Share

Bab 3

BAB 3

Aku lihat Mas Andra menstarter motornya. Belalu entah kemana. Rumah bersebelahan, jadi teriak sedikit saja terdengar. Makanya aku berusaha ngomong pelan, jika berbicara dengan anak atau pun suami. Karena biar tak terdengar.

Aku tetap pura-pura nggak dengar saja. Asik mengutak atik gawai.

Mbak Niken kemudian duduk di teras dia sendiri. Tangannya aku lihat, juga sedang memainkan gawai. 

Bibirnya aku lihat manyun saja. Mungkin dia masih kesal hati. 

"Zaki! Jangan buat kotor!" teriak Mbak Niken. 

Allahu Akbar! Kumat dia, kalau lagi kesal sama suaminya, anak pelampiasannya. Walau tangan dia nggak main pukul, tapi mulutnya lantang sekali. Terkadang Zaki sampai nangis, karena bentakan Mbak Niken.

Aku tak mendengar suara Zaki menjawab. Kasihan dia, takutnya saja suatu saat nanti mentalnya kena.

Ingin main, menenangkan pikiran, tapi motor di bawa kerja Mas Firman. Jadi mau tak mau berdiam di rumah. Mau main ke tetangga, membuat telinga semakin panas. Karena ujung-ujungnya ngomongin aib orang.

Ya, sebelah kiri rumah Mbak Niken. Sebelah kanan, rumah Mak Giyem. Mak Giyem lebih parah lagi. Betah banget kalau di suruh ghibah.

"Ka!" seketika aku menoleh, ke asal suara yang memamggil.

Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Mak Giyem main ke rumah.

"Eh, Mak Giyem! Sini Mak duduk!" pintaku. Mak Giyem ikut duduk tak jauh dari tempatku duduk.

"Welleeehh ... sofa baru!" teriak Mak Giyem. Ya, walau kami duduk santai di teras, tapi, kepala Mak Giyem melongok ke dalam.

Aku hanya nyengir. Nampaknya dia sengaja ngerasin suaranya, biar Mbak Niken denger. Mungkin looo, ya! Tapi, memang Mak Giyem seperti itu orangnya.

"He he he, alhamdulillah," jawabku, kemudian meneguk ludah.

"Ken! Buruan beli sofa! Masa' keduluan adiknya!" teriak Mak Giyem. 

Mampus! Ngapa lah Mak Giyem ngomong seperti itu. Mbak Niken bisa naik tensi nanti.

Mbak Niken aku lihat dia melangkah mendekat. Kemudian ikut duduk di antara kami.

"Lihat tuh, keren adikmu, cantik ruang tamunya!" ucap Mak Giyem lagi, dengan mata memandang ruang tamu. Nada suaranya, terdengar ngomporin. Kemudian melirik ke arah Mbak Niken. Seolah memastikan reaksi Mbak Niken.

"Ya, nggak apa-apa duluan Eka. Sebagai kakak, aku senang lihat adikku ada peningkatan," ucap Mbak Niken.

Seerrrr ....

Jantungku berdesir guys. Seperti itulah Mbak Niken. Ingin terlihat kaya dan terlihat akur dengan ipar di depan orang. Padahal aslinya? Hemm ....

Tapi baguslah, setidaknya dia tak menampakan persaingannya di depan tetangga.

"Tapi, jangan sampai kalah saing!" ucap Mak Giyem.

"Kita nggak saingan, Mak!" ucapku. Mak Giyem terlihat mencebikan mulutnya.

"Baguslah! Sebagai saudara memang harus kayak gitu! Harus saling dukung! Pokok jangan saling menjatuhkan. Ha ha ha," ucap Mak Giyem.

Akhirnya kami ngobrol nggak jelas. Seperti itulah Mbak Niken. Ekspresi mukanya memang beragam. Cocok kalau di suruh jadi artis.

***********

"Assalamualaikum, Dek!" telinga ini mendengar suara Mas Firman salam. Ya, memang itu suara Mas Firman. Memang sudah waktunya jam pulang.

"Ayah ...." teriak Dika. Seperti biasa, Dika berhambur memeluk ayahnya. Seolah kangen luar biasa.

"Waalaikum salam," jawabku, kemudian mencium punggung tangan suamiku. Meraih tas kecil yang biasa dia bawa kerja. 

"Ini, Ayah bawain Piza!" ucap Mas Firman. Memberikan kotak piza kepada Dika.

"Horeee pizaaa kesukaanku!" teriak Dika sambil menerima kotak piza itu.

Aku mengulas senyum, pun Mas Firman. Ya Allah, semoga rumah tangga kami, akan tetap seperti ini. Nyaman dan bahagia selamanya. Aamiin.

"Bentar, Mas, aku buatkan teh dulu," ucapku. Mas Firman terlihat mengangguk.

"Iya, Mas mau mandi dulu!" balas Mas Firman. 

Aku berlalu ke dapur setelah mengambil satu potong piza. Mas Firman terlihat berlalu ke kamar. Dan Dika, biarkan dia menikmati piza yang dibawakan ayahnya. 

*******

"Assalamualaikum!" terdengar suara salam. Kayaknya sih suara Mas Andra.

"Waalaikum salam," Mas Firman yang menjawab salam. Aku masih di dalam kamar. Baru selesai sholat isya. 

Dika sudah tidur. Karena hari ini dia tak tidur siang. Seperti itulah Dika. Kalau dia tak tidur siang, malamnya dia cepat terlelap.

Aku sengaja nggak keluar dari kamar. Aku rapikan mukena yang baru saja aku gunakan.

"Mas, ada apa?" tanya Mas Firman.

"Emmm, kamu ada simpenan duit nggak?" tanya balik Mas Andra. 

Walau aku di dalam kamar, telinga ini terus memantau. Duduk di tepian ranjang.

"Simpenan ada, sih, Mas, walau nggak banyak. Kenapa?" tanya Mas Firman balik. Aku masih fokus mendengarkan obrolan mereka.

"Mau pinjam, bulan depan aku kembalikan," jawab Mas Andra. 

Telinga ini tak mendengar ada sahutan dari Mas Firman. Entahlah, mungkin dia lagi mikir.

"Berapa?" tanya Mas Firman akhirnya. Walau agak telat.

"Nggak banyak sih, lima juta aja," jawab Mas Andra enteng.

Deg.

Sungguh hati ini seketika merasa sesak. Aku segera menekan dada. Karena bagiku, lima juta itu banyak. 

"Simpenanku nggak nyampe segitu, Mas!" ucap Mas Firman. Huuuhhh  ... hati ini sangat lega. Kalau pun ada, tak rela uang itu di pinjamkan ke mereka. Ucapan mereka selama ini, hanya bikin sakit hati.

"Masa' uang segitu saja nggak ada sih? Istrimu aku lihat pakai kalung. Aku pinjem dulu lah! Bulan depan pasti aku balikin!" ucap Mas Andra. 

Jleb!

Lagi, hati semakin merasa sesak. Seketika tangan meraba kalung yang aku pakai. Kalung yang penuh perjuangan aku membelinya. Nabung hingga berhemat sedemikian rupa.

"Itu kalung Eka, Mas. Nggak mungkin aku memintanya menjual!" ucap Mas Firman. Huuuhhh ... lega juga hati ini mendengar ucapan Mas Firman.

"Kamu itu berubah semenjak punya istri. Gitu aja takut banget sama istri. Kalung itu juga kamu kan yang beliin!" ucap Mas Andra.

Aku hanya bisa meneguk ludah. Ini sudah di luar batas kata wajar menurutku.

"Maaf, Mas, bukannya takut sama istri. Tapi, kalung itu tabungan Eka. Karena dia menyisihkan uang belanja!" ucap Mas Firman.

"Iya, tapi uang belanja itu juga kamu yang ngasih, kan?" tanya Mas Andra.

"Memang iya, tapi memang itu sudah kewajibanku. Kalau habis, ya, nggak masalah karena memang untuk makan, kalau bisa menabung, itu ya milik Eka," jawab Mas Firman.

"Halahh ... kamu itu suami-suami takut istri!" ledek Mas Andra.

Rasanya, amarah hati ini sangat memuncak. Ingin sekali aku datangi dan aku maki. Tapi, aku masih berusaha menguatkan hati yang sudah emosi.

"Bukan takut istri, tapi memang aku nggak mau, ngungkit-ngungkit tabungan Eka. Emang uang sebanyak itu untuk apa?" tanya balik Mas Firman.

"Untuk tambahan beli motor. Aku malas beli kredit. Bikin pusing kalau kredit, kasihan mbakmu, jenuh di rumah kalau siang. Karena motor aku bawa kerja," jawab Mas Andra.

"Ya sama aja dengan Eka, Mas. Kalau siang jenuh di rumah, nggak bisa kemana-mana karena motor aku bawa kerja! Berarti Mas yang suami-suami takut istri!" balas Mas Firman.

Seketika aku mengulas senyum. Puas sekali dengan jawaban Mas Firman. Tumben dia mau balas. Biasanya dia mengalah terus. Karena malas ribut.

"Aku bukan takut sama istri, tapi aku sayang istri!" sungut Mas Andra. 

Brrakkk ....

Aku mendengar dia membanting daun pintu. Seketika aku terkejut. Sampai Dika terbangun.

"Ada gempa, ya, Ma?" tanya Dika. Aku hanya meringis. 

"Kamu ngimpi, Nak!" jawabku. Kemudian mengelus kepala anak lanang. Dika terlelap lagi.

Astagfirullah, segitunya amat, sih, ingin diakui kaya!

*********

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status