Share

Bab 2 Pelarian

Dengan napas memburu, Ilona berlari tidak tentu arah. Sesekali menoleh, menghindar dari dua orang yang mengejar. Pelarian diri gadis itu diketahui oleh Janu, juragan sembako yang berstatus menjadi ayahnya.

Semenjak di terminal, gerak-gerik Ilona sudah diketahui oleh Sapto dan Lukman, kuli panggul Janu di toko sembako. Mereka berdua sengaja mengikuti gadis itu atas perintah sang majikan. Suasana ramai di terminal, menyurutkan niat Sapto dan Lukman untuk membawa pulang anak gadis juragan sembako. Mereka menunggu saat yang tepat hingga bus yang dikendarai berhenti di terminal Jombor.

Ketika turun dari bus, Ilona menoleh ke kanan dan kiri, mencari tujuan selanjutnya. Dia belum pernah menginjakkan kaki di kota tetangga seorang diri. Lalu, ke mana Ilona akan pergi. Bahkan, menghubungi nomor kekasih hati pun tidak pernah aktif dalam beberapa hari.

Ketika kebingungan, Sapto segera mendekati Ilona. Namun, gadis itu terlalu pintar, tidak ingin menuruti perintah anak buah ayahnya. Sapto dan Lukman mencengkeram kuat tangan gadis itu. Ilona berteriak minta tolong pun percuma, kondisi jalanan tempatnya berpijak dalam keadaan sepi.

"Ayo, pulang, Mbak!" perintah Sapto.

"Enggak mau! Pak Sapto dan Pak Lukman aja pulang sendiri!"

"Kalau kami enggak membawa Mbak Ilona pulang, Pak Janu pasti marah besar. Mohon pengertiannya, Mbak," timpal Lukman penuh iba.

"Aku enggak mau pulang! Pokoknya selama Bapak masih berniat menjodohkan dengan anak temannya, aku enggak mau pulang! Titik!"

Lukman dan Sapto mengembuskan napas kasar. Mereka lelah membujuk gadis keras kepala seperti Ilona. Di sisi hati lain, mereka tidak tega melihat putri semata wayang Janu itu menikah tanpa cinta. Namun, di sisi lain mereka pun tidak mampu menolak perintah Janu. Jika membangkang sudah pasti pekerjaan jadi taruhan.

Melihat dua orang yang menarik tangannya kelelahan, anak gadis Janu itu pun menginjak kaki Sapto dan Lukman bergantian dengan sekuat tenaga. Kedua laki-laki itu meringis kesakitan, Ilona tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk melarikan diri.

"Mbak Ilona, tunggu kami! Jangan lari terus. Ayo, pulang, Mbak!" teriak Lukman sembari berlari pincang.

"Pulang saja sendiri! Wek ...." Ilona menjulurkan lidah, lalu berlari dengan sisa tenaga.

Di sebuah perumahan, langkah Ilona terhenti. Dia memasuki gang buntu, tidak ada jalan lagi untuk kabur. Berbalik arah pun pasti akan tertangkap Sapto dan Lukman.

Anak semata wayang Janu itu pun menoleh ke kanan dan kiri, mencari celah untuk bersembunyi. Hingga akhirnya, dia melihat sebuah rumah berlantai dua dengan pintu ukiran dari kayu jati yang terbuka. Tanpa berpikir panjang, sebelum anak buah Janu melihat, Ilona segera masuk ke rumah itu untuk bersembunyi.

Gadis berambut terikat jadi satu itu menoleh, takut jika sang pemilik rumah memergokinya. Bisa jadi, dia disangka pencuri. Ilona mengendap, memastikan keadaan aman. Rumah besar itu dalam keadaan sepi, interior dengan ukuran kayu jadi lebih mendominasi. Tampak tradisional, tetapi terlihat mewah. Bisa dipastikan bahwa pemilik rumah itu berasal dari kalangan atas.

Dengan hati-hati, Ilona bersembunyi di balik sofa. Dia berniat menunggu hingga keadaan aman. Namun, semakin lama tubuh lelahnya butuh beristirahat. Perlahan, dia pun memejamkan mata, terbuai oleh mimpi indah.

***

Ilona menggeliat, lalu terperanjat saat melihat ke arah jendela. Hari telah gelap, dia terlalu nyaman terlelap. Bergegas gadis remaja itu bangkit, lalu meraih knop pintu. Namun, ternyata pintu terkunci. Ilona panik.

"Gimana aku bisa keluar?" gumamnya dengan wajah bingung.

Gadis dengan tas ransel di punggung itu memeriksa jendela, berharap ada salah satu yang tidak terkunci. Namun, sayangnya seluruh jendela berterali. Ilona semakin bingung, takut jika disangka maling.

Putri semata wayang Janu itu berkacak pinggang, mengamati kondisi di rumah bernuansa ukiran kayu tersebut. Lampu-lampu yang belum menyala menandakan bahwa rumah tidak berpenghuni. Namun, Ilona tidak boleh lengah, bisa saja masih ada anggota keluarga yang tinggal di dalam rumah.

Dengan mengendap-endap, Ilona memberanikan diri untuk menjelajah seisi rumah. Sesekali dia celingukan, memastikan kondisi aman. Suasana rumah begitu sunyi, hanya terdengar bunyi gemuruh di dalam perut yang meminta hak untuk diisi. Ilona tidak bisa menahan lapar lagi, sedari siang belum ada sebutir nasi pun masuk ke lambung. Dia pun menjelajah lebih dalam, mencari posisi dapur untuk mencari makanan.

"Rumah sebesar ini, kenapa tidak ada makanan?" gumam Ilona ketika melihat meja makan dalam keadaan kosong.

Setelah meyakinkan bahwa tidak ada penghuni yang berada di rumah itu, Ilona pun mencari sakelar lampu dapur. Mengganti nyala remang-remang yang terpancar dari kecil dengan lampu utama yang lebih terang. Seketika, pandangan gadis itu lebih leluasa mencari makanan di laci-laci dapur. Dia berkacak pinggang, tidak mendapatkan sesuatu untuk di makan.

Gadis berambut panjang itu pun beralih pada lemari pendingin dengan dua pintu. Dia membuka sebelah pintu, tidak mendapatkan makan apa pun di sana. Hanya botol-botol air mineral berjejer rapi.

"Sebenarnya ada yang tinggal di rumah ini enggak, sih? Kenapa enggak ada makanan apa pun?" gerutu Ilona.

Dia pun beralih ke pintu satunya. Sudut gadis itu tersungging, mendapati sebuah apel tersimpan di sana. Lumayan untuk mengganjal perut yang terus berbunyi.

"Maafkan, aku. Bukan bermaksud untuk mencuri, tetapi aku benar-benar lapar," gumam Ilona sembari meraih apel dan sebotol air mineral.

Gadis itu pun lantas duduk di kursi pada meja makan, menyantap sebuah apel dengan lahapnya. Angan Ilona melayang jauh, membayangkan seseorang yang tinggal di rumah mewah tersebut. Mengapa tinggal di sana tanpa persediaan makanan? Apakah rumah tersebut memang dibiarkan kosong?

"Tidak! Bagaimana kalau tidak ada seseorang yang tinggal di sini? Apakah aku akan terkurung di rumah ini?"

Perasaan cemas menghampiri hati gadis itu. Dia segera meraih ponsel dan memencet sebuah kontak nama. Ilona sengaja menganti nomor ponsel sebelum kabur dari rumah. Gunanya agar orang tua gadis itu tidak menghubungi. Beberapa kali mencoba menelepon, tetapi seseorang di seberang tidak mengangkat.

"Ih! Di mana kamu Arsen? Katanya di Yogja, kenapa tidak membalas pesan-pesanku?" Ilona meletakkan kembali ponselnya, lalu menenggak air mineral dalam botol.

Resah bergelayut dalam hati, memikirkan kekasih hati yang tidak kunjung memberi kabar. Padahal, mereka telah sama-sama berjanji, bertemu di kota yang terkenal sebutan Kota Gudeg tersebut. Namun, semenjak pergi dari rumah, si pemilik hati Ilona tidak kunjung memberi kabar.

"Sepertinya aku harus bermalam di rumah ini dulu. Besok pagi baru bisa keluar dan mencari keberadaan Arsen."

Ilona kembali membuang sisa makan malamnya, lalu kembali mengendap untuk menemukan tempat ternyaman untuk bersembunyi. Dia berharap tidak bertemu dengan pemilik rumah sampai bisa keluar dengan aman.

Gadis itu tidak pernah menyesali keputusannya pergi dari rumah dan terkatung-katung di kota orang tanpa arah tujuan. Dia hanya ingin bersama Arsenio, pemuda yang telah menjalin kasih semenjak duduk di bangku kuliah. Namun, restu dari Janu tidak kunjung Ilona dapatkan. Bahkan, laki-laki itu memaksanya untuk menikah dengan anak dari sahabat sang ayah. Demi cintanya, dia terpaksa membangkang pada orang tua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status