Share

4. Tumbuhan 7 Warna

  Sebuah sinar begitu terang menyapa netra membuat sang empu mengerjap-ngerjap. Pandangan yang awalnya mengabur kini begitu jelas. Tubuh terasa pegal seperti telah diremukkan berkali-kali.

  Pemandangan hijau di depan mata. Banyak sekali tumbuhan alga hijau yang tampak lezat. Molis pun menegakkan tubuhnya yang tadi meringkuk di atas bebatuan karang.

  Dengan satu tangan, ia mengambil banyak sekali tumbuhan alga. Perut Molis begitu lapar dan membutuhkan banyak asupan. Dirasa cukup kenyang, ia baru sadar kalau dirinya berada di tempat yang begitu asing. Seingatnya semalam ia diberi tahu cara menjadi manusia oleh mermaid berwajah aneh. Tiba-tiba semuanya terasa gelap dan di pagi ini dirinya terdampar di kawasan yang belum pernah didatangi.

  “Tidak ada alasan untuk aku pulang ke tempat asal. Aku harus menjadi manusia.” Molis bergerak dari tempat. Berenang untuk mencari tumbuhan yang diwasiati oleh Mariane.

  “Tumbuhan yang disinari oleh cahaya tujuh warna?” gumamnya bertanya-tanya. Manik berbentuk kacang hazel itu begitu jeli menatap setiap tumbuhan yang ada di sekitar.

  Hanya ada tumbuhan alga saja. Namun semuanya tampak sama. Tidak ada sinar tujuh warna yang seperti Mariane sebutkan. Molis jadi berpikir kalau apa yang diucapkan oleh Mariane hanya omong kosong belaka.

  “Apa iya ada tumbuhan yang disinari oleh cahaya tujuh warna? Bukannya cahaya hanya satu warna saja? Astaga aku telah dibohongi oleh mermaid aneh itu.” Molis menepuk jidatnya. Setelah itu ia ancang-ancang untuk menyelam ke dalaman laut yang semestinya ia tinggali.

  Daerah ini adalah daerah rawan yang bisa dilewati oleh manusia. Hal itu berbahaya bagi Molis si mermaid paling langka. Ia takut para manusia akan menemukan dirinya, lalu mereka terpesona dengan bentuk tubuh Molis yang kebablasan semoknya.

  Saat hendak menggerakkan ekornya, segerombol ikan datang dari arah barat menghambat Molis untuk bergerak. “Astaga, para ikan kenapa begitu terburu-buru, sih?” Dia mendengkus kesal, badan Molis jadi ikut terombang-ambing.

  “Ada manusia yang hendak menangkap ikan! Larilah!” teriak salah satu ikan.

  Molis melebarkan mata, ada manusia? Sebelumnya Molis belum pernah melihat perwujudan manusia secara langsung. Hanya mendengar cerita dari teman-temannya saja.

  “Aku penasaran dengan manusia, aku akan menunggunya saja di sini,” ucap Molis berdiam di tempat.

  “Hey, Mermaid Tua! Cepat pergi dari sini atau kau akan menjadi santapan manusia serakah itu,” seru segerombolan ikan yang melewati Molis.

  “Santapan? Apa sejahat itu manusia?” Molis pun segera berenang. Tepat di belakangnya ada jala pukat harimau yang hampir saja menangkap Molis.

  “Demi Dewi Fortuna, tadi itu manusia?” jerit Molis yang berenang sekencang mungkin, menimbulkan buih-buih air.

  Tadi dirinya melihat perwujudan manusia sekejap mata. Mereka hampir mirip dengan mermaid, tetapi tidak memiliki ekor ikan.

  “Wow, menakjubkan sekali. Mereka bisa berenang tanpa sirip dan tubuh bersisik.” Molis bersembunyi di sebalik batu karang.

  Dengan mata telanjang, Molis melihat pergerakan manusia tengah menarik jala yang banyak sekali ikan-ikan terjebak di sana.

  “Teman-temanku terjebak di sana. Kasihan sekali mereka, aku harus menyelamatkan teman-temanku.” Molis tidak berpikir panjang, dirinya langsung berenang menuju dua manusia yang masih sibuk dengan jala.

  Manusia yang berenang tanpa alat bantu seperti oksigen dan pelengkap renang lainnya begitu terkejut melihat ikan jumbo yang setengah manusia dan setengah ikan. Molis menggerakkan ekornya di depan wajah manusia. Pergerakannya seolah tengah menampar manusia di dalam air.

  Jala yang tadi di tangan manusia itu kemudian terlepas bebas. Molis mengambil jala pukat harimau itu, melepaskan teman-teman ikan yang terjebak di sana.

  “Katanya aku akan ditangkap oleh manusia serakah itu, tapi nyatanya dengan beberapa gerakan gemulaiku mereka malah pergi. Apa aku semempesona itu? Bahkan untuk memandangku saja mereka tidak mampu.”

  Tidak ada rasa takut dalam diri Molis, ia malah semakin berani dan percaya diri. Dengan kebaikan hati Molis, nyawa rakyat lautan terselamatkan. Para ikan pun mengucapkan kata-kata terima kasih pada Molis.

  “Molis, kau hebat sekali. Mampu mengusir manusia itu. Terima kasih, Molis, ternyata bukan tubuhmu saja yang besar. Namun hatimu juga sebesar lautan.”

  Molis berdecak, ucapan terima kasih ikan itu memang benar, tetapi terkesan mengejek dirinya.

  “Eits, itu semua tidak gratis, ya, kalian sudah bebas dari jeratan manusia itu. Sekarang kalian harus membayarnya,” tuntut Molis meminta imbalan.

  “Hah? Bayaran? Kau mau meminta apa? Makanan yang enak?” tanya mereka kebingungan.

  “Yaps! Betul sekali, makanan yang enak. Kalian harus mencarikan tumbuhan yang disinari tujuh warna. Aku mau hari ini juga. Aku sudah lapar sekali, kalau tidak, aku akan membawa kalian ke tempat manusia,” ancam Molis yang tidak bersungguh-sungguh.

  Dari ikan-ikan itu saling memandang satu sama lain. Mereka tidak tahu yang dimaksud tumbuhan yang disinari tujuh warna.

  “Bagaimana? Kalian bisa tidak? Kalau tidak, aku akan membawa kalian ke jeratan maut yang dibawakan manusia tadi.”

  “Eum ... kami tidak-“

  “Aku tahu!” sahut ikan yang bermarga rastrelliger (di Indonesia, menyebutnya dengan ikan kembung)

  Semua mata tertuju pada ikan bertubuh ramping memanjang, memipih dan agak tinggi itu.

  “Hosh, hosh, hosh.” Dada bidang itu naik turun, degup jantungnya bahkan terus menderu. Napasnya putus-putus. Tangan yang tengah memegangi dada mengalami tremor dadakan. Perahu yang ditumpangi bergoyang-goyang sebab pergerakan yang tergesa-gesa saat menaikinya.

  “Ada apa ini? Mana pukat yang kalian tenggelamkan? Mengapa wajah kalian terlihat pucat seperti habis melihat paus kelaparan?” Seorang pria berumur yang menunggu hasil tangkapan di atas perahu kecil itu berkacak pinggang.

  “T-tadi, ada ikan menyeramkan di bawah sana. B-bentuknya seperti ikan duyung, tetapi dalam bentuk raksasa. Tidak secantik dan semenarik yang ada di film-film,” jelas Ed. Si pembantu nelayan yang hari ini bertugas.

  “Betul sekali, dia besar seperti dugong, tetapi dia juga seperti duyung. Menakutkan sekali bentuk tubuhnya,” sahut teman Ed yang tadi melihat dengan langsung.

  “Duyung? Hahaha, hidup di zaman kapan kalian? Aku yang sudah berpuluh-puluh tahun melaut tidak pernah sekali pun melihat duyung sekalipun. Bilang saja kalian malas untuk mengambil hasil tangkapan ikan kita kali ini. Lihat, tangkapan kita sedikit sekali. Apa yang akan kita setorkan? Angin dan omong kosong? Hari sudah pagi, harusnya kita sudah ada di pantai untuk menyetorkan hasil melaut. Namun kita malah masih di tengah laut seperti ini. Ambil jala yang kalian tinggalkan di dalam!” tegas pria tua yang bertubuh ringkih itu.

  “T-tapi ada ikan duyung yang-“

  “Berhenti membicarakan omong kosong, kalian mau hari ini pulang dengan banyak tangkapan atau pulang dengan ceria klasik? Cerita klasik itu pun tidak ada harganya sama sekali.”

  Ed yang mendengar nelayan tua itu menghela napas, ia menoleh pada temannya. Mengode untuk kembali lagi turun ke laut. “Kalau kita mati, setidaknya tidak ada yang perlu memandikan kita. Kita akan bersih dengan air laut,” celetuk Ed.

  Temannya itu menepuk pundak Ed. “Atau kita akan habis tanpa bangkai dimakan duyung menyeramkan itu.”

  “Kalau diingat-ingat, duyung itu tidak sepenuhnya menyeramkan. Wajahnya lucu, seperti badut yang ada di lampu merah,” kelakar Ed. Mereka berdua tertawa, setelahnya kembali menyelam. Pasrah dengan apa yang nantinya akan didapat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status