Di perusahaan besar LuminaTech. Pria yang duduk di balik meja kerja besar tampak berpikir keras hingga keningnya berkerut.
Hans mengetuk-ngetuk meja kerja beberapa kali kemudian mengangkat gagang telepon. "Hallo Liam, ke ruanganku sekarang!" Sang CEO memeriksa kembali beberapa email, dan cctv dalam kamar Baby Neul yang terhubung ke ponselnya. "Ternyata dia sedang menyusui Haneul ..." batin Hans tetap memastikan sang anak dengan baik. Dalam lamunan itu ... Tak berselang lama, terdengar ketukan pintu sekilas, lalu nampak sang asisten melangkah masuk ke dalam dengan membawa iPad, "Anda mencari saya, Pak?" "Hm, duduklah." "Pak, Anda sudah periksa catatan yang dikirim sekretaris?" tanya Liam tiba-tiba. "Ekhem ..." Hans berdehem kecil, kemudian mengembalikan ekspresinya cepat, "hm ... sudah, aku sudah periksa tadi." "Lalu, bagaimana tanggapan Anda, Pak? Apa Anda juga setuju?" "Lanjutkan saja dulu, akan aku tambahi setelah pertemuan nanti," jawab Hans, "Oh ya, katakan pada pelayan, penuhi gizi makanan Ashley. Aku tidak mau Haneul terkena gizi buruk." "Baik, Pak." Rasanya tidak mungkin makanan Ashley tidak memenuhi standart kesehatan? Namun, Liam tetap mengangguk, mengiyakan. Hans memiringkan kepala sedikit, "Dan ... aku rasa sekarang Haneul tidak membutuhkan perawat, Liam. Kalau dia kembali ke Agency, apa tidak ada masalah?" Sejenak Liam mencerna ucapan sang CEO kemudian membalas, "Apa Anda sudah yakin Bu Ashley bisa menanggani Baby Neul dengan baik, Pak? Jika Bu Ashley belum bisa memegang tanggung jawab penuh, saya rasa akan bermasalah bila Risma kembali ke Agency." Hans mendengarkan dengan seksama. Memang benar yang dikatakan asistennya. Tetapi, bila melihat kejadian tadi pagi pun, Hans merasa ada kesenjangan antara Risma dan Ashley. "Baiklah, aku tunggu beberapa bulan lagi. Biar Ashley bisa menyesuaikan dengan Haneul lebih dulu," putus Hans akhirnya, kemudian ia mengalihkan topik pembicaraan, "Oh ya, Liam. Atur pertemuanku dengan Cakrawala Utama." "Dengan Pak Cakra, Pak?" "Ya iya, dengan siapa lagi?" gemas Hans, "mereka ingin mendengar tentang kerja sama yang kita tawarkan kemarin." Liam mengangguk, "Baik Pak, segera saya atur jadwal untuk Anda. Apa ini mendesak?" "Hm, atur penerbangan untuk besok." Setelah mendengar pernyataan dan titah yang diberikan, Liam langsung bangkit dari duduknya, "Jika tidak ada lagi yang Anda sampaikan, saya permisi." Sepeninggal sang asisten, Hans kembali termenung. Pikirannya selalu penuh dengan sang anak. Semenjak kelahiran Haneul, hidupnya berubah derastis. Hingga sore tiba, Ashley cukup senang dengan aktivitas barunya. Meskipun belum bisa melenyapkan tentang kenangan mendiang suaminya. Tetapi, rasa ingin mengakhiri hidupnya perlahan sirna dengan kehadiran bayi kecil yang menggemaskan. Haneul tampak berceloteh dengan bahasa bayi yang sangat lucu. Ashley berulang kali tersenyum menatap lembut pada wajah tampan itu. "Haneul omong apa? Coba bisikin Ibu Ash." Wanita itu menempelkan pipinya pada bibir Haneul, seolah seperti berbisik. Kemudian ia tertawa gemas. "Hmm ... Ibu Ashley belum denger, ayo coba ulangi lagi ..." "Tca tca tca ...." Sang bayi menggenggam jari telunjuk Ashley pada masing-masing tangannya sambil kedua kakinya diangkat. "Nah, ayo coba angkat kakinya lebih tinggi, Sayang. Satu ... Dua ... Ti-gaaa ..." Ashley seakan memiliki mainan baru yang membuat hatinya tak lagi kosong. Haneul benar-benar mengisi kekosongan hatinya selama ini. "Sudah makin pinter ya anak Ibu Ash." Kegembiraan Ashley dan Haneul ternyata membuat Risma semakin sebal. Dia merasa eneg, melihat Ashley yang seolah mencari perhatian dengan mempererat kedekatannya dengan Baby Neul. "Aku rasanya mau muntah melihat tingkahnya sekarang ..." lirih Risma bersedekap dada. Tanpa Ashley tau, Risma ada di belakangnya. "Rasanya dia tidak bisa dibiarkan terus-terusan. Atau aku ... Ah, aku tau caranya!" Suara deheman mengejutkan Ashley sontak langsung menoleh. "Ekhem ..." Ashley melihat perawat Risma masuk ke dalam dengan membawa bungkusan yang ia ambil sebelumnya. "Ini cream yang harus dipakai Baby Neul setiap hari, Ash. Pakaikan sehari dua kali, Pagi dan sore saja," kata sang perawat. Menerima bungkusan kantong warna putih, Ashley mengangguk. "Hm, nanti aku pakaikan kalau mengganti pampers-nya." Ashley meletakkan bungkusan itu di meja peralatan Baby Neul, kemudian melihat sang perawat yang juga memandang sang bayi dengan tatapan sendu. "Duduk, Ris." Ashley menyebut perawat Risma hanya dengan nama, karena usia mereka sebaya, di lain itu juga atas permintaan sang perawat tersebut. Kemudian keduanya duduk di atas kasur kamar Baby Neul. Ada rasa penasaran yang ingin diketahui Ashley, dan ternyata ia tanyakan pada sang perawat. "Ada yang mau kamu tanyakan, Ash?" tanya Risma seolah membaca pikiran. Sejenak, ada rasa ragu untuk mengucapkan. Namun, rasa itu sangat menggangu Ashley jika belum menemukan jawabannya. "Hmm," angguk Ashley lirih, "Ini mengenai ibu kandung Haneul. Apa yang terjadi padanya?" Sebelum menjawab Risma menoleh kanan dan kiri, memastikan tidak orang di sekeliling mereka, "Ehm ... kalau pastinya gak ada yang tau masalahnya, Ash. Cuma orang-orang di rumah ini tau, kalau istri Pak Hans pergi begitu saja. Gak ada juga yang berani bahas hal itu di rumah ini." "Hm. Oke, kalau gitu aku juga gak akan tanya-tanya lagi." "Benar, fokus saja pada Baby Neul. Dia sekarang sangat menggemaskan." Namun, siapa sangka? Obrolan keduanya ternyata terdengar Hans saat melintas di depan kamar Haneul, hendak menuju kamarnya. "Apa-apaan kalian ini?" ***Langit pagi tampak suram di atas bangunan tua yang dikelilingi pagar kawat berduri. Lapas itu, tempat para narapidana kelas berat menanti akhir dari sisa hidup mereka. Di dalam salah satu bloknya, terdengar erangan tertahan.Hendrik tergeletak di sudut sel tahanan. Wajahnya lebam. Bibirnya pecah. Tubuhnya gemetar. Nafasnya sesak, seolah paru-parunya dihantam ribuan kepalan tangan.Dua hari lalu, ia resmi dipindahkan dari sel umum ke blok isolasi "khusus".Dan sejak itu ... hidupnya tak pernah sama lagi.Setiap malam, pintu sel dibuka tanpa aba-aba. Beberapa sipir masuk. Beberapa membawa tongkat, sebagian hanya menggunakan sarung tangan dan sepatu boot baja. Mereka tidak berbicara. Tak memberi
Suasana kamar ICU yang kini sepi tanpa ada perawat maupun dokter, menjadi tambah sunyi tatkala Bu Riana memberikan sebuah saran agar semua yang ada di ruangan itu mempersiapkan mental dan hati mereka. Sejenak, Ashley dan Hans nampak bingung dengan apa yang akan disampaikan oleh wanita paruh baya ini.Hans dan Ashley sejenak saling pandang, kini mulai merasakan getaran aneh di dada mereka. Seolah firasat buruk mulai menyelimuti.Bu Riana menghela napas berat, lalu mulai berbicara dengan suara pelan namun tegas."Sebenarnya... ada satu rahasia yang Mama simpan yang membuat Soni pergi. Dan hari ini ... Mama ingin mengungkapkannya dan ingin kalian mengetahui semuanya.""Rahasia?" Ashley menahan n
Lorong rumah sakit itu terasa semakin panjang dan sunyi, seolah menyimpan rahasia besar yang baru saja akan terungkap. Langkah kaki Doni, Ashley, dan Hans menggema perlahan. Doni berjalan dengan dada sesak, pikirannya berkecamuk sejak mendengar nama "Sisil" keluar dari mulut Hans.Ashley yang berada di sisi Doni juga masih memikirkan hal yang sama. Perasaan tak suka dan benci pada Sisil masih ada, tapi kini bercampur dengan rasa khawatir dan penasaran.Setibanya di ruang IGD, Hans mengangkat tirai putih yang menutupi salah satu ranjang pasien."Sini ... dia di sini," gumam Hans pelan. "Coba lihat."Seketika, Ashley menoleh ke arah Doni. "Don?"
Pagi merekah perlahan di langit yang cerah. Udara masih terasa segar meski lalu lintas di sekitar RS Puri Medika mulai riuh. Cahaya matahari menembus celah jendela lobi rumah sakit, membentuk garis-garis hangat di lantai putih mengkilap.Doni memasuki rumah sakit dengan langkah ringan dan ekspresi wajah yang sulit disembunyikan dan penuh rasa kemenangan. Ia baru saja kembali dari rumah untuk mengambil pakaian ganti, beberapa dokumen penting, dan barang keperluan lain. Tapi bukan itu yang membuatnya tampak begitu sumringah.Sementara Ashley keluar dari kafetaria kecil di dekat pintu utama, membawa dua bungkus nasi uduk dalam kantong plastik. Rambutnya diikat sederhana, tanpa make-up, namun aura ketenangan terpancar dari wajahnya yang kini sedikit membaik. Ia berhenti sejenak saat melihat Doni, lalu melambai pelan.
Rendra mengerutkan kening, memandang Hendrik yang jelas-jelas sedang berusaha keras menahan perasaannya. "Mulai dari kejadian Sandra, adik Doni. Apa yang sebenarnya terjadi?"Hendrik terdiam sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya, sesekali mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Itu... aku tidak tahu, aku...""Jangan coba berbohong, Hendrik!" potong Alvin yang sudah tidak sabar. "Kami tahu apa yang terjadi. Kamu sudah memperkosa Sandra. Kamu tahu betul apa akibatnya dari perbuatanmu itu."Hendrik mendongak, matanya berkaca-kaca. "Aku... aku tidak bisa mengendalikan diriku waktu itu.""Cukup!" seru Rendra, suaranya keras dan tegas. "Kamu tahu apa yang kamu lakukan, Hendrik. Tidak ada alas
Rendra mengedipkan mata, lalu mengakhiri sambungan dengan cepat sebelum Hendrik benar-benar menutup lebih dulu. "Terima kasih waktunya, Pak. Mohon maaf kalau mengganggu. Selamat sore."Begitu telepon ditutup, Alvin langsung bergerak cepat di komputernya. Ia menghubungkan layar ke sistem pelacakan satelit dan memperbesar lokasi yang baru saja dikunci. Gambar dari CCTV pelabuhan mulai muncul, meski tidak terlalu jernih."Ini dia. Sinyal ponsel aktif di sekitar pinggiran kota. Kamera menangkap pergerakan pria dengan hoodie gelap, masuk ke area rumah tak berpenghuni tanpa izin. Wajah tidak jelas, tapi ... sepertinya dia menyembunyikan sesuatu," kata Alvin sambil menunjuk ke layar."Apakah kita yakin itu Hendrik?" tanya Alvin, meski nadanya sudah agak yakin.