Share

3

"Kamu akan mencari pekerjaan?" tanya sang paman ditengah sarapannya.

Imel mengangguk, "iya paman, aku harus segera menemukan pekerjaan. Apa pun itu yang penting halal."

Pamannya jadi tersenyum, "baguslah! Paman yakin kamu memang bisa diandalkan."

Imel mengulas senyumnya lebar, meyakinkan sang paman bahwa dia memang benar-benar anak yang mandiri dan tidak akan menyusahkan, apalagi ia tahu bahwa pamannya pun hanya tinggal di apartemen kecil yang tak jauh dari pusat kota. Tidak mungkin dia hanya berdiam diri dan menumpang hidup saja.

"Huekk! Huekk!"

Tiba-tiba terdengar suara bibinya yang tengah mual-mual dikamar kecil membuat dirinya dan sang paman panik.

"Kamu tidak apa-apa, dek? Sepertinya kamu sedang sakit?" tanya pamannya penuh kuatir pada istrinya.

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, "aku gak apa-apa kok mas, cuma kayaknya aku masuk angin aja."

"Tapi wajahmu pucat dek. Mas anterin kamu kerumah sakit ya sekarang?" Tawarnya.

"Gak usah mas, mas kan harus kerja. Katanya hari ini mas ada meeting sama atasan, aku takutnya nanti merepotkan mu mas."

Mendengar perkataan istrinya membuat ia jadi berfikir dan ragu, ia benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaannya karena bosnya tidak mentolerir bawahan yang datang terlambat dengan alasan apapun, apalagi diwaktu genting seperti ini.

"Biar aku saja yang temenin bibi kerumah sakit," tawar Imel yang mendengar percakapan, "paman segera berangakat kerja saja tidak perlu khawatir."

"Imel benar mas, biar aku datang kerumah sakit dengannya saja."

Mendengar perkataan itu pamannya mengangguk menyetujui, ia tahu bahwa Imel dapat dipercaya. "Baikalah, kalau begitu mas berangkat kerja ya sekarang," pamitnya.

"Titip bibimu ya, Mel!" Lanjutnya sebelum melangkah pergi.

Imel melingkarkan kedua jarinya, "siap paman, akan aku jaga bibi dengan baik."

Bibi jadinya tersenyum mendengar penuturan anak periang itu.

Disisi lain, Jinu yang baru saja bangun dari tidurnya langsung merasa haus dan mencoba merogoh gelas diatas nakasnya yang ternyata isinya kosong.

Ia kemudian berjalan menuju dapur, mengambil satu gelas kaca dan dituangnya air didalamnya, tapi belum sempat ia meneguk kepalanya tiba-tiba pening dan terasa nyeri disekitar dadanya.

PRANKK!!

Seketika Jinu terjatuh pingsan dan gelas yang ia pegang pun ikut terjatuh pecah berserakan.

****

Imel yang baru saja sampai didepan rumah sakit dengan bibinya, langsung tertegun ketika melihat sosok seorang pria yang ia anggap sebagai pahlawannya sedang berbaring lemah dirangjang darurat tak sadarkan diri.

"Bibi, aku pergi sebentar ya!" Pamitnya.

Bibinya mengangguk, "baiklah, tidak masalah. Bibi nanti bisa pulang sendiri kok."

"Terimakasih bi, aku takkan lama." ucapnya sebelum ia melangkah pergi.

Imel diam diam menanyakan kepada salah seorang perawat tentang kondisi pria tersebut.

"Apa begitu parah ya, Sus?"

"Kondisinya saat ini sangat kritis dan butuh segera pendonor hati," sahutnya menjelaskan.

Imelda tertegun sejenak ketika mendengar informasi yang membuatnya ikut merasakan sakit itu.

"Maaf, apakah Anda salah satu keluarga Tuan Jinu?"

Imel segera menggelengkan kepalanya, "Bukan sus, tapi saya berniat ingin mendonorkan sebagian hati saya untuk Tuan Jinu."

"Baik, kalau begitu silahkan ikut saya! Kita akan melakukan beberapa test apakah hasilnya cocok."

Sebenarnya kepada jarum suntik saja Imelda sangat takut, apalagi membayangkan alat pembedahan yang akan menggores tubuhnya, membayangkannya saja ia meringis ngeri. Tapi semua itu ia lawan demi balas budi pada seseorang yang telah menyelamatkannya. Lebih tepatnya kehidupannya.

Karena itulah Imelda rela mememberikan bagian dari organ tubuhnya, dan menganggap itu adalah sebuah anugerah.

Setelah melakukan serangkaian tes, akhirnya dia cocok untuk melakukan pencangkokan hati. Hal itu membuat Imelda menjadi lega.

"Sebelum saya menjali operasi, saya ingin mengajukan sebuah persyaratan. Tolong jangan beritahu identitas saya kepada siapapun, termasuk keluarga Tuan Jinu. Hanya itu persyaratan yang mau saya ajukan."

Dokter yang tengah berada didepannya itu pun mengangguk menyetujui, "baiklah, kalau begitu silahkan tanda tangan agar kita segera melakukan pencangkokan."

Tanpa ragu Imelda pun segera mendatangani surat pernyataan yang berada didepannya itu.

Kini Imelda telah berbaring diruang operasi dengan perasaannya yang takut serta gelisah, tapi sedetik kemudian perasaan itu seketika hilang saat Imelda menoleh pada Jinu yang berbaring lemah tak sadarkan diri disebelahnya. Seketika itu pula, seuntas senyum terukir manis dibibirnya.

****

Lamat-lamat Jinu mulai membuka mata setelah empat hari terbaring tak sadarkan diri pasca operasi. Ketika membuka mata ia langsung disuguhkan oleh wajah kesedihan bercampur kebahagiaan dari sang mama.

"Untunglah kamu cepat tersadar anakku," ucapnya terharu sembari mengecup kening putranya.

Jinu mengulas senyum yang masih lemah di wajahnya, lalu ia beralih menoleh pada papanya yang tersenyum bahagia ketika melihat anaknya terbangun dari alam sadarnya.

"Apa kamu merasakan sesuatu anakku? Apa ada sesuatu yang masih terasa sakit?" tanya papanya penuh perhatian.

Jinu segera menggelengkan kepalanya, "enggak pa, aku merasa jauh lebih baik sekarang," sahutnya dengan serak.

"Baguslah."

Kedua orangtuanya pun tersenyum bahagia melihat putranya akan segera pulih dan tak akan merasakan sakit lagi.

"Pa," panggil Jinu.

"Iya nak?" tanya sang papa mendekatkan diri, "apa kamu perlu sesuatu?"

"aku hanya ingin bertemu dengan seseorang yang sudah mendonorkan hatinya untukku," pintanya.

Seketika itu pula seorang gadis datang menggunakan kursi roda, dibantu seorang perawat untuk menuntunnya.

"Dona."

Jinu tak terfikir bahwa Donalah yang akan menolong hidupnya, membantu Jinu sembuh dari penyakit yang di deritanya.

"Iya, ini aku Nu," sahut gadis itu, "aku yang sudah mendonorkan hati ku."

"Iya itu benar nak, Dona lah pendonornya. Dia yang telah menyelamatkan hidupmu," sahut mamanya, yang juga di anggukan oleh papanya.

Mendengar penyataan itu membuat Jinu jadi merasa terharu dan ingin membalas budi. "Terimakasih ya, Don! Terimakasih sudah mau menolongku."

"Bukan apa-apa kok Nu, ini semua demi menyelamatkan hidup calon suamiku," sahutnya penuh rayu.

Jinu menghela nafas sembari tersenyum pasi, "aku mau menerima perjodohannya, aku akan menikahi Dona."

Mereka yang mendengarnya menjadi tampak begitu senang, "papa akan mengadakan pesta besar untuk pernikahan kalian berdua nantinya."

Dona yang mendengar hal tersebut begitu tampak bahagia, akhirnya dia akan segera mendapatkan pria impiannya. Siapa yang tidak senang ketika dijodohkan dengan seorang pria tampan, mapan dan kaya raya.

Jinu tidak tahu apa itu cinta, yang ia tahu saat ini adalah balas Budi dan mencoba untuk mencinta.

"Aku akan berusaha untuk mencintainya," ucapnya dalam hati, meyakinkan dirinya sendiri.

Sedangkan Imelda masih terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit, "sus, apakah Tuan Jinu sudah tersadar?" Tanyanya.

Suster itupun mengangguk dan tersenyum, "sudah nyonya, kondisi Tuan Jinu juga sudah mulai membaik dan beberapa hari kedepan bisa segera dirawat jalan."

"Syukurlah."

Akhirnya Imelda dapat bernafas lega, dia benar-benar bahagia mendengarnya. Ketika itu juga ponsel disebelahnya berdering lalu segera ia mengangkatnya.

"Mel, kamu masih akan menginap dirumah temanmu?" tanya sang paman diseberang.

"Tidak paman, aku akan pulang hari ini," sahutnya berbohong lalu ia menutup panggilan telepon.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status