Share

I love you Cheff
I love you Cheff
Penulis: Primadona

1

Suara jeritan penuh tangis serta teriakan yang saling sahut menyahut terdengar selalu setiap kali Imelda berada didalam rumah. Bukannya tak ingin melerai perkelahian kedua orangtuanya tetapi hal ini bukan satu atau dua kalinya terjadi.

Setiap kali orangtuanya bertengkar, Imelda memilih keluar dari rumahnya berjalan kaki seorang diri demi menenangkan pikirannya.

Langit begitu gelap, ia berjalan bermodalkan lampu-lampu jalan yang tak begitu terang. Ketika kakinya lemah menelusuri jalan, ia akhirnya terjatuh karena kelelahan. Seketika itu pula ia akhirnya sadar bahwa langkahnya cukup disini, perasaan muak yang campur aduk harus ia tuangkan disini.

Imelda menangis tersedu-sedu seorang diri, sembari menatap langit yang berhias bintang. Ia kini tahu kalau ia harus mengandalkan dirinya sendiri, mencari kebahagiaan seorang diri.

Selama ini ia menahan rasa sakitnya melihat keadaan orangtuanya yang tak pernah akur, berharap kedua orangtuanya melihat dirinya yang sangat kesepian dan mereka jadi sosok orangtua yang begitu mencintainya. Namun, hal itu hanyalah sebuah kenangan dan impian belaka.

Disaat yang bersamaan, dering ponselnya berbunyi. Imelda berharap orangtuanya lah yang menelfon untuk mengetahui keberadaannya. Ternyata salah, panggilan itu dari pamannya.

"Hallo Paman," ucapnya dengan serak.

"Mel, kamu menangis? Apa ayah dan ibumu bertengkar lagi?" Tanyanya diseberang.

Imel mengangguk, "Iya paman, dan aku sudah tidak tahan."

"Imelda sayang, tenangkan dirimu! Paman besok akan menjemputmu."

"Tidak perlu Paman! Aku akan pergi seorang diri, lagian aku dulu pernah kerumah Paman jadi aku pasti akan sampai dengan benar," yakinnya.

"Apa kau yakin? Waktu kamu kesini, kamu masih sangat kecil, Mel."

Imel segera mengangguk, "yakin, Paman bisa mengandalkan ku."

Pamannya jadi tersenyum lega, "Baiklah kalau itu mau mu, beristirahatlah! Paman akan menjemputmu ketika sudah tiba dibandara."

"Baik Paman."

Imelda lalu penutup sambungan telfonnya, dan segera menyeka air matanya yang masih menetes dipipi. Setelah ia merasa tenang, ia akhirnya memutuskan untuk kembali kerumah. Rumah yang bagaikan neraka baginya.

****

"Kamu darimana saja, Mel?" Tanya sang ibu, pada Imel yang baru saja memasuki rumahnya.

Imel menghentikan langkahnya lalu menoleh pada sang Ibu, "sudah bertengkarnya? Kalau mau dilanjut lagi ya silahkan," sahutnya dengan ketus.

PLAKK!!

Seketika tamparan keras itu dilayangkan, membuat wajah Imel tertoleh dan terasa perih.

Ketika Imel memegangi pipinya dan kembali menangis, ibunya jadi menyesal dan ingin mengelus bekas telapak tangannya itu.

"Anakku, maaf! Ibu tidak bermaksud."

Imel yang sudah marah dan tak peduli langsung pergi berbalik memasuki kamarnya dan mengunci pintunya rapat-rapat. Ia pun kembali menangis dengan sakit.

Sang ibu yang telah menampar anak kesayangannya itu pun sangat menyesal dan tersadar akan perkataan anaknya, ia jadi tahu bahwa selama ini rumah tangganya sudah tak baik baik saja. Bahkan ia tak lagi tahu akan kegiatan bahkan kesukaan anaknya. Egois memang suatu hal yang melekat disetiap jiwa manusia.

Kini ia tak lagi bertahan karena rasa sayang, tapi selama ini ia bertahan hanya untuk menunda perpisahan.

"Mari kita bercerai saja!"

Ucapnya kemudian pada sang suami yang memang sudah bersiap diri untuk keluar dari rumah dan mengemas pakaian.

"Baguslah! Mari kita bercerai saja dan masalah Imelda--"

"Dia akan hidup diluar negeri bersama pamannya, dia bisa mencari pekerjaan yang bagus disana," sekanya.

Ayah Imel mengangguk, "Baguslah," sahutnya, lalu mengambil tas berisi pakaian yang telah selesai dikemasnya. "Kalau begitu aku akan pergi sekarang."

"Apa kau tidak ingin mengucapkan salam perpisahan pada putrimu?"

"Tidak perlu, aku tahu bahwa anakku itu pasti sudah membenciku," sahutnya pasrah, sebelum akhirnya ia benar-benar pergi dari rumah yang sudah puluhan tahun ia tinggali.

****

Kini sudah pagi hari, dan waktunya Imel menyiapkan diri untuk segera pergi. Ya, pergi dari rumah yang sudah hancur ini.

Ketika ia membuka pintu kamar, ia disuguhkan oleh pemandangan ibunya yang menyibukkan diri menyiapkan masakan diatas meja makan.

"Imel, kamu sudah bangun? Yukk makan dulu! Ibu sudah masak makanan kesukaanmu," ucapnya dengan senyum membuat Imelda tertegun.

Setiap pagi ia selalu mendengar isak tangis dikamar orangtuanya, lalu ia sendiri pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan untuk diri sendiri serta kedu orangtuanya. Tapi kali ini sungguh berbeda, rasanya hal ini sama seperti lima tahun lalu sebelum ibunya mengetahui bahwa ayahnya telah bersama dengan teman wanitanya.

"Tambah nasinya yang banyak! Kamu akan bepergian jauh jadi butuh banyak tenaga," ucap ibunya penuh perhatian.

Imelda mengangguk sembari tersenyum dengan mata nanar penuh haru, "masakan ibu enak," pujinya.

Mendengar pujian dari anaknya seketika ia meneteskan air mata lalu dengan cepat menyekanya. "Ikannya juga makan yang banyak," ucapnya sambil mengambil sepotong daging ditaruh diatas piring anaknya.

Imelda yang begitu senang segera melahap masakan ibunya dengan cepat hingga ia tersedak, "Uhuuk Uhuuk."

Ia pun segera meneguk segelas air putih didepannya hingga membuat nafasnya kembali lega.

"Kalau makan pelan-pelan, sayang!" Ucap sang ibu sembari menepuk pelan punggung anaknya penuh perhatian.

"Habisnya masakan ibu enak sih," sahut Imelda membuat keduanya jadi tergelak tawa.

Setelahnya ibunya berpura-pura menyibukkan dirinya didapur, mencuci piring yang tak kotor didepannya. Sedangkan Imelda sudah bersiap dengan barang bawaannya.

Ketika Imelda keluar dari kamar, ia langsung pergi menuju dapur dan langsung memeluk punggung ibunya.

"Aku akan pergi sekarang," ucapnya sembari menenggelamkan wajah sedihnya dipunggung ibunya.

Tapi ibunya tidak menoleh dan terus berpura-pura mencuci piring yang sudah bersih, "Segeralah berangkat takut kamu nanti ketinggalan pesawat!"

Imel yang mendengar itu jadi melepas pelukannya, "kalau begitu aku pergi sekarang, jaga diri baik-baik ya, Bu!" Ucapnya sebelum ia berbalik untuk melangkah pergi.

Namun sebelum Imel memasuki mobil taxi, ibunya berlari mengejarnya dengan wajah penuh kesedihan yang sudah tak bisa ia sembunyikan. Tanpa ragu ia langsung memeluk Imel dengan erat, keduanya jadi menangis dan memeluk begitu eratnya.

"Maafkan ibu ya, Nak! Maafkan ibu yang selama ini tidak bisa menjadi ibu yang baik untukmu. Tolong jangan membenci ibu!"

"Aku sudah memaafkan ibu, aku juga tidak pernah membenci ibu," sahutnya membuat ibunya menjadi lebih tenang.

Ia melepaskan pelukannya dan langsung mengelus kedua sisi pipi putrinya dengan kedua tangannya, "jaga diri baik-baik disana dan jangan lupa untuk mengabari ibu ya!"

Imelda mengangguk, pun juga sama mengelus kedua pipi ibunya dan menyeka air mata yang masih menetes di pipinya. "Aku sayang ibu."

Mereka pun saling berpelukan kembali sebelum kemudian saling melambaikan tangan untuk sebuah perpisahan.

"Ibu juga menyayangimu."

****

Disisi lain Jinu Bastian tengah marah besar kepada papanya.

"Aku menentang perjodohan ini, Pa," tegasnya.

"Tapi kenapa? Dona adalah gadis yang sangat cantik, dia juga anak dari rekan bisnis papa, dan tumbuh di keluarga yang terhormat."

"Aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak aku cintai, pa."

"Seiring berjalannya waktu kalian berdua akan saling jatuh cinta, kalian hanya perlu mengenal satu sama lain."

"Papamu benar, Jinu. Mama dan papa dulu seperi kalian," timpali mamanya.

"Oke baiklah, tapi apa mereka tahu kalau hidupku tidak akan lama lagi?"

Pertanyaan itu sontak membuat kedua orangtuanya jadi menunduk sedih dan tak bisa berkata-kata lagi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
awal yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status