~ Happy Reading ~
“Maha sudah berapa kali Papa bilang, tante Bening itu istri Om Glass. Tidak boleh bilang begitu lagi ya, Nak!”
Pria bernama lengkap Lintang Gutama itu entah sudah berapa kali membujuk putranya yang beberapa minggu lagi berumur lima tahun. Bukan tanpa alasan Gama melakukan ini. Ia hampir saja terlibat adu jotos dengan Glassio, suami dari wanita bernama Bening yang ingin dijadikan ibu oleh Mahameru – putranya.
“Mama itu bukan mainan Maha, tidak bisa diminta sembarangan,” imbuhnya.
“Semua temanku punya mama, tapi kenapa aku tidak punya? Mereka selalu diantar dan dijemput mama sama papa, bahkan Olla juga dijemput mommy dan daddy-nya, tapi kenapa aku selalu tidak? Aku mau tante Bening, aku mau dia jadi mamaku!”
Maha, bocah itu memalingkan badan dan bersedekap dada. Dia demam dan tidak mau sedikitpun makan dan minum. Pembantunya yang biasa mengurus hanya bisa diam melihat pemandangan itu dari dekat pintu kamar.
“Maha, Papa tidak tahu dari mana diturunkannya sifat keras kepalamu ini,” ucap Gama sedikit menekan suaranya lalu berdiri.
Bik Mun, pembantu sekaligus orang yang biasa mengurus Maha sampai kaget. Wanita itu mendekat takut jika sampai tuannya membentak dan malah membuat Maha menangis dan kondisinya lebih parah dari ini. Ia mendekat dan duduk di tepian ranjang, hatinya merasa prihatin melihat kondisi bocah yang dua tahun ini dia asuh. Bibir Maha sudah kering karena tak mau minum sejak bangun tidur. Bik Mun pun menoleh Gama, dia tatap pria itu dengan netra yang berkaca-kaca, seolah memohon ‘tolong berikan apa yang Mas Maha mau’.
Gama membuang napas kasar, dia dilema tapi tetap tak bisa melakukan apa-apa. Akhirnya dia memilih keluar dan menutup pintu, berharap Bik Mun bisa membujuk putranya sementara dia akan menghubungi Bening. Wanita yang begitu diidamkan oleh Maha menjadi ibunya. Mau tidak mau Gama harus meminta bantuan wanita itu, dia berharap Maha mau memasukkan air dan makanan ke dalam mulut saat Bening yang membujuk.
_
_
“Terima kasih Be, Glass,” ucap Gama setelah Bening mau datang ke rumahnya untuk membujuk sang putra makan dan minum. Meski dia harus menahan rasa tak enak ke Glass yang sejak tadi menyindir dan ketus padanya.
Glass suami Bening sedikit pecemburu, meski dia sadar bahwa tidak mungkin juga istrinya akan direbut dan menjadi ibu Maha, tapi tetap saja Glass merasa tidak suka. Ia takut Gama pada akhirnya menaruh hati ke sang istri dan berniat menjadi pebinor.
Setelah pasangan suami istri itu pergi, Gama menaiki anak tangga menuju kamar Maha dengan perasaan bersalah ke Glass. Bagaimana pun permintaan Maha memang sangat bertentangan dengan hatinya, mencari wanita sebagai ibu anak itu belum terpikirkan oleh Gama. Ia melirik Glass yang tadi sudah berbicara banyak kepadanya, salah satunya dia diminta untuk segera mencari pendamping hidup.
“Mas Maha sudah tidur Pak, saya mau beres-beres sebentar setelah itu pulang,” ucap Bik Mun saat berpapasan dengan sang majikan di pertengahan anak tangga. Wanita paruh baya itu tinggal tak jauh dari komplek perumahan Gama. Dia akan datang saat Maha pulang sekolah setiap hari Senin sampai Jumat, dan pada akhir pekan seperti ini Bik Mun juga akan datang untuk membersihkan rumah.
Gama mengangguk, dia mengucapkan terima kasih sebelum melangkah kembali menuju kamar putranya. Pria berumur tiga puluh tahun itu tidak pernah menyangka hidupnya akan jadi seperti ini. Sekitar lima tahun yang lalu, dia membuat kedua orangtuanya frustrasi. Bahkan sang ibunda – Felisya sampai jatuh pingsan, saat dia membawa pulang bayi merah dan mengakui bahwa itu adalah putranya. Tama – Papanya juga tak habis pikir. Namun, Gama berlutut di depan mereka, mengakui kesalahannya dan berkata tidak ingin membuat dosa yang lainnya dengan menelantarkan anak itu.
“Siapa wanita itu? kenapa bisa kamu melakukan perbuatan bejat, Ga?” Ingatan tentang pertanyaan Felisya dulu membuat Gama terbeku.
Menjadi model yang digilai kaum hawa memang sempat membuat Gama jemawa, tapi untuk melakukan cinta satu malam jelas tak pernah terbayangkan dalam benaknya, dia bahkan tidak ingat sudah melakukan perbuatan itu dengan seorang putri pejabat ternama yang tak lain adalah temannya sendiri bernama Naura.
“Kalau kamu tidak percaya dia anakmu, kamu bisa melakukan tes DNA! Tapi kamu tahu dengan jelas kita memang melakukannya,” ucap Naura yang membuat Gama tak bisa berkata-kata. “Aku menghilang selama ini karena mempertahankan dia, karena aku tidak mau terkena lebih banyak dosa. Jadi rawat dia, aku bisa saja membuangnya ke panti asuhan tapi jelas papaku pasti akan menemukan dan melenyapkannya.”
Gama membuka pintu kamar Maha sambil mengingat setiap ucapan Naura, perlahan dia masuk ke dalam sambil terus menatap putranya yang sudah terlelap.
“Akan sangat mudah menemukan wanita yang mau menerimaku, tapi akankah dia akan menerima Maha jika tahu statusnya?”
_
_
“Diterima!”
Suara lantang dari seorang gadis menggema. Dia yang baru saja menerima hasil tes terakhir yang diikutinya sukses mengangetkan seorang wanita dan dua pekerja cucian. Mirna berdiri, dia tahu bahwa putrinya yang jago bela diri itu beberapa minggu lalu mengikuti seleksi untuk menjadi asisten artis di sebuah agensi ternama.
“Benarkah?” Mirna girang bukan kepalang, dia peluk putri tunggalnya sambil berputar-putar bak baru saja memenangkan undian berhadiah miliaran. Pekerjanya pun ikut tertawa. Bukan tanpa alasan, semenjak sang suami meninggal mereka tahu bagaimana perjuangan Mirna membesarkan Sabrina sampai bisa menjadi seperti sekarang.
“Lalu kapan kamu mulai bekerja?”
“Lusa, aku akan mulai bekerja lusa, dan aku akan menjadi asisten Gama,”jawab Sabrina dengan mimik wajah jenaka.
Mirna semakin girang saja, di negara ini siapa yang tak tahu sosok bernama Lintang Gutama alias Gama. Selain menjadi model saat masih berusia remaja, pria itu kini juga menjadi direktur di sebuah perusahaan milik keluarganya.
“Alangkah bahagianya jika kamu berjodoh dengan pria itu,” ucap Mirna sekata-kata, dia pukul lengan putrinya yang terbengong mendengar pengharapannya.
“Dia sudah punya anak,” sembur Sabrina.
“Tapi tidak punya istri,” jawab Mirna dengan ekspresi menggoda. Wanita itu sukses membuat putrinya terdiam cukup lama.
“Sudahlah! yang penting kamu mendapat pekerjaan dan tidak menjadi pengacara lagi – pengangguran banyak acara,” ucap Mirna. Ia lingkarkan tangan ke lengan Sabrina, menuntun putrinya itu masuk ke dalam rumah yang pelatarannya dia pakai untuk membuka jasa cuci motor, mobil dan karpet.
“Gajimu gede ‘kan?” tanya Mirna lagi.
“Gede donk Bu, jadi ibu hubungi Mas Dodot, aku pokoknya mau kredit mobil biar ibu nggak perlu kepanasan dan kehujanan kalau pergi ke pasar.” Sabrina mulai sombong, belum juga mulai bekerja dia sudah berniat mengambil kreditan mobil ratusan juta.
“Asyik, biar mata tetangga julid copot lihat kamu beli mobil buka bungkus.”
“Masih tidak mau turun? Papa sudah terlambat pergi bekerja Maha,” ucap Gama ke putranya yang masih tak mau beranjak dari kursi penumpang.Sebagai seorang pria tak berpengalaman seperti Gama, mengurus anak seorang diri sampai sejauh ini bukanlah perkara mudah. Dia pernah frustrasi dan nyaris menyerah, tapi setiap kali perasaan itu muncul hati kecilnya selalu berkata, bahwa Maha hanya memiliki dirinya. Gama pun tak tega ke bocah yang kini sudah mulai banyak maunya itu.Maha diam bak patung, matanya terus menatap dashboard mobil tanpa mau menoleh ke arah pria yang mengajaknya bicara. Bukan pertama kali ini saja Maha malas-malasan pergi ke sekolah. Setiap kali keinginannya tidak dipenuhi, maka anak itu pasti akan merajuk dan hal ini membuat Gama tidak bisa melakukan apa-apa.“Maha, Tabebe tidak mungkin bisa menjadi ibumu, Nak. Jadi Papa tegaskan sekali lagi, Tabebe tidak akan jadi ibu Mahameru Gutama.Titik.”Mendengar ucapan sang papa Maha merasa sedih, bibirnya yang mengerucut sudah berg
“Sab, Sabrina! Kamu bisa bawa mobil ‘kan?”Gama menyembulkan kepala dari pintu ruangannya, sedangkan Sabrina masih duduk termenung membayangkan harus berkata apa pada mas Dodot tetangganya yang bekerja di sebuah dealer mobil.Beginilah akibatnya jika terlalu gegabah dan tidak membaca kontrak dengan baik. Awalnya Sabrina pikir pekerjaan menjadi asisten Gama sangat mudah, tapi membayangkan harus berurusan dengan putra pria itu membuatnya ketar-ketir.“Sabrina!” panggil Gama untuk yang ketiga kali. Meski dia tahu bahwa asistennya diwajibkan bisa mengendarai mobil, tapi tetap saja Gama ingin memastikan. Jangan sampai SIM yang dijadikan data pendukung Sabrina ternyata hasil nembak.“Sab!”“Iya Pak!” Sabrina akhirnya bangkit dari kursi. Ia bergegas menghampiri Gama yang sedikit heran dengan tingkahnya. “Bagaimana Pak?” tanyanya kemudian.“Sudah saatnya aku pergi ke PG Group, jam tiga nanti kamu tolong jemput putraku Maha dan antar dia ke rumah, di sana sudah ada Bik Mun yang menunggu, sete
“Apa asisten Anda baru lagi, Pak?”Pertanyaan bik Mun dijawab Gama dengan anggukan kepala. Pria yang baru saja pulang dan sedang duduk melepas sepatunya itu mengerutkan kening. Setelahnya Gama balas melempar pertanyaan ke bik Mun sambil meletakkan sepatu ke rak dan berjalan masuk. “Bukankah aku sudah memberitahu Bibi? aku sudah mengirim pesan.”“Kuota saya habis Pak. Belum beli.” Bik Mun tertawa aneh sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.Mendapati sang majikan bersikap santai seolah tak terjadi apa-apa, Bik Mun pun menceritakan bagaimana kondisi asistennya saat mengantar pulang Maha tadi. Bak pembawa acara gosip, wanita itu menjelaskan penampilan Sabrina yang begitu acak-acakan. Menurut cerita yang dia dapat dari Maha, gadis itu terlibat perkelahian dengan ibu dari teman sang putra yang tiba-tiba saja menarik rambut dan menamparnya. Bik Mun bahkan memperagakan beberapa adegan yang ceritanya dia dapat dari bocah itu.“Mereka sampai dipisah oleh dua satpam, dua guru dan
“Kamu rapi banget, apa mungkin kemarin kamu salah kostum dan dimarahi bosmu?”Mirna memindai penampilan putrinya pagi itu. Sabrina yang belum menceritakan peristiwa perkelahian akibat ulah anak sang atasan hanya bisa mencebik lalu duduk. Ia mengangkat piring dan langsung mengambil satu centong penuh nasi. Namun, Sabrina kaget karena Mirna malah menahan tangannya. Wanita yang melahirkannya itu mengambil alih centong nasi sambil geleng-geleng. Alih-alih menambah porsi nasi di piring Sabrina, Mirna malah mengembalikan separuh nasi itu lalu mengingatkan putrinya untuk diet.“Jaga penampilan kamu, kamu itu kerja di agensi model.”“Ya ‘kan cuma kerja Bu, bukannya aku modelnya.” Sabrina merajuk, dia pandangi nasi dipiringnya yang tinggal sedikit, tapi tak mengapa melihat telur dadar dia langsung mengambil dua. Terang saja Murni langsung memukul tangannya dengan centong nasi yang masih dipegang. “Iya tapi kamu setiap hari ketemu model, bosmu saja model, kamu mau kontrakmu nggak diperpanjang
“Aku punya ibu.”Beberapa menit yang lalu Maha kembali berdebat dengan Kenzo. Bocah yang umurnya hanya terpaut beberapa bulan saja itu sudah berdiri berhadapan dan adu argumen. Maha bahkan sudah menampilkan wajah masam dengan mata menyipit. “Tidak punya, kamu itu cuma punya papa, jangan bohong!” Kenzo, teman sekelas yang paling menyebalkan untuk Maha. Entah kenapa mereka seperti musuh bebuyutan, padahal sama-sama bau kencur, tapi soal sombong menyombong sudah melebihi orang dewasa. Dua murid berseragam olahraga itu masih saja berdebat di ruang senam sekolah mereka, hingga Miss Farah - sang guru mendekat. Ada perintah dari atasannya untuk mengajak dua anak itu ke ruang kepala sekolah.“Maha, Kenzo kenapa sih kalian berdua itu tidak bisa rukun? Miss sampai bingung atau Miss yang salah ya? Tidak bisa mengajari kalian bagaimana cara berteman yang baik?” Miss Farah menggandeng Maha dan Kenzo di kiri dan kanan, sedangkan dua bocah itu berjalan sambil menunduk. Seolah sadar akan kesalahan
“Anak? Kamu punya anak?”Bagaskara – ayahanda Naura nampak terkejut dengan apa yang disampaikan oleh putrinya. Pria yang rambutnya sudah hampir putih seluruhnya itu geleng-geleng kepala. Ia menolak apa yang baru saja diucapkan oleh Naura, sedangkan suami putrinya yang bernama Adam hanya bisa duduk dan terdiam.Naura mengatakan yang sejujurnya pada Adam, dan pria itu tak menujukkan rasa kecewa sama sekali. Hal ini bukan tanpa alasan, karena Adam sangat mencintai Naura, istrinya itu bahkan menangis semalaman karena vonis dari dokter kandungan. Belum lagi Naura juga meratap dan berulang kali menyesali perbuataannya karena sudah membuang anaknya sendiri.“Apa kamu sudah gila?” Bagaskara berdiri, tajam matanya menatap sang putri yang terus saja menunduk.“Pa, jangan salahkan Naura. Semuanya sudah terjadi di masa lalu, Papa harus sadar niatan Naura baik. Dia ingin anak itu kembali untuk meneruskan garis keturunan keluarga.” Adam membela, tapi bentakanlah yang dia dapat dari sang mertua.“Ap
“Kenapa kakak memakai baju seperti ini?”Sabrina yang hari itu datang ke kebun binatang mendapat keluhan dari putra atasannya. Gadis berumur dua puluh empat tahun itu tidak menyangka bahwa meski masih kecil, tapi sebagai anak seorang model, selera fashion Maha sangat tinggi, bahkan jauh di atasnya. Anak itu baru berkomentar bahwa dandanannya lebih mirip pekerja kantoran ketimbang ingin jalan-jalan.Sabrina mencebikkan bibir, dia berharap Gama yang sedang berada di kamar mandi segera datang untuk menyelamatkannya dari Maha yang menurutnya sedikit menyebalkan. Entah kenapa tiba-tiba saja bocah itu tidak seramah beberapa hari yang lalu saat memeluknya dan memanggilnya Mama. Pasti ada sesuatu, Sabrina curiga Gama mengatakan sesuatu yang tidak baik tentangnya.“Harusnya kakak memakai kaos seperti aku dan yang lain.”Karena ucapan Maha, Sabrina pun melihat sekeliling. Matanya tertuju pada orang-orang yang memakai baju berwarna merah muda bertuliskan study wisata dengan logo sekolah internas
Entah berapa kali Sabrina harus mondar-mandir pagi itu. Sebagai asisten Gama dia harus ikut serangkaian pemotretan yang dilakukan bosnya. Ia benar-benar sibuk, bahkan karena berangkat pagi untuk mengejar angkutan yang datang pertama, gadis itu melupakan sarapannya. Sabrina sudah sedikit merasa pusing, tapi dia memilih menenggak air mineral sebanyak-banyaknya. Padahal dia bisa saja meminta izin sebentar keluar mencari roti atau sekadar camilan pengganjal perut di minimarket yang tak jauh dari studio. Namun, pikiran gadis itu memang tidak dia bisa ditebak. Ia memilih duduk lesehan di bagian paling belakang studio sambil melihat bosnya melakukan pemotretan bersama empat model lainnya.Sabrina tersenyum sendiri karena malu. Sepertinya benar kalau melihat orang tampan bisa membuat kenyang. Ia sejenak melupakan perutnya yang keroncongan karena belum sarapan.Sementara itu, Gama nampak sedikit tidak fokus. Beberapa kali fotografer harus mengulangi pengambilan gambar karena pose dan ekspresi