Share

Bab 6

Penulis: Mutiara Sukma
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-29 09:33:11

IBUKU BUKAN BABUMU (6)

"Bapak sudah bilang sama Ibumu. Katanya kasian. Badan udah tua masih ngurus cucu, sholat suka telat, makan juga ga sempat. Ibumu susah dibilangin!" sungut Bapak. Aku terdiam tak tau lagi harus berkata apa. Selama beberapa Minggu ini Ibu ternyata masih mengasuh anaknya Mbak Ulya. Pantas tak lagi jualan. Mengaku capek, padahal dijadikan babu lagi sama mbak Ulya. 

"Ulya mau membiayai kuliahmu, Nduk. Ga usah kerja lagi. Nanti saja kalau sudah selesai kuliah kamu kerja di tempat yang pantas," potong Ibu. Aku menarik napas panjang. Tak ingin menyalahkan Ibu. Mungkin hati kecil Ibu juga tak mau berlelah-letih mengasuh cucu. Tapi, keadaan memaksa untuk melakukan hal itu. Selain Alesha yang tak mau dengan orang lain. Orang tuanya juga ga be cus menjadi pendidik.

Aku merebahkan diri di sandaran sofa. Hari ini aku terpaksa bolos. Pikiranku tak tenang. Melihat Mbak Ulya melenggang pergi dengan wajah tanpa dosa membuatku tak sanggup berangkat hari ini. Geram betul rasanya hati.

Fikri yang sedang memakan es menghampiri.

"Tante, kata Papa nanti Fikri mau tinggal disini lagi." Ujarnya sambil menjila ti es yang diberikan mamanya. 

"Fikri pagi-pagi udah makan es? Memang udah sarapan?" Aku mengalihkan pembicaraan. Fikri menggeleng cepat. Namun, tetap fokus dengan es ditangannya. Sungguh keterlaluan Mbak Ulya, dia memberikan es pada anaknya agar berhenti menangis. Padahal, belum diberi makan.

"Kemarin Damar kesini. Katanya mereka akan kembali pindah ke rumah ini," cicit Ibu. Kepalaku langsung terangkat menatap Ibu.

"Ibu serius?" Perempuan yang telah melahirkanku itu mengangguk lemah. Aku memijit kening. Apa apaan ini?

"Bapak sudah tak dianggap dirumah ini, Ra. Mungkin karena Bapak laki-laki ca cat!" Sindir Bapak.

"Bukan gitu tho, Pak. Ulya itu orang tuanya jauh di Jawa sana. Kalau ga kita, siapa lagi? Wong kita yang deket. Kemarin Bapak ga ngomong apa-apa, langsung masuk kamar. Seharusnya Bapak bilang ke Damar kalau Bapak Ndak setuju." Ibu membela diri.

"Kamu itu yang aneh, Bu. Kamu tau Dinara sampai berantem dengan kakaknya karena belain kamu. Seharusnya kamu tegas bilang enggak mau ini malah menyetujui begitu saja. Sia sia perjuangan Dinara kalau kamu sendiri tak tegas begitu."

"Selalu aku yang disalahkan!" celetuk Ibu.

"Yo mesti! Kamu apa-apa mutuskan sendiri. Lupa kalau punya suami. Apa karena aku tak bisa lagi cari uang, aku tak dianggap."

"Astaghfirullah, Pak, Bu. Udah, ga usah bertengkar. Lihat Fikri dan Alesha ketakutan." Aku bangkit meraih Alesha yang menangis di kasur lantai yang digelar ibu.

Ibu menangis. Sementara Bapak tampak masih menahan luapan emosi di hatinya.

"Sudahlah, Pak, bu. Dinara gapapa kok. Kalau memang Mas Damar mau kembali kesini. Apa boleh buat." terdengar biasa saja. Sejati aku sedang menahan kesal yang luar biasa. Bisa bisanya Mbak Ulya kembali kesini setelah marah marah dan memfitnahku pada Mas Damar. Apa dia tak punya malu?

Seharian aku mengurung diri dikamar. Melihat ponselku yang menyala karena ada panggilan dari Pak Joshua. Aku takut kena marah karena dokumennya aku kirim pakai jasa ojek online. Entah lah aku tak memikirkan pekerjaanku kali ini. Rasa kecewa pada Ibu yang tak bisa kuungkapkan membuat moodku anjlok parah. Tak mungkin aku memarahi Ibu. Bisa di cap anak durhaka aku nanti.

Aku memilih istirahat di kamar meski suara tangisan dan teriakan Fikri dan Alesha sahut sahutan. Ibu pasti kewalahan. Bapak sendiri sudah tak mau membantu menjaga anak-anak itu. Kaki bapak akhir-akhir ini sering berdenyut katanya. Ah orang tuaku. Kasian sekali kalian. Punya dua anak tapi tak ada yang ber guna.

Diam-diam aku bangkit lalu membuka sedikit pintu lalu merekam adegan Ibu yang kewalan mengendong Alesha sedangkan Fikri juga ikutan rewel karena mainannya tak dibawa ke sini. 

"Sabar, Sayang. Nantu kita beli, ya. sekarang bobok dulu." Bujuk Ibu. tapi, Fikri malah melempar vas bunga ke lantai. Benda dari keramik itu hancur berderai. Aku mematikan rekamn lalu segera keluar.

"Fikri! Ga boleh gitu." Pekikku. Aku tak bisa sabar melihat kelakuan Fikri yang b4r-b4r seperti itu.

"Kamu itu nak4l banget, sebel Tante!" Ketusku membuat Fikri berlari ke belakang Ibu karena ketakutan.

"Jangan dimarahi, Nduk. Kasian." Aku menatap Ibu. Wajah Ibu tampak lelah sekali. Sambil menggendong Alesha yang sepertinya mengantuk sehingga jadi uring-uringan.

"Ibu apa apa kasian, seharusnya Ibu mengasihani diri ibu sendiri."

Ibu diam saja lalu mengajak kedua anak itu masuk ke kamar Mas Damar biasa menginap.

Setelah selesai membereskan pecahan keramik. Aku bergegas ke kamar. Meraih kunci motor yang berada di atas meja. 

"Mau kemana, Nduk?" Tanya Bapak yang baru saja keluar dari Kamar.

"Dinara mau ada perlu sebentar ya, Pak.," Jawabku. lalu meraih tangan Bapak.

"Hati hati, Ra."

"Insyallah, Pak."

Aku sengaja tak pamit pada Ibu. Khawatir nanti anak-anak mbak Ulya terbangun lagi.

Sesampainya di rumah Mas damar aku segera mengetuk pintu. Namun, tak ada jawaban. Aku mencoba menelpon. Suara ponselnya terdengar ada didalam. Aku mengintip lewat jendela tapi tak terlihat karena tertutup gorden. Kemana dia? Mobil Mbak Ulya tak ada disana, hanya ada motor Mas damar yang parkir di depan. Aku mengetuk sekali lagi. Pintua terbuka. Mas Damar keluar dengan bertelan jang dada. Wajahnya pucat.

"Mas sakit?" Tanyaku khawatir.

"Eh, enggak. Kamu ngapain disini? Ga kerja?"

"Aku mau nanya. Apa benar Mas akan kembali tinggal di rumah itu?"

"Iya, kenapa memang? Kamu keberatan?" Tanyanya ketus.

"Mas capek mendengar Alesha dan Fikri menangis, Ra. Mereka udah dekat dengan Ibu. Tak mau lagi selain sama Ibu."

"Lalu Mas memanfaatkan kesempatan itu untuk menjadikan Ibu babu!" Sentakku kencang.

"Buka begitu!"

"Lalu apa? Mas puas melihat ibu kecapekan dan berselisih paham dengan Bapak? Ga nyangka Mas setega itu!" Mas Damar yang masih berdiri di pintu itu mengusap wajahnya.

"Mas, tamunya sudah pulang?" Suara perempuan terdengar dari dalam. Mataku refleks melihat ke asal suara. Namun, Mas Damar langsung menutup pintu. Ya Allah, apa yang sudah terjadi dengan Mas Damar? Kenapa dia berubah seperti laki-laki tak bermoral begitu. Meski aku masih gadis aku paham apa yang dia lakukan bersama perempuan yang bukan Istrinya di dalam. Hanya saja aku belum tau siapa orangnya.

"Mas! Buka pintunya!"

"Kamu pulang sana Dinara! Kamu siapkan saja kamar untuk kami tempati. Ga usah banyak tingkah, jasa kami belum tentu dapat kamu bayar!" Teriaknya dari dalam.

Darahku mendidih. "Aku adukan kau pada Mbak Ulya, Mas! Rasain itu!" Ancamku.

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Komjuni Yuni
bagus sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • IBUKU BUKAN BABUMU    Tamat

    "Ma ..." "Saya bukan Mamamu!"sentaknya lalu masuk tanpa kupersilahkan. Bahunya bahkan sampai menyengol lenganku."Ini rupanya rumah yang dibelikan suamiku untukmu?" Mama mengitari ruang tamu dengan mata menatap lukisan lukisan alam yang sengaja dipajang Mas Yazid."Mana foto pernikahan kalian, kalau benar kamu sudah resmi menikah dengan anakku!" Mata itu kini mengarah tajam padaku."Kami memang tidak memajang foto, Ma. Tapi pernikahan kami tercatat resmi dalam catatan sipil.""Halah, kalian bisa saja membayar calo untuk mendapatkan itu.""Astaghfirullah, buat apa, Ma? Pernikahan tanpa ijab qobul, tidak disaksikan oleh para saksi sama saja batal. Apalagi pernikahan palsu. Itu hanya akan menambah dosa, merugikan diri sendiri. Tinggal berdua dengan pasangan yang belum sah menjadi suami, sama saja dengan berzina!" Suaraku sedikit meninggi. "Halah! sok ngomong dosa. Dalam agama kamu, memisahkan seorang anak dengan ibunya apakah tidak berdosa?" Wajah Bu harsanti memerah. Aku menunduk samb

  • IBUKU BUKAN BABUMU    Bab 69

    Semua mata menatap ke arah Papa. Aku dan Zahra saling pandang. Sangat jelas jika Zahra tampak sangat kecewa dengan penolakan Papanya.Aku menepuk pundak sahabat sekaligus adik iparku itu pelan. Lalu memeluknya. Ada isak kecil yang terdengar sumbang."Saya tak bisa kalau saya tak diajak ikut ke dalam kebahagiaan yang anak saya dapatkan." Lanjut Papa lantang.Zahra melepas pagutannya dan langsung membalikkan badan menoleh ke arah Papa. Aku pun sama. Yang kulihat sungguh diluar dugaan. Papa meraih tangan Ustadz Hanif."Bantu saya untuk masuk dan mempelajari Islam."Mas Yazid yang berbeda disana bergegas mendekati Papa. Dan langsung memeluknya. Lelaki itu menangis haru. Bagaimana tidak, cukup berat perjuangannya meyakini papa akan kepercayaan barunya ini. Kalau akhirnya harus meninggalkan kedua orang tuanya. Dan kini tanpa diminta ataupun dipaksa. Papa Edward menyatakan ingin masuk Islam.Hari itu juga Papa mengikrarkan keislamannya dengan membaca dua kalimat syahadat. Suara haru menyelim

  • IBUKU BUKAN BABUMU    Bab 68

    Tak menyangka jika Bu harsanti telah menyiapkan preman-preman itu untuk membuatku menyerah. Itu tidak akan pernah terjadi. Meski nyawa harus kukorbankan. Bagiku pernikahan adalah ikatan suci yang dapat terpisah karena memang sudah tidak ada kecocokan di antara pasangan suami-isteri. Atau salah satunya menyerah dan melepaskan tanggung jawabnya dengan cara baik-baik. Tidak dengan cara seperti ini.Enam orang preman sudah kutaklukkan. Begitulah mereka hanya modal tampang seram dan tubuh besar menganggap remeh seorang perempuan.Tepat saat preman terakhir kujatuhkan. Perutku terasa kram. Aku meringis, menahan sakit. Lalu terduduk dilantai. "Lepas! Lepaskan!" Suara teriakan perempuan di belakang mengejutkanku. Aku menoleh seketika darahku terkesiap. Kini Pak Edward dan Mama Mas Yazid sedang bergelut memperebutkan sebuah stik golf yang ada di tangan Bu Santi. "Sudah cukup, Ma! Cukup! Papa tak pernah mengijinkan Mama sampai sejauh ini!""Iya! Ini kemauan Mama sendiri. Papa terlalu lemah. P

  • IBUKU BUKAN BABUMU    Bab 67

    POV Yazid "Pulanglah, Josh. Kalau kamu pulang. Mama akan memberikan apa yang kamu mau."Entah dari mana datangnya, Mama sudah berada di samping mobilku."Mama? Mama kok tau josh disini?" Tanyaku agak khawatir. Namun, melihat mama yang memakai kerudung aku jadi ragu. Jangan-jangan Mama sadar setelah setahun ini ditinggalkan anak-anaknya."Josh, kamu sudah mendapatkan jalan kebenaran. Kenapa kamu tidak mengajak Mama?" Mata Mama sendu. Tak ada lagi sinar keangkuhan seperti dulu. Agaknya Mama sudah menyesali semuanya."Maksud Mama?" "Pulanglah Josh. Kita mulai lagi hidup seperti dulu. Mama tak akan memaksa apa yang tidak kamu suka. Kamu bebas memilih jalan hidupmu, Nak." Suara Mama begitu lembut. Menggetarkan hati yang memang selalu merindukannya. Aku mendekat dan memeluk Mama. Mama memelukku erat. Bahunya turun naik menahan isak. Kini aku sebenar yakin jika Mama memang sudah berubah."Joshua akan pulang bersama mama. Tapi, ijinkan Joshua untuk kerumah terlebih dahulu, Ma. Karena mama s

  • IBUKU BUKAN BABUMU    Bab 66

    Hari ini Zahra memutuskan untuk pulang. "Za, kamu yakin?" Tanyaku lagi. Zahra menatap sejenak lalu menyunggingkan senyum. Perempuan itu masih terus berkaca membetulkan letak kerudungnya. Pembawaannya sangat tenang, berbeda sekali denganku. Aku khawatir, padahal Zahra mau bertemu dengan orang tuanya sendiri. Namun, mereka kan sudah berbeda. Orang tua mana yang rela melihat anak-anaknya berpindah haluan seperti itu."Wajah kamu tegang banget, Ra," cetusnya sambil tertawa kecil."Aku cuma mau bertemu Mama dan Papa, Ra. Bukan kawanan mafia," pungkasnya lagi."Tapi, aku takut, Za.""Kamu tenang aja. Aku tak akan mati karena bertemu mereka kok. Bagaimanapun mereka adalah orang tuaku 'kan, Ra. Yah, semoga saja Kak Yazid ada disana."Aku mengangguk lalu menunduk."Ra, jangan gitu dong. Mana Dinara yang kuat, tegar dan tangguh dulu. Masa kamu melepasku dengan wajah cemberut begitu."Aku masih bergeming. Pikiranku bercabang kemana-mana. Melihat ancaman dan sikap Bu Harsanti waktu itu, masih me

  • IBUKU BUKAN BABUMU    Bab 65

    "Za, apa Mas Joshua bersamamu?" Tanyaku ketika telepon tersambung."Lho, tumben kamu panggil Kak Yazid, Mas Joshua?" Kekehnya. Aku tersenyum tipis, walau aku tau Zahra tak bisa melihat. Pikiranku sedang tidak enak."Eh, maksudnya Mas Yazid." Ralatku."Enggak, kan tadi ke kajian. Memang belum pulang?" Aku mendesah sambil menatap jam di dinding yang sudah menunjukkan angka sepuluh. Aku telah memberi udzur sampai dua jam atas keterlambatan Mas Yazid. Tapi, laki-laki itu tetap saja belum menampakkan diri."Belum, Ra. Tadi katanya lagi ngobrol sama Ustadz Hanif. Tapi, kok lama banget, ya? Menurut kamu Mas Yazid masih disana ga sih?""Hmm ... Aku juga kurang tau, Ra. Tapi, kan Mas Yazid bukan tipe orang yang suka mengobrol lama. Dan aku yakin Ustadz Hanif pun juga sama."Aku menghela napas panjang. Aku sepemikiran. Tapi, aku tak punya alasan lain untuk membenarkan keterlambatan ini."Apa kamu punya nomor telepon Ustadz Hanif?""Ga lah, Ra. Aku ga kuat menahan hati nanti." Dia cekikikan. Aku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status