Share

Part 7. Sumpah Seorang Ibu

Baru saja aku dan ibu pulang dari  makan malam di kantin rumah sakit, saat di koridor kami bertemu dengan bapak Yana yang tiba-tiba merengsek maju ke arahku, mencengkeram krah baju lalu meninju wajahku.

Buaaaaghhhh!

Aku terpental dan terjatuh di ubin rumah sakit. Beberapa keluarga pasien yang sedang duduk di kursi tunggu serentak berdiri dan mengelilingi kami.

 

Aku merasakan pipiku ngilu dan darah mengalir di ujung bibir. Dengan perlahan aku berusaha bangkit. 

 

Tapi sebelum sempat benar-benar berdiri, sebuah tangan sudah terkepal dan meninju wajah sebelah kiriku. 

"Aargggh!"

 

Ibu menjerit. Sedangkan kedua pipiku memanas. Hendak membalas tapi tidak mungkin karena yang memukulku adalah mertuaku sendiri. 

 

"Apa salah Slamet Pak? Saya tidak terima kalau anak saya dipukuli oleh mertuanya sendiri!" Seru ibu sambil membantuku berdiri. 

 

"Saya cuma memukul pipi Slamet dan ibu berteriak-teriak seperti kesetanan? Terus gimana perasaan saya saat melihat anak saya terkapar tak berdaya di dalam ruang ICU sana? Dia sedang berjuang antara hidup dan mati gara-gara kalian!" 

 

Bapak mertua mengacungkan telunjuknya padaku dan ibu.

 

Aku terkejut. Bagaimana bapak Yana bisa tahu? 

 

Belum sempat menjawab, ibu berseru terlebih dahulu, "Jangan fitnah ya, Bapak ngarang darimana kalau Yana di ICU gara-gara kami?"

 

Bapak Yana mendelik mendekati kami. Nyaliku menciut. Sementara beberapa orang semakin antusias mengerumuni kami.

 

"Nggak usah mengelak lagi. Saya sudah paham semuanya! Asal kalian tahu saja ya, Yana dulu pernah cerita ke saya kalau dia hamil dan periksa ke bidan...,"

 

"Apa? Jadi Yana juga tukang ngadu ke bapaknya? Benar-benar mantu gak bener!"

 

Ibuku tiba-tiba memotong ucapan bapak Yana.

 

"Mantu gak bener apanya? Justru Ibu itu mertua nggak bener. Mantu disuruh USG sama bidan malah gak diperiksakan. Sampai gak ketahuan kalau panggul sempit. Dan justru kalian berikan rendaman rumput fatimah padanya. Kalian benar-benar keluarga mengerikan!"

 

"Eh, jaga kata-kata bapak ya. Yang mengerikan itu justru Yana. Gampang banget ngadu sama orangtuanya. Nyebarin aib mertua sama suami saja!" sungut ibuku.

 

"Ibu yang harus jaga kata-kata ibu. Saya belum selesai ngomong sudah dipotong. Tapi dengan hal ini saya jadi tahu siapa kalian sebenarnya. Asal kalian tahu saja, Yana tidak pernah menceritakan keburukan kalian. 

 

Saat dia telepon untuk mengatakan bahwa dia periksa ke bidan, dia cuma bilang hal-hal yang menyenangkan. Dia bilang mertua dan suaminya begitu baik. Ternyata semua palsu. Saya tahu tentang kondisi Yana justru dari bidan tempat Yana periksa."

 

Ucapan bapak Yana membuatku terkejut. "Dari bidan Indah?"

 

"Iya! Kaget kalian? Darimana saya tahu tentang bidan Indah?"

 

Aku dan ibu berpandangan tidak menyangka bahwa bu Indah akan menceritakan semuanya pada bapak Yana. Tapi, darimana bapak Yana tahu tentang bidan Indah?

 

Seolah tahu apa yang kupikirkan bapak Yana tersenyum miring. 

 

"Kalian heran darimana saya tahu soal bidan tempat Yana periksa? Yana pernah cerita kalau dia periksa hamil di bidan terdekat rumahnya. Namanya bidan Indah. Dan Ali tadi mencari alamat bidan Indah untuk memastikannya. Begitu tahu yang datang adalah keluarga Yana, bidan Indah dengan penuh penyesalan menceritakan semuanya. Tentang panggul sempit, USG, rumput fatimah dan terakhir tentang angkat rahimnya..,"

 

"Apa kalian pantas menyebut diri kalian manusia setelah apa yang terjadi pada Yana?!" Mas Ali berteriak dengan suara bergetar sambil menudingku dan ibu.

 

Sedangkan ibu Yana dan mbak Dina tampak sesenggukan. 

 

"Saya sedari kecil merawat Yana sepenuh hati, menyerahkan Yana pada kamu agar kamu menggantikan posisi saya menyayangi Yana. Tapi apa yang kamu lakukan pada anak saya?" Bapak Yana berteriak lagi kali ini sambil menunjuk dadaku.

 

"Brengs*k kamu, Met!" Mas Ali merengsek dan mengayunkan tinjunya ke arahku. Aku pasrah dan menutup wajahku dengan telapak tangan.

 

"Jangan!" teriak ibuku memelukku.

 

"Hei! Tolong jangan membuat keributan di sini!" seru seorang satpam. 

 

Tampak seorang satpam rumah sakit menuju ke arah kami dengan beberapa orang. Rupanya ada yang langsung memanggil satpam saat melihat aku dipukuli tadi. Syukurlah.

 

"Kalau ada masalah, tolong selesaikan di luar area rumah sakit. Kasihan pasien dan keluarga kalau terjadi kegaduhan seperti ini," tukas satpam.

 

Mas Ali dan bapaknya menjauh dari tubuhku.

 

"Maaf pak, kami tidak bermaksud untuk membuat kegaduhan di rumah sakit. Kami hanya meluruskan sedikit masalah di dalam keluarga," mas Ali tersenyum pada satpam rumah sakit.

 

"Dan kamu Met, saya benar-benar kecewa. Kamu punya saudara perempuan juga kan? Kamu akan merasakan hal yang sama dengan apa yang saya rasakan jika saudara perempuan kamu mengalami hal seperti Yana.

 

Setelah Yana siuman, saya akan memintanya berpikir kembali tentang kelangsungan pernikahannya. Pernikahan yang sudah tidak sehat lagi baginya. Yang nyaris merenggut nyawanya. Demi Allah yang telah menjadikan saya sebagai ibunya, saya tidak akan pernah ikhlas dengan apa yang telah kalian lakukan pada anak saya."

 

"Jadi Yana akan minta cerai dari Slamet? Kebetulan, karena Yana sudah tidak punya rahim. Slamet pasti akan dapat istri yang lebih subur daripada Yana."

 

"Yana juga pasti akan lebih bahagia kalau bisa lepas dari keluarga toksik seperti kalian. Saya menyesal pernah merestui pernikahan kalian," tukas ibu Yana. 

 

Aku tercekat. Ya Tuhan, benarkah aku akan berpisah dari Yana? Istri yang selama ini selalu menurut padaku, yang tidak pernah protes dengan berapapun nafkah yang kuberikan.

 

Lantas, bagaimana nasib anakku jika masih kecil sudah menghadapi perceraian kedua orangtuanya? 

 

Mendadak kepalaku terasa pusing dengan mata berkunang-kunang. 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status