Amanda membuka gorden di jendela kamar melia dengan kasar. Ia muak melihat kakaknya terpuruk dan sangat mengenaskan seperti ini. Amanda sangat tahu apa yang terjadi dengan kakaknya, aduan dari salah satu pembantu sudah sampai padanya. Begitu juga bau seks yang masih kental. Ia menengok pada keranjang sampah dan mendapati kondom yang habis terpakai. Hanya saja dengan siapa ia tidak tahu.Amanda menghela napas panjang, menatap ke arah ranjang yang berantakan sama dengan perempuan yang tidur tertelungkup dengan mulut terbuka dan lingkaran gelap berada di kedua kantung matanya.“Bangun!” ujarnya jengkel seraya menampar salah satu telapak kaki Melia yang mengintip dari balik selimut.Terdengar erangan protes dari si Empunya telapak tetapi tak kunjung bergerak.“Bangun pemalas!” bentak Amanda kali ini dengan berkacak pinggang.“Ngapain sih kamu ganggu aja!” balas Melia tanpa masih dalam posisi yang sama. “Kepalaku sakit banget.”“Jelas. Dari mana kamu dapat Vodka ini?” tunjuk Amanda ke boto
“Ibu dengar Bram sudah kembali ke kota,” kata Aminah sambil menaruh semangkuk gule ayam di meja.“Baguslah,” jawab Intan singkat dan meneruskan kegiatannya mengiris kubis sebagai pelengkap.“Apa kamu yakin dia tidak kembali lagi ke sini?” tanya Aminah dengan nada ragu penuh kehati-hatian.“Intan bisa apa untuk melarangnya. Desa ini bukan milik Intan.”“Bukan itu yang ibu maksud, kamu tahu pasti ‘kan?”Intan mengangguk. “Paham sih. Intan juga nggak tahu harus bagaimana.”“Sebaiknya kamu pikirkan. Terus terang ibu sama Bapak risih dengan gunjungan orang tentangmu. Kamu bahkan dituduh kumpul kebo.”“Abaikan saja, Bu. Lagipula Intan dengar Ibu kemarin sempat ribut sama Bu Buya karena membelaku.”“Oh iya, andai rujak yang ibu makan belum habis sudah ibu siram masker mukanya dengan bumbu rujak.”“Jangan begitu lain kali, Bu. Biarkan saja, nanti juga kalau capek akan berhenti sendiri.”Aminah menghela napas kuat-kuat, gemuruh di dadanya kembali menyeruak. Kesal tak terperi kembali teringat d
Abraham melambatkan langkah begitu dekat dengan ruang tempat Intan di rawat dan bertemu dengan CS yang sedang membersihkan ruangan tesebut.“Istri saya mana ya, Mbak?” tanyanya kebingungan, keringat dingin sudah mulai membasahi punggung. Panik jelas, serta penasaran di mana gerangan sang istri apalagi orang yang ia suruh menjaga saat ia pulang semalam juga tak nampak batang hidungnya.“Sudah pindah rumah sakit, Pak.”Abraham kaget setengah mati, ini baru hari kedua dan seingatnya saat ia semalam meninggalkan Intan. Wanita yang melalui tahap perceraian dengannya itu masih belum sadarkan diri setelah operasi.“Pindah ke mana?”“Waduh, kurang tahu saya. Bisa ditanyakan ke bagian informasi, Pak. Maaf permisi.”Abraham menepi memberi jalan untuk dua orang di depannya mendorong troli laundry pergi. Setelah bisa menguasai diri dari rasa t
Cuaca hari ini terasa sangat hangat, matahari masih dengan setia menerangi walau kini jam sudah menunjukkan pukul 17.30 menit. Jalan kampung tepat di depan rumah Intan pun masih ramai orang berlalu lalang, bahkan anak-anak tetangga yang mulai banyak bermain petasan pun masih berkeliaran. Sudah terhitung dua bulan lamanya Abraham kembali ke kota dan belum menampakkan batang hitungnya lagi. Terakhir mereka berkomunikasi adalah seminggu setelah ia kembali ke kota.“Maaf Sayang aku tidak bisa kembali secepat yang aku janjikan. Padahal aku ingin sekali membawamu segera ke kota dan supaya kamu lebih mudah untuk terapi,” janji Abraham kala itu.“Kamu ‘kan sudah biasa ingkar janji.”“Bukan. Aku harus menyelesaikan sesuatu demi masa depan kita. Kamu tidak perlu bekerja, Kamu sudah buktikan sendiri bukan? Kalau semua yang kamu lakukan di sana mendapatkan pertentangan oleh warga.”“Menjad
Intan dan yang lainnya sampai di rumah tetapi suasana sudah sepi. Hamdani duduk di ruang tamu seraya memegang sebuah dokumen. Ia terus menyuruh semuanya duduk bersama.“Ke mana orang-orang, Pak?” tanya Intan.“Sudah pulang.”“Lalu itu apa?” tanyanya dengan tidak sabar.“Ini adalah surat kesepakatan warga. Kamu harus pindah dari desa ini.”“Maskudnya Mbak Intan diusir?!” tanya Noto kaget.“Iya To.”“Loh, kok gitu?! Memang salah apa? Apa karena berhenti kerja, ‘kan memang kemauan sendiri,” ujar Noto.“Lagi pula fitnah berkedok gosip itu juga sangat terlalu, jelas-jelas tidak benar,” tambah Izar.Hamdani menghela napas Panjang. “Bapak juga bingung kenapa orang-orang berpikiran pendek.”“Demi kebaikan sih memang kamu mending pindah, Mbak,” ujar Izar.“Duit dari mana untuk pindah?&r
"Dalam keluarga Sukoco tidak ada istilah perceraian, itu aib besar bagi kami dan apa yang sudah kamu perbuat jelas-jelas sudah mencoreng nama baik keluarga ini. Kamu tahu konsekuensinya bukan?""Tapi saya nggak bersalah. Saya diceraikan tanpa tahu kesalahan saya di mana?" balas Intan mencoba membela diri karena saat ini ia dikepung setidaknya oleh 20 anggota keluarga besar Sukoco."Kamu belum mengerti juga ternyata, ya?!" tanya Amanda dengan sinis."Apa?""Itu karena kamu mandul! Indung telurmu saja hanya satu yang sehat! Laki-laki mana yang mau mempertahankan wanita seperti kamu?! Hah … mikir dong!"Intan tertunduk lesu, malu sekaligus terhina. Bukan keinginannya untuk memiliki masalah seperti itu. Tidak ada satupun wanita normal yang tidak mendambakan buah hati. Ia jelas ingin, tapi kenyataannya mau bagaimana lagi. "Pergi dari rumah ini, tidak ada tempat bagimu di sini!"Kembali terabaikan dan tidak dianggap, bukan masalah besar. Namun, hidup sebatang kara hanya dengan duduk di kur
Hampir tiga jam perjalanan dan waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam lebih saat ia hujan deras mulai turun dan mobil Yudi meninggalkan pekarangan rumah. Mungkin karena sudah mengenal lama pria itu sedikit peduli kepada Intan dengan banyak pertanyaan yang rasanya tak patut orang asing menanyakan hal itu, seperti keadaannya sekarang apakah tinggal sendiri atau ada yang menemani. Intan pun rasanya tidak perlu menjelaskan karena memang bukan urusan pria itu juga ia tinggal sendiri atau ada yang menemani karena pada kenyataannya ia masih bisa melakukan semuanya sendirian.Intan mengganti kursi rodanya dengan menggunakan tongkat kayu bekas milik mendiang kakeknya untuk alat bantu berjalannya setelah mengunci pintu depan dan menghidupkan semua lampu serta membuat teh jahe hangat untuk menyibukkan diri. Intan masih kepikiran dengan mobil Abraham yang tadi melintas. Apakah pria itu datang sendiri atau dengan Melia adiknya. Kabar terakhir yang ia dengar adalah abraham telah menikah d
"Untuk apa kamu ke sana lagi?" tegur Novita begitu melihat anak kesayangannya muncul dari balik pintu garasi."Ke sana ke mana?" tanya Abraham balik tak acuh, tanpa menghentikan langkah menuju kamarnya. Setelah bercerai untuk yang kedua kalinya, kedua orang tuanya memang memintanya kembali ke rumah mereka. Mengingat saudara perempuan Abraham sudah menikah semua."Berhenti dulu, Bram! Mami sedang bicara." Novita meringsek ke depan menghalau jalan Abraham."Besok saja dibahas, Mam. Bram capek seharian meeting.""Lah itu tahu capek. Kamu ngapain ke rumah Sukoco?""Mami tahu dari mana?""Tahu lah, mata-mata Mami banyak."Abraham tidak akan meragukan hal itu sedikit pun. Uang bisa melakukan segalanya, nyatanya kedua mantan istrinya menghilang setelah ia ceraikan. Contohnya Intan, walau awalnya ia menceraikan karena alasan keturunan pada akhirnya Abraham menerima kenyataan jika Intan juga telah berkhianat dariny