Dengan cekatan Ashley langsung menutup tubuh Baby Haneul dengan selimut, menyadari kehadiran sang majikan. Wanita itu bangkit dari duduknya, mendekap sang anak dengan erat.
"Maaf, saya pikir sinar matahari pagi baik untuk kesehatan bayi," balas Ashley menerangkan sembari membawa Baby Neul masuk. "Tapi bukan sekarang, Ash!" Lagi-lagi Risma memprotes. Hans melihat kemarahan Risma semakin menjadi. Pria itu lantas melangkah maju di antara Risma dan Ashley. "Tidak apa, Sus. Toh, ruam pada Haneul juga sudah membaik, biarkan Ashley yang mengurusnya. Dia mungkin lebih tau kondisi Baby Neul," ucap Hans menghentikan pertikaian. Ashley meletakkan Baby Neul di atas kasur besar, lalu merapikan lagi baju sang anak, kemudian melihat ke arah Hans, "Haneul sudah minum asi pagi ini, Pak. Jadi dia lebih tenang sekarang. Anda mau menggendongnya?" Hari pertama Ashley bekerja, Hans bisa melihat kelembutannya merawat sang anak. Tentu saja wanita itu lebih mendalami perannya sebagai seorang ibu dibandingkan perawat. "Hm, tidak perlu. Biarkan Haneul tidur, aku hanya akan menciumnya saja." Hans langsung mencondongkan badan, menciumi wajah sang bayi yang tertidur pulas. "Papa kerja dulu ya sayang, Baby Neul sama Ibu Ash ya ... Jangan rewel ya, nak." Wajah tenang dan menggemaskan sangat membuat sang ayah tidak sabar ingin mengajak bermain. Namun Hans sadar, bila bayi Haneul butuh waktu tidur lebih banyak. Seusai mencium serta berpamitan, Hans menegakkan badan, lalu menatap ibu susu sang anak, "Ashley, aku titip Haneul. Jaga dia baik-baik. Oh, ya satu lagi. Jangan lupa kamu harus makan makanan yang bergizi. Asi-mu akan berpengaruh." "Baik, Pak," balas Ashley mengangguk lirih, meskipun sedikit malu. Kehadiran Risma seolah diabaikan keduanya. Hans dan Ashley tampak terlihat seolah keluarga kecil yang bahagia hingga membuat sang perawat semakin geram. "Semakin kurang ajar dia!" kesal Risma mengepalkan tangan. Sepeninggal Hans, Ashley memindahkan Baby Haneul ke dalam box bayi. "Aku mau turun dulu, Ris. Kamu tidak mau sekalian makan?" Namun, Risma menolak ajakan Ashley. "Kamu duluan saja. Aku mau cuci botol susu semalam." "Oh, ya sudah." Ashley langsung keluar dari kamar Baby Haneul, meninggalkan Risma begitu saja. "Aku harus melakukan sesuatu secepatnya! Atau ... Aku pasti yang akan disingkirkannya!" gumam Risma merencanakan sesuatu. ** Sementara di tempat lain, Riana senang setelah kepergian Ashley, namun ia juga dibuat penasaran ke mana menantu sialannya itu sekarang tinggal. "Gak mungkin kan dia bisa neduh sekarang? Mana ada yang mau nampung wanita sialan kayak dia!" maki Riana seolah kekesalannya sudah mendarah daging. Wanita paruh baya yang kini sedang duduk di sofa ruang tamu, melihat sekitar ruangan itu. Hening. Tak ada siapapun di rumah tersebut. "Ke mana lagi nih Sandra," gerutunya sambil melihat jam dinding, "jam segini belum pulang juga! Mana semalaman dia juga gak pulang?" Riana terus mengomel kesal entah dengan siapa. Wanita itu kemudian berjalan ke arah salah satu dinding di ruang tamu itu. Tangannya mengambil bingkai foto pernikahan sang anak yang sangat dibanggakannya selama ini. Namun sayang, Tuhan telah mengambil nyawanya lebih dulu. "Andai kamu mau menuruti omongan mama sebelumnya, kamu gak akan kayak gini, Soni ..." Riana mengeluh, namun sesaat kemudian ekspresinya sangat senang, "Tapi ada bagusnya juga sih, dengan kematianmu, aku bisa mengusir wanita itu!" Gerutuan Riana ternyata membuat wanita muda yang baru saja masuk ke rumah pagi itu mengacak rambut, "Kenapa lagi sih Mama, masih pagi ngomel-ngomel ...!" Dengan langkah sempoyongan, Sandra masuk ke dalam kamarnya. Namun, baru saja ia hendak menutup pintu kamarnya. Sebuah kaki menahan, serta diiringi sebuah teriakan. "Berhenti, Sandra!" bentak Riana dari balik pintu. "Dari mana kamu, hah? Perempuan, pulang pagi! Memang kamu gak kerja?" "Aku cuti, Ma! Ngapain sih pake teriak-teriak? Gak bisa ya omong pelan!" Sandra pun ikut kesal karena sang ibu yang terus mengomel, "Ngerusak mood aja deh!" "Heh, kamu tau gak? Si Ashley udah mama usir dari rumah ini!" Mendengar penjelasan sang ibu, Sandra justru mendengus, "Bukannya lebih bagus. Sudah lama kan mama mau mengusirnya!" Riana menatap tak percaya pada anak bungsunya. "Heh, kamu itu ya!" Menyentil kening Sandra membuat wanita muda itu melayangkan protes. "Aduh! Sakit!" "Dengerin!" Riana menarik lengan Sandra hingga wajahnya mendekat ke telinga sang anak, lalu berbisik, "Kalau kemarin dia setuju menikah dengan Doni, mama gak mungkin mengusirnya. Kita kan bisa dapatkan uang lagi. Kita bisa meraup keuntungan lebih banyak!" Sandra mencebik malas. Ia menarik diri sedikit menjauh. "Mama urus saja sendiri. Aku gak ikutan!" "Eeh ..., enak saja! Ingat Sandra, mobil yang kamu pakai juga uang dari itu!" Mengeram kesal, Sandra mendorong sang ibu agar sedikit menjauh, "Minggir!" Brak! Suara dentuman pintu yang ditutup dengan kasar begitu memekakkan telinga. Riana ternganga melihat tingkah anak perempuannya hingga wajahnya terlihat marah, kedua matanya seolah hendak keluar. "SANDRRRRAA ....!!" ***Setelah kejadian semalam, Hans tiba di kantor dengan wajah yang terlihat lesu. Pagi ini, kepalanya terasa berat, dan sakit kepala yang mengganggu membuatnya kesulitan untuk fokus. Dengan tangan yang terangkat, ia mengurut keningnya, mencoba menghilangkan rasa pening yang seakan tak mau pergi. Liam yang penasaran pun bertanya mengapa sang CEO pagi ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Sang asisten yang melihatnya tidak bisa menahan rasa penasaran. "Pak ada apa dengan Anda? Sepertinya Anda tidak dalam keadaan baik-baik saja pagi ini," tanyanya dengan cemas. Hans mendesah pelan, masih merasa bingung dengan apa yang terjadi semalam. Ia tidak mungkin bisa menutupi dari sang asisten terus menerus. "Aneh rasanya, Liam," jawabnya perlahan. "Semalam aku bisa menyanyikan lagu yang aku gak pernah dengar sebelumnya, dan Ashley mengatakan bahwa lagu itu milik Soni ... yang sudah meninggal." Sementara Liam masih mendengarkan dengan seksama. Sang CEO lagi-lagi memejamkan matanya sejenak, be
Keheningan menyelimuti dalam kamar mereka. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar, menyayat di antara jarak yang mendadak terasa jauh di antara Hans dan Ashley. Tatapan Ashley kini bukan hanya penasaran, tapi juga terluka. Ada sesuatu yang disembunyikan, dan nalurinya mengatakan Hans tidak sepenuhnya jujur. Hans menunduk, tak sanggup membalas tatapan itu. Ia sangat ingin melindungi Ashley, tapi kebenaran yang samar di pikirannya sendiri membuatnya ragu. Perasaan bersalah, bingung, dan takut bercampur jadi satu. “Kamu nyembunyiin sesuatu, kan, Ko?” tanya Ashley dengan suara bergetar “Ash … bukan kayak gitu.” Sang istri berusaha menahan air mata. “Kamu tahu betapa aku kehilangan Soni. Tapi sekarang kamu datang, bawa lagu itu, nyanyiinnya ... seolah kamu tau semua tentang aku dan dia.” “Aku juga kaget, Ash. Lagu itu tiba-tiba muncul di kepalaku. Aku nggak tau dari mana. Aku nggak ngerti kenapa,” jawab Hans sambil terus menatap sang wanita dengan suara pelan dan berat. Dengan s
Situasi dalam ruang keluarga itu semakin hening meski alunan musik Hans mengalun lembut. Namun, tetap saja tidak merubah hati dan perasaan Ashley yang sangat penasaran, mengapa suaminya bisa tahu dengan lagu yang ia dengarkan.Tatapan nanar dalam pelupuk mata yang berkaca-kaca itu ingin segera menemukan jawaban. “Ko …” gumamnya pelan.Hans yang tanpa sadar diperhatikan sang istri dengan tatapan asing pun menghentikan pergerakan jemarinya. “Kamu kenapa, Ash?”Pertanyaan Hans ternyata mampu menghilangkan lamunan Ashley yang kini menatap wajah tampan sang suami dengan terisak.“Kamu kenapa, Sayang?” Hans seketika bangkit dengan menggendong Baby Neul. Langkah kakinya menghampir
Di dalam rumah tangga Hans dan Ashley semakin harmonis meski dalam kehidupan pasangan suami istri itu kedatangan tamu yang sangat tidak diharapkan. Namun, kejadian kemarin tidak membuat Ashley menaruh curiga terhadap mantan istri dari sang suaminya tersebut.Pagi ini di dalam keluarga Hans, Ashley tengah menyibukkan diri sejak tadi di dapur hingga membuat pancake. Sementara Hans sedang bermain bersama sang putra yang kini sudah aktif bermain. Usia Baby Neul setara dengan perkembangan fisik anak sebayanya, namun untuk perkembangan otak anak laki-laki tampan itu sangat cepat tanggap.“Neul, mau apa buka kulkas?” tanya Ashley saat melihat kedatangan sang anak yang membuka lemari pendingin.Rasa ingin tahu sang anak semakin kuat saat ia berhasil membuka kotak p
Sementara Sisil yang tidak mendapatkan keinginannya saat di rumah Hans, wanita itu langsung keluar rumah dan melajukan mobilnya menuju diskotik. Kedatangannya kali ini benar-benar mengejutkan semua orang setelah kepergiannya secara sepihak sekian lalu lamanya.Kedatangannya kembali ke dalam kehidupan Hans, tentu saja tidak jauh dari niatnya ingin menyatu dengan mantan suami dan anaknya. “Sialan banget sih kamu Hans, baru juga aku tinggal beberapa bulan, kamu sudah punya wanita lain,” gerutunya sambil terus menginjak pedal gas.Setiba di Diskotik Eleven, dengan langkah penuh percaya diri, Sisil masuk ke dalam dengan rambut yang tergerai indah. Seolah ada rasa rindu terhadap tempat yang dulunya sering dikunjungi, wanita itu memilih salah satu bangku di sudut ruang tersebut.
Kedatangan Sisil di rumah Hans tentu saja membuat hati kecil Ashley penuh pertanyaan. Siapa wanita yang sempat memeluk suaminya itu? Namun, jangankan bertanya, ingin bernapas saja dadanya masih terasa sesak. Ashley sekuat tenaga menahan semua rasa itu demi sang suami.Tiba di lantai atas, Hans langsung membuka pintu kamar agar sang istri bisa masuk lebih dulu. Ia tidak ingin Ashley semakin kepikiran tentang Sisil, meskipun kenyataannya Ashley memang harus tau siapa Sisil sebenarnya.Keduanya melangkah lebih dalam masuk ke dalam kamar, kemudian Hans menutup pintu kamar rapat. Ada rasa campur aduk di dalam hati pria itu, apakah ini waktu yang tepat mengatakan semuanya pada sang istri?“Uhm … Ash?” panggil Hans tiba-tiba menghentikan langkah kaki sang wanita.
Ashley mengerutkan kening. Ia perlahan turun dari gendongan Hans, berdiri di samping suaminya yang masih mematung, menatap ke arah sosok asing yang berdiri di ruang tamu. "Siapa perempuan itu? Kenapa Ko Hans terlihat begitu tegang?" batin AshleyPerempuan itu tampak anggun, dengan senyum lebar yang seolah tidak menyadari keterkejutan yang mengisi udara di sekitar mereka. Rambutnya tergerai rapi, bibirnya dilukis merah muda, dan matanya bersinar—seolah kedatangannya adalah kabar baik.Belum sempat Ashley bertanya, perempuan itu tiba-tiba melangkah cepat dan langsung memeluk Hans begitu saja, tanpa ragu.Ashley tersentak. Ia berdiri terpaku, matanya membelalak. Dadanya sesak seketika, jantungnya berdegup keras. Sedetik tadi, malam terasa hangat. Kini, ia seperti dilempar ke dalam kolam es.Sementara Hans juga tampak terkejut. Tubuhnya menegang beberapa detik, sebelum akhirnya ia mendorong perempuan itu perlahan, menjauh dari dirinya.
Setelah makan sore yang hangat dan sederhana, Hans dan Ashley akhirnya memutuskan untuk pulang. Hari mulai gelap, dan suasana di antara mereka dipenuhi dengan kehangatan yang masih membekas dari obrolan-obrolan kecil selama makan tadi. Di dalam mobil, Ashley memegang kotak kecil berisi kalung itu erat-erat di pangkuannya. Jemarinya sesekali menyentuh liontin bintang di dalamnya, seolah memastikan hadiah itu nyata dan bukan sekadar khayalan."Aku masih nggak percaya kamu melakukan ini," katanya pelan, masih menatap kotak itu. “Kupikir kita cuma mau makan aja.”Hans melirik sekilas sambil tersenyum. "Kamu suka?" Ashley mengangguk, senyumnya melebar. "Iya, aku sangat suka."Beberapa saat mereka diam. Musik lembut mengisi keheningan, menemani pemandangan lampu-lampu jalan yang melintas perlahan di balik kaca jendela.Tidak lama kemudian, Hans menepikan mobil ke bahu jalan yang cukup sepi, lalu mematikan mesin.As
Sore harinya, dokter akhirnya masuk dengan senyum hangat di wajahnya. Setelah memeriksa hasil tes dan kondisi fisik Ashley, ia memberikan keputusan yang dinanti-nanti."Semua hasilnya baik. Tidak ada indikasi komplikasi. Jadi, Bu Ashley sudah boleh pulang sore ini, ya. Tapi tetap harus banyak istirahat di rumah."Ashley nyaris melompat dari tempat tidur kalau saja Hans tidak langsung menahan bahunya. Senyum lebarnya tidak luntur sedikit pun sejak dokter mengucapkan kata “boleh pulang.”“Terima kasih banyak, Dok!” ucap Ashley semangat.Hans mengangguk sopan. Setelah proses administrasi dan pengambilan obat selesai, mereka pun meninggalkan rumah sakit.Sepanjang perjalanan di dalam mobil, Ashley nyaris tak berhenti tersenyum. Ia duduk dengan tubuh condong ke depan, memeluk tas kecilnya, sementara pandangannya sesekali melongok keluar jendela.Hans yang menyetir di sebelahnya melirik beberapa kali, lalu tersenyum tipi