnegan kehadiran Ferdi meski kobaran kemesraan mereka dulu sudah lenyap. Pertanyaan besar apakah nanti dia bisa terbiasa juga tanpa Ferdi, melekat kuat di dalam benaknya. Mengapa cinta saja tidak bisa menyatukan mereka kembali? Jelas-jelas pandangan mata mereka berdua masih sama-sama saling mencintai. Kenapa itu tidak cukup? Grace menghempaskan nafasnya berat. Berat sekali menigsi Keheningan dan kekosongan kekosongan diantara mereka.

“Ok" Grace menarik lagi nafasnya menahannya sebentar lalu mengeluarkan perlahan "Kalau itu memang jalan terbaik menurutmu, meskipun tidak baik menurutku. Bukannya memperbaiki caramu untuk berubah, kau malah lebih memilih mundur. Bukannya berusaha mencari jalan keluar lain tapi kamu malah memilih mundur. Kalau memang ujung-ujungnya seperti ini, seharusnya kau lakukan itu sedari dulu. Dulu sekali sebelum kita terlanjur menutup hati kita masing-masing untuk orang lain. Sebelum kita terlanjur menyiksa diri kita sendiri seperti ini” Grace membuka pintu mobil “Terimakasih, kau menunjukkan padaku bahwa kau memang tak akan pernah bisa berubah" dia melangkah keluar membiarkan tisu pemberian Ferdi jatuh begitu saja. Air mata yang sedari tadi sudah membanjiri pipinya dia seka dengan tangannya meski masih tetap mengalir tanpa bisa terkontrol lagi.

Belum jauh dia melangkah, mobil Ferdian sudah melesat pergi meninggalkannya, membuat tangisannya semakin menjadi-jadi. Dia tak memperdulikan orang-orang di sekitarnya yang menatap heran. Dia lebih memilih menumpahkan semua isi hatinya lewat tangisannya. Kini, apakah semuanya akan benar-benar berakhir? Apakah dirinya sanggup menerima perpisahan ini. Perpisahan kedua kalinya. Kesempatan kedua yang terbuang begitu saja. Setelah mereka saling berjanji akan menjaga hati mereka masing-masing kini perpisahan itu malah menjadi hasil nyata, meleset dari angan-angan mereka dulu.

Sementara ferdi didalam mobil hanya menghela nafas lega meski pikirannya masih kacau. Kelegaan itu muncul setelah dia akhirnya tahu sudut pandang Grace melihat usahanya selama ini. Grace tidak pernah menyinggung atau mengapresiasi setiap usahanya walau dia sudah berusaha sebaik mungkin menunjukkan bahwa dia layak mendapatkan kesempatan kedua. Kegigihannya tidak mendapat sambutan yang berarti. Itu membuatnya tertekan. Setidaknya ada evaluasi agar dia tahu bagian mana yang perlu dia ubah lagi. Setiap kali dia ingin membahasnya, ada saja cara Grace untuk mengalihkan pembicaraan. Seakan-akan menghindar. Padahal Ferdi yakin dia sudah lebih dari layak untuk memenangkan kembali hati mantan istrinya itu.

Kekacauan pikirannya karna pelukan itu memang benar. Hal yang sama berlaku pada keinginnanya berhenti berharap. Beberapa kali muncul niat mendiskusikannya dengan Grace. Sdah lama juga dia putus asa karena tidak bisa lepas dari tekanan-tekanan akibat janji yang tidak kunjung ada harapan. Janji itu juga membuat Ferdi harus menyakiti beberapa hati wanita. Itu sangat membebaninya. Membuatnya berkali-kali berpikir apakah keputusannya itu tepat. Apakah dia benar-benar akan seperti ini selamanya. Di satu sisi, Grace tidak memberikan respon yang berarti, di satu sisi dia melewatkan kesempatan-kesempatan untuk membuka lembar baru. Dia Stuck di satu lembar kertas sementara kalimat-kalimat di lembar itu sudah habis terbaca. Dia ingin maju ke lembaran lainnya, ada dua pilihan cara tetapi satu pun tidak bisa menolongnya.

Pada akhirnya Ferdi memilih untuk menyerah. Ini terlihat lemah dan pengecut, tapi setidaknya ia punya kesempatan yang lebih besar lagi untuk menemukan wanita yang benar-benar bisa menerimanya apa adanya. Ferdi tidak menyangkal Muffin terlibat dalam keputusannya. Itu karena Muffin hadir tepat disaat rasa jenuh memuncak. Tapi Muffin bukanlah penyebab utama semua itu. Mahasiswanya itu tidak ada dalam listnya. Tidak ada dalam kriterianya. Bagaimana mungkin dia bisa menajdikan Muffin sebagai pengganti Grace, sementara Grace yang sudah sedewasa itu saja, hubungan mereka tidak bertahan.

Dia memang merasa sedikit terusik saat pertama kali bertemu dengan Muffin di perpustakaan. Teriakan bahasa Inggrisnya itu mengejutkannya hingga dia penasaran ingin melihat siapa orang gila yang melakukan itu di perpustakaan. Hanya terusik. Terlebih saat wanita yang ternyata mahasiswa bimbingannya itu beberapa kali muncul di hadapannya dalam situasi yang tidak normal.

Pelukan yang tak disengaja, mungkin itulah yang membuat kejenuhan Ferdi terdorong lebih kuat lagi. Pelukan itu menyadarkannya bahwa dia layak mendapatkan kebebasannya lagi setelah lama terombang-ambing.

Rasa bersalah tidak akan bisa dia obati tapi setidaknya masih ada harapan untuk menata kembali ruangan di dalam hatinya yang sudah lama tidak tersentuh oleh siapapun. Sudah berdebu. Sudah tidak berwarna lagi. Masih ada harapan untuk bisa merasakan cinta lagi setelah sekian lama menguburnya demi mendapatkan cinta yang dia harapkan kembali dari Grace.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status