Share

IBUKU BUKAN BABUMU
IBUKU BUKAN BABUMU
Penulis: Mutiara Sukma

Bab 1

IBUKU BUKAN BABUMU 1

 "Bu, itu botol susunya dicuci yang bersih, ya. Jangan sampai ada bekas susu yang tertinggal. Jangan lupa setelah itu masukin ke sterilizer. Pastikan airnya pas. Jangan sampai rusak alatnya. Satu lagi, baju Alesha dan Fikri jangan cuci pake mesin. Pake tangan saja. Nanti, baju anak-anak rusak!" Seru Mbak Ulya sambil merapikan dandanannya yang sebenarnya sudah rapi. Tanpa menoleh pada Ibu.

Mas Damar takut takut menatap Ibu. Bapak tertunduk. Hanya aku yang mengangkat kepala menahan kesal. Semenjak Mas Damar di PHK dari perusahaan, wibawanya sebagai seorang suami seakan hilang. Mbak Ulya kini seolah berperan sebagai kepala keluarga. Mengatur dan memerintah semaunya.

"Mas, nanti kamu ga usah jemput. Dan nanti-nanti kalau jemput jangan pakai jaket ojol. Aku malu!"

"Iya ..." Cicit Mas Damar dengan wajah masih ditekuk.

"Ini uang tiga ratus ribu untuk belanja. Sekalian beli susu dan diapers Alesha. Hemat-hemat! Aku ini lelah nyari uang," ujarnya lagi seraya melempar tiga lembar uang ratusan ribu ke atas meja. Aku hendak berdiri memprotes kelakuannya yang tak sopan. Namun, ibu menahan tanganku sambil menggelengkan kepala.

Tanpa pamit perempuan itu bergegas berjalan keluar. Bunyi high heelsnya masih tercetak jelas di lantai. Tak lama sebuah mobil berhenti di depan rumah. Lalu Mbak Ulya naik dengan wajah mengulas senyum. Dia lebih memilih naik mobil bersama teman-temannya dari pada diantar Mas Damar memakai motor. Mas damar membuang nafas kasar.

"Maafkan Ulya ya, Bu, Pak. Damar gagal mendidiknya, hingga jadi seperti itu," tutur Mas Damar dengan suara berat.

"Tak masalah, Mar. Asal rumah tangga kalian tetap utuh, Ibu sudah bahagia."

Suara ibu bergetar, jelas jiwa ibu tak ikhlas diperlakukan seperti b@bu. Aku memeluk Ibu. Pasti sangat lelah merawat dua anak Mbak Ulya dan Mas damar itu. Fikri berusia empat tahun dan si kecil Alesha masih berusia enam bulan.

"Kalau Dinara sudah kerja, nanti Dinara yang akan menggaji pembantu biar Ibu tak kecapekan," lirihku.

Ibu menatap sayu. Dan membingkai wajahku tanpa kata. Kasian sekali Ibu. Memang kalau bukan dari Mbak Ulya, aku mungkin saat ini tak bisa melanjutkan kuliah. Karena bantuan Mas damar dulu aku bisa melanjutkan pendidikan. Namun, setelah Mas Damar tidak bekerja lagi, otomatis Mbak Ulya yang membantu. Ibu dan Bapak tak punya penghasilan tetap untuk itu. Ibu hanya penjual nasi uduk di depan rumah setiap pagi. Dengan dibantu Bapak. Dari sanalah kami bisa tetap makan. Namun, sejak Mbak Ulya minta tinggal dirumah ini, otomatis Ibu tak bisa jualan lagi.

"Itung-itung imbalan atas uang yang aku keluarkan." Begitu katanya. Ibu dan Bapak harus menjaga anak-anaknya dengan baik. Tak boleh ada kekurangan atau luka sedikitpun. Pelik memang urusan dengan perempuan itu. Setelah kepergian Mbak Ulya, kami melanjutkan sarapan meski suasana sudah tak lagi nyaman.

Obrolan kami terhenti ketika tangis Alesha terdengar dari dalam kamar. Ibu tergopoh-gopoh berlari ke asal suara.

"Ya Allah, Alesha...!"

Mendengar teriakan Ibu. Aku, Mas damar juga bapak menyusul ke sana.

"Kenapa Bu?" Tanyaku kaget. Alesha sudah ada dalam gendongan Ibu. Wajah Ibu pias. Bayi itu masih terus menangis kencang. Di atas kasur ada Fikri yang menunjuk-nunjuk adiknya sambil tertawa-tawa.

"Alesha sudah ada di lantai. Sepertinya di dorong oleh Fikri," jelas Ibu gemetaran.

"Sini Bu, biar Nara gendong."

Aku mengambil alih Alesha dari tangan Ibu.

"Adek jatuh. Guling-guling," ciloteh Fikri 

Mas Damar mendekati anaknya itu.

"Fikri mendorong adik?" Bocah laki-laki itu mengangguk dengan wajah tanpa dosa.

"Lain kali ga boleh ya, kasian adik kesakitan."

"Alesha seneng kok, Pa."

Mas Damar menggelengkan kepala. "Adik kesakitan, karena itu dia menangis," jelas Mas Damar. Tapi, Fikri cuek saja. Masih terlalu kecil untuk Fikri memahami hal itu, meski sudah setiap saat dijelaskan agar dia tak menyakiti adiknya.

Karena tragedi itu aku telat ke kampus. Beruntung Pak Khalif, dosen yang terkenal killer dan tak pandang bulu memarahi siapa saja mahasiswanya yang telat atau tidak mengerjakan tugas, sedang ada urusan, jadi digantikan oleh dosen lain.

"Wajah kamu kenapa murung gitu, Ra?" Tanya Cheryl sahabatku sejak masih duduk di bangku SMA.

"Aku mau nyari kerja, Cher. Kira-kira apaan, ya?"

Cheryl malah tertawa. "Mahasiswa seperti kita yang belum tamat dan tak punya ijazah begini mau kerja apa, Ra? Kamu ini! Tapi, kalau kamu mau, di tempat Papa aku ada lowongan."

Mataku langsung berbinar.

"Jadi office girl!" Serunya sambil tertawa sebelum aku sempat melontarkan tanya.

Aku memukul pelan lengan Cheryl. Bisa-bisanya dia becanda seperti itu.

Sore, setelah semua mata kuliah selesai aku segera pulang. Baru saja motor matic-ku berhenti didepan rumah, suara bentakan terdengar nyaring.

"Ga becus memang Ibu ini! Lihat pakaian Fikri penuh coklat! Saya kan sudah bilang. Jangan kasih anak-anak coklat! Dan ini Alesha, apa tak bisa ibu diamkan. Saya itu capek seharian kerja! Ibu ngerti ga sih! Kalau bukan saya siapa yang akan memberi makan keluarga ini!' bentaknya.

Aku bergegas melepas helm dan berlari ke dalam.

"Mbak Ulya! Begitu caramu memperlakukan mertuamu!" Teriakku kencang. Dia menoleh begitu juga dengan Ibu.

"Oh, sudah pintar melawan kamu, ya?" Sahutnya dengan nada meremehkan.

Darahku mendidih. Aku tak ingat lagi berkat siapa aku bisa kuliah.

"Kau itu perempuan tak punya hati, Ulya!" Pekikku. Mata Mbak Ulya membeliak tajam.

"DINARA!" seru Ibu.

Aku terdiam menatap Ibu yang kini menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada air yang mengambang disana.

"Lihat Bu. Masih jadi ben alu aja udah belagu! Nyesel aku nguliahin," ucapnya yang terdengar seperti gumaman.

Baiklah, jika hanya karena diberi biaya untuk kuliah dia menghinaku. Lebih baik aku tak melanjutkan pendidikanku lagi.

"Aku tak butuh uangmu! Mulai saat ini kau tak perlu repot-repot untuk membiayai kuliahku lagi. Namun, kau hari pergi dari sini, Ulya!" seruku sambil menahan gemuruh di dada yang meledak-ledak.

BERSAMBUNG.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status