IBUKU BUKAN BABUMU (5)
Hari pertama begitu melelahkan. Apalagi Pak Joshua, atasan yang banyak maunya. Padahal, masih banyak karyawan lain yang lebih paham seluk beluk kantor itu. Tapi, dia sengaja menyuruhku yang bahkan belum hafal ruangan-ruangan disini. Apalagi aku hanya seorang cleaning service, apa iya jobdesk-ku mengantar-antarkan dokumen? Mau nolak tapi dia bos.
"Capek ya, Nduk?" Ibu memijit bahuku. Aku lekas meraih tangan Ibu lalu menciumnya.
"Ga Bu. Ga capek, hanya saja Dinara ngantuk,"kilahku. Ibu menjatuhkan bobot tubuh di samping.
"Maafkan Ibu ya, Nduk. Kamu jadi capek begini," tatapan ibu begitu sayu.
"Ibu, Ibu ga perlu minta maaf. Justru Dinara bahagia melihat ibu yang sekarang. ga dibentak bentak mulu sama si Pa'ul. Mentang-mentang dia punya gaji. Sebentar lagi Dinara kan juga bakal punya gaji. Nanti kita makan makan di luar ya, Bu." Ibu menggeleng sambil mengusap pipiku.
"Ndak, Nduk. Uangnya harus kamu simpan untuk biaya kuliah. Jangan lama-lama cutinya. Entar tua sendiri disana."
"Ya engga lah, Bu. Banyak kok mahasiswa abadi yang udah punya anak istri yang masih santai aja kuliah." Kekehku.
"Iya, Ra. Bapak udah tua. Sebelum Bapak meninggal, Bapak ingin melihat kamu jadi sarjana." Bapak tiba-tiba saja datang dan ikut duduk disamping kiriku.
"Ih, Bapak! Jangan gitu ah. Bapak akan menemani Nara sampai nanti ... Hmmm ... Sampai Nara..."
"Nikah?"
"Ibu, bukan! Sampai nanti Nara bisa mengajak Bapak sama Ibu naik haji pake uang Nara."
Ibu malah menghambur ke pelukanku. Tangisnya mendesak keluar. Aku tau dalam doa ibu sering meminta pada Allah, agar bisa segera naik haji. Namun, apalah jangankan naik haji untuk makan sehari-hari saja kami sudah Alhamdulillah.
Jualan Ibu kembali ramai, itu yang aku dengar. Bahkan, tak jarang banyak pembeli yang ga kebagian. Wajah bapak yang ceria telah kembali. Dengan semangat bapak membuat warung kecil-kecilan di depan rumah. Walau dengan keterbatasannya, ternyata kreasi Bapak tetap tampak berkelas meski dengan bahan seadanya.
Aku pun mulai menikmati pekerjaan meski kini lebih banyak menjadi ka cung pak Joshua yang manjanya kebangetan. Hanya butuh tisu saja harus aku yang siapkan. Kata Cheryl, lelaki itu bujang lapuk yang milih milih perempuan. Sehingga diusianya yang sudah cukup matang dia belum juga menikah.
"Lagian kalau pun menikah kasian istrinya, Cher. Pasti kurus kering makan hati," Sahutku.
"Kok gitu?"
"Lah iya, Cher. Orangnya ketus banget, ga ada ramah ramahnya. Kalau kita salah dikit langsung ngegas. Semua harus perfek. Ih, amit amit deh."
Cheryl ketawa ngakak. Hari ini sepulang dari kampus dia mampir ke sini. Membawa sekotak martabak keju kesukaan Bapak dan Ibu. Terharu sekali punya teman sebaik Cheryl. Katanya sejak tak ada aku teman-teman pada kelimpungan mengerjakan tugas.
"Cepat ngampus lagi dong, Ra. Kasian anak-anak," ujarnya memelas.
"Aku sedang berusaha, Cher. Aku berharap nanti dapat pekerjaan paruh waktu. Jadi, aku masih bisa tetap kuliah."
"Sabar, ya, Ra. Aku yakin kamu akan sukses."
"Makasih ya, Cher."
Menjelang Maghrib Cheryl pun pulang. Aku yang masih mengenakan seragam kerja baru hendak beranjak masuk kamar. Ketika suara mobil terdengar dari luar.
"Siapa, Nduk?" Tanya Ibu yang baru keluar dari kamar. Kami sama-sama mengintip dari jendela. Menyibak gorden berwarna biru itu perlahan.
"Mbak Ulya, ngapain lagi dia kesini?" Dalam gendongannya ada Alesha yang menangis terisak-isak.
"Ya Allah, Alesha kenapa itu, Nduk?" Cicit Ibu cemas. Perasanku tak enak. Apalagi melihat wajah perempuan itu yang cemberut menahan kesal.
Ibu membuka pintu lebar-lebar.
"Ulya? Kenapa Nak?"
Tanpa salam Mbak Ulya memberikan Alesha pada Ibu.
"Alesha tak mau diam. Udah tiga kali aku ganti baby sitter. Tapi, dia tetap tak berhenti nangis!" Ketusnya putus asa.
Ibu segera menerima bayi mungil itu. Ajaib, Alesha langsung diam.
"Tuh kan, dia cuma mau sama Ibu." Pekik mbak Ulya senang.
"Kalau mau, mbak mau nitipin Alesha disini?" Suaraku datar namun menekan.
"Ga tau, Ra. Mbak ga tau cara mendiamkan Alesha. Mbak capek." Perempuan itu benar-benar tampak stress.
"Mbak kan Ibunya! Seharusnya naluri Mbak lebih peka dong sama anak sendiri!"
Aku sudah bisa menebak jalan pikiran wanita di depanku ini. Dia pasti mau menitipkan Alesha di rumah. Lalu dia bersenang-senang disana. Tak bisa Ulya! Kau berhadapan denganku.
"Tolonglah, Ra. Mbak mohon. Ijinkan Alesha tinggal disini. Nanti semua kebutuhan kalian akan saya penuhi."
"Halah! Setelah kau beri, mulutmu berkoar-koar sana sini. Aku sudah bisa membaca watak Mbak! Jadi ga usah basa-basi. Silahkan pergi dari sini! Dan bawa anakmu. Ibuku punya kesibukan sekarang. Pagi pagi harus masak untuk jualan. Demi menyambung hidup!" Ketusku.
"Plis Dinara. Bu, tolonglah. Kasian Alesha udah hampir sebulan ini kurang tidur. Makan juga sudah tak mau."
"Ya Allah, Nduk. Iya biar alesha disini saja," sahut Ibu tanpa bicara dulu padaku. Wajah mbak Ulya berseri-seri. Lalu berlari kecil ke arah Mobil.
"Ibu! Ibu apa apan sih!" Seruku.
"Nduk, menolong orang yang sedang membutuhkan bantuan kita itu akan Allah ganjar dengan pahala yang berlipat ganda," ujar Ibu.
"Bu, banyak pahala yang bisa kita dapatkan tanpa harus mengorbankan diri sendiri." Sahutku tegas.
Aku yakin Ibu pasti akan terpengaruh jika aku tidak mengusir Mbak Ulya dari sini. Meski aku tak tega pada Alesha. Maafkan Tante ya, Nak.
"Bawa anakmu, Mbak!" Sentakku. Sebentar lagi adzan Maghrib. Langit mulai gelap.
"Dinara!" Serunya sambil menatapku lekat.
"Apa!"tantangku. Perempuan itu mati gaya. Dengan cepat dia meraih Alesha dan membawa kembali ke mobil. Bayi itu terus menangis kencang. Ibu yang ikut menangis hendak mengejar. Namun, aku lekas menahan tangannya.
"Kasian, Nduk." Lirih ibu.
"Biarkan, Bu. Mbak ulya itu harus diberi pejajaran. Setelah memastikan mbak Ulya pergi Aku bergegas berlalu hendak ke kamar mandi gerah rasanya. Sementara Ibu terdiam, entah apa yang ibu pikirankan. yang jelas aku tak mau ibu jadi babu lagi.
***
Tak terasa sudah dua bulan aku kerja. Gajian pertama sebagian aku simpan untuk kuliah. Sebagian aku pakai untuk kebutuhan sehari-hari.
"Ibu ga dagang lagi?" Tanyaku.
Ibu geleng-geleng kepala. Entah kenapa Ibu tak mau lagi jualan. Bapak lebih banyak diam di kamar. Ada apa dengan Bapak dan Ibu? Aku melirik jam tangan sejenak. Sebenarnya ingin bertanya lagi, tapi aku sudah hampir telat.
"Bu, nara berangkat dulu. Ini ada uang buat masak." Aku menyerahkan selembar uang merah pada Ibu. Itu tips yang diberikan Mbak Maya, orang kantor saat aku membelikan rujak untuknya.
"Tak usah, Ra. Ibu masih ada uang." Tolak Ibu.
Aku menatap Ibu heran. Ibu dapat uang dari mana?
"Ya udah, Nara jalan dulu ya, Bu." Aku pun pamit menyalami Ibu. Kemudian berlalu. Udah separuh jalan aku ingat jika Pak Joshua menyuruhku memfotokopi beberapa dokumen karena mesin fotocopy kantor rusak Jadi aku bawa pulang.
Ragu aku melirik jam tangan, sudah hampir jam setengah delapan. Tapi, jika tak aku ambil, Pak Joshua bisa marah besar. Biarlah aku telat dari pada kena marah seharian.
Saat sampai di halaman rumah, aku melihat sepatu wanita tergeletak di depan teras. Dan ada mobil yang sangat aku kenal.
"Dinara? Kok balik lagi?" tanya ibu dengan Alesha dipangkuannya.
Bersambung.
IBUKU BUKAN BABUMU (6)"Bapak sudah bilang sama Ibumu. Katanya kasian. Badan udah tua masih ngurus cucu, sholat suka telat, makan juga ga sempat. Ibumu susah dibilangin!" sungut Bapak. Aku terdiam tak tau lagi harus berkata apa. Selama beberapa Minggu ini Ibu ternyata masih mengasuh anaknya Mbak Ulya. Pantas tak lagi jualan. Mengaku capek, padahal dijadikan babu lagi sama mbak Ulya. "Ulya mau membiayai kuliahmu, Nduk. Ga usah kerja lagi. Nanti saja kalau sudah selesai kuliah kamu kerja di tempat yang pantas," potong Ibu. Aku menarik napas panjang. Tak ingin menyalahkan Ibu. Mungkin hati kecil Ibu juga tak mau berlelah-letih mengasuh cucu. Tapi, keadaan memaksa untuk melakukan hal itu. Selain Alesha yang tak mau dengan orang lain. Orang tuanya juga ga be cus menjadi pendidik.Aku merebahkan diri di sandaran sofa. Hari ini aku terpaksa bolos. Pikiranku tak tenang. Melihat Mbak Ulya melenggang pergi dengan wajah tanpa dosa membuatku tak sanggup berangkat hari ini. Geram betul rasanya ha
IBUKU BUKAN BABUMU 7"Dinara! Awas kalau kamu ngadu!" Teriaknya dari dalam. Aku tersenyum kecut sambil berjalan ke arah motor. Aneh laki-laki itu. Udah susah bukannya berusaha agar bangkit kembali malah makin menenggelamkan diri. Aku terus melaju meski mendengar Mas Damar memanggil-manggil, walau motor mulai menjauh. Dari kaca spion aku dapat melihat Abangku itu keluar dengan baju yang sudah rapi. Tapi, aku tak peduli. Dia sudah cukup umur untuk membedakan mana dosa yang harusnya dia jauhi.Sesampainya dirumah ada Cherryl yang sedang duduk. Gadis bermata sipit itu mengendong Alesha."Hei! Kamu dari mana, Dinara? Kenapa ga kerja hari ini?"sapanya."Dari rumah Mas Damar. Kesel aku sama dia. Btw, kamu tau dari mana kalau aku ga masuk?""Dari Mas Joshua. Maksudku Pak Joshua. Dia yang mengadu kalau kamu ga masuk. Mungkin karena aku yang merekomendasikan kamu padanya jadi dia laporan deh.""Maafkan aku ya, Cher. Kinerjaku membuat kamu malu.""Gapapa. Aku udah bilang Papa kok. Kamu itu seben
IBUKU BUKAN BABUMU 8"Kamu mau minjam uang? Ga salah? Kamu baru sebulan kerja disini. Dan hari ini meminjam uang dua puluh juta? Hahaha!" Tawa Pak Joshua menggema. Aku menunduk sambil mengigit bibir. Memang tak ada pantas pantasnya permintaanku."Kembali lah bekerja. Oh ya, kamu di panggil Pak Edward ke ruangannya. Sana cepat temui. Kalau tak ingin gaji kedua kamu di potong karena terlalu lelet," ketusnya. Hatiku terserak. Harapan untuk memulai usaha dengan Bapak hancur sudah. Apa yang harus aku katakan pada Bapak nanti? Dengan berat aku melangkah keluar. Setelah ini entah apa lagi yang akan aku dapatkan. Apa teguran lagi atau nasehat agar aku bekerja lebih rajin."Dinara! Kamu kenapa? Kok lemes banget?" Tanya Mbak Lisa yang berpapasan denganku."Gapapa, Mbak. Aku hanya sedang tak enak badan," kilahku."Kamu kena marah Pak Jo, ya? Sabar ya. Dia emang galak. tapi, baik hati kok." Aku hanya tersenyum tipis. Baik apanya? Minjam duit aja ga dapat malah dapat kabar mengerikan. Jaman sekar
IBUKU BUKAN BABUMU 9"Mau kemana, Nduk?" Tanya ibu khawatir. Aku mengusap air mata dengan punggung tangan."Dinara mau ngekost, Bu. Bukan karena Dinara mau ngelawan sama Ibu, atau karena ngiri Ibu lebih sayang sama cucu dan menantu Ibu. Bukan! Tapi, Nara rasa, Nara butuh tempat untuk menyendiri. Nara ... Nara tak tega melihat Ibu kecapekan. Melihat ibu repot dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. Tapi, Nara tak berdaya. Nara tak seperti mbak Ulya yang punya uang banyak untuk membayar jasa orang lain. Atau memberi upah pada mertuanya sendiri. Maafkan Nara, Bu. Kalau ibu menerima upah untuk membayar uang kuliah Nara, Nara tak bisa terima," sakit sekali dada ini saat berkata seperti itu.Apa ibu tak paham juga jika aku sangat mengkhawatirkannya. Ibu punya darah tinggi, dan punya riwayat masalah pada jantung. Selama ini jualan lebih banyak bapak yang bekerja karena Bapak juga mengerti ibu tak boleh banyak aktivitas. Sekarang justru ibu dengan santai mengijinkan Mas Damar dan istrinya tin
HENING DALAM LUKA 10Aku mengusap-usap mata memastikan jika apa yang aku lihat bukanlah ilusi karena aku terlalu memikirkan Hening. Namun, perempuan itu sudah berdiri membelakangi dan masuk ke dalam rumah. Rasa penasaran begitu menggebu. Aku menginjak pedal gas dan melaju masuk ke halaman rumah Hening. Pintu itu terbuka lagi. Kali ini wajah Mas Hanan muncul disana. Dengan kedua tangan ditopang ke pinggang."Mas Hanan. Sa--saya kebetulan lewat." Gugup. itu lah yang kurasakan. Meski setahun berlalu tapi aku masih merasakan sakitnya pukulan Mas Hanan."Buat apa kau kesini lagi!" Suaranya meninggi terdengar bukan seperti sebuah pertanyaan."Sa--saya melihat Hening," ucapku ragu-ragu.Mas Hanan tertawa terbahak-bahak. Jelas rahangnya mengeras menahan emosi. Segila ini kah aku?"Pulanglah! Sebelum aku mematahkan batang lehermu!"Pintu terbuka. Bu Husni muncul dengan wajah cemas. Lalu memegang pundak anak lelakinya itu."Hanan! Belajarlah mengontrol emosi. Ingat apa yang Rasullullah pesankan
"Jangan banyak bengong! Tadi saya hanya becanda! Kamu jangan ge er," celetuk Pak Joshua setelah kini kami berada dalam ruangan yang sama. "Iya, Pak. Saya juga paham," jawabku. Siapa juga yang mau jadi istri laki-laki kaku seperti dia."Saya akan memindahkan ruangan sekretaris kesini. Biar saya gampang memanggil jika butuh." Aku mengangkat wajah, seruangan dengannya? Apa itu tidak berbahaya? Takut ketularan garingnya dia aku nanti."Kenapa? kamu keberatan?" Tanyanya menatapku tajam."Ti-tidak Pak, sama sekali tidak." Mau jawab apalagi 'kan.Benar saja sekitar jam satu siang, meja dan kursi baru sudah tiba. Mbak Mila yang merupakan mantan sekretaris Pak Joshua diminta datang untuk serah terima jabatan. Perempuan yang beberapa waktu lalu habis melahirkan itu begitu sopan dan baik. Dengan lembut dia mengajarkan apa saja yang menjadi tugas dan tanggung jawabku."Makasih, ya, Mbak." Ucapku sambil mengantarkan mbak Mila keluar ruangan."Semangat ya, Dinara. Pak Joshua itu orangnya memang te
"Saya mau modalin Bapak saya buka toko ATK, Pak," jawabku pelan. Malu rasanya. Apa Pak Jo akan mengungkit lagi kejadian waktu itu? Kalau untuk meminjamkan aku rasa tak mungkin. Karena aku baru sebulan bekerja sebagai sekretarisnya."Saya akan meminjamkan kamu. Tapi, bukan uang perusahaan. Melainkan udah pribadi saya. Nanti akan dikirim bersamaan dengan gaji. Kamu bisa pakai dulu." Tanpa menatapku laki-laki itu terus memainkan jemarinya di atas keyboard. Namun apa yang dia sampaikan membuatku membulatkan mata."Bapak serius?" Ada rasa haru yang menyeruak."Iya! Apa pernah saya becanda!"ketusnya.Tak tau lagi apa yang harus aku katakan. Yang jelas aku sangat senang, kalau dia perempuan sudah kupeluk erat dirinya."Apa lihat lihat! Kamu berniat memeluk saya! Sudah sana kembali ke mejamu!" Wajahku memerah. Pak Jo kenapa bisa berpikiran seperti itu. Setelah mengucapkan terima kasih aku kembali ke meja. Ingin jingkrak-jingkrak tapi tak mungkin. Aku hanya mengusap wajah berkali-kali berucap
Mas Damar berjalan ke arahku, aku pun siaga. Saat jarak kami tinggal selangkah aku memutar kaki yang menjadi tumpuan dengan cepat. Dan melancarkan serangan tepat pada tangan Mas Damar yang sedang terangkat. Kakiku mengha ntam keras, hingga Mas Damar terhuyung, lalu secepat kilat tangan kananku bergerak ke arah mukanya. Wajah sok baik itu pun mencicipi bogem mentah dariku.Mas Damar jatuh tersungkur. Retna terpekik melihat kejadian itu. Aku menarik napas dalam-dalam lalu melepaskan perlahan. Ternyata aku masih belum lupa gerakan yang pernah kupelajari dulu. Lumayan untuk memberi pelajaran pada bua ya bu ntung ini."Nara! Kur ang aja r kamu!" Mas Damar meringis sambil memegang hidungnya yang mengeluarkan darah. Ujung bibirnya juga pecah."Makanya jangan remehkan aku, Mas!" Aku melipat tangan di dada."Sekarang kita pulang. Kamu harus mengakui semuanya pada Ibu dan Bapak juga Mbak Ulya. Semua yang kau lakukan ada konsekuensinya, Mas!""Nara ... Plis, Mas mohon. Mas hanya khilaf, Ra. Kamu