Share

"Sepatu lo gak sopan."

"Habis darimana kamu?" Nada sinis dari tantenya membuat Sina menghentikan langkah.

"Tante gak liat Sina pake seragam sekolah?" Sina menjawab dengan nada berat.

Sina sudah tahu apa yang akan wanita itu lakukan padanya di kala sedang capek begini--menyuruhnya untuk membersihkan rumah.

Nesa langsung berdiri dan menghampiri anak itu dengan tatapan tajamnya.

"Kamu telat 30 menit, wajar dong kalo tante nanya. Lagian ini kan rumah Tante. Inget ya Sin, kamu cuma numpang di sini." Tepat sasaran sampai Sina bungkam.

"Gih sana, cuci piring sama angkat jemuran. Hidup ngga ada yang gratis," lanjutnya lagi. Setelah itu pergi melewati Sina dan sedikit menyenggol bahunya.

Tak berapa lama kemudian Oliv datang. Kakak perempuannya yang berparas cantik itu langsung disambut ceria oleh Tante Nesa. Tante Nesa yang sikapnya jauh berbeda dalam memperlakukan dirinya.

Sina memilih menaiki tangga, tetapi sebelum itu ia melihat kerah kakaknya. Mata mereka saling bertemu dan Oliv menangkap amarah dari mata itu. Sina sedang menyimpan emosi untuknya. Setelah mendapat pelukan manja dari tantenya ia mengejar sang adik ke kamarnya.

Oliv tak mengetuk pintu terlebih dahulu, ia langsung masuk dan berbaring di ranjang kecil milik Sina.

"Cih, masih punya muka buat ketemu gue?"

Oliv terbangun. Ia berjalan mendatangi Sina yang tengah berdiri menghadap jendela.

"Lo kenapa si Sin? Bawaannya sensi mulu."

Sina berbalik memperlihatkan wajahnya yang sudah merah padam.

"KENAPA SI KAK? KENAPA KAKAK AMBIL GLEN DARI AKU?"

"INI UDAH DUA KALINYA KAKAK NGAMBIL PACAR AKU. RAKA DAN SEKARANG GLEN?"

"LO EMANG GAK INGIN LIHAT GUE BAHAGIA 'KAN?"

"CUKUP DI RUMAH AJA GUE GAK DAPET KASIH SAYANG. TOLONG JANGAN AMBIL SEMUA KEBAHAGIAAN GUE."

Saat itu juga tangis Sina pecah dengan emosi membeludak. Oliv makin mendekatkan dirinya pada sang adik. Ia menarik napas lalu membuangnya perlahan.

Pertama-tama Oliv menepuk kedua bahu Sina lalu berkata,

" Glen gak pantes buat lo." Pelan tapi terasa nyeri di ulu hati Sina.

***

Menangis lagi. Sina menangis lagi. Ia baru saja menerima telepon dari Glen. Cowok itu memutuskan hubungannya melalui sambungan telepon.

Sina tersenyum miris. Tangannya bergerak menghapus sisa air matanya di pipi.

"Emang bener kata lo, Kak. Glen itu gak pantes buat gue. Dia itu pantesnya sama cewek yang sama kayak dia. Brengsek. Kalian sama-sama brengsek!" lirihnya menahan keperihan hatinya.

Brak!

"Ngapain si Sin dikamar terus, tuh di luar masih banyak kerjaan."

"Tante bisa kan masuk kamar aku ketuk dulu." Sina sudah lama menahan sabarnya. Sikap Tante Nesa selalu seenaknya.

"Suka-suka Tante dong. Udah sana lap-lap ruang kerja om kamu tuh."

"Tadi Oliv cerita katanya kamu diputusin Glen? Bagus deh kalo kalian putus." Nesa melipat kedua tangannya masih memerhatikan Sina yang sedang berkemas buku yang tergeletak di ranjangnya.

Sina memejamkan matanya beberapa detik. Ia sudah mengira mereka akan bahagia diatas penderitaannya. Tentang bagaimana caranya Tante Nesa tahu pasti dari Oliv dan Oliv pasti dikabari oleh mantan kekasihnya Sina yang bernama Glen Dirgantara itu.

"Apa Tante tahu kalo sekarang Glen pacarnya Kak Oliv?" tanyanya dengan serak.

"Oh, jadi Glen pacarnya Oliv. Bagus deh. Mereka cocok."

"Udah kamu ikhlasin aja, sekali-kali berkorban untuk kakak kamu. Kayak kakakku Sin, ibu kamu. Ngorbanin nyawanya saat nyelametin kamu dulu."

Dan saat mendengar kalimat terakhir, Sina hanya bisa menunduk. Menunduk penuh luka.

***

Sinar mentari menyapa paginya yang masih sibuk berbenah. Cahayanya masuk ke sela-sela jendela yang sudah ia buka dari tadi subuh.

Kini Sina sedang menatap dirinya di cermin. Ia melihat wajahnya yang tampak pucat.

"Dari dulu wajah lo kayak minta dikasihani ya, Sin," lirihnya pada diri sendiri.

"Tapi gak ada yang mau ngasihani lo."

Sina mendesah. "Hari ini harus lebih baik dengan hari kemarin. Lo harus hidup dengan keberanian Sin.  Jangan mental kerupuk lagi. Jangan nerveous berlebihan lagi. Kalo guru ngasih pertanyaan jika lo tahu jawabannya, lo harus berani jawab jangan malah ngasih tau dan nyuruh temen sebangku lo buat jawab." Sina menggetok kepalanya. Lalu tersenyum manis.

"Lo pasti bisa, Sinar Rembulan."

***

Farel memantul-memantulkan bola basket di koridor dengan mulut mengunyah permen karet. Di sebelahnya ada Didi sedang asik mendengarkan musik lewat earphone yang terpasang di dua buah telinganya.

Belum banyak orang di koridor, karena memang saat ini masih pagi. Sebenarnya Farel dan Didi terpaksa harus berangkat pagi karena misi rahasia yang harus dijalankan.

Sesaat Sina lewat, Didi langsung berbisik memberi tahu Farel tentang cewek yang membuatnya pingsan kemarin.

"Oh, itu ceweknya? Anak IPA satu' kan?" Didi mengangguk.

Farel melihat punggung Sina. Ia berpikir akan melancarkan aksinya pada punggung mungil itu.

BUGH!

Bolanya tepat sasaran mengenai punggung Sina. Cewek itu terlihat baik-baik saja. Tidak jatuh atau pun meringis. Hanya saja, Sina terlihat gemetar karena kaget. Ia menoleh ke belakang untuk mengetahui pelakunya.

Farel tersenyum devil. Ia dan Didi melangkah mendatangi Sina.

"Lo yang bikin gue pingsan kemarin 'kan?" Tunjuk Farel berhasil membuat wajah Sina memerah.

"Nggak mau minta maaf sama gue?" lanjut Farel lagi.

Cowok itu gak akan bully lo Sin. Nyantai aja. Tinggal minta maaf dan masalahnya beres. Ayo minta maaf aja. Sina membatin.

Dengan gugup Sina mulai berbicara, "Sori, ya. Kemarin gue gak sengaja."

"Kalo sengaja tandanya lo jahat dong. Minta maaf aja gak cukup," katanya membuat Sina melotot.

"Gue udah lakuin apa yang lo minta," timpal Sina membenarkan. Ia tidak mau sesuatu terjadi seperti di sekolahnya dulu.

"Gue gak minta lo buat minta maaf tuh. Gue cuma nanya. Ya kan, Di?" Farel menoleh ke arah Didi dan tentu saja Didi berada di pihak Farel.

"Gimana kalo lo cium sepatu gue?" Farel menaik turunkan kedua halisnya.

"Sori, gak bisa. Mulut gue alergi sama sepatu lo!" Sina melenggang. Ia mengepal tangannya kuat-kuat.

Melihat Farel, ia kembali sesak teringat peristiwa penindasan pada dirinya dulu. Hati Sina menangis lagi.

Sin, kalo cowok itu macam-macam Lo lawan aja. Jangan diam aja. Lo punya raga yang kuat. Energi Lo banyak Sin.

Sina mengatur napasnya. Di belakang Farel dan Didi masih setia membuntuti Sina sampai ke kelasnya.

Saat Sina duduk Farel ikut duduk di atas meja. Ia mengarahkan sepatunya di depan wajah Sina.

"Sepatu lo gak sopan!"

"Sepatu gue minta dicium tuh." Kalimat tadi membuat Sina makin jengkel.

"Yakin minta di cium?" Sina mulai berdiri diikuti Farel yang turun dari meja.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
MoonNj Ki
noooo kejammmmmmmm nya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status