IBUKU BUKAN BABUMU (6)
"Bapak sudah bilang sama Ibumu. Katanya kasian. Badan udah tua masih ngurus cucu, sholat suka telat, makan juga ga sempat. Ibumu susah dibilangin!" sungut Bapak. Aku terdiam tak tau lagi harus berkata apa. Selama beberapa Minggu ini Ibu ternyata masih mengasuh anaknya Mbak Ulya. Pantas tak lagi jualan. Mengaku capek, padahal dijadikan babu lagi sama mbak Ulya.
"Ulya mau membiayai kuliahmu, Nduk. Ga usah kerja lagi. Nanti saja kalau sudah selesai kuliah kamu kerja di tempat yang pantas," potong Ibu. Aku menarik napas panjang. Tak ingin menyalahkan Ibu. Mungkin hati kecil Ibu juga tak mau berlelah-letih mengasuh cucu. Tapi, keadaan memaksa untuk melakukan hal itu. Selain Alesha yang tak mau dengan orang lain. Orang tuanya juga ga be cus menjadi pendidik.
Aku merebahkan diri di sandaran sofa. Hari ini aku terpaksa bolos. Pikiranku tak tenang. Melihat Mbak Ulya melenggang pergi dengan wajah tanpa dosa membuatku tak sanggup berangkat hari ini. Geram betul rasanya hati.
Fikri yang sedang memakan es menghampiri.
"Tante, kata Papa nanti Fikri mau tinggal disini lagi." Ujarnya sambil menjila ti es yang diberikan mamanya.
"Fikri pagi-pagi udah makan es? Memang udah sarapan?" Aku mengalihkan pembicaraan. Fikri menggeleng cepat. Namun, tetap fokus dengan es ditangannya. Sungguh keterlaluan Mbak Ulya, dia memberikan es pada anaknya agar berhenti menangis. Padahal, belum diberi makan.
"Kemarin Damar kesini. Katanya mereka akan kembali pindah ke rumah ini," cicit Ibu. Kepalaku langsung terangkat menatap Ibu.
"Ibu serius?" Perempuan yang telah melahirkanku itu mengangguk lemah. Aku memijit kening. Apa apaan ini?
"Bapak sudah tak dianggap dirumah ini, Ra. Mungkin karena Bapak laki-laki ca cat!" Sindir Bapak.
"Bukan gitu tho, Pak. Ulya itu orang tuanya jauh di Jawa sana. Kalau ga kita, siapa lagi? Wong kita yang deket. Kemarin Bapak ga ngomong apa-apa, langsung masuk kamar. Seharusnya Bapak bilang ke Damar kalau Bapak Ndak setuju." Ibu membela diri.
"Kamu itu yang aneh, Bu. Kamu tau Dinara sampai berantem dengan kakaknya karena belain kamu. Seharusnya kamu tegas bilang enggak mau ini malah menyetujui begitu saja. Sia sia perjuangan Dinara kalau kamu sendiri tak tegas begitu."
"Selalu aku yang disalahkan!" celetuk Ibu.
"Yo mesti! Kamu apa-apa mutuskan sendiri. Lupa kalau punya suami. Apa karena aku tak bisa lagi cari uang, aku tak dianggap."
"Astaghfirullah, Pak, Bu. Udah, ga usah bertengkar. Lihat Fikri dan Alesha ketakutan." Aku bangkit meraih Alesha yang menangis di kasur lantai yang digelar ibu.
Ibu menangis. Sementara Bapak tampak masih menahan luapan emosi di hatinya.
"Sudahlah, Pak, bu. Dinara gapapa kok. Kalau memang Mas Damar mau kembali kesini. Apa boleh buat." terdengar biasa saja. Sejati aku sedang menahan kesal yang luar biasa. Bisa bisanya Mbak Ulya kembali kesini setelah marah marah dan memfitnahku pada Mas Damar. Apa dia tak punya malu?
Seharian aku mengurung diri dikamar. Melihat ponselku yang menyala karena ada panggilan dari Pak Joshua. Aku takut kena marah karena dokumennya aku kirim pakai jasa ojek online. Entah lah aku tak memikirkan pekerjaanku kali ini. Rasa kecewa pada Ibu yang tak bisa kuungkapkan membuat moodku anjlok parah. Tak mungkin aku memarahi Ibu. Bisa di cap anak durhaka aku nanti.
Aku memilih istirahat di kamar meski suara tangisan dan teriakan Fikri dan Alesha sahut sahutan. Ibu pasti kewalahan. Bapak sendiri sudah tak mau membantu menjaga anak-anak itu. Kaki bapak akhir-akhir ini sering berdenyut katanya. Ah orang tuaku. Kasian sekali kalian. Punya dua anak tapi tak ada yang ber guna.
Diam-diam aku bangkit lalu membuka sedikit pintu lalu merekam adegan Ibu yang kewalan mengendong Alesha sedangkan Fikri juga ikutan rewel karena mainannya tak dibawa ke sini.
"Sabar, Sayang. Nantu kita beli, ya. sekarang bobok dulu." Bujuk Ibu. tapi, Fikri malah melempar vas bunga ke lantai. Benda dari keramik itu hancur berderai. Aku mematikan rekamn lalu segera keluar.
"Fikri! Ga boleh gitu." Pekikku. Aku tak bisa sabar melihat kelakuan Fikri yang b4r-b4r seperti itu.
"Kamu itu nak4l banget, sebel Tante!" Ketusku membuat Fikri berlari ke belakang Ibu karena ketakutan.
"Jangan dimarahi, Nduk. Kasian." Aku menatap Ibu. Wajah Ibu tampak lelah sekali. Sambil menggendong Alesha yang sepertinya mengantuk sehingga jadi uring-uringan.
"Ibu apa apa kasian, seharusnya Ibu mengasihani diri ibu sendiri."
Ibu diam saja lalu mengajak kedua anak itu masuk ke kamar Mas Damar biasa menginap.
Setelah selesai membereskan pecahan keramik. Aku bergegas ke kamar. Meraih kunci motor yang berada di atas meja.
"Mau kemana, Nduk?" Tanya Bapak yang baru saja keluar dari Kamar.
"Dinara mau ada perlu sebentar ya, Pak.," Jawabku. lalu meraih tangan Bapak.
"Hati hati, Ra."
"Insyallah, Pak."
Aku sengaja tak pamit pada Ibu. Khawatir nanti anak-anak mbak Ulya terbangun lagi.
Sesampainya di rumah Mas damar aku segera mengetuk pintu. Namun, tak ada jawaban. Aku mencoba menelpon. Suara ponselnya terdengar ada didalam. Aku mengintip lewat jendela tapi tak terlihat karena tertutup gorden. Kemana dia? Mobil Mbak Ulya tak ada disana, hanya ada motor Mas damar yang parkir di depan. Aku mengetuk sekali lagi. Pintua terbuka. Mas Damar keluar dengan bertelan jang dada. Wajahnya pucat.
"Mas sakit?" Tanyaku khawatir.
"Eh, enggak. Kamu ngapain disini? Ga kerja?"
"Aku mau nanya. Apa benar Mas akan kembali tinggal di rumah itu?"
"Iya, kenapa memang? Kamu keberatan?" Tanyanya ketus.
"Mas capek mendengar Alesha dan Fikri menangis, Ra. Mereka udah dekat dengan Ibu. Tak mau lagi selain sama Ibu."
"Lalu Mas memanfaatkan kesempatan itu untuk menjadikan Ibu babu!" Sentakku kencang.
"Buka begitu!"
"Lalu apa? Mas puas melihat ibu kecapekan dan berselisih paham dengan Bapak? Ga nyangka Mas setega itu!" Mas Damar yang masih berdiri di pintu itu mengusap wajahnya.
"Mas, tamunya sudah pulang?" Suara perempuan terdengar dari dalam. Mataku refleks melihat ke asal suara. Namun, Mas Damar langsung menutup pintu. Ya Allah, apa yang sudah terjadi dengan Mas Damar? Kenapa dia berubah seperti laki-laki tak bermoral begitu. Meski aku masih gadis aku paham apa yang dia lakukan bersama perempuan yang bukan Istrinya di dalam. Hanya saja aku belum tau siapa orangnya.
"Mas! Buka pintunya!"
"Kamu pulang sana Dinara! Kamu siapkan saja kamar untuk kami tempati. Ga usah banyak tingkah, jasa kami belum tentu dapat kamu bayar!" Teriaknya dari dalam.
Darahku mendidih. "Aku adukan kau pada Mbak Ulya, Mas! Rasain itu!" Ancamku.
Bersambung.
IBUKU BUKAN BABUMU 7"Dinara! Awas kalau kamu ngadu!" Teriaknya dari dalam. Aku tersenyum kecut sambil berjalan ke arah motor. Aneh laki-laki itu. Udah susah bukannya berusaha agar bangkit kembali malah makin menenggelamkan diri. Aku terus melaju meski mendengar Mas Damar memanggil-manggil, walau motor mulai menjauh. Dari kaca spion aku dapat melihat Abangku itu keluar dengan baju yang sudah rapi. Tapi, aku tak peduli. Dia sudah cukup umur untuk membedakan mana dosa yang harusnya dia jauhi.Sesampainya dirumah ada Cherryl yang sedang duduk. Gadis bermata sipit itu mengendong Alesha."Hei! Kamu dari mana, Dinara? Kenapa ga kerja hari ini?"sapanya."Dari rumah Mas Damar. Kesel aku sama dia. Btw, kamu tau dari mana kalau aku ga masuk?""Dari Mas Joshua. Maksudku Pak Joshua. Dia yang mengadu kalau kamu ga masuk. Mungkin karena aku yang merekomendasikan kamu padanya jadi dia laporan deh.""Maafkan aku ya, Cher. Kinerjaku membuat kamu malu.""Gapapa. Aku udah bilang Papa kok. Kamu itu seben
IBUKU BUKAN BABUMU 8"Kamu mau minjam uang? Ga salah? Kamu baru sebulan kerja disini. Dan hari ini meminjam uang dua puluh juta? Hahaha!" Tawa Pak Joshua menggema. Aku menunduk sambil mengigit bibir. Memang tak ada pantas pantasnya permintaanku."Kembali lah bekerja. Oh ya, kamu di panggil Pak Edward ke ruangannya. Sana cepat temui. Kalau tak ingin gaji kedua kamu di potong karena terlalu lelet," ketusnya. Hatiku terserak. Harapan untuk memulai usaha dengan Bapak hancur sudah. Apa yang harus aku katakan pada Bapak nanti? Dengan berat aku melangkah keluar. Setelah ini entah apa lagi yang akan aku dapatkan. Apa teguran lagi atau nasehat agar aku bekerja lebih rajin."Dinara! Kamu kenapa? Kok lemes banget?" Tanya Mbak Lisa yang berpapasan denganku."Gapapa, Mbak. Aku hanya sedang tak enak badan," kilahku."Kamu kena marah Pak Jo, ya? Sabar ya. Dia emang galak. tapi, baik hati kok." Aku hanya tersenyum tipis. Baik apanya? Minjam duit aja ga dapat malah dapat kabar mengerikan. Jaman sekar
IBUKU BUKAN BABUMU 9"Mau kemana, Nduk?" Tanya ibu khawatir. Aku mengusap air mata dengan punggung tangan."Dinara mau ngekost, Bu. Bukan karena Dinara mau ngelawan sama Ibu, atau karena ngiri Ibu lebih sayang sama cucu dan menantu Ibu. Bukan! Tapi, Nara rasa, Nara butuh tempat untuk menyendiri. Nara ... Nara tak tega melihat Ibu kecapekan. Melihat ibu repot dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. Tapi, Nara tak berdaya. Nara tak seperti mbak Ulya yang punya uang banyak untuk membayar jasa orang lain. Atau memberi upah pada mertuanya sendiri. Maafkan Nara, Bu. Kalau ibu menerima upah untuk membayar uang kuliah Nara, Nara tak bisa terima," sakit sekali dada ini saat berkata seperti itu.Apa ibu tak paham juga jika aku sangat mengkhawatirkannya. Ibu punya darah tinggi, dan punya riwayat masalah pada jantung. Selama ini jualan lebih banyak bapak yang bekerja karena Bapak juga mengerti ibu tak boleh banyak aktivitas. Sekarang justru ibu dengan santai mengijinkan Mas Damar dan istrinya tin
HENING DALAM LUKA 10Aku mengusap-usap mata memastikan jika apa yang aku lihat bukanlah ilusi karena aku terlalu memikirkan Hening. Namun, perempuan itu sudah berdiri membelakangi dan masuk ke dalam rumah. Rasa penasaran begitu menggebu. Aku menginjak pedal gas dan melaju masuk ke halaman rumah Hening. Pintu itu terbuka lagi. Kali ini wajah Mas Hanan muncul disana. Dengan kedua tangan ditopang ke pinggang."Mas Hanan. Sa--saya kebetulan lewat." Gugup. itu lah yang kurasakan. Meski setahun berlalu tapi aku masih merasakan sakitnya pukulan Mas Hanan."Buat apa kau kesini lagi!" Suaranya meninggi terdengar bukan seperti sebuah pertanyaan."Sa--saya melihat Hening," ucapku ragu-ragu.Mas Hanan tertawa terbahak-bahak. Jelas rahangnya mengeras menahan emosi. Segila ini kah aku?"Pulanglah! Sebelum aku mematahkan batang lehermu!"Pintu terbuka. Bu Husni muncul dengan wajah cemas. Lalu memegang pundak anak lelakinya itu."Hanan! Belajarlah mengontrol emosi. Ingat apa yang Rasullullah pesankan
"Jangan banyak bengong! Tadi saya hanya becanda! Kamu jangan ge er," celetuk Pak Joshua setelah kini kami berada dalam ruangan yang sama. "Iya, Pak. Saya juga paham," jawabku. Siapa juga yang mau jadi istri laki-laki kaku seperti dia."Saya akan memindahkan ruangan sekretaris kesini. Biar saya gampang memanggil jika butuh." Aku mengangkat wajah, seruangan dengannya? Apa itu tidak berbahaya? Takut ketularan garingnya dia aku nanti."Kenapa? kamu keberatan?" Tanyanya menatapku tajam."Ti-tidak Pak, sama sekali tidak." Mau jawab apalagi 'kan.Benar saja sekitar jam satu siang, meja dan kursi baru sudah tiba. Mbak Mila yang merupakan mantan sekretaris Pak Joshua diminta datang untuk serah terima jabatan. Perempuan yang beberapa waktu lalu habis melahirkan itu begitu sopan dan baik. Dengan lembut dia mengajarkan apa saja yang menjadi tugas dan tanggung jawabku."Makasih, ya, Mbak." Ucapku sambil mengantarkan mbak Mila keluar ruangan."Semangat ya, Dinara. Pak Joshua itu orangnya memang te
"Saya mau modalin Bapak saya buka toko ATK, Pak," jawabku pelan. Malu rasanya. Apa Pak Jo akan mengungkit lagi kejadian waktu itu? Kalau untuk meminjamkan aku rasa tak mungkin. Karena aku baru sebulan bekerja sebagai sekretarisnya."Saya akan meminjamkan kamu. Tapi, bukan uang perusahaan. Melainkan udah pribadi saya. Nanti akan dikirim bersamaan dengan gaji. Kamu bisa pakai dulu." Tanpa menatapku laki-laki itu terus memainkan jemarinya di atas keyboard. Namun apa yang dia sampaikan membuatku membulatkan mata."Bapak serius?" Ada rasa haru yang menyeruak."Iya! Apa pernah saya becanda!"ketusnya.Tak tau lagi apa yang harus aku katakan. Yang jelas aku sangat senang, kalau dia perempuan sudah kupeluk erat dirinya."Apa lihat lihat! Kamu berniat memeluk saya! Sudah sana kembali ke mejamu!" Wajahku memerah. Pak Jo kenapa bisa berpikiran seperti itu. Setelah mengucapkan terima kasih aku kembali ke meja. Ingin jingkrak-jingkrak tapi tak mungkin. Aku hanya mengusap wajah berkali-kali berucap
Mas Damar berjalan ke arahku, aku pun siaga. Saat jarak kami tinggal selangkah aku memutar kaki yang menjadi tumpuan dengan cepat. Dan melancarkan serangan tepat pada tangan Mas Damar yang sedang terangkat. Kakiku mengha ntam keras, hingga Mas Damar terhuyung, lalu secepat kilat tangan kananku bergerak ke arah mukanya. Wajah sok baik itu pun mencicipi bogem mentah dariku.Mas Damar jatuh tersungkur. Retna terpekik melihat kejadian itu. Aku menarik napas dalam-dalam lalu melepaskan perlahan. Ternyata aku masih belum lupa gerakan yang pernah kupelajari dulu. Lumayan untuk memberi pelajaran pada bua ya bu ntung ini."Nara! Kur ang aja r kamu!" Mas Damar meringis sambil memegang hidungnya yang mengeluarkan darah. Ujung bibirnya juga pecah."Makanya jangan remehkan aku, Mas!" Aku melipat tangan di dada."Sekarang kita pulang. Kamu harus mengakui semuanya pada Ibu dan Bapak juga Mbak Ulya. Semua yang kau lakukan ada konsekuensinya, Mas!""Nara ... Plis, Mas mohon. Mas hanya khilaf, Ra. Kamu
"Damar? Kamu kenapa, Nak? Astaghfirullah siapa yang memukulmu seperti ini, Nak? Ya Allah, Bapak ...!"Ibu benar-benar cemas. "Retna! Damar kenapa? Siapa yang mengh ajarnya sampai babak belur begini?" Retna diam menunduk takut."Bu ..." Tangis Mas damar pecah membuat Ibu terdiam bingung. Bapak kemudian datang."Kenapa kamu, Damar? Kamu ini dari dulu selalu bikin ulah. Udah nikah pun masih membuat susah," bentak Bapak geram."Pak! Jangan gitu! Dia anakmu," bela Ibu."Dia anakmu, bukan anakku!" Sentak Bapak lalu membuang pandang. Ibu menatap Bapak dengan mata berkaca-kaca. Aku juga bingung mau bagaimana. Apa maksud Bapak jika Mas Damar anak Ibu, bukan anak Bapak? Aku penasaran, tapi saat ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Suasana makin panas. Aku tak tau apa yang akan terjadi jika Ibu dan Bapak tau Mas Damar berzina dengan baby sitter anaknya yang merupakan sepupu Mbak Ulya."Mas Damar jatuh tadi, Bu. Ada tukang rongsokan yang lewat ga lihat-lihat. Mas Damar tak sengaja menabra