Bab 5
Kalau Mbak Niken nanti akan ngadu ke Mas Andra, terserahlah. Aku nggak peduli. Sebenarnya males ngeladeni Mbak Niken. Tapi, sungguh hati ini kesal dan tak terima, dengan ucapan Mbak Niken tadi.
Padahal cuma gara-gara beli sofa, dia seolah kebakaran jenggot. Panas hati itu lebih mengerikan. Di banding panas badan.
Tapi, aku memang ingat betul, dulu awal aku beli TV, dia tak berselang lama juga ikut beli. Bahkan dia beli yang ukuran jauh lebih besar dari yang aku punya.
"Nanggung beli TV yang kecil, sama-sama ngeluarin duit, sekalian lah yang besar!" ucap Mbak Niken kalau itu.
Aku hanya bisa mengulas senyum dan manggut-manggut saja. Tak begitu menanggapi. Karena bagiku, penting punya TV. Kasihan Dika, sering main ke rumah tetangga, karena hanya demi nonton film kartun kesayangannya.
Waktu aku beli kulkas ukuran kecil, juga sama. Dia ngambil kulkas juga yang ukuran jumbo. Dua pintu. Dengan bangga dia bercerita.
"Halah ... Ka ... nanggung beli kulkas yang kecil. Sekalian yang gede puas. Kalau kulkas kecil gitu, nggak puas juga ngisinya," seperti itulah ucapan Mbak Niken kala itu.
Aku juga sama. Masih diam, nggak begitu menanggapi. Tapi kali ini, aku beneran emosi tentang sofa ini.
Ya Allah, maafkan hamba, jika hari ini harus adu mulut dengan Mbak Niken. Tapi mau gimana lagi, emosi di hati sudah tak bisa terkontrol lagi.
Nanti kalau Mas Firman sudah pulang kerja, biar aku jelaskan terlebih dahulu. Takutnya Mas Andra dan bininya ke sini, Mas Firman bingung karena nggak tahu apa-apa. Nggak tahu masalahnya.
Semoga saja Mas Firman nggak marah. Bisa ngerti gimana sakitnya hati ini, makanya aku berani menjawab. Karena di diam-diamkan, Mbak Niken jadi semena-mena.
"Ma, minta duit!" ucap Dika. Aku menoleh ke arah Dika.
"Beli bakso bakar, Ma. Dua ribu aja!" jelas Dika. Aku mengangguk sejenak. Kemudian membuka laci. Mengambil uang dua ribu yang Dika minta.
"Makasih, Ma!" teriak Dika, saat menerima uang dua ribu yang aku kasih. Aku mengangguk sambil mengulas senyum.
Dika terlihat berlalu. Aku mengikutinya dan duduk di teras. Ya, memang ada penjual bakso bakar yang lewat. Zaki juga ikut beli.
"Kamu beli berapa?" tanya Zaki.
"Dua ribu," balas Dika.
"Mamamu pelit! Aku looo beli lima ribu!" sahut Zaki.
"Nggak! Mamaku nggak pelit. Memang aku minta duitnya dua ribu!" balas Dika.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala saja, melihat percakapan mereka.
"Ini bakso bakarnya!" ucap penjualnya. Dika dan Zaki saling menerima. Kemudian memberikan uangnya masing-masing.
Setelah menerima bakso bakarnya, Dika dan Zaki berlalu ke rumah masing-masing. Aku lihat Mbak Niken duduk santai di teras. Dia nampaknya baru selesai mandi.
"Ma, Dika beli bakso bakarnya cuma dua ribu," Zaki mengadu kepada mamanya. Ya Allah, Zaki ini masih kecil, tapi terkadang ngeselin ucapannya.
"Iya, duit mamanya udah habis untuk beli sofa. Kaya karena pelit. Untuk jajan anak aja pelit!" jawab Mbak Niken. Entahlah, terdengar ngeselin di telinga. Tapi, lagi nggak mood nanggapinya.
Allahu Akbar. Itu mulut saat lahir dulu, di brokohi nggak sih? Kok ada manusia kayak gitu. Hidup dan punya anak lagi.
"Zaki udah nggak mau sofa lagi, Ma. Ntar duit Mama habis. Zaki nggak mau jajan cuma dua ribu," balas Zaki.
"Iya, nggak usah beli sofa. Bikin sempit ruangan juga!" balas Mbak Niken. Entahlah tujuan dia apa? Nyindir? Bukan nyindir lagi, sih, tapi memang terang-terangan.
"Mama mau nggak bakso bakarnya?" tanya Dika. Aku menggeleng.
"Nggak, Sayang! Mama nggak pengen," jawabku. Dika terlihat manggut-manggut.
"Haduh ... kaya karena pelit!" teriak Mbak Niken. Nggak tahu apa maksudnya. Karena setelah ngomong seperti itu dia beranjak dan masuk ke dalam rumahnya.
"Bude Niken itu kenapa Ma? Teriak sama siapa?" tanya Dika. Mungkin dia bingung.
"Nggak tahu, mungkin lagi telponan!" jawabku asal. Dika terlihat memperlihatkan giginya. Kemudian menghabiskan bakso bakarnya.
"Sudah selesai makan bakso bakar, mandi, ya!" titahku.
"Siap, Ma!" balas Dika. Kemudian aku mengelus kepala anak lanang.
Ya Allah, terimakasih, telah Engkau hadirkan Dika dalam hidup hamba. Semoga kelak akan menjadi anak yang sholeh dan berguna bagi, agama, nusa dan bangsa.
Aamiin.
**********
Aku dan Dika sudah selesai mandi. Sambil menunggu Mas Firman pulang, aku dan Dika bersantai duduk di sofa.
Makan malam juga sudah aku siapkan. Jadi santai sudah.
"Ma, belikan mainan baru!" pinta Dika. Sambil bibir mengerucut. Seperti itulah gaya Dika jika ingin meminta sesuatu.
"Tunggu ayah ganjian, ya!" jawabku. Dika mengangguk.
"Ok, Ma!" balas Dika.
Ya, Dika memang seperti itu. Dia kalau minta sesuatu, masih bisa di janjiin. Nggak langsung harus saat ini juga.
"Kok, ada mobil, ya, Ma?" tanya Dika. Aku menoleh ke arah halaman rumah. Ternyata benar. Ada mobil pikc up terparkir di halaman rumah.
Aku dan Dika keluar. Penasaran dengan mobil pick up itu.
Tak berselang lama, Mas Firman datang mengendarai motor.
"Beli springbed, Mas?" tanyaku. Mas Firman mengangguk.
"Iya, sudah waktunya Dika kamar sendiri," jawab Mas Firman. Aku mengangguk. Entahlah, tetiba mata ini melirik ke arah rumah Mbak Niken.
Mata ini melihat Mbak Niken berdiri di teras rumahnya. Celingukan memperhatikan mobil pick up yang bertengker di halaman rumah. Yang mana terlihat ada springbed baru, masih terbungkus plastik. Kemudian aku lihat Zaki berlalu mendekat.
"Dika, beranikan tidur di kamar sendiri?" tanya Mas Firman kepada anak lanangnya.
"Berani dong, Yah! Jagoan!" jawab Dika.
"Siipppp ... jagoan memang harus berani!" balas Mas Firman.
"Beli springbed baru?" tanya Zaki kepada Dika.
"Iya, Dong! Kata Ayah aku harus tidur di kamar sendiri!" jawab Dika.
"Kamu nggak takut?" tanya Zaki.
"Nggak dong! Kata Ayah, jagoan nggak boleh takut!" jawab Dika.
"Buatkan teh manis nggak, Mas?" tanyaku.
"Buatkan untuk Mas saja. Yang nuruni springbed sudah Mas belikan rokok," jawan Mas Firman. Aku mengangguk.
Aku lihat Zaki berlalu. Mbak Niken masih di tempat semula. Berkali-kali aku lihat bibirnya mencebik. Bodo amatlah dengan Mbak Niken.
"Ma, Zaki ingin tidur di kamar sendiri. Belikan springbed kayak Dika!" teriak Zaki.
Hemmm, Zaki ini lama-lama mirip mamanya. Apapun yang Dika punya dia juga harus punya. Bahkan harus yang lebih bagus juga.
*******
"Mas, beli sofa baru, Mas udah gajian?" tanyaku. Mas Firman menggeleng.
"Belum, Dek. Arisan kantor hari ini nama Mas yang keluar. Akhirnya beli springbed saja. Untuk Dika. Sudah waktunya dia belajar tidur sendiri," balas Mas Firman. Aku mengulas senyum. Kemudian manggut-manggut.
"Man," terdengar suara memanggil. Suara yang sangat khas. Suara Mas Andra. Tapi nada suara itu terdengar seolah lagi marah.
Mampus! Mau apa dia ke sini? Aduh ... mana aku belum cerita lagi, sama Mas Firman tentang adu mulutku dengan Mbak Niken tadi. Karena tadi di repotkan dengan springbed baru. Akhirnya membersihkan calon kamar Dika. Dan lupa mau cerita.
Ya Allah, semoga nggak akan ada adu mulut.
*******
BAB 6"Masuk, Mas!" Mas Firman mempersilahkan kakaknya masuk. Ya, aku melihat wajah Mas Andra memerah."Hemm," balas Mas Andra. Suaranya terdengar tak bersahabat. Seolah lagi kesal.Aku mengajak Dika masuk ke kamar barunya. Biar tak mendengarkan obrolan Ayah dan pakdenya. Nggak bagus untuk pertumbuhannya, kalau pakdenya kesini ngajak adu mulut. Tapi, semoga saja nggak ngajak adu mulut."Dika bobo, ya! Mama mau buatin kopi Pakde dulu!" ucapku pada Dika."Iya, Ma!" balas Dika."Nggak takutkan?" tanyaku memastikan. "Nggak dong, Ma!" balas Dika, dengan gaya jagoannya."Anak Mama memang pinter," ucapku, seraya mengelus kepala anak lanang.Senyumnya terlihat, kemudian aku kecup kening anak semata wayangku itu.Setelah itu, baru aku berlalu, segera menuju ke dapur. Membuatkan Mas Andra kopi dulu. Ntar di sangka pelit lagi. Bertamu tak ada air yang keluar. Mereka terdengar sedang ngobrol. Tapi, nggak jelas mereka ngobrol apa. Aku fokus membuatkan kopi dulu, untuk kakak ipar.Kalaupun mau ng
Bab 7"Mbak Niken, akhir-akhir ini, aku lihat kurusan, ya!" ucap Mak Sugiyem. Tetangga."Iya, Mbak Niken nampak kurusan," sahut Mak Gati. Penjual sayur keliling.Ya, kami sedang membeli sayuran siang ini. Beli sayuran siang, untuk di masak besok pagi. Seperti itulah, kami amankan dulu sayur mayurnya di kulkas. Jadi pagi tak mikiri lagi, mau masak apa. Tinggal eksekusi.Aku memilih diam. Males banget menanggapi ucapan tentang Mbak Niken. Lagian hati ini masih kesal tentang hal kemarin. Tapi, ikuti saja alurnya. Pura-pura akur. Hi hi hi hi."Aku ini sedot lemak. Diet! Biar nggak gemuk-gemuk banget!" ucap Mbak Niken dengan gaya kemayunya. Aku tetap memilih sayuran yang akan aku beli. Tapi, telinga tetal mendengarkan.What? Sedot lemak? Sejak kapan? Seriusan? Entahlah, tapi hati ini tetap nggak percaya dia sedot lemak."Owh, sedot lemak?! Sakit nggak?" tanya Mak Giyem. Dia memang suka banget nanggapi ucapan Mbak Niken. Suka juga nanggapi ucapanku. Entahlah apa maksudnya."Sakit, Mak! Tapi
Bab 8"Mbak Niken sedot lemak?" tanya Mas Firman, memastikan ucapanku. Karena aku baru saja selesai cerita, tentang pengakuan Mbak Niken tadi."Iya katanya, Mas," ucapku. Mas Firman terlihat mencebikan mulutnya. Raut wajahnya, seolah tak percaya. Sama, sih, aku sendiri juga tak percaya. Ha ha ha."Kalau bisa sedot lemak, berarti banyak duit," ucap Mas Firman. "Itulah, tapi nyatanya Mas Andra utang duit ke sini untuk beli motor," balasku.Mas Firman menyeruput kopinya. Aku sendiri, juga ikut menikmati teh manis. Dika aku lihat fokus dengan acara TV yang dia lihat."Biarlah, Dek! Kayak nggak ngerti lagunya Mbak Niken saja!" ucap Mas Firman, setelah meletakan gelas kopinya di atas meja."Iya, sih, Mas. Tapi kok segitunya banget, ingin diakui kaya!" ucapku. Mas Firman mengulas senyum."Biar saja! Yang penting kamu nggak," balas Mas Firman."Insyaallah, nggak Mas. Aku saja malu sendiri dengarnya!" ucapku. Mas Firman manggut-manggut. "Iya, Sayang! Buat pelajaran saja. Pelajaran hidup, buk
BAB 9Dua hari ini keadaan sepi. Mbak Niken yang biasanya banyak ngomong dan sering datang ke rumahku, kini dia tak menampakan diri.Zaki juga tak terlihat datang. Tapi, aku lihat mereka ada di rumah. Dan motor yang dibawa pick up itu, juga tak nampak kembali. Mas Firman juga sudah aku kasih tahu. Tapi, suami juga tak tahu kenapa motor itu di bawa pick up.Dua hari tak dengar suara mereka, alhamdulillah tenang. Tapi juga penasaran. Ada apa? Tumben! Berasa ada yang hilang. Hi hi hi."Dek, semoga hari ini gajian. Kamu mau di belikan apa?" tanya Mas Firman."Apa, ya?" tanyaku balik, dengan mengerutkan kening."Terserah kamu. Perabotan dapur misal," ucap Mas Firman. "Emmm, belikan Dika mainan baru. Sama blender, ya!" jawabku akhirnya."Sipp!" balas Mas Firman. Aku mengulas senyum. Ya, seperti itulah Mas Firman. Setiap gajian PT selalu menyisihkan beli sesuatu dulu. Biar perabotan rumah juga nambah. Jadi nggak habis untuk makan saja.Semoga akan selalu begini rumah tangga kami. Tenang d
Bab 10Dengan rasa penasaran, aku masuk ke rumah Mbak Niken. Dua hari tak jumpa. Tak mendengar celotehan ngeselinnya. Ada yang hilang rasanya, ha ha ha.Kata Mas Andra, dia sakit, bisa jadi sakit karena kesakitan gegara sedot lemak. Kalau nggak, mungkin demam karena shok, motornya di tarik leasing. Atau bisa saja perasaan sendiri, karena malu. Sudah kowar-kowar mau beli motor baru, malah motor lama melayang tarik leasing. Menyedihkan sekali Bude. "Duduk dulu!" perintah Mas Andra. Kami mengangguk. Kemudian duduk di atas karpet ruang tamunya. Mas Andra terlihat melangkah menuju kamarnya. Aku mengedarkan pandang. Walau bersebelahan, aku jarang masuk ke rumah Mbak Niken. Yang ada hampir tiap hari, Mbak Niken ke rumahku. Apalagi kalau ada barang baru. Hemmm, sehari bisa dua sampai tiga kali, datang ke rumah."Ka, kamu ikut antar ke rumah sakit, ya! Naik belakang. Mbakmu lemes," pinta Mas Andra."Iya, Mas!" balasku. Setelah Mas Firman mengangguk seraya menatapku."Yaudah. Bantu mbakmu ke
Bab 11Malam semakin dingin. Pulang dari rumah Mbak Niken, kami lansung berbaring di kamar. Dika sudah berada di kamarnya. Mas Firman aku lihat dia belum tidur. Matanya masih menatap langit-langit. "Mas.""Hemm.""Mikirin apa?""Mikirin Mas Andra," jawabnya, dengan sorot mata yang masih menatap langit-langit.Aku menggeserkan badan, mendekat. Mas Firman menyambutku, dia mengelus pelan kepalaku. "Nggak nyangka aku kalau Mbak Niken sakit," ucapku. Mas Firman mengangguk."Iya, Dek, sama!" balasnya. Aku menghela napas sejenak. "Semoga Mas Andra kuat," ucapku."Iya, aamiin. Kalau menurut, Mas, Mbak Niken itu memaksakan keadaan. Jadi seperti itulah jadinya," ucap Mas Firman."Entahlah, Mas. Aku juga nggak habis pikir," balasku."Iya, dan Mas Andra selalu menuruti keinginan istrinya. Bagus sih, tapi kalau nggak mikir keadaan dan kemampuannya, kan rusak sendiri," ucap Mas Firman. "Iya, Mas. Semoga saja setelah mendapat penyakit itu, Mbak Niken bisa intropeksi diri, dan bisa sedikit menge
Bab12Kopi untuk suami tercinta sudah tersedia. Mas Firman masih berada di dalam kamar mandi. Terdengar suara guyuran air menyentuh lantai.Dika sudah aku panggil masuk. Karena sudah sore. Zaki sudah pulang juga. Masih ngantri dulu sama ayahnya. Karena Dika memang seperti itu. Kalau lagi susah di suruh mandi, maka payah juga nyuruh dia mandi.Tapi, kalau lagi senang mandi, tanpa di suruh, sebelum ayahnya pulang kerja, dia sudah bersih."Tuh, Ayah sudah selesai mandi. Sana buruan mandi!" titahku. Karena mata ini melihat Mas Firman, baru saja keluar dari kamar mandi."Iya, Ma!" balas Dika. Kemudian dia segera beranjak. Dan berlalu menuju ke kamar mandi."Bajunya sudah aku siapkan, Mas. Aku letakan diatas ranjang!" ucapku."Iya," balas Mas Firman seraya masuk ke dalam kamar. Aku sendiri juga belum mandi. Biarkan Dika dulu. Habis Dika barulah aku. Emak belakangan saja. Yang penting semuanya sudah beres semua.********"Assalamualaikum!" terdengar suara salam. Suara yang tak asing juga di
PART 13"Maaf, Mas, aku nggak sanggup jika harus mengambil alih masalah Mas Andra," ucapku, setelah Mertua pulang. Karena aku memang tahu betul, bagaimana perekonomian kami.Mas Firman terlihat mengangguk. Kemudian mengusap wajahnya pelan."Iya, Dek. Mas juga merasa nggak sanggup," balas Mas Firman."Punya sangkutan sama Bank itu, hidup kita nggak akan tenang, Mas. Apalagi segitu banyak! Sebulan itu cepat, tahu-tahu udah jatuh tempo saja," ucapku yang mana dada ini masih terasa sesak. Tangan kanan berkali-kali menekan dada."Iya, dan kita selama ini nggak pernah berurusan sama Bank. Tapi, kasihan Bapak dan Ibu," jelas Mas Firman. Aku mengangguk pelan. Menyetujui ucapan yang bilang, kasihan dengan mertua."Aku juga kasihan sama Bapak dan Ibu. Tapi, kita bisa apa?" tanyaku balik. Mas Firman mengangguk."Iya, kita bisa apa? Dengan gaji Mas yang hanya segitu," balas Mas Firman. "Yaudahlah, kita istiahat dulu! Kita pikirkan lagi besok! Karena ini sudah waktunya tidur," pintaku. Mas Firman