Share

Bab 2

Eleana devilova smith, wanita 22 tahun yang sekarang tengah menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin besar. Kamar dengan nuansa hitam gelap ini menjadi tempat tidurnya setelah kemarin ia dipaksa untuk segera mengemasi barang dan harus tinggal di sebuah hotel megah pilihan Mikael.

Akhirnya ia mengalah pada takdir dan membiarkan kebebasannya direnggut paksa oleh seorang Mikael Abraham. Ia tidak ingin dianggap anak durhaka karena tidak menuruti kemauan orang tua, maka dengan sangat berat hati dan tidak rela, Eleana menerima pernikahan ini.

Entah sudah berapa kali riasan pada wajahnya selalu dipoles ulang, air mata Eleana tidak berhenti meluruh dari kedua mata birunya. Meski  ia sudah mencoba untuk menghentikannya, rasa sesal dan sesak selalu berhasil membuat pertahanannya runtuh.

Ia hanya sendirian di kamar hotel ini, setelah perias keluar lima belas menit yang lalu. Kamar dengan aroma khas Mikael dengan nuansa gelap yang dominan oleh sosok Mikael yang terkesan sangat misterius.

Sudah hampir setengah jam, Eleana meratapi dirinya sendiri yang merasa sudah tidak punya harga diri. Ia tidak pernah menyangka, pernikahannya akan berjalan seperti ini. Ia sudah tidak peduli juga dengan riasan atau pun gaun yang ia kenakan.

Tiba-tiba pintu terbuka.

Memunculkan sosok Mikael yang terlihat bertambah tampan dengan balutan tuxedo hitam yang melekat pas di tubuh tegapnya. Terkesan sangat serasi dengan gaun putih gading yang sedang ia kenakan.

“Hai, Baby.”

Eleana tak bergeming, wanita itu masih tetap menatap cermin tanpa peduli jika Mikael sedang berjalan mendekat ke arahnya.

Lelaki itu memeluk tubuhnya dari belakang, melingkarkan kedua tangannya untuk menggapai pinggang ramping Eleana. Perlahan, tangan Mikael terulur mengusap bahu telanjang Eleana yang terasa halus dan harum.

“Kau sangat cantik.”

Mikael membalik Eleana dengan sekali gerak, menghadapkan dirinya pada Eleana. “Bagaimana, kau menyukai riasanmu?”

Setetes air mata jatuh yang membuat Mikael menatap heran.

“Apa kau akan terus menangis, di hari pernikahan kita?”

“Aku ingin pulang sekarang, bawa aku pergi dari tempat ini,” cicit Eleana dengan bibir bergetar.

Mikael terkekeh. “Kau akan pulang bersamaku setelah acara kita selesai.”

“Aku tidak ingin menikah denganmu.”

“Sudahlah, tidak ada yang bisa kau lakukan.”

Eleana meremas gaun yang ia kenakan, menatap Mikael dengan air mata yang bercucuran. “Kau pria gila! Kau membawaku semaumu, kau pikir aku barang?!”

Mikael tersenyum meremehkan, “Memang kau barang, aku sudah membayar mahal untuk hargamu.”

“Kau pikir semuanya bisa dibeli dengan uangmu?!” Pekik Eleana.

Mikael semakin tertawa keras.

“Jangan lupa, jika Mommy-mu sendiri yang sudah menjualmu demi perusahaannya. Kasihan sekali, Ibunya lebih memilih perusahaan daripada anak gadisnya.”

Sesak, sudah jelas. Eleana merasa sangat tertohok dengan ucapan Mikael yang benar-benar melukai hatinya. Tetapi, itu benar adanya, Eleana memang sudah diserahkan pada Mikael demi perusahaan dan pengobatan sang ayah.

Wanita itu dengan cepat berdiri dan hampir menarik gagang pintu, ingin pergi. Dengan cepat pula Mikael menarik pergelangan tangan Eleana hingga wanita itu terduduk di tepi ranjang.

“LEPASKAN AKU!”

Eleana mendorong dada bidang Mikael yang sama sekali tak membuat lelaki itu berubah posisi. Justru sekarang Mikael dengan mudah mendekatkan wajahnya ke wajah Eleana, sampai embusan napasnya terasa hangat di pipi Eleana.

“Berhenti menangis, aku tidak suka melihat wanitaku menangis.” Mikael mengusap pipi Eleana yang langsung ditepis oleh wanita itu.

“Lima belas menit lagi, kita turun. Hapus air matamu, dan bersiap-siaplah,” imbuhnya.

Lelaki itu kemudian keluar dari kamar, meninggalkan Eleana yang masih terisak.

***

Eleana POV

Mataku sembab. Aku menangis seharian, bahkan sampai tengah malam ini. Aku tidak bisa tidur memikirkan keadaan Dad dan Mom yang tidak bisa kuketahui sampai sekarang. Mereka bahkan menghindar dan tidak bisa kuhubungi.

Pukul dua belas malam. Saat lampu kamar tiba-tiba menyala dan terdengar derap langkah seseorang yang semakin mendekat.

Aku tahu siapa itu, Mikael—suamiku. Tanpa aku sadari kami memang sudah menjadi pasangan suami—istri yang sah di mata hukum. Walau acara pernikahan tadi tidak pernah aku inginkan dan tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Menikah tanpa didampingi orang tua, hanya ada pendeta, dirinya, dan Mikael saja.

Tadi, setelah acara itu selesai. Mikael buru-buru berganti pakaian dan pergi, aku tidak tahu jelas ia ke mana, tetapi dia memintaku menunggu di kamar hotel ini. Dini hari ia baru pulang. Sesibuk itu, kah? Bahkan di hari pernikahan.

Aku dapat merasakan kasur di sampingku bergetar. Mikael naik ke atas ranjang dan aku yang tetap memunggunginya, aku benci melihat wajahnya.

Seharusnya, malam pertama seorang pasangan suami—istri tidak seperti ini, bukan? Tapi, mau bagaimana lagi, dari awal aku bahkan tidak ingin menikah dengannya.

“Aku tahu, kau belum tidur,” ucapnya, setelah lama tidak kudengar pergerakan lagi.

Aku diam.

Mikael membalik tubuhku dengan mudahnya, dan mata kami bertemu untuk pertama kali setelah pernikahan itu digelar. Aku tidak tahu di mana keberanian itu muncul hingga aku berani menamparnya dengan keras.

Aku menggigit bibir bawahku, takut jika Mikael akan marah. Di luar dugaan ia justru tersenyum dan mengusap pipinya sekilas. Lalu ia kembali membungkam bibirku dengan bibirnya, sampai aku benar-benar kehabisan napas karena dirinya yang tidak kunjung melepaskan pagutan. Bahkan kini, ia semakin brutal dengan bermain ke rongga mulutku dengan menyapukan lidahnya, mengakses setiap tempat di dalam sana.

“Ini hukuman untukmu,” kata Mikael, saat aku terbatuk-batuk karena ulahnya.

Jujur, ini baru pertama kali aku melakukannya. Aku sama sekali tidak berpengalaman dalam hal berciuman, apalagi mengikuti gaya berciuman Mikael yang lama dan mendalam.

“Tidur.”

Lelaki itu mengecup kedua mata sembabku bergantian. Kemudian beralih pada kedua pipiku dan terakhir di kening.

“Sudah berapa kali kukatakan, aku tidak mau melihat wanitaku menangis.” Suara beratnya kembali kudengar.

Malam itu, aku tidak bisa membendung tangisku karena begitu sedih. Bukan karena pernikahan ini, aku sudah rela jika memang ini yang terbaik untuk kedua orang tuaku, tetapi, aku masih mengkhawatirkan bagaimana kedua orang tuaku di sana menjalani hari mereka. Apakah mereka makan dengan baik? Dan tidur dengan nyenyak?

Aku tidur dengan kehangatan dari Mikael Abraham yang membawaku dalam dekapannya. Lelaki menyebalkan yang tidak kusangka sudah menyandang status sebagai suamiku.

***

Eleana POV

Aku tidak percaya.

Bagaimana bisa lelaki seperti Mikael memiliki ruangan semacam ini. Sebuah walk in closet yang penuh dengan pakaian wanita yang berderet lengkap, sepatu dan tas, dan jangan lupakan perhiasan serta make up yang tertata rapi pada tempatnya. Saat pertama kali masuk ke ruangan ini, aku seperti sedang berada di dalam mall besar dan dimanjakan dengan deretan pakaian mahal yang tidak mampu aku beli.

Mataku berbinar melihat deretan gaun dengan potongan sederhana yang berderet bermacam-macam warna. Dan aku sendiri sudah terbuai untuk menyentuh gaun yang menarik perhatianku saat pertama kali aku melihatnya.

“Bagaimana bisa dia memiliki banyak gaun untuk wanita?” aku masih bertanya-tanya.

Tanganku meraih gaun itu, gaun sederhana berwarna hitam yang pas ketika berada di tubuh rampingku.

“Tunggu, apakah ini diperuntukkan untukku? Atau ini sebenarnya milik—“

“Milik siapa?”

Tubuhku tersentak kaget, saat tiba-tiba Mikael sudah ada di depan pintu, memperhatikanku dengan seringai dan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana kainnya.

***

Eleana menatap Mikael dengan ragu, bahkan gaun yang ada di tangannya sampai jatuh ke lantai karena gugup. Buru-buru pula ia memungut gaun itu lalu menaruhnya kembali ke tempatnya.

“Aku, aku hanya melihat.”

“Ini ruanganmu, semuanya sudah kusiapkan untukmu, Baby.”

Mikael melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam, dan Eleana justru memundurkan dirinya sampai ke sudut ruangan. “Ma—mau apa kau?”

“Kenapa kau takut padaku?” tanya Mikael, heran.

Mereka sudah berstatus suami istri, tetapi Eleana masih saja tidak ingin didekati Mikael. Ia masih belum bisa membuka hatinya meski sudah mengatakan jika dia sudah benar-benar menyerahkan dirinya untuk Mikael. Membuka hati memang sesulit itu untuknya, ia masih harus menata hati dan beradaptasi pada situasi seperti ini.

“Mundur,” ucap Eleana menghentikan langkah Mikael.

Tidak peduli, Mikael justru semakin maju dan Eleana yang terlihat meneguk ludah. Tangan Mikael tergerak untuk menyalipkan anak rambut Eleana ke belakang telinga, lalu ia meraih gaun yang tadi dibawa wanita itu.

“Selera yang bagus, pakai gaun ini dan segera bersiap. Malam ini, kau akan bertemu dengan Ayah mertuamu.”

Pernyataan yang sukses membuat Eleana tercengang, ia segera mengambil gaun yang ada di tangan Mikael dan beberapa perhiasan lain. Ia akan menyiapkan diri dan bersiap-siap untuk pertemuannya dengan mertua. Walau dia masih setengah hati menerima lelaki itu, tapi Eleana tetap sadar kedudukannya saat ini, yang menjadi istri seorang Mikael Abraham yang memang bukan orang sembarangan. Ia tahu, keluarganya pasti menjunjung tinggi sebuah peraturan dan Eleana tidak ingin dirinya merasa malu jika tidak mempersiapkan diri sebaik mungkin.

Setengah jam lebih, Eleana sibuk dengan beberapa alat make up untuk mempercantik dirinya. Lalu pintu diketuk dan masuklah Bibi Margareth yang tersenyum hangat pada Eleana. “Kau cantik sekali Nyonya,” katanya memuji.

“Terima kasih Bi.”

“Tuan muda sudah menunggumu di mobil, mari ku antar Nyonya.”

Eleana segera mengikuti langkah kaki Bibi Margareth yang akan membawanya ke Mikael. Penampilannya sudah maksimal dan Eleana harap ini bukan gaun yang buruk untuk digunakan di acara penting—bertemu mertuanya.

“Aku gugup sekali, Bi.”

“Tenang saja, Tuan muda pasti akan selalu mendampingimu. Tidak perlu takut Nyonya, Tuan besar dan Nyonya besar sangat ramah dan baik, kau akan suka nanti jika sudah bertemu mereka.”

Penuturan itu membuat Eleana sedikit lega, ia segera masuk ke dalam mobil setelah bodyguard membukakan pintu. Ia duduk di samping Mikael yang sekarang tengah duduk tegap sambil memainkan ponsel.

***

Eleana POV

Sesampainya di mansion keluarga besar Abraham, aku tidak pernah melewatkan sedikit pun perubahan wajah Mikael, lelaki itu lebih banyak diam saat ini. Bahkan saat kami sudah duduk di meja makan dan bersiap untuk makan malam.

Ternyata benar yang dikatakan Bibi Margareth, mereka menyambutku dengan ramah dan tersenyum hangat, meski Tuan Abraham tidak memudarkan wibawanya sedikit pun. Aku gugup tentu saja, tetapi aku mencoba tenang.

“Hm....” Abraham mulai menyelidik ke arahku.

Lalu dua pasang mata yang ada di meja itu, juga menatapku. Di sini, ada lima orang, Nyonya Isabelle, Tuan Abraham, aku dan Mikael, sisanya seorang lelaki yang usianya mungkin lebih tua dari Mikael. Aku tidak tahu siapa dia karena memang dia tidak bicara sejak kami sampai di sini.

“Jadi ini calon istrimu?” tanya Tuan Abraham pada Mikael.

“Istriku.”

“Kau masih saja seperti dulu El, kaku dan tidak berperasaan.” Lelaki yang tidak kukenal itu bersuara dan terkekeh di akhir kalimatnya.

“Aku memang tidak berubah.”

“Kau sangat pintar mencari istri rupanya, bagaimana jika kita bertukar posisi?” tanya lelaki itu.

Mikael menggebrak meja makan sampai semua yang ada di meja itu terkejut, tak terkecuali aku. Bahkan jika aku tidak bergerak untuk menyentuh lengan Mikael, mungkin sebuah pisau daging akan melayang pada laki-laki itu. Mikael terlihat menyeramkan saat marah.

“Berhenti Mikael!” Tuan Abraham murka.

Aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa pada kondisi ini. Jadi aku hanya diam sambil mengusap lengan Mikael, berharap amarah itu cepat reda.

“Jaga ucapanmu!” katanya, penuh penekanan.

Lelaki itu terkekeh, menyebalkan. “Memangnya wanitamu akan mau selamanya denganmu? Kurasa tidak. Saat ini saja dia terlihat tertekan.”

Apakah aku terlihat sangat menyedihkan?

Mikael mengepalkan kedua tangannya, ia langsung menyeretku keluar dari ruang makan. Sekuat apa pun aku memberontak, nyatanya aku tetap tidak berhasil lepas dari genggaman Mikael. Ayolah, aku belum berpamitan pada orang tua Mikael, haruskah acara makan malam ini menjadi malapetaka? Apa yang akan dipikirkan oleh mertuaku, aku pergi tanpa pamit. 

Percuma, Mikael tetaplah Mikael. Lelaki berhati batu yang tidak pernah bisa kupahami bagaimana perasaannya.

___

Mikael semakin mengeratkan genggamannya pada pergelangan tangan Eleana, tidak peduli bagaimana wanita itu merintih kesakitan dan sepertinya pergelangannya sudah terluka. Ia tidak mau mendengar ucapan Eleana yang menyuruhnya berhenti, bahkan semakin mempercepat langkahnya hingga Eleana mengikuti dengan terseok.

Bruk!

Kejadian itu begitu cepat terjadi, Eleana memegangi kepalanya setelah menjerit karena ia terkantuk ujung kursi taman yang runcing. Saat Mikael berbalik, ia sudah menemukan Eleana yang terduduk di bebatuan denagn pelipisnya yang mengeluarkan darah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status