Share

IBU SUSU BAYIKU, CANDUKU!
IBU SUSU BAYIKU, CANDUKU!
Penulis: Blue_Starlight

1. Mertua Mata Duitan

Penulis: Blue_Starlight
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-10 12:34:45

"Masih kayak mimpi kamu pergi secepat ini, Mas ... Aku sekarang sendirian di sini ..."

Langit seakan senang menertawakannya menangis. Tuhan seolah belum bosan memberinya hukuman. Awan hitam pun tetap enggan pergi dalam diri seorang Ashley.

Wanita itu belum bisa menerima kenyataan sebulan lalu, di mana kecelakaan membuat sang suami luka berat, dan bayinya yang belum sempat melihat dunia ini wafat.

"Ya Tuhan ..., terangkan alam kubur suamiku. Aku sangat mencintainya. Izinkan aku hanya berjodoh dengan suamiku dunia akhirat ...." ratap Ashley.

Hatinya begitu hancur. Dipandanginya lagi dua batu nisan mendiang suami dan bayinya di pemakaman yang sunyi di bawah guyuran hujan. Tak peduli basah dan kotor, tangannya terulur mengusap pelan pusara Soni.

"Aku gak akan bisa hidup tanpamu, Mas .... Aku kangen kamu, suamiku ... Kangen semua moment kebersamaan kita ..."

Seakan ia belum bisa menerima kenyataan, membuat Ashley menangis tersedu meratapi nasib. Dadanya bahkan terasa sesak, hingga ia menepuknya berulang kali.

Guyuran hujan semakin deras, kilatan petir pun saling menyambar seakan menyamarkan tangisan Ashley agar tak terdengar.

"Aku lelah .... Izinkan aku dan suamiku bersatu lagi di surgamu selamanya ya, Tuhan ..." ucap Ashley dengan sesengukan.

Sebanyak apapun air mata yang ia keluarkan. Bukankah takdir yang sudah di tulis Tuhan tidak bisa diubah?

Setelah puas menangis, lalu menarik napas dalam-dalam, Ashley kemudian bangkit. "Aku pulang dulu, Mas ..."

Tak ada lagi yang bisa ia perbuat di tempat itu.

Sesaat kemudian, langkah kaki gontai Ashley kini tiba di rumah. Namun, tatapannya beralih pada sosok pria yang berdiri di depan pintu utama.

Seorang pria berpakaian jas rapi tersenyum pada Ashley. "Maaf, boleh saya bertanya. Apakah ini rumah Pak Soni?" tanya pria tersebut.

Ashley mengangguk, tergugu mendengar nama almarhum suaminya, "I-iya, maaf, Anda siapa?"

Tanpa menyebutkan nama, pria itu menyodorkan satu amplop warna putih. "Saya petugas rumah sakit. Dan Ini untuk keluarga pendonor."

Ashley tercengang, dengan tangan gemetar ia menerima amplop. Namun, ia semakin dibuat penasaran dengan ucapan pria itu.

"Pe-pendonor?"

Dengan cepat Ashley membuka amplop putih dengan kop surat Rumah Sakit Emerald. Kata demi kata tidak ada yang terlewat pada sorot matanya.

Tatapan Ashley langsung berubah tajam, tertuju pada nama mendiang sang suami tertera sebagai pendonor jantung. Dan yang lebih membuatnya terkejut, tanda tangan wali yang menyetujui itu adalah ... Riana.

"Ibu ...?!" Ashley terbelalak melihat nama sang mertua tertera pada lembaran kertas.

Jemari lentik meremas erat kertas pada genggamannya. Disertai dada bergemuruh hebat, Ashley melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah meninggalkan pria tadi.

Brak!

Suara dentuman pintu kamar Riana yang didorong paksa Ashley hingga pintu itu membentur dinding.

"Jadi ibu yang jual jantung Mas Soni?!" hardik Ashley melemparkan kertas, "benarkan, ibu yang tanda tangan itu! Ibu tega banget ya, sama anak sendiri!"

Suara Ashley kian menggelegar hingga sudut kamar Riana.

Meski kertas itu mengenai wajah Riana. Namun, tidak juga membuat wanita paruh baya itu gentar. Ia justru berdiri di hadapan Ashley dengan mengangkat dagu.

"Iya! Kenapa?" jawab Riana angkuh. "Bukannya itu sepatutnya menjadi hakku menerima uang donor Soni? Dia anakku, Ash! Jadi aku bebas melakukan apapun!"

Rasa kesal bercampur marah kini Ashley rasakan mendengar pernyataan sang mertua yang tidak masuk akal. Ibu mana yang tega menjual jantung anaknya pada orang lain? Tangan Ashley seketika terkepal di sisi tubuhnya.

"IBU!!"

Ashley tak habis pikir. Entah apa yang dipikirkan Riana saat itu. "Ja-jadi ... seharusnya Mas Soni belum mati kan, Bu?!" tanya Ashley terbata, mencoba mencerna situasi.

"Memangnya kamu yang mau urusi semua biaya pengobatan Soni!" cetus Riana sinis, "Dia gak bakal sembuh, Ash! Dia bakal cacat seumur hidup!"

"Memang Ibu, Tuhan, yang nentuin hidup dan mati Mas Soni!"

Derai air mata membasahi pipi. Tubuh Ashley bergetar hebat makin tidak bisa menerima fakta kalau seharusnya suaminya masih hidup.

Tapi mengapa ibu kandungnya justru yang mendonorkan jantung suaminya?

Mendengar makian Ashley membuat Riana semakin murka. "Heh, kamu!" Ia menarik kuat rambut Ashley, "Dasar menantu gak tau diri! Pembawa sial!"

Genggaman kuat pada rambut Ashley belum lepas juga, Riana mendorong kasar tubuh sang menantu hingga wanita cantik itu tersungkur di atas lantai.

Kemarahan Riana tidak berhenti sampai di situ. Ia masih berdiri di hadapan Ashley dengan berkacak pinggang.

Ashley bisa melihat tatapan tidak suka ibu mertuanya yang sangat membencinya. Terlebih sejak kematian mendiang Soni, kemarahan Riana semakin menjadi.

"Pantas saja hidup Soni jadi sengsara semenjak menikahimu! Kamu itu pembawa sial! Kamu pembunuh Soni dan anakmu!"

Senang melihat kehancuran Ashley, Riana memang ingin membuat sang menantu agar tak betah di rumah itu.

"Heh, dengar ya!" Riana mencekal kasar dagu Ashley hingga mendongak. Tatapan tajam seketika menembus kedua bola mata indah pemiliknya. "Sekarang juga kamu angkat kaki dari rumah ini! Aku gak sudi punya menantu kayak kamu! Dan kamu gak berhak atas rumah ini!"

Ashley bergeming dengan isak tangis, hingga bibirnya terasa kelu tak mampu lagi berkata.

Dengan rahang mengeras, Riana melangkah menuju kamar Ashley yang tak jauh dari kamarnya. Ia mengeluarkan semua baju dalam lemari milik wanita cantik itu, kemudian membuangnya ke lantai.

"Sekarang juga kamu pergi dari rumah ini!"

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (37)
goodnovel comment avatar
Yoona Syifa
amit amit jabang bayi, ada ya orang tua kaya si Riana. sejahat2nya bin4tang aja, dia gak bakalan melukai anaknya. lagi ini si Riana coba.
goodnovel comment avatar
SalmiaSR
hadir thor... ikh amit2 banget punya orang tua kegitu... tega sama anak sendiri..jahat pula sama menantu
goodnovel comment avatar
Yanda Hanazti
tega banget tu riana, demi uang dia rela menjual jantung anaknya yg msh hidup, kini dia juga mengusir ashley demi mendapatkan apa yg riana inginkan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • IBU SUSU BAYIKU, CANDUKU!   170. Happy Ending

    Langit pagi tampak suram di atas bangunan tua yang dikelilingi pagar kawat berduri. Lapas itu, tempat para narapidana kelas berat menanti akhir dari sisa hidup mereka. Di dalam salah satu bloknya, terdengar erangan tertahan.Hendrik tergeletak di sudut sel tahanan. Wajahnya lebam. Bibirnya pecah. Tubuhnya gemetar. Nafasnya sesak, seolah paru-parunya dihantam ribuan kepalan tangan.Dua hari lalu, ia resmi dipindahkan dari sel umum ke blok isolasi "khusus".Dan sejak itu ... hidupnya tak pernah sama lagi.Setiap malam, pintu sel dibuka tanpa aba-aba. Beberapa sipir masuk. Beberapa membawa tongkat, sebagian hanya menggunakan sarung tangan dan sepatu boot baja. Mereka tidak berbicara. Tak memberi

  • IBU SUSU BAYIKU, CANDUKU!   169. Aku Akan Menjaganya

    Suasana kamar ICU yang kini sepi tanpa ada perawat maupun dokter, menjadi tambah sunyi tatkala Bu Riana memberikan sebuah saran agar semua yang ada di ruangan itu mempersiapkan mental dan hati mereka. Sejenak, Ashley dan Hans nampak bingung dengan apa yang akan disampaikan oleh wanita paruh baya ini.Hans dan Ashley sejenak saling pandang, kini mulai merasakan getaran aneh di dada mereka. Seolah firasat buruk mulai menyelimuti.Bu Riana menghela napas berat, lalu mulai berbicara dengan suara pelan namun tegas."Sebenarnya... ada satu rahasia yang Mama simpan yang membuat Soni pergi. Dan hari ini ... Mama ingin mengungkapkannya dan ingin kalian mengetahui semuanya.""Rahasia?" Ashley menahan n

  • IBU SUSU BAYIKU, CANDUKU!   168. Siapkan Mental

    Lorong rumah sakit itu terasa semakin panjang dan sunyi, seolah menyimpan rahasia besar yang baru saja akan terungkap. Langkah kaki Doni, Ashley, dan Hans menggema perlahan. Doni berjalan dengan dada sesak, pikirannya berkecamuk sejak mendengar nama "Sisil" keluar dari mulut Hans.Ashley yang berada di sisi Doni juga masih memikirkan hal yang sama. Perasaan tak suka dan benci pada Sisil masih ada, tapi kini bercampur dengan rasa khawatir dan penasaran.Setibanya di ruang IGD, Hans mengangkat tirai putih yang menutupi salah satu ranjang pasien."Sini ... dia di sini," gumam Hans pelan. "Coba lihat."Seketika, Ashley menoleh ke arah Doni. "Don?"

  • IBU SUSU BAYIKU, CANDUKU!   167. Mungkinkah ...

    Pagi merekah perlahan di langit yang cerah. Udara masih terasa segar meski lalu lintas di sekitar RS Puri Medika mulai riuh. Cahaya matahari menembus celah jendela lobi rumah sakit, membentuk garis-garis hangat di lantai putih mengkilap.Doni memasuki rumah sakit dengan langkah ringan dan ekspresi wajah yang sulit disembunyikan dan penuh rasa kemenangan. Ia baru saja kembali dari rumah untuk mengambil pakaian ganti, beberapa dokumen penting, dan barang keperluan lain. Tapi bukan itu yang membuatnya tampak begitu sumringah.Sementara Ashley keluar dari kafetaria kecil di dekat pintu utama, membawa dua bungkus nasi uduk dalam kantong plastik. Rambutnya diikat sederhana, tanpa make-up, namun aura ketenangan terpancar dari wajahnya yang kini sedikit membaik. Ia berhenti sejenak saat melihat Doni, lalu melambai pelan.

  • IBU SUSU BAYIKU, CANDUKU!   166. Permintaan

    Rendra mengerutkan kening, memandang Hendrik yang jelas-jelas sedang berusaha keras menahan perasaannya. "Mulai dari kejadian Sandra, adik Doni. Apa yang sebenarnya terjadi?"Hendrik terdiam sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya, sesekali mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Itu... aku tidak tahu, aku...""Jangan coba berbohong, Hendrik!" potong Alvin yang sudah tidak sabar. "Kami tahu apa yang terjadi. Kamu sudah memperkosa Sandra. Kamu tahu betul apa akibatnya dari perbuatanmu itu."Hendrik mendongak, matanya berkaca-kaca. "Aku... aku tidak bisa mengendalikan diriku waktu itu.""Cukup!" seru Rendra, suaranya keras dan tegas. "Kamu tahu apa yang kamu lakukan, Hendrik. Tidak ada alas

  • IBU SUSU BAYIKU, CANDUKU!   165. Penyergapan

    Rendra mengedipkan mata, lalu mengakhiri sambungan dengan cepat sebelum Hendrik benar-benar menutup lebih dulu. "Terima kasih waktunya, Pak. Mohon maaf kalau mengganggu. Selamat sore."Begitu telepon ditutup, Alvin langsung bergerak cepat di komputernya. Ia menghubungkan layar ke sistem pelacakan satelit dan memperbesar lokasi yang baru saja dikunci. Gambar dari CCTV pelabuhan mulai muncul, meski tidak terlalu jernih."Ini dia. Sinyal ponsel aktif di sekitar pinggiran kota. Kamera menangkap pergerakan pria dengan hoodie gelap, masuk ke area rumah tak berpenghuni tanpa izin. Wajah tidak jelas, tapi ... sepertinya dia menyembunyikan sesuatu," kata Alvin sambil menunjuk ke layar."Apakah kita yakin itu Hendrik?" tanya Alvin, meski nadanya sudah agak yakin.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status