"Anak kamu cantik, Nu. Aku yakin Darsa pasti suka. Besok kita pertemukan mereka, bagaimana menurutmu?" ujar Lukito, teman bisnis Janu.
"Iya. Aku setuju, To. Aku tidak sabar anak-anak kita menikah dan kita besanan," jawab Janu antusias.
Ilona mendelik kesal setelah mendengar pembicaraan ayahnya dengan sang sahabat. Bagaimana tidak, laki-laki bernama Janu itu akan menjodohkan Ilona dengan anak dari sahabatnya. Tentu saja, gadis bersurai hitam itu tidak bisa menerimanya. Keputusan Janu terlalu mendadak, tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu.
Dengan tergesa dan tanpa sepatah kata pun, Ilona segera meninggalkan ruang tamu. Membiarkan tamunya memandang kebingungan. Dia berlari ke kamar dan mengunci diri. Panggilan dari Rahma--ibunya--tidak lagi dihiraukan. Ilona kecewa sebab orang tuanya memutuskan secara sepihak.
"Ilona, Ibu mau bicara dulu, Nak," ucap Rahma lembut dari balik pintu.
"Enggak ada yang perlu dibicarakan, Bu! Pokoknya aku enggak mau menikah sana laki-laki itu. Aku enggak kenal sama dia!" Nada suara Ilona terdengar kesal dari dalam kamar.
Bahu Ilona berguncang naik turun dengan napas memburu. Emosinya memuncak, sangat kesal. Dia ingin melampiaskan, tetapi semua hanya akan memperkeruh keadaan. Akhirnya, gadis itu pun meraih ponsel dan melakukan panggilan pada sebuah nama kontak. Namun, beberapa kali mencoba, seseorang di seberang sana tidak juga menjawab panggilan.
"Aaah!"
Gadis itu berteriak dan melempar ponsel ke kasur. Emosinya makin meledak, tidak bisa ditahan. Sifat Ilona yang penurut dan tidak suka membatah, seakan menguap begitu saja. Gadis cantik itu gusar, berjalan mondar-mandir untuk memikirkan cara menghindari perjodohan tersebut.
"Dia di mana, sih? Kenapa enggak angkat teleponku saat penting seperti ini?" ucap Ilona kesal.
Langkah Ilona terhenti saat mendengar ketukan pintu yang sangat keras. Beberapa saat setelahnya, suara berat seseorang di balik pintu pun tidak kalah kencang.
"Ilona, buka pintunya!" teriak Janu.
Tubuh Ilona gemetar, bisa dipastikan laki-laki itu akan murah padanya. Gadis tersebut menggenggam pakaian yang dikenakan erat serta menggigit ujung bibirnya. Dia ragu untuk membuka pintu.
"Cepat buka pintunya! Apa kamu mau Bapak dobrak pintu ini?"
Degup jantung gadis itu semakin tidak menentu. Dengan ragu, dia pun mendekat dan membuka pintu cokelat tersebut. Wajah garang laki-laki berkumis tipis langsung tertangkap indra penglihatan Ilona. Dia pun segera menunduk takut.
Janu mendorong pintu, lalu masuk ke kamar anak perempuannya penuh emosi. Dia menyalangkan mata pada Ilona yang masih berdiri mematung.
"Ndak sopan! Kenapa bersikap seperti itu di depan tamu kita? Kamu ingin membuat Bapak malu, iya?" sentak Janu.
Ilona memberanikan diri untuk menatap Janu. Pandangannya berkabut, kedua mata indahnya telah berselimut air mata. Namun, dia mencoba menahan agar genangan itu tidak membasahi pipi.
Sementara itu, Rahma yang datang setelah Janu tampak sibuk menenangkan hati sang putri. Dengan lembut, dia mengusap pundak gadis itu. Kata-kata penuh cinta pun Rahma bisikan agar Ilona tenang.
"Bapak minta, besok kamu ikut Bapak bertemu dengan anak Pakdhe Lukito."
"Enggak, Pak. Aku enggak mau bertemu dia!" tolak Ilona.
"Dasar bocah kurang ajar! Sudah berani membantah Bapak?"
"Aku tidak cinta sama laki-laki itu, Pak. Aku sudah punya pacar dan hanya ingin menikah dengannya, bukan dijodohkan seperti ini."
"Pacar kamu yang urakan itu? Apa yang bisa diharapkan dari anak itu? Darsa anak Pak Lukito ini tidak kurang apa pun. Tampan, sopan, dan sudah mapan di usia yang masih muda. Pokoknya Bapak ingin kamu menikah dengannya!" tegas Janu.
Air mata Ilona tidak mampu ditahan lagi. Dia terisak dalam pelukan Rahma. Meskipun tidak terucap, tersirat jelas bahwa gadis itu meminta pembelaan dari sang ibu. Ilona berharap Rahma mengerti dan menghentikan niat dari Janu.
Wanita paruh baya itu masih mengelus lembut punggung sang putri. Dia tahu gelisah dalam hati Ilona. Namun, setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak mereka. Begitu pula Janu dan juga Rahma. Terlebih, Ilona anak semata wayang, mereka ingin Ilona tidak salah pilih suami.
"Bapak dan Ibu melakukan ini demi kamu, Lon. Besok temui dulu calon suamimu. Kenalan dulu biar saling dekat," ucap Rahma lembut.
Ilona segera melepaskan pelukan. Dia menghapus air mata kasat, tidak mengira bahwa Rahma pun menyetujui rencana Janu. Gadis itu merasa terpojok, tidak ada yang benar-benar mengerti hatinya.
"Ibu juga setuju sama Bapak? Aku tidak cinta dia, Bu. Aku hanya cinta Arsenio."
"Arsenio terus! Dia itu tidak pantas untuk kamu, Lon. Anak motor yang kerja di bengkel kecil, tidak ada masa depannya. Mau jadi apa kamu kalau menikah sama dia!"
"Tapi, aku cinta dia, Pak." Suara Ilona melemah dengan isak tangis lebih mendominasi.
"Cinta? Membangun rumah tangga itu butuh uang, bukan cinta! Cinta bisa hadir seiring berjalannya waktu, tetapi uang menjadi landasan utama. Bapak enggak terima alasan apa pun, kamu harus menikah sama Darsa!"
Janu melangkah ke luar kamar dengan cepat. Panggilan Ilona tidak lagi dihiraukan. Keputusannya telah bulat dan keinginannya tidak dapat dibantah. Dia telah yakin memilihkan jodoh yang terbaik untuk putri semata wayangnya.
Di sisi lain, tubuh Ilona luruh ke lantai. Air mata semakin membasahi pipinya. Tidak ada cara lain untuk mematahkan keputusan Janu. Ilona tidak rela bisa harus meninggalkan sang kekasih hati.
"Lona."
Sentuhan lembut terasa di bahu Ilona. Dia pun menoleh dan mendapati Rahma telah menyejajarkan tubuh. Dengan sendu, gadis itu menatap sang ibu. Mengapa wanita yang paling mengerti dirinya malah menyetujui keputusan sang suami?
"Ibu, kenapa Ibu setuju keputusan Bapak? Aku tidak mencintai dia, Bu. Aku tidak mau menikah dengannya."
Ilona menggeleng cepat. Membayangkan menikah dengan orang yang tidak dia cintai pun rasanya tidak sanggup. Dunia gadis itu seakan dipenuhi kegelapan. Apa yang harus dia lakukan untuk menolak perjodohan?
"Ibu tahu, tapi bukankah cinta hadir karena terbiasa? Keluarga Darsa telah secara langsung meminta pada Bapak untuk menjodohkan kalian. Bapak pun setuju akan hal itu, begitu pula Ibu."
"Kenapa kalian memutuskan perkara sebesar ini tanpa persetujuan dariku? Aku yang akan menikah, aku yang akan menjalani kehidupan berumah tangga dan semua itu menyangkut hatiku. Mengapa kalian tidak mengerti?"
"Darsa itu laki-laki yang baik, Sayang. Bapak dan Ibu yakin dia akan menjagamu dengan baik seperti kami menjagamu selama ini. Tenangkan hatimu dan mulai menerima keputusan ini."
Rahma meraih jemari sang putri dan mengelusnya lembut. Senyum manis pun terbit dari bibir merahnya. Namun, Ilona bergeming, tidak mau membalas senyuman sang ibu. Dia masih sangat kecewa, tidak bisa menerima keputusan sepihak tersebut.
Wanita paruh baya itu pun meninggalkan Ilona seorang diri di kamar. Dia memberikan waktu pada sang putri untuk menenangkan diri. Rahma tahu, tidak mudah bagi Ilona untuk menerima keputusan yang terkesan mendadak tersebut. Namun, dia yakin bahwa sang putri akan luluh dan menyetujui perjodohan tersebut.
Dengan napas memburu, Ilona berlari tidak tentu arah. Sesekali menoleh, menghindar dari dua orang yang mengejar. Pelarian diri gadis itu diketahui oleh Janu, juragan sembako yang berstatus menjadi ayahnya.Semenjak di terminal, gerak-gerik Ilona sudah diketahui oleh Sapto dan Lukman, kuli panggul Janu di toko sembako. Mereka berdua sengaja mengikuti gadis itu atas perintah sang majikan. Suasana ramai di terminal, menyurutkan niat Sapto dan Lukman untuk membawa pulang anak gadis juragan sembako. Mereka menunggu saat yang tepat hingga bus yang dikendarai berhenti di terminal Jombor.Ketika turun dari bus, Ilona menoleh ke kanan dan kiri, mencari tujuan selanjutnya. Dia belum pernah menginjakkan kaki di kota tetangga seorang diri. Lalu, ke mana Ilona akan pergi. Bahkan, menghubungi nomor kekasih hati pun tidak pernah aktif dalam beberapa hari.Ketika kebingungan, Sapto segera mendekati Ilona. Namun, gadis itu terlalu pintar, tidak ingin menuruti perintah
Hari telah lewat tengah malam, Erlangga baru saja tiba di rumah mewahnya. Usai memarkirkan kendaraan roda empat, laki-laki itu bergegas masuk ke rumah. Tubuhnya sudah sangat lengket, seharian berada di proyek kontruksi mengakibatkan mengalir membasahi.Melihat rumah dalam keadaan gelap gulita, Erlangga segera menyalakan beberapa lampu. Seketika rumah berhias ukiran itu pun terang benderang. Laki-laki bertubuh tegap itu pun beralih ke kamar utama yang berada di lantai dua. Dengan langkah tegap, dia menaiki satu per satu anak tangga. Tepat di ujung tangga, Erlangga meraih knop pintu jati berhiaskan ukiran.Laki-laki itu meletakkan tas kerja pada sofa, lalu segera menuju kamar mandi. Di bawah guyuran shower, Erlangga membasuh tubuh lengketnya. Gemercik air yang membasahi badan kekarnya begitu menyegarkan. Dia merasa lega, tubuhnya telah kembali bersih.Dengan mengenakan handuk yang melingkar di pinggang, Erlangga keluar dari kamar mandi. Dia menghidupkan
Mobil putih kesayangan Erlangga sudah melesat di jalanan, membelah gelap malam. Kantuk dan lelah yang semula dirasakan laki-laki tersebut, hilang entah di mana. Demi Ilona yang kelaparan, dia mau berkeliling hanya sekadar mencari tempat makan di sepertiga malam.Gadis manis bertubuh langsing itu pun dengan tenang duduk sampingnya. Dia mengamati jalanan Kota Yogyakarta di malam hari. Geliat manusia masih begitu ketara di malam yang hampir menjelang pagi."Kamu mau makan apa? Tidak banyak makanan yang bisa kita cari pada jam-jam seperti sekarang ini," ujar Erlangga."Apa saja yang terpenting nasi," sahut Ilona santai.Erlangga mendengkus, lalu melirik gadis yang duduk di sampingnya. Dia pun merasakan hal yang sama, rasa lapar yang menyiksa perut. Laki-laki itu teringat, belum mengisi lambung dengan nasi seusai pulang dari proyek bangunan. Erlangga mencari makanan di waktu malam bukan semata-mata mengabulkan keinginan Ilona, tetapi juga kebutuhan dirinya jug
Erlangga menggeliat, lalu mengubah posisi menjadi duduk. Terik sinar mentari yang menelusup dari celah jendela mengganggu tidur nyenyaknya. Laki-laki itu menyipitkan mata, lalu menutup wajah dengan telapak tangan. Dia berusaha mengumpulkan kesadaran.Setelah berdiam beberapa saat, Erlangga melirik jam yang terpasang di dinding. Jarum panjang benda hitam itu menunjuk angka sepuluh, tujuh jam sudah dia terlelap dalam buaian mimpi.Ingatan Erlangga kembali pada kejadian di malam hari. Matanya tiba-tiba terbuka lebar, lalu menyibak selimut dan bergegas keluar kamar. Dengan berlari, dia menuruni anak tangga untuk mencari gadis aneh yang tiba-tiba berada di rumahnya. Erlangga berharap semua hanya mimpi. Namun, setelah mencium aroma masakan yang menguar, laki-laki itu yakin bahwa Ilona nyata.Erlangga memelankan langkah, lalu berdiri di ambang pintu dapur. Dia mengamati aktivitas gadis yang tengah bergelut dengan peralatan memasak."Sedang masak apa kamu?"
"Kenapa kita belanja di pasar tradisional, sih, Mas?" tanya Ilona penasaran. Laki-laki bertubuh tegap yang berada di sampingnya tidak langsung menjawab, terlihat berpikir sembari berjalan. Ilona pun mengikuti gerak langkah Erlangga. Sesekali dia melirik, menanti jawaban di pemilik rumah mewah. "Emang ada yang salah?" tanya Erlangga. Ilona mengembuskan napas kasar, malas pertanyaan dijawab dengan sebuah pertanyaan. "Enggak, sih. Namun, biasanya orang kaya itu belanjanya di swalayan. Kenapa ini di pasar?" "Untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Kalau semua belanja di swalayan, lalu kasihan pedagang di pasar tradisional, dong. Dagangan mereka enggak laku," kilah Erlangga. Gadis bermanik mata cokelat itu terdiam, meresapi ucapan Erlangga. Memang benar, jika semua orang belanja di pasar modern, lantas apa kabar penjual di pasar tradisional? Bukankah hidup itu harus ada keseimbangan? "Aku akan mengantar kamu belanja ke sini beberapa
Sesampainya di rumah berukiran kayu, Ilona bergegas keluar mobil. Dia melupakan belanjaan dan keberadaan Erlangga. Gadis itu membuka pintu dengan kunci yang diberikan sang majikan sebelumnya, lalu menuju dapur untuk mengambil segelas air dingin. Dia ingin menghilangkan haus yang sedari tadi menyerang tenggorokan sekaligus mendinginkan hati agar tidak meluapkan emosi."Kenapa meninggalkanku begitu saja?" protes Erlangga dengan membawa barang belanjaan."Aku haus, Mas.""Masih marah sama aku?"Erlangga meletakkan barang belanjaan. Sementara itu, Ilona masih enggan menjawab. Gadis itu malah mengambil barang belanjaan untuk disimpan. Erlangga yang berdiri tidak jauh darinya hanya memperhatikan wajah cemberut gadis tersebut dengan bersandar pada dinding."Aku janji akan membantu mencari pacarmu itu. Tenang saja, sedikit banyak aku memiliki teman di sini. Berikan saja fotonya," ujar Erlangga.Mendengar ucapan laki-laki itu, mata Ilona berbinar. Di
"Lona!"Teriakan Erlangga menggema ke seluruh penjuru rumah. Dia menggedor pintu kamar pembantu cantiknya dengan tidak sabar."Lona!"Dengan malas, Ilona segera bangkit setelah mendengar suara Erlangga. Sebelum membuka pintu, dia terlebih dahulu menghapus sisa air mata di pipi. Menangis nyatanya tidak serta merta meredakan emosi, gadis itu masih marah pada si pemilik rumah. Begitu pula dengan Arsenio yang tidak kunjung diketahui kabarnya.Sebelum Erlangga kembali mengetuk pintu, Ilona terlebih dahulu membukakan. Gadis itu terkejut ketika si pemilik rumah merangsek masuk kamarnya. Tidak hanya itu, bahkan laki-laki tersebut menutup pintu dan menguncinya.Debaran dalam dada Ilona kian kencang. Dia memperhatikan raut wajah bingung Erlangga. Perlahan tapi pasti, gadis itu bersiap untuk menjaga diri. Takut bila sesuatu tidak diinginkan terjadi. Bukankah Erlangga juga
"Kenapa buka pintunya lama, sih, Lang? Nyembunyiin sesuatu lu, ya?"Erlangga berdiri di ambang pintu sembari memperhatikan tamu yang sedari tadi menekan bel rumah. Dia menatap tak suka pada laki-laki berjaket kulit di hadapannya. Bukan tidak boleh berkunjung ke rumahnya, hanya saja di saja ada Ilona. Erlangga tidak ingin sahabatnya yang buaya darat mengelabuhi Ilona."Selain rumahku, tidak adakah tempat lain yang bisa kamu kunjungi?" Erlangga balik bertanya."Enggak suka banget gue ke sini, harusnya seneng sahabat lu datang kemari," lanjut laki-laki berjaket kulit itu.Erlangga menggeleng pelan saat laki-laki yang mengaku sebagai sahabatnya itu menerobos masuk ke rumah. Dia pun segera menutup pintu dan mengekor di belakangnya. Seseorang yang baru datang itu langsung duduk di sofa, seakan rumah tersebut miliknya juga."Menginaplah di hotel, Van. Biasanya juga begitu,