Share

06. Hari Tes

Terdapat sekitar tiga ratus calon peserta yang mengikuti tes masuk, yang dibagi menjadi enam kelas dengan masing-masing menghadirkan lima puluh peserta. Vero, yang memiliki nomor tes empat puluh sembilan, ditugaskan di ruangan pertama.

Saat memasuki ruangan tersebut, Vero melihat hampir seluruh bangku telah terisi. Ia mencari tempat duduk sesuai dengan nomor urutnya dan menemukannya di pojok paling belakang. Beberapa menit kemudian, ruangan tersebut telah penuh dan pengawas ujian memberikan sepuluh lembar pertanyaan kepada peserta.

Setiap lembar soal terdiri dari lima belas pertanyaan. Setiap jawaban benar akan memberikan dua poin, jawaban yang dianggap kurang tepat diberikan satu poin, sementara jawaban yang salah akan dikenai poin minus satu. Dengan demikian, untuk memenuhi passing grade, peserta harus menjawab minimal tujuh puluh lima soal dengan benar.

"Diberikan waktu satu setengah jam untuk mengerjakan soal. Jangan harap ada kesempatan untuk menyontek!" tegas pengawas.

Atmosfer di ruangan menjadi hening, dipenuhi dengan konsentrasi peserta yang sedang mengerjakan soal. Ragam soal mulai dari yang mudah hingga yang sulit membuat ekspresi wajah mereka bervariasi, menunjukkan betapa sulitnya ujian ini.

Vero pun mulai mengerjakan sepuluh soal pada setiap lembar. Ia menyelesaikan lembar pertama yang berisi soal hitungan, lalu melanjutkan ke lembar berikutnya yang menguji pengetahuan umum, hingga lembar terakhir yang mempertanyakan strategi dalam perang. Semua soal dijawab dengan lancar, namun ia memilih untuk menyisakan lima soal kosong pada setiap lembar.

"Sisa waktu sepuluh menit. Jika sudah selesai, silakan tinggalkan jawaban di atas meja dan menuju ke aula," ujar pengawas.

Saat itulah Vero menunggu untuk melihat siapa yang akan pertama kali meninggalkan ruangan, tanpa ingin menjadi sorotan. Namun, ketika hendak berdiri, seorang perempuan mendahuluinya dan meninggalkan ruangan. Vero pun mengikutinya ke aula.

Di aula, sudah ada sekitar tiga puluh orang yang menunggu. Seorang pengawas berbicara dari atas mimbar, "Ada sekitar tiga puluh orang di sini. Bagi yang merasa siap, silakan maju."

"Penguji untuk tes kedua ini adalah saya. Bagi yang merasa percaya diri, silakan maju, dan saya akan menilai kemampuan kalian," tambah penguji sambil memegang pedang dan mengenakan pakaian putih.

Namun, tidak ada yang langsung maju. Semua peserta ingin melihat bagaimana cara bertarung sang penguji terlebih dahulu. Hingga akhirnya, seorang pemuda yang baru datang memecahkan keheningan dengan bertanya, "Apakah ini tes kedua? Mengapa tidak ada yang maju?"

"Kalian tidak berani? Kalau begitu biar aku tunjukkan cara bertarung yang benar," tantang Patrick dengan bangganya, lalu naik ke atas arena sambil mengayunkan pedangnya. Setelah berhadapan dengan penguji, dia memperkenalkan diri.

"Perkenalkan, namaku Patrick Quella, anak dari Duke Ternan Quella."

Patrick merupakan sepupu Reyna yang memiliki kepribadian sombong.

"Hormat saya untuk Duke Ternan. Bisa kita mulai?" tanya penguji itu tanpa memberikan penghargaan khusus padanya.

Tentu saja Patrick kesal mendengar itu. Dia merasa tidak dihormati sebagai putra duke. Dengan emosi, dia berlari ke arah penguji dan melancarkan serangan-serangan bertubi-tubi, namun penguji dengan mudahnya menghindari dan menahan setiap serangannya.

"Kau tidak akan bisa mengenaiku jika menyerang dengan membabi buta," komentar penguji dengan tenang, membuat Patrick terdiam sejenak.

Setelah berpikir sejenak, Patrick menggunakan sihir apinya. Dia melemparkan serangan sihir dari berbagai arah sambil berlari menuju penguji. Meskipun begitu, penguji masih mampu menghindari serangannya dengan lincah.

"Lihat! aku sudah membuat Anda mundur!" seru Patrick, yakin bahwa dia telah berhasil.

"Mungkin ini saatnya," ucap penguji tiba-tiba muncul di belakang Patrick.

Dengan cepat, penguji menyentuh leher Patrick dengan pedang kayunya, menandakan kekalahan Patrick.

"A-apa yang terjadi?!" teriak Patrick, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Para peserta lainnya juga bingung dengan kejadian itu.

"Kau sudah kalah, silakan turun dari arena," tegur penguji.

Masih tidak terima dengan kekalahan, Patrick keluar dari arena sambil memaki pertandingan itu, lalu kembali ke mansionnya.

Selanjutnya, tes dilanjutkan dengan pertarungan biasa. Kadang ada pertarungan yang menarik perhatian mereka, seperti saat Putri Reyna menggunakan dua macam sihirnya, Roy dan Yoshi yang mahir dalam ilmu berpedang, serta Bella yang menggunakan taktiknya dengan cermat.

Namun, satu pertarungan yang paling mengejutkan adalah pertarungan tangan kosong dari pemuda bernama Reito. Meskipun tidak bersenjata, dia mampu mengimbangi serangan-serangan dari penguji dengan sangat baik.

Sudah lebih dari empat jam berlalu, dan hanya tinggal dua puluh peserta yang tersisa. Akhirnya, Vero memutuskan untuk maju.

"Oh.. Pemuda tampan, bukan? Namun, penampilan saja tidak cukup untuk membuktikan kehebatan seseorang," komentar penguji saat melihat Vero naik ke atas arena.

"Saya Vero, nomor tes empat puluh sembilan. Mohon bimbingannya," kata Vero sambil memegang belati di tangan kanannya.

"Penggunaan belati, ya? Tidak masalah, terutama setelah melihat ada peserta tanpa senjata. Sekarang, mari kita mulai," jawab penguji.

Penguji menjadi yang pertama menyerang Vero dengan pedangnya, serangannya datang tanpa henti. Namun, Vero berhasil menghindari semua serangan dengan menggunakan belatinya. Serangan demi serangan dilancarkan penguji, tapi Vero tetap bertahan tanpa menunjukkan tanda-tanda kelemahan. Para peserta lainnya terkesan dengan kecepatan dan ketangguhan keduanya.

Dalam perlawanan yang sengit, Vero kemudian melemparkan jarum dari balik lengan bajunya, yang berhasil menggores baju sang penguji. Penguji itu mundur beberapa langkah, terkejut dengan serangan tersembunyi Vero.

"Serangan licik, eh? Kau ternyata sangat mahir," ujar penguji.

"Di dalam pertarungan sungguhan, segala cara sah untuk bertahan, bukan?" balas Vero.

Penguji itu kembali menyerang, kali ini dengan membuat bayangan dirinya menjadi banyak. Ada belasan bayangan sang penguji yang mengepung Vero. Para peserta terkejut melihat jurus bayangan yang digunakan penguji.

"Aku merasakan bahwa kau memiliki pengalaman bertarung. Lebih berpengalaman daripada peserta lain yang sudah kubertarungkan sebelumnya. Kupikir aku akan lebih serius kali ini. Jangan membuatku menyesal," ujar penguji dengan serius.

"Apakah saatnya? Mungkin ini memang akhirnya," gumam Vero.

Dua bayangan penguji maju menyerang Vero, namun Vero berhasil menangkis serangan mereka dengan menggunakan jarum lagi. Bayangan yang terkena serangan lenyap, sementara yang lain terus menyerang bergantian, tetapi tetap bisa ditangkis oleh Vero.

Kemudian, penguji kembali menciptakan bayangan, kali ini menyerang Vero dengan serangan bersamaan. Vero, menyadari situasi, hanya diam dan menutup matanya. Bayangan pertama berhasil ditangkisnya, namun bayangan lainnya tidak mampu. Penguji bingung dengan tindakan Vero yang tiba-tiba berhenti bertarung.

"Kau kalah," ujar penguji.

"Ah, sungguh disayangkan," ucap Vero.

"Hei, mengapa kau menahan diri dan tidak menyerang?" tanya penguji.

"Apa maksud Anda? Saya memang tidak bisa menghindari serangan itu," jawab Vero.

Penguji tetap merasa aneh dengan keputusan Vero.

Setelah mengatakan itu, Vero turun dari arena dan kembali ke penginapannya. Para peserta lainnya dibuat takjub dengan pertarungan mereka. Meskipun hanya menghindar, Vero berhasil menunjukkan kecerdikannya.

Di penginapan, Ken dan Niki hampir menyelesaikan pembuatan meja. Hanya tinggal meja panjang di dekat tembok yang mereka kerjakan. Sementara itu, Yui dan Zizi sedang pergi untuk membeli perlengkapan dapur dan bahan makanan.

Siang itu, Vero pergi mencari toko mebel untuk membeli beberapa bangku. Namun, setelah melihat harga satu kursi yang paling murah adalah lima puluh koin perunggu, dia membatalkan niatnya. Namun, ide tiba-tiba muncul dalam benaknya. Dia lalu pergi ke hutan untuk mencari potongan kayu. Setelah mengumpulkan beberapa potongan kayu, dia menggunakan skill Creation miliknya untuk membuat satu bangku.

"Jika Niki dan Ken melihat ini, mungkin mereka akan marah," gumam Vero sambil memikirkan reaksi teman-temannya.

Vero sengaja membiarkan mereka membuat meja agar tetap ada kegiatan yang mereka lakukan bersama. Namun, dia sendiri baru saja memikirkan ide untuk membuat bangku dari kayu hutan. Lalu, Vero melanjutkan mencari balok kayu lainnya yang tersedia di sekitar hutan. Setelah beberapa waktu, sekitar dua puluh bangku sudah berhasil dia buat.

"Sepertinya sudah cukup," pikir Vero.

Dia kemudian memasukkan bangku-bangku tersebut ke tempat penyimpanan dan kembali pulang saat sore hari.

Sesampainya di penginapan, Vero langsung menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Dia melihat lantai satu sudah selesai direnovasi dan dibersihkan.

"Mungkin nanti malam saja aku akan mengeluarkan bangku-bangku itu," renung Vero.

Setelah seharian berada di luar, dia membutuhkan istirahat sebentar sebelum turun lagi.

Tiga jam berlalu dan saatnya makan malam sudah tiba. Bima memanggil Vero untuk segera turun dan makan malam bersama.

"Sepertinya kamu sangat lelah hari ini," komentar Bima.

"Iya... Eh, bukankah ini menu yang kita buat kemarin sore?" tanya Vero.

"Aku mencobanya sebelum menjualnya besok. Semoga rasanya sama enaknya dengan buatanmu," jawab Bima sambil tersenyum.

Mereka semua duduk bersama dan menikmati makan malam. Ken menanyakan bagaimana hasil tes akademi Vero, dan Vero menjelaskan bahwa kemungkinan besar dia akan lulus.

"Tunggu dulu, aku baru sadar... Siapa yang akan membantu Ibu untuk melayani pelanggan nanti?" tanya Niki, memecah keheningan.

Mereka saling menatap satu sama lain, menyadari bahwa mereka belum memikirkan hal tersebut.

"Ah iya, aku baru ingat kita juga akan kembali dua hari lagi," tambah Yui.

"Hmm, urusan itu nanti saja dipikirkan. Saat ini, bagaimana cara kita mempromosikan penginapan ini?" sela Ken, mencoba mengalihkan perhatian.

"Bagaimana kalau begini..." Hilma memulai untuk memberi saran tentang memberikan potongan harga pada hari pembukaan besok, sambil membagikan brosur kepada para petualang dan penduduk di jalanan.

"Biarkan aku yang membagikannya, sementara aku juga bisa mampir ke akademi," tawar Vero.

"Aku juga bisa membantu," tambah Niki.

Akhirnya, tugas dibagi: Niki dan Vero akan menyebarkan brosur, Yui akan membantu Hilma di dapur, Zizi akan mengantar makanan bersama Bima, sementara Ken bertugas menjaga kasir.

"Vero, bagaimana rasa makanannya?" tanya Hilma.

"Benar-benar lezat. Aku yakin pelanggan akan puas," jawab Vero.

Malam itu, Hilma memutuskan untuk memasukkan hidangan tersebut dan nasi goreng daging sapi ke dalam menu hari pertama penginapan mereka.

"Sekarang yang harus dipikirkan... apa mereka nanti akan makan tanpa kursi?" sahut Zizi.

"Mengenai itu, aku sudah memesannya tadi siang. Mungkin besok pagi akan diantar," kata Vero, sambil mencoba menutupi kemampuannya.

Setelah makan malam selesai, mereka kembali ke kamar masing-masing. Vero memastikan bahwa semua bangku sudah berada di tempatnya sebelum akhirnya naik ke kamarnya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status