Share

07. Hari yang Sibuk

"Sejak kapan ada bangku-bangku ini?!"

"Aku juga tidak tahu, penginapan ini terkunci saat malam."

"Mungkin saja tukang mebelnya datang pagi-pagi sebelum kita semua bangun," duga Ken.

Mereka saling bertatapan, bingung dengan kehadiran bangku-bangku tersebut. Mendengar keributan, Hilma keluar dari kamarnya.

"Apa yang terjadi? Sudah pagi-pagi begini ribut?" tanya Hilma.

"Gini Bu, kita sebenarnya ingin merapikan ruangan lagi sebelum dibuka, tapi tiba-tiba ada banyak bangku yang sudah tersusun rapi padahal pintunya belum dibuka," jelaskan Yui.

Hilma yang mendengar penjelasan Yui segera memeriksa keadaan. Dia juga terkejut melihat banyaknya bangku yang telah tersusun rapi di dalam penginapan.

"Oh, begitu ya... Tadi sebelum kalian turun, aku membuka pintunya, dan pada saat itulah mereka membawa bangku-bangku ini masuk," jawab Hilma, mencoba menutupi kebenaran Vero.

"Hmm... mereka benar-benar pekerja keras," komentar Niki, percaya dengan alasan Hilma.

Pagi itu, mereka melanjutkan membersihkan kedai. Vero, yang baru turun, juga membantu mengumpulkan brosur yang akan disebar. Setelah menyelesaikan persiapan, mereka dipanggil oleh Hilma untuk sarapan. Menu sarapan pagi itu adalah sandwich, yang juga akan menjadi menu spesial di kedai mereka.

Setelah sarapan selesai, Vero berpamitan untuk pergi.

"Aku akan berangkat," ucapnya.

Vero kemudian mulai menyebarkan brosur ke sekitar akademi. Dia menyerahkannya kepada pedagang dan pejalan kaki yang melintas, serta menempelkan beberapa brosur di tiang listrik.

Ketika dia tiba di pintu akademi, masih ada beberapa brosur tersisa di tangannya. Melihat keramaian di sekitar, Vero melihat kesempatan untuk membagikan sisa brosurnya kepada orang-orang yang datang untuk melihat pengumuman. Dia menargetkan orang-orang itu sebagai penduduk biasa, mengamati dari pakaian yang mereka kenakan.

"Tunggu, apa yang sedang kau bagikan?" tanya seseorang tiba-tiba.

"Rupanya Kau, Reito," jawab Vero, memberikan brosur itu kepada Reito.

Setelah Reito melihat isi brosur tersebut, dia kemudian bertanya lebih lanjut.

"Kau bekerja di sini?"

"Tidak, aku menginap di sana. Jadi, aku sekalian membantu mereka," jawab Vero.

"Pemuda yang baik," ejek Reito dengan bercanda.

Selesai membagikan brosur, Vero dan Reito menuju papan pengumuman untuk mencari nama masing-masing. Hasil tes diurutkan dari total nilai tertinggi hingga terendah, dan mereka yang tidak ada namanya di sana dinyatakan tidak lolos.

Peringkat pertama ditempati oleh Putri Reyna dengan total nilai 475, yang cukup mengesankan karena memadukan dua sihir menjadi es. Reyna memasuki kelas hitam dengan nilai tersebut.

Peringkat kedua hingga sepuluh diisi oleh mereka yang berasal dari keluarga bangsawan, yang biasa dilatih secara intensif sejak kecil. Reito mendapati dirinya di peringkat kedua puluh dengan total nilai 406, menjadikannya orang kedua tertinggi di kelas hitam.

Sementara Vero, berada di peringkat dua puluh tujuh dengan nilai 200 dan 198 pada masing-masing tes.

"Seperti yang diduga, kelas putih," gumam Vero.

"Sayangnya kita tidak satu kelas," ujar Reito.

"Tak apa! Mari kita tetap berteman walau beda kelas," jawab Reito dengan semangat.

Dari tiga ratus peserta, hanya sembilan puluh empat orang yang lolos. Lima puluh orang masuk ke kelas putih, dan sisanya ke kelas hitam. Mereka yang lolos melakukan registrasi ulang di aula.

"Vero, berada di kelas putih. Ini seragammu," kata petugas sambil memberikan seragam putih bermotif hitam dengan lambang kerajaan.

"Apa kamu akan tinggal di asrama atau tidak?" tanya petugas itu.

"Apa itu wajib?" tanya Vero.

"Tidak, tapi kami memberikan pilihan. Jika kamu mau tinggal di asrama, kamu harus membayar dua koin emas per tahunnya untuk biaya makan dan lain-lain," jelas petugas.

Vero memikirkan tawaran itu, merasa bahwa dua koin emas per tahun adalah biaya yang lebih terjangkau daripada di penginapan.

"Kamu bisa memutuskannya kapanpun, tapi paling lambat enam bulan sebelum tahun pertama berakhir. Jika lewat dari enam bulan pertama, kamu harus menunggu tahun kedua," tambah petugas itu.

Petugas itu kemudian memberitahu mereka untuk datang dalam acara pembukaan besok pagi di halaman utama menggunakan seragam yang diberikan.

Setelah selesai, Vero membayar delapan koin perak untuk biaya seragamnya dan kembali ke penginapan.

Di ruang rapat, para guru yang bertugas menjadi panitia sedang berkumpul, membicarakan masalah penerimaan murid baru.

"Kali ini murid yang diterima lebih banyak empat orang dari tahun sebelumnya," kata salah seorang guru.

"Generasi ini banyak yang berbakat," sahut yang lain.

"Tentu saja, banyak anak bangsawan yang mendominasi. Itu tak bisa kita hindari," ucap seorang pria dengan nada agak merendahkan.

"Jangan mulai lagi, Def. Tidak semua murid adalah anak bangsawan, bahkan lebih banyak dari penduduk biasa," timpal guru perempuan lainnya dengan tegas. Ia tampak lebih pro terhadap kesetaraan sosial di akademi.

"Mari bahas hal lain. Melihat lebih banyak murid kelas putih daripada kelas hitam, apa memang semudah itu soal tes tulisnya?" tanya guru perempuan berambut sebahu, mencoba mengalihkan topik.

"Tidak, mereka yang masuk kelas putih memiliki nilai rata-rata 160-190," jawab seorang guru lagi.

"Kalau begitu, tes kedua yang sulit ya..." lanjut yang lain.

Pandangan semua guru di ruangan itu langsung tertuju pada satu orang: penguji tes kedua.

"Ayolah, mereka saja yang lemah. Jadi aku memberi nilai yang sesuai dengan kemampuan mereka," bela sang penguji.

"Kau memberikan nilai di bawah 170 kepada hampir setengah dari mereka yang lolos," sanggah guru lainnya.

"Memang banyak yang lolos tahun ini, tapi dengan nilai di bawah 350," tambah yang lain lagi.

Ruangan kembali sepi, mereka semua melihat data yang tertera di dinding. Dari semua peserta yang lolos, hanya empat puluh orang yang mendapat nilai di atas 350. Mereka kemudian memuji nilai Putri Reyna yang hampir mencapai nilai sempurna. Selisih nilai Putri Reyna dengan peringkat kedua cukup signifikan, menunjukkan keunggulan yang luar biasa.

Posisi kedua dipegang oleh Putri Duke Alan, seorang putri yang unggul dalam tes tulis dengan mendapat nilai 251, namun kurang dalam pertarungan. Dia hanya mendapat nilai 185 dalam tes kedua, mengandalkan sihir tanah miliknya.

Seorang wanita yang menggunakan kacamata tiba-tiba membuka suara, membuat semua orang memperhatikannya.

"Ada yang aneh dengan nilai peserta ini," katanya.

"Ada apa dengan itu? Tolong katakan dengan jelas," pinta Ketua.

"Ketua, setelah saya memeriksa semua jawaban para peserta, mereka menjawab semua pertanyaan dari lembar pertama, tidak peduli benar atau tidaknya. Tapi, ada satu peserta yang hanya menjawab sepuluh soal dengan benar tiap lembar dan mengosongkan lima soal. Aku membandingkan dengan punya Putri Reyna dan Putri Elvina yang menjawab secara berurutan."

Wanita itu menyerahkan lembar jawaban itu kepada Ketua.

Setelah melihat lembaran itu, memang aneh melihat lima soal kosong tiap lembar. Seperti sengaja dilakukan.

"Siapa nama peserta ini?" tanya Ketua.

"Namanya Vero."

"Tunggu, Vero? Aku tidak tahu apakah ini orang yang sama, tapi ada juga nama Vero saat tes kedua tiba-tiba menghentikan perlawanan dan menahan diri."

Penguji itu turut dalam pembicaraan. Dia juga penasaran dengan orang bernama Vero dan melihat lembaran itu. Sementara itu, Ketua diam-diam memikirkan satu kemungkinan.

"Kurasa sampai di sini pertemuannya. Helen, jangan lupa persiapan untuk acara pembukaan dari murid dengan nilai tertinggi," pinta Ketua.

Helen, wanita berambut sebahu itu, kemudian mundur dari ruangan. Pertemuan itu kemudian berakhir, tetapi saat semua orang sudah keluar, Ketua kembali memanggil penguji dan wanita berkacamata itu. Dia meminta penjelasan mengenai ujian dari Vero.

Setelah penguji itu menjelaskan kemampuan dan ciri-cirinya, Ketua kemudian tersenyum dan menyudahi pertemuan ketiganya.

"Menarik," gumamnya.

***

"Makanan di kedai itu enak ya."

"Bukannya itu penginapan? Mungkin besok aku akan mulai menginap di sana."

Orang-orang di jalan membicarakan kedai yang baru dibuka dengan komentar positif. Vero langsung tahu itu adalah penginapan Hilma.

Saat Vero kembali ke penginapan, lantai satu yang dijadikan kedai sangat ramai. Banyak orang yang duduk dan memesan. Mulai dari anak-anak hingga orang tua mengantri di depan penginapan. Dia langsung masuk dan menuju ke dapur.

"Ramai sekali hari ini."

"Oh Vero, kamu sudah pulang? Ya, hari ini sangat ramai."

"Dimana Yui?" tanya Vero.

"Yui saat ini sedang pergi membeli bahan-bahan lagi. Persediaan sudah mau habis."

"Biar aku bantu kalau begitu."

Vero membantu Hilma menyediakan menu makanan. Dia mulai memasak seperti yang dilakukan Hilma, namun aroma yang dikeluarkan lebih harum. Hilma sudah mengira itu akan terjadi jika Vero yang memasak. Sementara Yui sudah kembali membawa bahan-bahan lainnya, Vero terus menyiapkan makanan dan menyuruh Hilma beristirahat.

"Aroma ini.. Aku juga lapar.." ucap Yui.

"Selesaikan pekerjaan dulu," balas Vero.

Yui kesal dengan balasan Vero. Dia sekarang sangat lapar mencium aroma masakan selama pagi hari.

"Pesanan meja nomor 13 dan 16."

Menyerahkan empat porsi makanan, Yui menekan bel kemudian Bima dan Zizi datang mengambil nampan tersebut.

Mereka terus melayani pelanggan yang datang hingga lewat tengah hari, Hilma meminta Niki untuk mengatakan jika kedai akan tutup saat itu juga. Karena hari pertama sangat ramai, mereka semua kelelahan dan duduk di bangku kedai.

"Aku lelah~"

"Bima juga sama lelahnya seperti Kak Zi."

"Hari pertama sangat ramai bahkan sekarang pun masih ada yang mampir. Untung saja Niki berdiri di sana."

"Sudah pasti ramailah, Yui. Hari ini kan ada diskon."

Niki yang sudah lebih dari lima belas menit di depan pintu lalu masuk.

"Waa~ melayani orang ternyata melelahkan, tapi lebih melelahkan lagi berburu."

Hilma yang mendengar Niki mengatakan itu tersenyum. Saat mereka meluapkan kelelahan, Vero datang membawakan makanan dan minuman segar. Melihat itu, semuanya langsung mengambil bagian dan duduk. Mereka makan dengan lahapnya.

"Kenyang! Sekarang aku mengantuk ingin tidur," ucap Zizi.

"Kalian... Aku bingung bagaimana membalas kebaikan kalian yang sudah banyak membantu sampai membuat penginapan ini ramai.. Intinya aku mengucapkan banyak terima kasih."

Melihat Hilma yang mengucapkan terima kasih sampai mengeluarkan air mata, mereka menenangkannya. Mereka juga mengatakan jika Hilma sudah banyak membantu mereka secara tak langsung. Perhatian yang diberikan Hilma sejak mereka datang ke penginapan ini membuat mereka nyaman.

"Ngomong-ngomong, akademi memberi kebebasan kepada murid untuk tinggal di asrama atau tidak. Jadi, setelah melihat situasi sekarang, aku akan diam di penginapan selama kurang lebih tiga bulan."

"Astaga, saking ramainya kita sampai lupa dengan seleksi Vero."

"Syukurlah kamu diterima, Nak. Tapi, kenapa memutuskan sampai tiga bulan?"

Vero menjelaskan sebenarnya dia akan meninggalkan penginapan jika penginapan ini sudah memiliki beberapa pegawai tetap. Dia akan menyeleksi mereka yang berniat menjadi pegawai. Tak hanya itu, dia sekalian ingin melihat kondisi akademi.

Ken yang merupakan orang paling tua di kelompok Yui juga membuka suara.

"Aku akan bertanya. Apakah di antara kalian bertiga masih tetap ingin di sini?" tanya Ken.

"... Aku masih ingin membantu Ibu di kedai."

"Aku juga akan ikut kemana kakak pergi!"

"Mungkin aku butuh suasana baru juga..."

Yui, Zizi, dan Niki mengatakan jika mereka akan tetap di penginapan itu untuk sementara waktu. Lalu Ken memutuskan jika hanya dirinya yang akan kembali ke Kota Foren untuk menjelaskan ke orang tua mereka masing-masing. Dia akan berangkat besok pagi dan akan kembali lusa.

"Kenapa kalian sampai melakukan hal itu?" tanya Bima tiba-tiba.

Mereka saling menatap, Yui yang pertama kali menjawab.

"Karena aku merasa kita sudah seperti keluarga, saling membantu."

"Iya, itu benar." Setuju tiga orang lainnya.

"Bagaimana denganmu, Nak?"

"Mungkin ini hanya keinginanku untuk menolong kalian."

"Jadi, Kak Vero tidak menganggap kita keluarga juga?" tanya Bima kembali.

Hilma membantu menjawab pertanyaan itu saat melihat Vero bingung menjawab Bima.

"Setiap orang memiliki cara pandang yang beda. Jadi, itu tidak apa jika masih sesuatu yang baik, Bima."

"Begitu ya Bu, tapi aku sudah menganggap Kak Vero sebagai kakakku."

Vero mengusap kepala Bima dan tersenyum. Dia juga bingung kenapa membantu mereka sampai seperti itu. Yui, Ken, Niki, dan Zizi hanya melihat mereka dengan pikiran masing-masing.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status