Intan tidak pernah menyangka Abraham bisa sekepala batu ini, keras kepala sekali. Pria itu masih bersikukuh dengan halusinasinya bahwa mereka masih terikat dalam pernikahan."Kembalilah istriku. Pintu rumah kita selalu terbuka untukmu.""Mungkin kamu lupa. Perkataanmu saat ini sama dengan menjilat ludah sendiri. Tetapi aku pun nggak heran karena hanya itu yang bisa kamu lakukan saat ini dan jika menurutmu aku akan baper lalu luluh dengan permintaanmu. Kamu salah besar. Tidak ada jalan untuk kita kembali."Intan mendengkus jengah, ia sangat ingat saat dulu diusir dari rumah suaminya. Ya memang begitu, karena pada kenyataannya ia tidak pernah merasa memiliki rumah itu karena faktanya Amel lebih menjadi nyonya rumah daripada dirinya.“Kamu sadar tidak dengan semua perbuatanmu dulu kepadaku?”“Ingat.” Abraham membalas tanpa ada rasa bersalah, bahkan tatapannya sangat lekat kepada Intan yang duduk meringkuk di sofa.“Lalu kamu pikir aku akan kembali dengan mudahnya?”“Tentu aku berharap be
“Mbak,” tanya Risa dengan nada meragu kepada Intan yang menatap keluar jendela. Saat ini cuaca diluar tidak mendukung. Mobil berjalan lambat karena macet dan hujan deras yang menghantam bumi kembali setelah tadi sempat terhenti. Mendung gelap seperti hatinya.“Ya,” balasnya lirih. Risa tak layak mendapatkan sikap setengah hati, karena bukan gadis itu yang memiliki masalah dengannya.“Mbak sedih?” tanya gadis itu yang rasanya sudah tak sabar menanyakan hal ini walau sangat sadar ada telinga asing yang mungkin saja mendengarkan percakapan mereka.“Kita bicarakan nanti saja. Mungkin sebaiknya kita pulang saja.”“Kita kembali ke hotel kalau begitu?” Intan hanya mengangguk menanggapi. Rasanya sudah begitu tepat keputusan saat ini.Hal tak terduga kembali terjadi, Intan kembali ke hotel tetapi memutuskan untuk menelepon Yudi yang kebetulan sedang bebas hari ini dan bisa mengantarkan kembali ke Garut.“Senang saya bisa mengantar Mbak Intan lagi. Makasih sudah ingat dengan saya.”“Saya akan
“Anakku tidak pulang,” ujar Novita begitu Wandira mengucapkan salam pada sambungan telepon.“Lalu, apa hubungannya denganku?”“Gara-gara anakmu itu!”Wandira melirik ke arah Amel yang duduk tak jauh darinya dan berkutat dengan laptopnya. Wanita muda yang merasa diperhatikan itu menghentikan pekerjaannya dan membalas sang ibu.“Maksudmu apa? Anakku yang mana? Amel saja di rumah sejak diperlakukan dingin sama anakmu,” balas Wandira dengan nada kesal.“Jelas Intan siapa lagi.”“Intan bukan anakku lagi.”“Enak saja … kamu dengan gampang ngomong seperti itu. Anakmu memang gatal semua! Nggak adik, nggak kakaknya kelakuan sama!”“Jaga ucapanmu!”“Memang fakta itu, kan?! Kayak nggak ada laki-laki lain saja. Didik tuh anak-anakmu, jangan sudah mengkhianati anakku sekarang juga dekat dengan keponakanku. Benar-benar nggak habis pikir sama otak manusia seperti kalian ini.”“Kamu benar-benar membuatku tersinggung. Lagi pula anakmu itu sudah dewasa dan kalau tidak pulang bisa jadi dia lagi kelon sa
“Makasih Mas mau ketemu sama aku,” ujar Melia.“Aku melakukan ini bukan karena kamu tapi Mami yang meminta.” Sungguh benar, jika bukan karena jadwalnya untuk mengantar wanita yang sudah melahirkannya itu untuk check up kesehatan hari ini.Melia menelan ludah, mendengar nada dingin dan terkesan acuh dari Abraham. Pada akhirnya wanita cantik berkulit kuning langsat itu.“Mas Bram, belum lama ini ketemu Papi ya? Kok, nggak bilang sama aku?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.Bram yang sedari tadi tidak mau menatap ke arah Melia menghembuskan napas panjang seraya menyesap kopi hitam di depannya.“Bukan urusanmu dan tidak ada hubungannya denganmu, pastinya.”“Aku ingin tahu, untuk apa kamu masih berurusan dengan Intan.”Nama Intan tersebut dan kemudian tatapan tajam tersemat dari Abraham untuk Melia. “Kalimat mana yang tidak kamu mengerti dari bukan urusanmu?!”Seketika Melia bungkam dan tak berani menjawab dengan roman muka Abraham yang membuat perasaannya yang bercampur antara cemburu dan
Decit ban memekakkan telinga, sepesekian detik beikutnya tabrakan pun tak bisa dihindari. Tubuh terguncang dan suara tulang beradu terasa sangat jelas terdengar di telinga, bau bahan bakar yang menguap dan suara teriakan adalah hal terakhir yang ia ingat. Intan pun kemudian membuka mata dalam kegelapan. Suara napas tak teratur beradu dengan cucuran keringat di suhu ruangan yang dingin ini sungguh sesuatu yang kontras tetapi seolah nyata seperti mimpi buruknya.Katukan di pintu kamar membuatnya kembali tersentak dan seketika menoleh ke arahnya. Dari lubang bawah pintu telihat bayangan yang menutupi celah cahaya redup dari lampu dinding. Ia mengejap cepat mencerna keadaan saat ini di mana dirinya berada dan sekaligus meneba siapa gerangan sosok tak sabaran di balik pintu.“Intan, Sayang. Kamu baik-baik saja?”Suara berat itu. Ah ya, Intan baru ingat sekarang. Pria itu berada di rumahnya bersama dengan mimpi buruk peristiwa kecelakaannya kembali datang. Pertanyaan penuh nada khawatir it
“Aku harus pulang,” ujar Intan seraya berusaha melepaskan tangan dari genggaman tangan Abraham. Pria itu tertahan di Rumah Sakit Daerah karena demam, beberapa paku payung yang menancap sungguh sudah sangat berkarat dan menyebabkan peradangan. Bakteri tetanus terpapar dalam tubuh dengan masa inkubasi pada 3 dan 21 hari.“Jangan.”“Ini sudah 7 hari dan aku harus bekerja. Aku sudah melapor ke polisi untuk mengusut kejadian itu. Aku tidak mau disalahkan karena kejadian itu di rumahku.”“Memang begitu, kamu selalu membawa kesialan dalam keluarga kami!” Novita berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah tertuju kepada Intan.“Dan kamu,” tunjuknya kepada Abraham yang terbaring bersandar kepala ranjang rumah sakit. “Dasar anak keras kepala sekaligus kepala batu. Sudah berapa kali Mami bilang ….”Novita balik menujuk ke arah Intan. “Wanita ini tidak pernah memberikan kebahagiaan seja hadir dalam hidupmu. Saat kamu bertemu dengannya pertama kali. Dia adalah wanita penuh kesialan, bahka
“Kamu ini memang benar-benar laki-laki tidak punya harga diri, Bram,” tegur Harjo, ayah dari Dharma.“Kamu juga ngapain ngantar anak ini ke sana. Sekarang malah gossip kalian sampai ke mana-mana.”“Bu. Saya baru balik dari sana sekitar 10 menit. Masa sudah ada gossip.”“Kamu tidak tahu bagaimana kompaknya warga kita. Semua berita bisa cepat tersebar,” timpal Hesty yang menatap kedua pria muda itu dengan raut jengkel.“Lagi pula gossip apa sih?” tanya Abraham santai.“Kamu diusir secara kasar dari sana,” jawab Hesty cepat.“Apa?!” ucap Abraham dan Dharma bersamaan.“Siapa yang menyebarkan berita bohong itu. Kami bahkan tidak bertemu dengan Intan. Dia sedang beristirahat.” Apa yang dikataan Dharma memang benar adanya. Ia tahu karena bisa melihat punggung Intan yang tidur miring di sofa ruang tamu. Wanita itu pasti sangat capek meningguin sepupunya yang bisa menjadi sangat menyebalkan seperti drama saat ia menjemputnya dan tak berhenti mengomel menyalahkan dirinya karena Intan pulang leb
Rizky baru saja keluar dari warung yang tak jauh dari rumah Intan saat melihat Surdi melompat dari pagar rumah wanita pujaannya dari samping. Tanpa mengulur waktu ia segera menghidupkan sepeda motor dan mengejar Surdi. Surdi yang tahu dibuntuti segera berbelok di sebuah gang dengan jalan tanah menuju kebun milik warga. Namun suara teriakan dari Rizky menghentikan langkahnya dan berbalik menatap pria yang segera turun dari motor dan menghampirinya.“Mas Rizky saya kira siapa,” ujarnya dengan tatapan yang tampak lega ta seperti tadi yang sangat panik, tapi bentakan Rizky membuatnya kembali waspada dan ketakutan.“Kamu ngapain loncat dari pagar rumah Intan? Kamu sudah lupa arah gerbang depan?!”“Eh… bukan gitu, Mas,” balasnya tergagap.“Lalu apa yang kamu lakukan di sana? Mau maling kamu ya?”“Wah, jangan asal Mas. Saya nggak semiskin itu sampai harus mencuri. Lagi pula apa yang mau dicuri. Intan itu nggak punya apa-apa yang bisa dimaling.”“Apa kamu bilang?! Jadi kamu memang menyusup ke