Dengan napas memburu, Ilona berlari tidak tentu arah. Sesekali menoleh, menghindar dari dua orang yang mengejar. Pelarian diri gadis itu diketahui oleh Janu, juragan sembako yang berstatus menjadi ayahnya.
Semenjak di terminal, gerak-gerik Ilona sudah diketahui oleh Sapto dan Lukman, kuli panggul Janu di toko sembako. Mereka berdua sengaja mengikuti gadis itu atas perintah sang majikan. Suasana ramai di terminal, menyurutkan niat Sapto dan Lukman untuk membawa pulang anak gadis juragan sembako. Mereka menunggu saat yang tepat hingga bus yang dikendarai berhenti di terminal Jombor.
Ketika turun dari bus, Ilona menoleh ke kanan dan kiri, mencari tujuan selanjutnya. Dia belum pernah menginjakkan kaki di kota tetangga seorang diri. Lalu, ke mana Ilona akan pergi. Bahkan, menghubungi nomor kekasih hati pun tidak pernah aktif dalam beberapa hari.
Ketika kebingungan, Sapto segera mendekati Ilona. Namun, gadis itu terlalu pintar, tidak ingin menuruti perintah anak buah ayahnya. Sapto dan Lukman mencengkeram kuat tangan gadis itu. Ilona berteriak minta tolong pun percuma, kondisi jalanan tempatnya berpijak dalam keadaan sepi.
"Ayo, pulang, Mbak!" perintah Sapto.
"Enggak mau! Pak Sapto dan Pak Lukman aja pulang sendiri!"
"Kalau kami enggak membawa Mbak Ilona pulang, Pak Janu pasti marah besar. Mohon pengertiannya, Mbak," timpal Lukman penuh iba.
"Aku enggak mau pulang! Pokoknya selama Bapak masih berniat menjodohkan dengan anak temannya, aku enggak mau pulang! Titik!"
Lukman dan Sapto mengembuskan napas kasar. Mereka lelah membujuk gadis keras kepala seperti Ilona. Di sisi hati lain, mereka tidak tega melihat putri semata wayang Janu itu menikah tanpa cinta. Namun, di sisi lain mereka pun tidak mampu menolak perintah Janu. Jika membangkang sudah pasti pekerjaan jadi taruhan.
Melihat dua orang yang menarik tangannya kelelahan, anak gadis Janu itu pun menginjak kaki Sapto dan Lukman bergantian dengan sekuat tenaga. Kedua laki-laki itu meringis kesakitan, Ilona tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk melarikan diri.
"Mbak Ilona, tunggu kami! Jangan lari terus. Ayo, pulang, Mbak!" teriak Lukman sembari berlari pincang.
"Pulang saja sendiri! Wek ...." Ilona menjulurkan lidah, lalu berlari dengan sisa tenaga.
Di sebuah perumahan, langkah Ilona terhenti. Dia memasuki gang buntu, tidak ada jalan lagi untuk kabur. Berbalik arah pun pasti akan tertangkap Sapto dan Lukman.
Anak semata wayang Janu itu pun menoleh ke kanan dan kiri, mencari celah untuk bersembunyi. Hingga akhirnya, dia melihat sebuah rumah berlantai dua dengan pintu ukiran dari kayu jati yang terbuka. Tanpa berpikir panjang, sebelum anak buah Janu melihat, Ilona segera masuk ke rumah itu untuk bersembunyi.
Gadis berambut terikat jadi satu itu menoleh, takut jika sang pemilik rumah memergokinya. Bisa jadi, dia disangka pencuri. Ilona mengendap, memastikan keadaan aman. Rumah besar itu dalam keadaan sepi, interior dengan ukuran kayu jadi lebih mendominasi. Tampak tradisional, tetapi terlihat mewah. Bisa dipastikan bahwa pemilik rumah itu berasal dari kalangan atas.
Dengan hati-hati, Ilona bersembunyi di balik sofa. Dia berniat menunggu hingga keadaan aman. Namun, semakin lama tubuh lelahnya butuh beristirahat. Perlahan, dia pun memejamkan mata, terbuai oleh mimpi indah.
***
Ilona menggeliat, lalu terperanjat saat melihat ke arah jendela. Hari telah gelap, dia terlalu nyaman terlelap. Bergegas gadis remaja itu bangkit, lalu meraih knop pintu. Namun, ternyata pintu terkunci. Ilona panik.
"Gimana aku bisa keluar?" gumamnya dengan wajah bingung.
Gadis dengan tas ransel di punggung itu memeriksa jendela, berharap ada salah satu yang tidak terkunci. Namun, sayangnya seluruh jendela berterali. Ilona semakin bingung, takut jika disangka maling.
Putri semata wayang Janu itu berkacak pinggang, mengamati kondisi di rumah bernuansa ukiran kayu tersebut. Lampu-lampu yang belum menyala menandakan bahwa rumah tidak berpenghuni. Namun, Ilona tidak boleh lengah, bisa saja masih ada anggota keluarga yang tinggal di dalam rumah.
Dengan mengendap-endap, Ilona memberanikan diri untuk menjelajah seisi rumah. Sesekali dia celingukan, memastikan kondisi aman. Suasana rumah begitu sunyi, hanya terdengar bunyi gemuruh di dalam perut yang meminta hak untuk diisi. Ilona tidak bisa menahan lapar lagi, sedari siang belum ada sebutir nasi pun masuk ke lambung. Dia pun menjelajah lebih dalam, mencari posisi dapur untuk mencari makanan.
"Rumah sebesar ini, kenapa tidak ada makanan?" gumam Ilona ketika melihat meja makan dalam keadaan kosong.
Setelah meyakinkan bahwa tidak ada penghuni yang berada di rumah itu, Ilona pun mencari sakelar lampu dapur. Mengganti nyala remang-remang yang terpancar dari kecil dengan lampu utama yang lebih terang. Seketika, pandangan gadis itu lebih leluasa mencari makanan di laci-laci dapur. Dia berkacak pinggang, tidak mendapatkan sesuatu untuk di makan.
Gadis berambut panjang itu pun beralih pada lemari pendingin dengan dua pintu. Dia membuka sebelah pintu, tidak mendapatkan makan apa pun di sana. Hanya botol-botol air mineral berjejer rapi.
"Sebenarnya ada yang tinggal di rumah ini enggak, sih? Kenapa enggak ada makanan apa pun?" gerutu Ilona.
Dia pun beralih ke pintu satunya. Sudut gadis itu tersungging, mendapati sebuah apel tersimpan di sana. Lumayan untuk mengganjal perut yang terus berbunyi.
"Maafkan, aku. Bukan bermaksud untuk mencuri, tetapi aku benar-benar lapar," gumam Ilona sembari meraih apel dan sebotol air mineral.
Gadis itu pun lantas duduk di kursi pada meja makan, menyantap sebuah apel dengan lahapnya. Angan Ilona melayang jauh, membayangkan seseorang yang tinggal di rumah mewah tersebut. Mengapa tinggal di sana tanpa persediaan makanan? Apakah rumah tersebut memang dibiarkan kosong?
"Tidak! Bagaimana kalau tidak ada seseorang yang tinggal di sini? Apakah aku akan terkurung di rumah ini?"
Perasaan cemas menghampiri hati gadis itu. Dia segera meraih ponsel dan memencet sebuah kontak nama. Ilona sengaja menganti nomor ponsel sebelum kabur dari rumah. Gunanya agar orang tua gadis itu tidak menghubungi. Beberapa kali mencoba menelepon, tetapi seseorang di seberang tidak mengangkat.
"Ih! Di mana kamu Arsen? Katanya di Yogja, kenapa tidak membalas pesan-pesanku?" Ilona meletakkan kembali ponselnya, lalu menenggak air mineral dalam botol.
Resah bergelayut dalam hati, memikirkan kekasih hati yang tidak kunjung memberi kabar. Padahal, mereka telah sama-sama berjanji, bertemu di kota yang terkenal sebutan Kota Gudeg tersebut. Namun, semenjak pergi dari rumah, si pemilik hati Ilona tidak kunjung memberi kabar.
"Sepertinya aku harus bermalam di rumah ini dulu. Besok pagi baru bisa keluar dan mencari keberadaan Arsen."
Ilona kembali membuang sisa makan malamnya, lalu kembali mengendap untuk menemukan tempat ternyaman untuk bersembunyi. Dia berharap tidak bertemu dengan pemilik rumah sampai bisa keluar dengan aman.
Gadis itu tidak pernah menyesali keputusannya pergi dari rumah dan terkatung-katung di kota orang tanpa arah tujuan. Dia hanya ingin bersama Arsenio, pemuda yang telah menjalin kasih semenjak duduk di bangku kuliah. Namun, restu dari Janu tidak kunjung Ilona dapatkan. Bahkan, laki-laki itu memaksanya untuk menikah dengan anak dari sahabat sang ayah. Demi cintanya, dia terpaksa membangkang pada orang tua.
Hari telah lewat tengah malam, Erlangga baru saja tiba di rumah mewahnya. Usai memarkirkan kendaraan roda empat, laki-laki itu bergegas masuk ke rumah. Tubuhnya sudah sangat lengket, seharian berada di proyek kontruksi mengakibatkan mengalir membasahi.Melihat rumah dalam keadaan gelap gulita, Erlangga segera menyalakan beberapa lampu. Seketika rumah berhias ukiran itu pun terang benderang. Laki-laki bertubuh tegap itu pun beralih ke kamar utama yang berada di lantai dua. Dengan langkah tegap, dia menaiki satu per satu anak tangga. Tepat di ujung tangga, Erlangga meraih knop pintu jati berhiaskan ukiran.Laki-laki itu meletakkan tas kerja pada sofa, lalu segera menuju kamar mandi. Di bawah guyuran shower, Erlangga membasuh tubuh lengketnya. Gemercik air yang membasahi badan kekarnya begitu menyegarkan. Dia merasa lega, tubuhnya telah kembali bersih.Dengan mengenakan handuk yang melingkar di pinggang, Erlangga keluar dari kamar mandi. Dia menghidupkan
Mobil putih kesayangan Erlangga sudah melesat di jalanan, membelah gelap malam. Kantuk dan lelah yang semula dirasakan laki-laki tersebut, hilang entah di mana. Demi Ilona yang kelaparan, dia mau berkeliling hanya sekadar mencari tempat makan di sepertiga malam.Gadis manis bertubuh langsing itu pun dengan tenang duduk sampingnya. Dia mengamati jalanan Kota Yogyakarta di malam hari. Geliat manusia masih begitu ketara di malam yang hampir menjelang pagi."Kamu mau makan apa? Tidak banyak makanan yang bisa kita cari pada jam-jam seperti sekarang ini," ujar Erlangga."Apa saja yang terpenting nasi," sahut Ilona santai.Erlangga mendengkus, lalu melirik gadis yang duduk di sampingnya. Dia pun merasakan hal yang sama, rasa lapar yang menyiksa perut. Laki-laki itu teringat, belum mengisi lambung dengan nasi seusai pulang dari proyek bangunan. Erlangga mencari makanan di waktu malam bukan semata-mata mengabulkan keinginan Ilona, tetapi juga kebutuhan dirinya jug
Erlangga menggeliat, lalu mengubah posisi menjadi duduk. Terik sinar mentari yang menelusup dari celah jendela mengganggu tidur nyenyaknya. Laki-laki itu menyipitkan mata, lalu menutup wajah dengan telapak tangan. Dia berusaha mengumpulkan kesadaran.Setelah berdiam beberapa saat, Erlangga melirik jam yang terpasang di dinding. Jarum panjang benda hitam itu menunjuk angka sepuluh, tujuh jam sudah dia terlelap dalam buaian mimpi.Ingatan Erlangga kembali pada kejadian di malam hari. Matanya tiba-tiba terbuka lebar, lalu menyibak selimut dan bergegas keluar kamar. Dengan berlari, dia menuruni anak tangga untuk mencari gadis aneh yang tiba-tiba berada di rumahnya. Erlangga berharap semua hanya mimpi. Namun, setelah mencium aroma masakan yang menguar, laki-laki itu yakin bahwa Ilona nyata.Erlangga memelankan langkah, lalu berdiri di ambang pintu dapur. Dia mengamati aktivitas gadis yang tengah bergelut dengan peralatan memasak."Sedang masak apa kamu?"
"Kenapa kita belanja di pasar tradisional, sih, Mas?" tanya Ilona penasaran. Laki-laki bertubuh tegap yang berada di sampingnya tidak langsung menjawab, terlihat berpikir sembari berjalan. Ilona pun mengikuti gerak langkah Erlangga. Sesekali dia melirik, menanti jawaban di pemilik rumah mewah. "Emang ada yang salah?" tanya Erlangga. Ilona mengembuskan napas kasar, malas pertanyaan dijawab dengan sebuah pertanyaan. "Enggak, sih. Namun, biasanya orang kaya itu belanjanya di swalayan. Kenapa ini di pasar?" "Untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Kalau semua belanja di swalayan, lalu kasihan pedagang di pasar tradisional, dong. Dagangan mereka enggak laku," kilah Erlangga. Gadis bermanik mata cokelat itu terdiam, meresapi ucapan Erlangga. Memang benar, jika semua orang belanja di pasar modern, lantas apa kabar penjual di pasar tradisional? Bukankah hidup itu harus ada keseimbangan? "Aku akan mengantar kamu belanja ke sini beberapa
Sesampainya di rumah berukiran kayu, Ilona bergegas keluar mobil. Dia melupakan belanjaan dan keberadaan Erlangga. Gadis itu membuka pintu dengan kunci yang diberikan sang majikan sebelumnya, lalu menuju dapur untuk mengambil segelas air dingin. Dia ingin menghilangkan haus yang sedari tadi menyerang tenggorokan sekaligus mendinginkan hati agar tidak meluapkan emosi."Kenapa meninggalkanku begitu saja?" protes Erlangga dengan membawa barang belanjaan."Aku haus, Mas.""Masih marah sama aku?"Erlangga meletakkan barang belanjaan. Sementara itu, Ilona masih enggan menjawab. Gadis itu malah mengambil barang belanjaan untuk disimpan. Erlangga yang berdiri tidak jauh darinya hanya memperhatikan wajah cemberut gadis tersebut dengan bersandar pada dinding."Aku janji akan membantu mencari pacarmu itu. Tenang saja, sedikit banyak aku memiliki teman di sini. Berikan saja fotonya," ujar Erlangga.Mendengar ucapan laki-laki itu, mata Ilona berbinar. Di
"Lona!"Teriakan Erlangga menggema ke seluruh penjuru rumah. Dia menggedor pintu kamar pembantu cantiknya dengan tidak sabar."Lona!"Dengan malas, Ilona segera bangkit setelah mendengar suara Erlangga. Sebelum membuka pintu, dia terlebih dahulu menghapus sisa air mata di pipi. Menangis nyatanya tidak serta merta meredakan emosi, gadis itu masih marah pada si pemilik rumah. Begitu pula dengan Arsenio yang tidak kunjung diketahui kabarnya.Sebelum Erlangga kembali mengetuk pintu, Ilona terlebih dahulu membukakan. Gadis itu terkejut ketika si pemilik rumah merangsek masuk kamarnya. Tidak hanya itu, bahkan laki-laki tersebut menutup pintu dan menguncinya.Debaran dalam dada Ilona kian kencang. Dia memperhatikan raut wajah bingung Erlangga. Perlahan tapi pasti, gadis itu bersiap untuk menjaga diri. Takut bila sesuatu tidak diinginkan terjadi. Bukankah Erlangga juga
"Kenapa buka pintunya lama, sih, Lang? Nyembunyiin sesuatu lu, ya?"Erlangga berdiri di ambang pintu sembari memperhatikan tamu yang sedari tadi menekan bel rumah. Dia menatap tak suka pada laki-laki berjaket kulit di hadapannya. Bukan tidak boleh berkunjung ke rumahnya, hanya saja di saja ada Ilona. Erlangga tidak ingin sahabatnya yang buaya darat mengelabuhi Ilona."Selain rumahku, tidak adakah tempat lain yang bisa kamu kunjungi?" Erlangga balik bertanya."Enggak suka banget gue ke sini, harusnya seneng sahabat lu datang kemari," lanjut laki-laki berjaket kulit itu.Erlangga menggeleng pelan saat laki-laki yang mengaku sebagai sahabatnya itu menerobos masuk ke rumah. Dia pun segera menutup pintu dan mengekor di belakangnya. Seseorang yang baru datang itu langsung duduk di sofa, seakan rumah tersebut miliknya juga."Menginaplah di hotel, Van. Biasanya juga begitu,
"Aduh! Mas Erlangga marah enggak, ya. Aku putar musiknya malah agak kencang. Tamunya Mas Erlangga dengar enggak, ya?" gumam Ilona di dalam kamar. Beberapa kali gadis itu mendengarkan keadaan luar dari melalui pintu kamarnya. Dia takut jika persembunyiannya sampai diketahui. Sunyi. Ilona tidak dapat mendengar apa-apa di luar kamarnya. Dia kembali menajamkan pendengaran. Nihil. Suara Erlangga dan sahabatnya tidak terdengar sama sekali. "Apakah mereka pergi? Apakah Mas Erlangga sudah berhasil membawa tamunya keluar rumah?" ucapnya lagi. Ilona hendak meraih kenop pintu, tetapi nada dering ponsel miliknya lebih dahulu terdengar. Gadis itu segera meraih ponsel di nakas. Sebuah pesan dari pemilik nama Erlangga masuk di aplikasi hijau miliknya. Tidak menunggu lama, Ilona segera membukanya. [Dasar! Hampir