Share

Bab 6. Keributan di Rumah Sakit

Setelah mendengarkan dokter kandungan yang mengomel panjang kali lebar kali tinggi, aku dan ibu pun pamit melangkahkan kaki keluar dari ruang dokter dengan perasaan amburadul.

"Met, ibu capek. Kita istirahat di ruangan nifasnya si Yana saja ya," pinta ibu.

 

Aku mengangguk. Aku juga merasakan kelelahan yang menyerbu leher dan pundak akibat terlalu tegang memikirkan nasib anak istri. 

 

Kami berjalan perlahan menuju ruang nifas. 

 

"Ibu tadi kok berani banget sih membantah dokternya?" tanyaku pada ibu.

 

Ibu melirik galak padaku. "Ibu cuma mau cari dukungan, Met. Karena hal seperti itu yang ibu kenal selama ibu masih muda dulu."

 

"Tapi kan justru ibu yang mendapat omelan dari dokter," tukasku cepat.

 

Ibu hanya diam tanpa menjawab dengan sepotong kalimatpun.

 

"Slamet takut jika orang tua Yana sampai tahu soal rumput fatimah tersebut, terus menuntut kita gimana dong Bu?"

 

Ibu juga tampak terkejut. "Lah, kamu jangan bilang kalau karena rumput fatimah dong. Lagian banyak yang minum tapi enggak apa-apa tuh. Itu si Yana aja yang lemah fisiknya."

 

"Kalau keluarga Yana nyuruh kami berpisah, gimana dong Bu?"

 

"Ya kebetulan dong. Biar kamu bisa memilih yang lain."

 

"Lah kalau kita dilaporin polisi, gimana dong?"

 

"Atas tuduhan apa? Kita kan nggak melakukan kejahatan apa-apa." 

 

Aku terdiam. Tiba-tiba terdengar dering telepon. 

 

Dan aku sangat terkejut saat melihat nama peneleponnya.

 

"Bapak mertua..,"

 

Dengan takut-takut aku menekan layar lalu mendekatkan ke telinga.

 

"Assalamualaikum."

 

"Waalaikumsalam, Slamet? Kenapa ndak ngabari bapak sama ibu kalau Yana sudah melahirkan?"

 

Aku terdiam. Wah, berat ini. Jujur saja aku tidak mengabari bapak dan ibu mertua karena lupa. Kondisi Yana yang sudah seperti itu membuatku lupa untuk memberitahu orangtuanya saking paniknya. Takut juga sih. Karena kondisi Yana benar-benar di luar perkiraan.

 

"Ya, sebenarnya ini mau memberitahu bapak dan ibu, tapi sudah keduluan bapak dan ibu yang nelepon," sahutku.

 

"Masak sih? Tadi kok Dina telepon bapak, katanya Yana operasi dan butuh darah banyak? Malah kamu bilang agar merahasiakan dari bapak," tanya bapak mertua dari ujung telepon. Suaranya terdengar berat dan menyeramkan.

 

Mamp*s kan. Emang mbak Dina super cerewet. Untung aku belum memberitahu tentang pengangkatan rahim pada keluarganya. Bisa-bisa jadi sate nih.

 

"Yana malas gerak Pak, karena itu kepala bayinya tidak mau turun dan akhirnya perdarahan," tukasku berbohong. 

 

"Memang ada hubungannya antara malas gerak dengan perdarahan? Lagipula saya tidak percaya kalau Yana malas gerak. Dia itu anak yang paling rajin. Pasti ada yang terjadi dengan Yana saat bersalin."

 

Aku menghela nafas.

 

"Ya sudah kalau bapak tidak percaya. Tapi saya dan ibu sudah melakukan yang terbaik untuk Yana," tukasku kesal.

 

Suara di seberang terdiam. 

 

"Ya sudah. Kami akan kesana sekarang. Di rumah sakit mana Yana dirawat?"

 

"RSUD," tukasku pendek.

 

"Kalau anak Yana gimana kabarnya? Sehatkan?"

 

Mamp*s dua kali!

 

"Masih dibawa ke ruang bayi Pak. Keluarga tidak boleh masuk," sahutku menghindar.

 

"Ya sudah. Bapak sama ibu mau kesana,"

 

"Ya Pak, Slamet tunggu," tukasku lalu menutup telepon setelah mengucap salam.

 

"Apa kata mertuamu?" tanya ibu dengan wajah cemas.

 

"Bapak dan ibu mau kesini." 

 

"Terus apa mereka sudah tahu tentang kondisi Yana yang sebenarnya?"

 

Aku menggeleng. "Belum, entahlah kalau sampai tahu."

 

Belum sempat ibu menyahut, ponselku berdering lagi. Rupanya dari mas Ali.

 

"Dek, kami sudah sampai di tempat parkir rumah sakit, gimana caranya donor? Kamu jemput kami ya," kata mas Ali.

 

"Baik Mas."

 

"Ibu, Slamet jemput mbak Dina dan mas Ali dulu."

 

"Iya. Kalau bisa jangan bikin keluarga Yana marah sama kita. Pokoknya aturlah gimana caranya biar mereka mengira kejadian ini karena kesalahan Yana, bisa?" 

 

"Bisa Bu," tukasku mengangguk lalu segera melesat pergi. 

 

"Mas! Mbak!" aku melambaikan tangan ke arah mas Ali dan mbak Dina. Wah, benar. Mereka berdua mengajak beberapa orang untuk ke rumah sakit.

 

"Gimana kondisi Yana?" tanya mas Ali cemas.

 

"Masih belum sadar Mas. Ada di ruang ICU."

 

"Kok bisa sih perdarahan gitu? Kamu apakan adik kami?" tanya mbak Dina penuh selidik.

 

"Yana itu yang males gerak mbak, jadi susah persalinannya. Sudah mbak, sekarang yang lebih penting, Yana membutuhkan darah. Ini tolong dibawa ke PMI ya Mbak," Aku menyerahkan secarik amplop pada mbak Dina dan mas Ali.

 

"Baiklah," tukas mbak Dina dan berlalu pergi. 

 

"Huft, satu masalah terselesaikan," gumamku lega.

 

***

 

"Piye reaksi keluarganya Yana? Mereka tahu nggak tentang kondisi yang sebenarnya pada Yana?" ibu memberondongku dengan pertanyaan saat aku baru saja muncul. 

 

Aku menghembuskan nafas kasar. 

 

"Sementara ini Slamet hanya mengatakan kalau kondisi Yana disebabkan oleh kemalasannya saat hamil. Jadi persalinannya susah. Slamet tidak menyebutkan rumput fatimah dan rahim robek."

 

"Ya emang gitu kan kejadiannya. Karena rahim Yana yang terlalu lemah, minum rendaman rumput fatimah saja jebol," tukas ibu ketus.

 

"Tapi nanti gimana kalau keluarga Yana tanya langsung ke dokternya?" tanyaku.

 

"Ya udah biarin aja. Salah sendiri kurus kering. Coba badannya seperti badannya ibu, subur dan kuat melahirkan anak hanya dengan minum air rendaman rumput fatimah."

 

"Ya sudahlah Bu, mungkin sudah takdir kalau kelahirannya Yana seperti ini."

 

Ibu hanya terdiam mendengarkan ucapanku.

***

Sekitar 1 jam kemudian, mas Ali dan mbak Dina telah sampai di rumah sakit kembali sambil membawa dua kantong darah.*

 

"Met, ini darahnya. Ayo kita antar ke ruangan ICU," tukas mbak Dina. 

 

Aku menurut dan mengikuti langkah cepat mbak Dina lalu menuju ke ruang Yana dirawat.

 

"Ya Allah dek, cepat sembuh ya. Semoga kembali sehat,"lirih mbak Dina berucap di balik tembok kaca tebal yang memisahkan kami.

 

"Aamiin," tukasku.

 

"Jadi gimana bisa seperti ini? Cerita yang lengkap Met!" seru mas Ali melotot kearahku.

 

"Melihat kondisi Yana yang seperti ini, tidak mungkin kalau hanya malas gerak saja. Mas mungkin hanya lulusan SMF, tapi Mas juga kerja di rumah sakit. Ini jelas karena ada sesuatu yang salah pada penanganan persalinan," mas Ali mendekat padaku.

 

Aku menunduk. 

 

"Hei, kamu nuduh kami berbohong dan melakukan sesuatu pada Yana?" tiba-tiba terdengar suara ibu di belakangku.

 

"Saya tidak menuduh Ibu berbohong. Saya cuma tidak ingin ada sesuatu ditutup-tutupi padahal berkaitan dengan nyawa adik saya. Jika kalian terbukti membuat adik saya sampai seperti ini, kalian akan menyesal," suara mas Ali terdengar mengancam dan mendirikan bulu roma.

 

***

 

Baru saja aku dan ibu pulang dari  makan malam di kantin rumah sakit, saat di koridor kami bertemu dengan bapak Yana yang tiba-tiba merengsek maju ke arahku, mencengkeram krah baju lalu meninju wajahku.

Buaaaaghhhh!

Catatan kaki: 

 

*Transfusi darah, ada 4 macam golongan darah yaitu A, B, AB, dan O. Dahulu golongan darah O disebut donor universal, yaitu golongan darah yang bisa memberikan darahnya ke siapa saja. Dan golongan darah AB merupakan resipien universal yaitu golongan darah yang bisa menerima semua jenis golongan darah. Tapi semakin berkembang zaman, sekarang transfusi hanya dilakukan dengan sesama golongan darah saja. 

 

Stok kosong di PMI bukan berarti beneran kosong melompong ya. Ada cadangan 1 atau 2 kantong. Jadi keluarga pasien yang membutuhkan darah, diharap membawa pendonor sebagai ganti stok yang diberikan pada pasien tersebut.

 

*SMF = Sekolah Menengah Farmasi

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status