Share

Bab 4

Bab 4

Setelah Mas Andra pulang dengan membawa amarahnya, karena nggak dipinjemin duit, akhirnya aku keluar dari kamar. Mendekati Mas Firman. 

Aku lihat Mas Firman sedang mengusap wajahnya pelan. Menghela napas sejenak.

"Mas."

"Iya?" balasnya seraya menoleh ke arahku. 

Aku memilih duduk di sebelahnya. Memberikan senyum termanis. Karena aku lihat wajahnya tertekuk. Mungkin emosi dengan ucapan kakaknya tadi.

"Makasih, udah mau jawab ucapan Mas Andra," ucapku.

Makasih? Ya, aku sangat berterimakasih, Mas Firman mau menjawab dengan tegas, semua ucapan kakak kandungnya itu. Karena biasanya Mas Firman ini diam. Kalau nggak diam, ya mau minjami uang. Bahkan rela nggak punya uang, demi bisa minjemi kakaknya itu.

"Sekali-kali lah, mentang-mentang adik, masa mau di akal-akali terus," balas Mas Firman. Aku manggut-manggut.

Ya, memang dulu Mas Andra pernah minjem duit juga. Waktu itu untuk biaya Zaki di rumah sakit. Karena demam. Nggak banyak sih, sekitar lima ratus ribu. Karena memang Zaki sakit, kami pinjami. Sampai sekarang apa kabar uang itu? Nggak ada kabar. Anggap saja sedekah. Padahal ijab qobulnya dia minjam. 

Tapi biarlah, Zaki adalah keponakan kami. Yang mana sama seperti anak sendiri. Nggak dibalikin, ya, sudah. Rejeki sudah Allah yang ngatur. Nyatanya kami tak kekurangan makan.

Tapi, yang bikin kesal, dia seolah lupa akan hal itu. Kalau lihat kami, sedikit kesusahan, mereka tak ada bantu, malah seolah menertawakan. Astagfirullah.

"Lagian, kalau nggak sanggup beli motor baru, nggak usah lah terlalu dipaksakan! Sakit sendiri ujung-ujungnya," ucap Mas Firman lagi. Aku hanya manggut-manggut saja. 

"Kemarin aku dengar mereka bertengkar, Mas. Karena Mbak Niken minta dibelikan motor baru," ucapku. Mas Firman terlihat mengangkat alis.

"Gitu bilangnya, aku suami-suami takut istri. Yang ada dia yang takut sama istri," balas Mas Firman. Aku tertawa lirih mendengarnya.

"Sayang istri, Mas. Bukan takut istri," ucapku masih dengan tawa lirih.

"Halah ... alasan!" sahut Mas Firman. Kemudian dia mengusap wajahnya lagi.

"Yok tidur! Besok pagi masih harus kerja!" ajak Mas Firman.

"Yok!" balasku. Kemudian kami beranjak, dan berlalu menuju ke kamar.

Ya Allah, kalau punya uang lebih, rasanya ingin beli rumah baru, yang jauh dari Mbak Niken. Ini tanah warisan, yang mana kata Mas Firman, sampai kapanpun, nggak akan di jual. Kalau bisa, bisa beli lahan sendiri.

Aamiin.

*********

Pagi ini, suasana sangat sejuk sekali. Dengan ditemani teh hangat dan sepiring pisang goreng, kami duduk santai di sofa. 

Dika terlihat menggelendot di lengan ayahnya. Iseng saja aku mengabadikan moment itu. 

Isengku pun berlanjut. Kemudian memposting foto anak dan suami ke sosial media. Dengan memberikan captions termanis.

[Ngeteh di pagi hari, bersama keluarga kecilku,] 

Seperti itulah, jempol ini mengetik. Mengupload foto anak dan suami. Tak ada fotoku. Karena akulah foto grafernya.

Like dan komentar saling berdatangan. Ada yang memberikan emot love.

[Sama Mbak Eka, aku juga lagi ngeteh bareng keluarga kecil,]

[Cieee, semoga Dika segera dapat adik, ya!]

[Salfok sama pisang gorengnya!]

 

[Eka ... kamu kok nggak ikut foto?]

Dan masih banyak lagi komentar yang berdatangan. 

"Dek, pagi ini masak apa?" tanya Mas Firman. Seketika aku meletakan gawai di atas meja. 

"Ikan sarden, Mas. Udah mateng, kok, mau sarapan?" jawab dan tanyaku balik. Mas Firman terlihat mengulas senyum.

"Boleh, yok kita sarapan! Karena Mas juga harus berangkat kerja," jawab dan ajak Mas Firman.

"Ayok!" balasku. 

"Ayok Dika, kita sarapan!" ajak Mas Firman kepada anaknya.

"Gendong, Yah!" balas Dika. Nampaknya ingin bermanja dia dengan ayahnya.

"Kamu itu udah besar looo ... Ayah udah nggak kuat gendong kamu!" balas Mas Firman.

"Bohong! Gendong Mama aja Ayah kuat, masa gendong Dika Ayah nggak kuat!" balas Dika.

"Eh, kapan Ayah gendong Mama?" tanya balik Mas Firman. Aku jadi ikut mengerutkan kening. Mikir juga, kapan aku di gendong Mas Firman?

"Dulu itu, Yah! Dulu lama!" jawab Dika sambil cengengesan.

"Halah ... ngeledek kamu ...." balas Mas Firman.

"Ha ha ha," tawa Dika meledak. Aku hanya bisa senyum-senyum nggak jelas, melihat kekonyolan Bapak dan anak itu.

**********

Mas Firman sudah berangkat kerja, tak lupa aku membawakan bontot untuk makan siang nanti. Biar nggak banyak pengeluaran.

Pekerjaan rumah sudah selesai. Juga sudah mandi. Dika belum sekolah. Insyaallah, tahun depan dia TK. Zaki harusnya udah sekolah, tapi dia nggak mau. Katanya ingin bareng sama Dika. Biarlah, suka-suka mereka. Orang tuanya juga tak ada masalan. Padahal kalau dilihat dari umurnya, memang sudah waktunya Zaki sekolah.

Dika seperti biasa, main mobil-mobilan dan robot-robotan. Seperti biasanyalah. Karena jenuh, akhirnya aku membuka efbe. Melihat kembali postingan yang tadi aku unggah.

Banyak sekali pemberitahuan yang masuk. Dan mata ini menyipit saat melihat nama Niken Maula, mengomentari foto anda.

Hah? Mbak Niken komen apa? Semoga aja nggak bikin jleb di hati.

[Uhuk uhuk uhuk, pamer sofa baru ....] 

seperi itulah komentar dari Mbak Niken. Aku kemudian menghela napas sejenak. Siap membalas.

[Iya, dong, Bude! Ha ha ha,] 

seperti itulah aku membalas komentar Mbak Niken. Sengaja manggil Bude, panggilan Dika kepadanya. 

Entahlah, gimana reaksi dia sesungguhnya. Yang jelas kalau di halayak ramai, dia seolah ingin terlihat waow dan juga ingin terlihat akur dengan saudara.

************

Sore ini, aku mengangkat jemuran. Jemuran ini ada sebelah kanan rumah. Dan Mbak Niken juga sama. Mengangkat jemuran juga.

"Eka, jangan suka pamer di pesbuk. Nggak bagus!" ucap Mbak Niken tiba-tiba.

"Siapa yang pamer, Mbak?" tanyaku balik. Masih terus menarik baju-baju yang udah kering dari gantungan. Karena aku memang merasa tak ada pamer.

"Ya kamu to! Sofa murahan aja di pamerkan di pesbuk. Nggak malu kamu?" jawab dan tanya Mbak Niken.

Jleb! Sungguh sakit sekali hati ini. Aku berusaha menekan dada yang sudah terasa bergemuruh hebat.

"Mbak kamu ini kenapa, sih? Suka-suka aku mau pamer atau nggak! Biarlah sofaku murahan. Yang jelas kami belinya nggak hutang! Dari pada kamu, Mbak. Mau beli motor saja, suamimu sampai ngutang kerumahku!" sungutku.

Sungguh aku sudah tak bisa mengontrol emosiku lagi. Terlalu sering dia ikut campur dan menjelek-jelekan apapun yang aku punya.

"Apa maksudmu ngomong kayak gitu? Aku memang mau beli motor. Tapi nggak ngutang. Apalagi hutang ke kamu!" balas Mbak Niken tak kalah ngegas. Seolah tak terima. Aku menyeringai kecut. Sengaja.

"Apa, ya, maksudku ngomong kayak gini? Tanya sama suamimu itu! Ada tadi malam dia datang ke rumah minjam duit ke Mas Firman. Karena mau beli motor. Malu-maluin? Siapa yang harusnya malu? Kamu Mbak!" balasku. 

Tanpa menunggu balasan dari Mbak Niken aku segera berlalu. Menuju ke dalam rumah dengan perasaan yang tak bisa di jelaskan. Pokoknya kesal buanget.

Telinga ini juga masih mendengar, Mbak Niken mengumpat. Tapi, entahlah. Bodo amat. Dia sakit hati dengan ucapanku? Sama, aku juga sakit hati dengan ucapannya.

Astagfirullah. Segitunya orang nggak mau tersaingi. Karena ingin diakui kaya.

Allahu Akbar.

"Awas saja! Nanti aku tanyakan kepada Mas Andra. Pasti kamu fitnah!" sungut Mbak Niken lagi. Tutup telinga.

Jebreet! 

Menutup pintu dengan kasar. Emosi akuuu ... sama orang, yang maksa ingin diakui kaya.

*******

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Arief Mixagrip
super sekali
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status