Aku menoleh keheranan saat perawat tersebut tidak berbelok ke ruang nifas, tapi melanjutkan langkahnya dan tak lama kemudian perawat yang mendorong Yana memasuki ruang ICU!
"Tunggu, kenapa tidak dibawa ke ruang nifas? Kata perawat di UGD tadi di UGD istri saya harus dibawa ke ruang nifas?" tanyaku bingung.
Perawat yang sedang mendorong tempat tidur beroda berhenti dan melihat sekilas ke arahku.
"Kondisi bu Yana masih belum stabil Pak. Masih butuh observasi ketat karena saturasi (kadar oksigen dalam darah) rendah, apalagi bu Yana mengalami anemia berat. Jadi harus dirawat di ruang ICU terlebih dahulu,"
Penjelasan perawat membuatku tercenung. Seluruh lantai yang kupijak kurasakan goyah.
"Berarti tidak bisa dijenguk ya Sus?" tanyaku lirih.
"Belum bisa Pak. Nunggu kondisi pasien membaik terlebih dahulu kemudian pindah ke ruang nifas. Baru boleh dijenguk," tukas suster itu lanjut mendorong Yana dan masuk ke ruangan ICU.
Aku hanya bisa terpekur di luar ruangan yang terpisah oleh dinding kaca melihat Yana yang mulai dipasangi entah alat apa saja di tubuhnya.
Kulirik ibu yang juga memandangi Yana. Tapi aku tidak tahu apa yang sedang ada di dalam pikiran ibu sekarang.
Belum puas aku melihat Yana dari luar dinding kaca, aku harus menahan kecewa karena tirai ruangan ditutup oleh suster.
"Ya sudah, Bu. Kita doakan saja semoga Yana dan anaknya Slamet bisa selamat,"tukasku sambil merangkul dan mengajak ibu untuk menjauh dari ICU.
"Keluarga pasien Yana?" sebuah suara menghentikan langkahku.
"Ya Sus?"
"Bisa bicara sebentar?" tanya suster dari ruang ICU tersebut lalu mengajak aku dan ibu untuk masuk ke ruangan perawat.
"Ada apa Sus?" tanyaku cemas.
"Pasien Yana mengalami anemia berat dan membutuhkan 4 kantong darah. Stok PMI kosong. Tolong cari pendonor dari kalangan keluarga atau teman, lalu silakan ajak ke PMI. Penting Pak, tolong diusahakan sekarang,"
"Ba-baik," sahutku terbata.
"Kalau begitu, saya permisi dulu. Silakan surat pengantar ke PMI ini dibawa sekalian," perawat itu mengulurkan sebuah amplop padaku.
Aku tertegun tapi tak urung juga aku mengambil amplop tersebut.
Aku lalu mengajak ibu keluar dari ruang perawat ICU tersebut.
"Met, gimana ini? Ibu bingung mau cari pendonor darah untuk Yana," kata ibu.
"Slamet juga bingung, Bu. Sebentar Slamet mau mikir dulu. Nyari siapa saja yang kemungkinan bergolongan darah B,"
"Duh, si Yana ini ngerepotin. Masih hamil muntah-muntah terus, sekarang setelah melahirkan juga bikin bingung. Kesel,"
Aku terdiam. Sebenarnya ingin membela Yana tapi tidak kuasa membantah perkataan ibu.
"Ibu dulu waktu hamil, melahirkan, menyusui sehat banget. Semua yang diperintahkan mertua, ibu laksanakan. Gak pernah mual muntah, waktu hamil juga nyuci di sungai dan masih selamat. Gak manja kayak istrimu,"
"Bu, tolong berhenti ngomel sebentar. Slamet sedang berpikir bagaimana mencari pendonor," tukasku akhirnya.
Ibu tampak merengut tidak suka. "Jadi gara-gara Yana kamu sekarang berani membantah ibu? Tega kamu sama ibu yang telah mengandung dan melahirkan kamu,"
Aku menghela nafas. Serba salah dengan ibu. "Ibu, selama ini Slamet patuh dengan perintah ibu. Izinkan Slamet kali ini saja menunaikan kewajiban Slamet sebagai suami. Ini bukan semata-mata hanya demi Yana. Tapi untuk anak Slamet. Slamet tidak mau anak Slamet kehilangan ibunya,"
"Kalau ibunya mati, lebih baik kamu kawin lagi sama perempuan yang subur, pant*tnya besar biar bisa dilalui bayi,"
"Ibu, tolonglah. Kali ini saja, jangan menganggu Slamet untuk menolong nyawa Yana," pintaku memelas.
Ibu mendengus tapi akhirnya memilih diam sambil membuang muka.
Aku segera menghubungi kedua kakak Yana.
Yana memang anak bungsu. Sama sepertiku. Sebenarnya aku sangat takut menghubungi abang dan mbaknya. Abangnya pendiam. Tapi aku pernah melihatnya marah sekali. Dan terlihat menyeramkan.
Kakak perempuannya apalagi. Cerewet minta ampun. Tapi aku harus berani menghubungi kedua kakak Yana.
Akhirnya aku menelepon mas Ali dan mbak Dina tentang kondisi Yana. Tentu saja aku menutupi soal rumput tetangga, eh rumput fatimah itu.
Mereka sangat terkejut saat kuberitahu bahwa Yana perdarahan karena malas olahraga sebelum persalinan. Biarlah yang penting sekarang nyari aman dulu.
Dan yang paling kutekankan adalah jangan sampai kedua kakak Yana yang tinggal masih satu kabupaten denganku berbicara dengan orang tua Yana. Aku berdalih agar tidak membuat mereka cemas.
Bapaknya Yana dengan kumis tebal macam abang Jampang sangat galak. Untung saja dia tinggal di luar kabupaten. Kira-kira berjarak 3 jam dari rumah.
Mas Ali dan mbak Dina menyanggupi segera datang dan membawa saudara lain yang bergolongan darah sama dengan Yana.
Baru saja aku menghembuskan nafas lega saat sebuah suara memanggilku.
"Keluarga pasien Yana, dipanggil dokter kandungannya,"
"Ya Sus," sahutku pendek lalu mengajak ibu untuk masuk ke ruangan dokter.
"Istri bapak mengalami perdarahan serius dan stok darah di PMI kosong. Apa sudah dicarikan pendonor?" tanya dokter kandungan tersebut.
"Sudah dokter,"
"Dok, apa yang menyebabkan kepala cucu saya tidak mau segera turun? Apa karena selama hamil, mantu saya tidak mau minum jamu dan minum minyak goreng saat akan bersalin?" tanya ibuku tiba-tiba.
Aku terkejut dan dokter itu sepertinya lebih terkejut lagi.
"Siapa yang nyuruh kalau ibu hamil harus minum jamu atau minyak? Bidan mana yang bilang seperti itu suruh ngadep saya!" seru dokter itu marah.
"Ma-maaf Dok, saya cuma bertanya saja. Karena dulu saya sering minum jamu saat hamil dan minyak goreng saat akan bersalin akhirnya saya bisa melahirkan dengan lancar. Dan mantu saya ini sama sekali tidak mau menuruti perkataan saya,"
"Untung mantu ibu tidak nurut. Dan untung ibu dan anak-anak ibu selamat! Ibu hamil tidak boleh minum jamu!"
Kini giliran ibu yang tercengang. "Kok bisa Dok?"
Lah ibu berani bener ngebantah dokternya.
"Apa ibu tahu jamu gendongan dan jamu kemasan yang mengandung banyak endapan itu dapat mengeruhkan dan mambuat bau air ketuban atau banyu kawah. Sehingga berisiko melahirkan bayi dengan asfiksi neonatorum. Ibu tahu asfiksia neonatorum itu apa? Asfiksia neonatorum itu adalah kekurangan oksigen dan kesulitan bernapas pada bayi baru lahir sehingga mengakibatkan kerusakan organ, seperti paru-paru, otak, hati, ginjal.
Bahkan ramuan yang dibuat sendiri pun juga bisa bahaya, misalnya terlalu banyak mengkonsumsi kunyit pada hamil muda bisa mengakibatkan perdarahan dan kelahiran prematur. Sama juga dengan jahe, walaupun bisa meredakan gejala mual muntah pada awal kehamilan, namun bila dikonsumsi berlebih bisa memicu diare dan penggunaan berlebihan bisa menganggu penyerapan obat-obatan medis. Emang kalau bikin jamu sendiri, benar-benar ditimbang sesuai standar? Pasti dikira-kira kan? Apa menjamin sesuai dosis?" Jelas dokter panjang lebar.
Belum sempat ibu membuka mulut, dokter sudah menyela lagi. "Lalu sebelum bersalin minum minyak goreng biar apa? Kepala bayi cepat turun soalnya rahimnya licin? Kenapa sekalian nggak minum oli saja? Lebih licin kan? Tidak ada hubungannya minum minyak goreng dengan kecepatan penurunan kepala bayi,"
Aku dan ibu berpandangan.
Mampus!
Catatan Kaki :
*Dibeberapa daerah masih ada mitos minum jamu saat hamil dan minyak goreng saat bersalin. Sudah dijawab pak dokter ya.
*Beberapa orang juga berpendapat kalau orang dengan pant*t besar itu subur. INI JUGA MITOS ya. Nyatanya banyak perempuan dengan tinggi kurang dari 150 cm dan pant*t biasa saja bisa hamil berulangkali dan lahir normal.
Setelah mendengarkan dokter kandungan yang mengomel panjang kali lebar kali tinggi, aku dan ibu pun pamit melangkahkan kaki keluar dari ruang dokter dengan perasaan amburadul."Met, ibu capek. Kita istirahat di ruangan nifasnya si Yana saja ya," pinta ibu.Aku mengangguk. Aku juga merasakan kelelahan yang menyerbu leher dan pundak akibat terlalu tegang memikirkan nasib anak istri. Kami berjalan perlahan menuju ruang nifas. "Ibu tadi kok berani banget sih membantah dokternya?" tanyaku pada ibu.Ibu melirik galak padaku. "Ibu cuma mau cari dukungan, Met. Karena hal seperti itu yang ibu kenal selama ibu masih muda dulu.""Tapi kan justru ibu yang mendapat omelan dari dokter," tukasku cepat.Ibu hanya diam tanpa menjawab dengan sepotong kalimatpun."Slamet takut jika orang tua Yana sampai tahu soal rumput fatimah tersebut, terus menuntut kita gimana dong Bu?"Ibu juga tampak terkejut. "Lah, kamu jangan bilang kalau karena rumput fatimah dong. Lagian banyak yang minum tapi enggak apa-apa
Baru saja aku dan ibu pulang dari makan malam di kantin rumah sakit, saat di koridor kami bertemu dengan bapak Yana yang tiba-tiba merengsek maju ke arahku, mencengkeram krah baju lalu meninju wajahku.Buaaaaghhhh!Aku terpental dan terjatuh di ubin rumah sakit. Beberapa keluarga pasien yang sedang duduk di kursi tunggu serentak berdiri dan mengelilingi kami.Aku merasakan pipiku ngilu dan darah mengalir di ujung bibir. Dengan perlahan aku berusaha bangkit. Tapi sebelum sempat benar-benar berdiri, sebuah tangan sudah terkepal dan meninju wajah sebelah kiriku. "Aargggh!"Ibu menjerit. Sedangkan kedua pipiku memanas. Hendak membalas tapi tidak mungkin karena yang memukulku adalah mertuaku sendiri. "Apa salah Slamet Pak? Saya tidak terima kalau anak saya dipukuli oleh mertuanya sendiri!" Seru ibu sambil membantuku berdiri. "Saya cuma memukul pipi Slamet dan ibu berteriak-teriak seperti kesetanan? Terus gimana perasaan saya saat melihat anak saya terkapar tak berdaya di dalam ruang I
Mendadak kepalaku terasa pusing dengan mata berkunang-kunang. "Slamet!" seru ibu sambil memegangi tubuhku yang sempoyongan. Entahlah, tanpa sadar aku merasakan pandanganku menggelap. Mungkin karena tidak beristirahat seharian atau bisa juga karena baru saja menerima 2 tonjokan maut.Satpam di sebelah segera memapahku. "Lihat perbuatan bapak pada anak saya. Saya bisa adukan bapak ke polisi atas dasar penganiayaan!" kata ibu menuding bapaknya Yana."Slamet nggak apa-apa, Bu," sahutku lirih."Nggak apa-apa gimana? Bibir kamu berdarah, pipi keunguan. Ibu tidak terima!""Silakan saja kalau mau lapor, saya juga bisa lapor polisi atas dasar percobaan pembunuhan atau KDRT, kita bisa lihat nanti siapa yang berhasil," tukas mas Ali menatapku tajam.Hatiku berdebar. Benarkah gertakan mas Ali ini? "Lihat juga anak kamu. Tanya hati nuranimu. Kamu gak kasihan lihat anak kamu gak bisa nafas gara-gara perbuatan kalian? Kalau ada apa-apa sama adik dan ponakan saya, kalian akan tak hiiih!" Seru mbak
Flash back on :Aku tidak tahu minuman apa yang diberikan padaku karena tiba-tiba perutku terasa mulas. Rasanya seperti mau mati saja. Seolah ada tangan-tangan yang meremas perutku dengan sekuat tenaga. Aku mengerang-erang sampai sepertinya mas Slamet dan mertuaku marah. Tapi aku tidak peduli lagi dengan omelan mertua karena selama ini aku sangat menuruti kemauan mereka, padahal aku sudah tidak tahan lagi. Jadi sekarang aku tidak peduli jika aku berteriak keras-keras karena aku sungguh kesakitan.Hingga saat aku mulai naik ke atas bentor, aku tidak bisa menahan rasa mulas, hingga akhirnya aku merasakan ada yang meletus di dalam jalan lahir.Dan saat itu seolah sebuah tangan meremas perutku sekuat tenaga membuat seluruh pandanganku menggelap.***Aku tidak tahu berapa lama aku tidak sadar, tapi aku merasakan perutku sakit luar biasa dan badanku seakan tidak punya tulang. Sangat lemas dan tidak bertenaga. Mataku pun hendak terbuka tapi terasa sangat berat.Tapi telingaku seolah mend
Salah beli baju menyesal sehari, salah potong rambut menyesal seminggu. Tapi salah milih suami, menyesalnya semur hidup.***Yana dan keluarganya serentak menatap ke arah suster itu. "Apa kabarnya bayi saya Sus?" tanya Yana cemas.Suster itu lalu memandang Yana sejenak dan berkata, "Alhamdulillah, bayinya sudah mulai menangis keras. Dan sekarang rencana mulai dipasang selang untuk minum susu. Apa ada permintaan susu tertentu dari pihak keluarga?" Setelah mendapat keterangan dari suster tentang bayinya, Yana merasa energi luar biasa seolah merasuki tubuhnya.Ada semangat untuk sehat dan sembuh yang terpancar dari hati."Suster, berikan yang terbaik untuk cucu saya. Mahal tidak apa-apa. Petugas medis pasti lebih tahu kandungan susu yang terbaik untuk kondisi cucu saya. Karena anak saya baru keluar dari ICU, ASInya belum lancar," Ucap ibu Yana sambil mendekat ke arah suster tersebut."Oh, baiklah. Kalau gitu saya sampaikan ke ruang bayi dulu ya," suster itu hendak pamit meninggalkan rua
Jangan pernah membuat wanita yang mencintaimu menangis, karena akan sangat menyakitkan bila ada pria lain yang membantu menghapus air matanya.***Ibu Slamet ngeloyor pergi setelah mendapat ceramah gratis tentang bayi menangis dan pisang yang tidak boleh diberikan pada bayi kurang dari 6 bulan. "Bu, mau kemana?" tanya Slamet mengejar ibunya yang berjalan mendahului."Diam dulu Met. Ibu lagi berpikir," Ibu Slamet mempercepat langkah menuju kantin rumah sakit dan Slamet mengikutinya dengan bingung."Pak, bakso satu es teh satu," kata ibu Slamet sambil duduk di salah satu kursi."Bu, Slamet juga pesen bakso ya," pinta Slamet lalu duduk di depan ibunya. "Pesen ajah," sahut ibunya lalu membuka kulit pisang dan memakannya."Heran sama anak muda sekarang. Nggak ada sopan-sopannya sama orang tua," tukas ibunya Slamet kesal."Maksudnya apa, Bu?" tanya Slamet bingung. "Suster yang tadi lo Met. Masih bocah kok berani-beraninya ngasih tahu ibu. Padahal kalau lihat wajahnya, pasti dia belum ni
Pergilah dariku, maka kamu tidak akan menemukan pengganti yang terbaik dan mengerti kamu melebihi aku.***Saat suster itu hendak mendorong kursi roda Yana masuk kedalam ruang bayi, Slamet tiba-tiba berseru, "Yana, mas tahu kalau kamu hanya pura-pura lupa ingatan saja kan, maafkan Mas ya. Ayo kita mulai dari awal. Mas janji akan membantu semua pekerjaan rumah kamu," Yana masih duduk diatas kursi roda dan meminta pada suster untuk berhenti, lalu dia menoleh pada Slamet dan berkata, "Kamu bilang apa sih? Saya beneran nggak kenal sama kamu," tukas Yana ketus dan memberi tanda pada suster untuk mendorong kursi rodanya lagi."Yan...Yana! Tunggu!" Slamet terkejut dan meremas rambutnya frustasi."Met! Ora pantes wong lanang ngemis-ngemis nang wong wadon koyok ngono!" seru ibu Slamet sambil menarik tangan Slamet agar berdiri.Ali yang melihat pemandangan di hadapannya tersenyum geli.Slamet menurut pada ibunya. Dia berdiri perlahan tapi tidak mengikuti langkah sang ibu yang menjauh dari rua
Pria yang bersifat seorang raja akan memposisikan wanitanya sebagai ratu, tapi pria yang bersifat penjahat, akan memposisikan wanita sebagai belenggu atau bahkan alas di kakinya.***Ibunya terkejut melihat Slamet membuka wadah obat nyamuk cair dan mendekatnya ke mulutnya. "Tolong izinkan Yana dan anak Slamet kembali ke sini atau ibu akan melihat mayat Slamet!" teriak Slamet yakin.Ibunya mendelik! Tidak menyangka Slamet akan berbuat nekat seperti itu. "Turunkan obat nyamuk itu, Met. Bahaya!" Seru ibunya panik."Tidak Bu! Lebih baik Slamet mati saja jika Yana dan anak Slamet tidak pulang kesini!" Seru Slamet bertahan. Ibu menghela nafas. Merasa ragu apakah Slamet hanya akting saja demi membawa Yana dan anaknya pulang atau benar-benar berani meminum obat serangga itu."Met, ibu tahu. Kamu tidak akan senekat itu. Ibu tahu kamu bisa berpikir logis. Dan yang terpenting, ibu yakin kamu takut untuk meminumnya!" Kata ibunya yakin.Slamet terhenyak. Dia tidak menyangka jika ibunya tidak mu