Share

Bab 5. Dialog dengan Dokter

Aku menoleh keheranan saat perawat tersebut tidak berbelok ke ruang nifas, tapi melanjutkan langkahnya dan tak lama kemudian perawat yang mendorong Yana memasuki ruang ICU!

"Tunggu, kenapa tidak dibawa ke ruang nifas? Kata perawat di UGD tadi di UGD istri saya harus dibawa ke ruang nifas?" tanyaku bingung.

Perawat yang sedang mendorong tempat tidur beroda berhenti dan melihat sekilas ke arahku.

"Kondisi bu Yana masih belum stabil Pak. Masih butuh observasi ketat karena saturasi (kadar oksigen dalam darah) rendah, apalagi bu Yana mengalami anemia berat. Jadi harus dirawat di ruang ICU terlebih dahulu,"

Penjelasan perawat membuatku tercenung. Seluruh lantai yang kupijak kurasakan goyah.

"Berarti tidak bisa dijenguk ya Sus?" tanyaku lirih.

"Belum bisa Pak. Nunggu kondisi pasien membaik terlebih dahulu kemudian pindah ke ruang nifas. Baru boleh dijenguk," tukas suster itu lanjut mendorong Yana dan masuk ke ruangan ICU.

Aku hanya bisa terpekur di luar ruangan yang terpisah oleh dinding kaca melihat Yana yang mulai dipasangi entah alat apa saja di tubuhnya.

Kulirik ibu yang juga memandangi Yana. Tapi aku tidak tahu apa yang sedang ada di dalam pikiran ibu sekarang.

Belum puas aku melihat Yana dari luar dinding kaca, aku harus menahan kecewa karena tirai ruangan ditutup oleh suster.

"Ya sudah, Bu. Kita doakan saja semoga Yana dan anaknya Slamet bisa selamat,"tukasku sambil merangkul dan mengajak ibu untuk menjauh dari ICU.

"Keluarga pasien Yana?" sebuah suara menghentikan langkahku.

"Ya Sus?"

"Bisa bicara sebentar?" tanya suster dari ruang ICU tersebut lalu mengajak aku dan ibu untuk masuk ke ruangan perawat.

"Ada apa Sus?" tanyaku cemas.

"Pasien Yana mengalami anemia berat dan membutuhkan 4 kantong darah. Stok PMI kosong. Tolong cari pendonor dari kalangan keluarga atau teman, lalu silakan ajak ke PMI. Penting Pak, tolong diusahakan sekarang,"

"Ba-baik," sahutku terbata.

"Kalau begitu, saya permisi dulu. Silakan surat pengantar ke PMI ini dibawa sekalian," perawat itu mengulurkan sebuah amplop padaku.

Aku tertegun tapi tak urung juga aku mengambil amplop tersebut.

Aku lalu mengajak ibu keluar dari ruang perawat ICU tersebut.

"Met, gimana ini? Ibu bingung mau cari pendonor darah untuk Yana," kata ibu.

"Slamet juga bingung, Bu. Sebentar Slamet mau mikir dulu. Nyari siapa saja yang kemungkinan bergolongan darah B,"

"Duh, si Yana ini ngerepotin. Masih hamil muntah-muntah terus, sekarang setelah melahirkan juga bikin bingung. Kesel,"

Aku terdiam. Sebenarnya ingin membela Yana tapi tidak kuasa membantah perkataan ibu.

"Ibu dulu waktu hamil, melahirkan, menyusui sehat banget. Semua yang diperintahkan mertua, ibu laksanakan. Gak pernah mual muntah, waktu hamil juga nyuci di sungai dan masih selamat. Gak manja kayak istrimu,"

"Bu, tolong berhenti ngomel sebentar. Slamet sedang berpikir bagaimana mencari pendonor," tukasku akhirnya.

Ibu tampak merengut tidak suka. "Jadi gara-gara Yana kamu sekarang berani membantah ibu? Tega kamu sama ibu yang telah mengandung dan melahirkan kamu,"

Aku menghela nafas. Serba salah  dengan ibu. "Ibu, selama ini Slamet patuh dengan perintah ibu. Izinkan Slamet kali ini saja menunaikan kewajiban Slamet sebagai suami. Ini bukan semata-mata hanya demi Yana. Tapi untuk anak Slamet. Slamet tidak mau anak Slamet kehilangan ibunya,"

"Kalau ibunya mati, lebih baik kamu kawin lagi sama perempuan yang subur, pant*tnya besar biar bisa dilalui bayi,"

"Ibu, tolonglah. Kali ini saja, jangan menganggu Slamet untuk menolong nyawa Yana," pintaku memelas.

Ibu mendengus tapi akhirnya memilih diam sambil membuang muka.

Aku segera menghubungi kedua kakak Yana.

Yana memang anak bungsu. Sama sepertiku. Sebenarnya aku sangat takut menghubungi abang dan mbaknya. Abangnya pendiam. Tapi aku pernah melihatnya marah sekali. Dan terlihat menyeramkan.

Kakak perempuannya apalagi. Cerewet minta ampun. Tapi aku harus berani menghubungi kedua kakak Yana.

Akhirnya aku menelepon mas Ali dan mbak Dina tentang kondisi Yana. Tentu saja aku menutupi soal rumput tetangga, eh rumput fatimah itu.

Mereka sangat terkejut saat kuberitahu bahwa Yana perdarahan karena malas olahraga sebelum persalinan. Biarlah yang penting sekarang nyari aman dulu.

Dan yang paling kutekankan adalah jangan sampai kedua kakak Yana yang tinggal masih satu kabupaten denganku berbicara dengan orang tua Yana.  Aku berdalih agar tidak membuat mereka cemas.

Bapaknya Yana dengan kumis tebal macam abang Jampang sangat galak. Untung saja dia tinggal di luar kabupaten. Kira-kira berjarak 3 jam dari rumah.

Mas Ali dan mbak Dina menyanggupi segera datang dan membawa saudara lain yang bergolongan darah sama dengan Yana.

Baru saja aku menghembuskan nafas lega saat sebuah suara memanggilku.

"Keluarga pasien Yana, dipanggil dokter kandungannya,"

"Ya Sus," sahutku pendek lalu mengajak ibu untuk masuk ke ruangan dokter.

"Istri bapak mengalami perdarahan serius dan stok darah di PMI kosong. Apa sudah dicarikan pendonor?" tanya dokter kandungan tersebut.

"Sudah dokter,"

"Dok, apa yang menyebabkan kepala cucu saya tidak mau segera turun? Apa karena selama hamil, mantu saya tidak mau minum jamu dan minum minyak goreng saat akan bersalin?" tanya ibuku tiba-tiba.

Aku terkejut dan dokter itu sepertinya lebih terkejut lagi.

"Siapa yang nyuruh kalau ibu hamil harus minum jamu atau minyak? Bidan mana yang bilang seperti itu suruh ngadep saya!" seru dokter itu marah.

"Ma-maaf Dok, saya cuma bertanya saja. Karena dulu saya sering minum jamu saat hamil dan minyak goreng saat akan bersalin akhirnya saya bisa melahirkan dengan lancar. Dan mantu saya ini sama sekali tidak mau menuruti perkataan saya,"

"Untung mantu ibu tidak nurut. Dan untung ibu dan anak-anak ibu selamat! Ibu hamil tidak boleh minum jamu!"

Kini giliran ibu yang tercengang. "Kok bisa Dok?"

Lah ibu berani bener ngebantah dokternya.

"Apa ibu tahu jamu gendongan dan jamu kemasan yang mengandung banyak endapan itu dapat mengeruhkan dan mambuat bau air ketuban atau banyu kawah. Sehingga berisiko melahirkan bayi dengan asfiksi neonatorum. Ibu tahu asfiksia neonatorum itu apa? Asfiksia neonatorum itu adalah kekurangan oksigen dan kesulitan bernapas pada bayi baru lahir sehingga mengakibatkan kerusakan organ, seperti paru-paru, otak, hati, ginjal.

Bahkan ramuan yang dibuat sendiri pun juga bisa  bahaya, misalnya terlalu banyak mengkonsumsi kunyit pada hamil muda bisa mengakibatkan perdarahan dan kelahiran prematur. Sama juga dengan jahe, walaupun bisa meredakan gejala mual muntah pada awal kehamilan, namun bila dikonsumsi berlebih bisa memicu diare dan penggunaan berlebihan bisa menganggu penyerapan obat-obatan medis. Emang kalau bikin jamu sendiri, benar-benar ditimbang sesuai standar? Pasti dikira-kira kan? Apa menjamin sesuai dosis?" Jelas dokter panjang lebar.

Belum sempat ibu membuka mulut, dokter sudah menyela lagi. "Lalu sebelum bersalin minum minyak goreng biar apa? Kepala bayi cepat turun soalnya rahimnya licin? Kenapa sekalian nggak minum oli saja? Lebih licin kan? Tidak ada hubungannya minum minyak goreng dengan kecepatan penurunan kepala bayi,"

Aku dan ibu berpandangan.

Mampus!

Catatan Kaki :

*Dibeberapa daerah masih ada mitos minum jamu saat hamil dan minyak goreng saat bersalin. Sudah dijawab pak dokter ya.

*Beberapa orang juga berpendapat kalau orang dengan pant*t besar itu subur. INI JUGA MITOS ya. Nyatanya banyak perempuan dengan tinggi kurang dari 150 cm dan pant*t biasa saja bisa hamil berulangkali dan lahir normal. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Arken
gara2 si rumput Fatimah ini aq akhirnya SC, pdahal ank prtama normal ukurn bayi jg jauh lebih besar...
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Dsr ndak berpendidikan ngeyel pula
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status