Air mata Arumi luruh menatap kedua orang tuaku tak berdaya, ada begitu banyak bulir bening yang menetes dari sudut mata ibu yang usianya sudah tidak muda lagi. Sebagai anak perempuan kedua Arumi merasa hatinya begitu hancur melihat semua ini.
"A-ada apa ini, Bu?" Tanya gadis yang berusia 24 tahun panik, ibu hanya menggelengkan kepala pelan. Bahunya terguncang naik turun, Bapak mencoba menenangkan ibu dengan mengusap lembut bahunya."Tadi ada rentenir datang menagih hutang, kamu tau sendiri kan bapak hutang puluhan juta untuk pesta pernikahan Ambar kakakmu bulan lalu. Dan hari ini sudah jatuh tempo untuk membayar cicilan,"Arumi merasa sangat geram mendengar penuturan bapa, memang kak Ambar adalah wanita yang memiliki rasa gengsi begitu tinggi, sudah tau keadaan ekonomi orang tua susah malah tetap saja memaksa untuk melangsungkan pernikahan mewah. Sedangkan Arumi, aku baru saja lulus sekolah SMK tahun lalu dan baru kerja beberapa bulan di salah satu rumah makan dekat rumah. Uang hasil kerjaku aku pakai untuk kebutuhan rumah karna bapak sudah renta dan kadang tidak bekerja."Arum kan sudah bilang pak, jangan maksa kalo ga punya! Sekarang kita jadi susah gini emang ka Ambar sama suaminya mau bantu? Jelas tidak kan pak?"Ibu dan bapak hanya menggelengkan kepala sambil menunduk, mereka tak berani menatap sorot mata anak gadisnya. Mungkin ada rasa penyesalan dalam hati mereka karna tidak mendengarkan ucapanya dulu, dan benar saja apa yang aku takutkan kini sudah menjadi kenyataan. Kehancuran kini sudah ada di depan mata."Ayo Bu, bangun. Ibu istirahat yah di kamar" ajak Arum pada ibu, ibu menuruti perkataanya.Setelah memberi makan ibu dan meminumkan dia obat, Arumi pamitan kepada bapak untuk pergi ke rumah Kak Arum, rumahnya tidak terlalu jauh hanya beda RT saja. Rumah itu adalah peninggalan dari orang tua suami kak Arum yang sudah meninggal beberapa tahun silam."Enak saja mereka hidup enak, sedangkan disini orang tuanya menderita menanggung hutang" gerutu gadis itu dalam hati sambil terus melangkahkan kaki dengan mantap.Bahkan untuk membeli motor pun Arumi belum mampu, dulu sempat punya motor tapi malah di jual oleh kak Arum untuk biaya kuliah, yang sampai sekarang belum pernah mendapat gelar sarjana. Aku tau uang itu pasti dia pakai untuk berfoya-foya di luar sana.Baru saja berjalan beberapa meter dari rumah, banyak sekali tetangga yang sedang berkumpul di dekat warung, ibu-ibu itu menatapku dengan sinis."Duh, firasatku ga enak nih" Arumi menggerutu dalam hati, karna biasanya kalau ibu-ibu sedang ngumpul pasti ada aja hal buruk yang sedang diomongin."Eh Arumi, kerja yang bener dong biar bisa bantu orang tua lunasin hutang. Masa sampe didatengin rentenir segala sih," celetuk Bu Diyah si pemilik warung tempat beberapa wanita paruh bayi itu menongkrong.Mereka yang disana langsung menganggukkan kepala, seolah membenarkan perkataan dari Bu Diyah, kepala Arumi yang masih panas jelas ikut tersulut emosi mendengar semua itu."Eh Bu, dosa loh ngomongin orang terus. Gimana kalo ibu-ibu ada diposisi Arum apa yang bakalan ibu lakuin?" geram Arum dengan nada sinisnya."Mendingan ga usah ikut campur deh Bu, urusin aja kehidupan kalian ga perlu urusin kehidupan Arumi sama orang tua Arumi!" sentak Arum, membuat mereka terdiam seketika dan balik menatap Arum dengan tatapan sengit.Arumi yang sudah muak memilik melanjutkan perjalanannya untuk menuju rumah sang Kakak."Kalo punya motor kan enak, ga perlu jalan gini dan ga perlu dengerin gosip tetangga yang sama sekali ga berguna itu," Arumi membantin dalam hati, sudut matanya sudah mulai berembun, tapi dengan gegas Arumi menghapusnya. Dia harus kuat, dia bukan wanita lemah.Sampai dirumah kakak kandungnya, Arumi langsung mengetuk pintu rumah yang lumayan besar itu."Kak, kak Ambar! ini Arumi!" teriak Arumi dari luar, selang beberapa detik ada seorang wanita keluar dari dalam rumah."Aduh Rum, apaan sih? udah sore Dateng kesini" ketus Ambar.Ambar memang tipe wanita yang jutek dan sinis, bukan hanya kepada Arumi saja tapi kepada orang tua mereka juga seperti itu."Kalo ga ada perlu sih males mau kesini". jawab Arumi tak kalah sinis."Jangan bilang kamu mau ngutang?""Bukan ngutang, tapi tolong lah kak. Bantu Bapak sama ibu buat ngelunasin hutang ke rentenir itu, apa kamu ga kasian kak sama mereka! mereka udah tua" terang Arumi panjang lebar."Lahh? itukan urusan mereka, ga ada sangkut pautnya sama aku, Rum!"Arumi Menarij nafas pelan, mencoba menetralkan rasa emosinya."Ya jelas ada lah kak! Bapak pinjam uang kan di paksa sama Kamu, kalo kamu ga minta menikah dengan mewah, semua ini ga bakalan terjadi kak!""Ya memang tugas orang tua, menikahkan anaknya!" Ambar tak terima disalahkan oleh Arumi."Harusnya anaknya juga sadar diri!" bentak Arumi."Apaan sih Rum! udah deh pulang aja sana kamu! ga usah minta-minta uang lagi ke aku!" Usir Ambar"Ga tau diri banget si kamu kak!" teriak Arumi"Brisik kamu Rum! pergi sana!" Sentak Ambar, Arumi menatap mata Ambar dengan nyalang."Dasar anak ga tau terima kasih!" Gerutu Arumi, gadis itu langsung pergi meninggalkan rumah Ambar, bertambah rasa marah di dalam lubuk hatinya.Arumi pulang ke rumah dengan perasaan marah, dia menghentakkan kaki sedikit berlari karna panas dan pusing menjadi satu di kepalanya memikirkan hutang.Saat hendak menyebrang jalan, ada sebuah mobil berhenti disamping Arum. Gadis itu terperangah heran melihat mobil mewah itu berhenti tepat di sampingnya.Pemilik mobil itu langsung membuka kaca jendela, nampak pria berusia sekitar 35 tahun menyembul dari balik jendela."Ganteng" celetuk Arum, dan beberapa detik kemudian dia langsung menutup mulut menggunakan tangan kanannya.Pria yang mendengar itu hanya tertawa pelan."Ganteng? pasti lah." Sombong pria itu sambil membenarkan jas hitam mahalnya."Dih siapa sih kamu? kenal juga nggak!""Tuh dompetmu jatuh, terus tadi ga sengaja kelindes mobil mewahku. Mungkin sekarang rusak hahhaa" Seloroh pria itu sambil tertawa keras, Arum yang baru saja sadar kalau dompetnya jatuh langsung memutar tubuhnya menatap ke arah belakang. Dan benar saja, dompet kecil warna hitam miliknya sudah gepeng terlindas mobil."Kurang ajar kamu yah! tanggung jawab kamu dompetku rusak!" Sentak Arum"Tanggung jawab? dompet isinya uang recehan aja marah!" Pria itu kembali menyombongkan diri lalu pergi menancap gas tanpa peduli teriakan Arum."Woy!! Tanggung jawab!" teriak Arum, tapi tak ada gunanya karna pria pengendara mobil mewah itu sudah melesat cepat meninggalkan Arum.Gadis itu hanya bisa mengepalkan tangannya kuat, lalu menghentakkan kaki ke tanah."Ya ampun, untung ga ada ponselnya. Coba kalo ada pasti udah rusak" gumam Arum sambil membersihkan dompet miliknya yang dipenuhi dengan debu dan tapak ban mobil mewah itu."Siapa bilang uang di dompetku recehan, ada juga yang seratus ribuan. Dasar so tau!" Arum berdecak kesal berbicara pada angin.Kalo ini rasa marahnya bertambah berkali lipat, apalagi setelah kejadian ini.Malam harinya Arum berkutat didapur untuk membuat makan malam, sedangkan kedua orang tuanya sedang duduk diruang tamu yang hanya beralaskan tikar, tanpa ada sofa bahkan tidak ada tv. Itu karna siang tadi para rentenir tidak berperikemanusiaan itu sudah menyita tv dan sofa yang ada dirumah ini, katanya untuk jaminan hutang mereka yang menumpuk.Arum menatap miris, tidak ada bahan makanan yang bisa dia masak malam ini. Dia pun tidak sempat membeli sore tadi, hanya ada sisa nasi tadi siang yang sepertinya cukup untuk dimakan mereka bertiga. Akhirnya Arum berinisiatif memasak nasi goreng untuk makan malam mereka bertiga."Apa kita jual rumah saja ya Bu?" tanya bapa pada ibu, perbincangan mereka terdengar oleh Arum."Ga usah pak! nanti Arum usahain bakal bantu lunasin hutang ini!" jawab Arum sedikit berteriak.Gadis itu keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi tiga porsi nasi goreng yang sudah tertata dipiring."Pak, Bu. Makan dulu yah, Arum sudah masak nasi goreng" ucap Arum, sambil
Beruntung Arum sudah berangkat. Kalau tidak, mungkin dia akan memaki Bi Asti dan langsung membayar hutang ibunya yang dua puluh ribu itu. Setelah Bi Asti pergi, ibu langsung masuk kedalam rumah, tampak bapak sedang menyeruput kopi hitam pahit tanpa gula, karena persediaan gula dirumah sudah habis."Pak, nanti jangan berangkat kerja dulu" ucap ibu, bapak menghentikan aktivitasnya meminum kopi lalu mneyerit heran menatap isterinya."Loh kenapa Bu?" tanya bapak"Itu tadi Bi Asti, minta tolong buat benerin kran airnya dirumah. Tapi tanpa bayaran pak, karna ibu punya hutang sama dia" ucapan ibu terhenti saat pria paruh baya itu menganggukan kepalanya sambil menghembuskan nafas pelan dari mulutnya."Iya Bu ga papa, yang sabar aja ya bu" Jawab Bapak. Ibu hanya menganggukan kepala lalu segera pergi menuju dapur, dia sudah tidak kuat karna dari sudut kedua matanya ada air asin yang sudah menggenang dan siap jatuh. Dia tidak ingin membuat suaminya menjadi tambah bersedih dan berputus asa.Seda
Setelah berhasil membubarkan para tetangganya, Arum langsung melesak masuk kedalam rumah. "Sudah, saya mohon hentikan! Saya janji akan membayar semua hutang orang tua saya" Ujar Arum, Para rentenir yang berjumlah lebih dari lima orang itu menatap Arum tajam."Omong kosong kamu! Ini sudah melebihi batas tempo, bahkan bunganya sudah banyak!" Sentak salah satu rentenir itu sambil melepaskan cengkraman tangan besarnya yang tadi menggenggam kasar kerah baju bapak, Sontak karena hal itu bapak langsung tersungkur lemas, Arum dan Ibu berusaha menolong Bapa."Stop! Hentikan, tunggu dulu" Tiba-tiba ada suara wanita dari ambang pintu rumah, suara wanita itu berhasil memecah kegaduhan dirumah ini.Semua orang yang ada didalamnya melihat ke arah pintu, Arum dapat melihat dengan jelas wanita yang seusia dengan ibunya memasuki rumah. Dengan menggunakan pakaian mewah, dan sepatu mahal yang menempel di kaki jenjang mulus miliknya. Jelas semua itu sangat berbanding terbalik dengan keadaan ibu Arum, y
Arum membawa Oma jalan-jalan ditaman depan rumah nyonya Lidia. "Rumahnya besar yah Oma?" Arum mencoba memecah keheningan diantara dirinya dan Oma."Besar dan indah, tapi tidak dengan kehidupan didalamnya," ujar Oma lirih, tapi Arum masih bisa mendengar ucapan Oma.Gadis itu terpaku menatap Oma, ada gurat sedih tampak jelas disudut wajah tuanya."Oma mau makan buah?" Tanya Arum, Oma menggelengkan kepala."Sepertinya kamu orang baik," Oma memuji Arum, padahal baru pertama kali dirinya mengenal gadis ini. Tapi dilihat dari sifat dan tingkah laku sudah bisa ditebak kalau Arum adalah gadis baik-baik.Arum hanya tersenyum mendengar ucapan Oma."Aku ingi masuk ke dalam," titah Oma, Arum menurutinya.Saat sudah berada didepan pintu, Arum melihat ada wanita seusianya sedang duduk memainkan ponsel mahal di sofa ruang tamu."Mau apa lagi dia kesini," ketus Oma, Arum ingin sekali bertanya pada Oma tapi urung karena mungkin akan tidak sopan jika dirinya yang bukan siapa-siapa ingin tau dengan keh
"Udah-udah, biarin aja dia pergi ngerusak moments saja. Lebih baik sekarang kita makan diluar," ajak Alkana, Mona hanya menganggukan kepala sambil tersenyum dengan tangannya bergelayut manja dilengan Alka."Ayo kita berangkat sekarang," "Mau kemana kalian?" Tanya Oma yang baru saja keluar dari kamar bersama Arum.Mona berdecih kesal mendengar pertanyaan Oma."Mau pergi keluar sebentar Oma" jawab Alkana sambil tersenyum ramah."Semenjak kamu kenal sama wanita ini, waktumu habis hanya untuk mengurusi dia." Sindir Oma pada cucu semata wayangnya."Apa maksud Oma?" Tanya Mona dengan suara memelas, Arum yang melihatnya menaikan bahu tak suka."Oma, Alkana cinta sama Mona," Alkana berusaha membela diri."Kamu memang cinta sama dia, tapi wanita itu cuma cinta sama hartamu!" Sentak Oma.Arum hanya terdiam mendengar perselisihan yang terjadi di antara mereka."Oma!" Sentak Alkana. Oma hanya memalingkan wajahnya."Ayo Arum, antar aku ke dapur," pinta Oma. Arum hanya mampu menurutinya.*Lampu ru
Pagi hari keluarga ini melakukan aktivitas makan pagi bersama, walau tidak diiringi canda tawa. Sangat berbeda dengan apa yang Arum rasakan di rumahnya, kehangatan dalam keluarga disini sama sekali tidak dia dapatkan.Arum pun tersadar, kalau nyonya Lidia ini sepertinya janda. Buktinya sejak awal dia kesini dia tidak melihat ada suami dari nyonya Lidia, bahkan dia tidak mendapati foto nyonya Lidia bersama suaminya dirumah ini. Hanya ada foto majikanya, Oma dan Alkana si pria menyebalkan itu."Kalau jadi janda kaya Raya gini sih aku juga mau," gumam Arum."Ternyata seperti ini sisi buruk keluarga ini, pantas saja Oma merasa kesepian." Sambung Arum dalam hati.Hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang beradu, Arum ikut duduk disamping oma karena nyonya Lidia yang menyuruhnya, Arum ditugaskan untuk membantu Oma saat makan. Karena tangan Oma masih lemas jika digerakan.Oma menderita lumpuh sebagian, di bagian tubuh kirinya dari atas kepala hingga kaki. Tapi karena sering berobat diru
"Sadar diri Lo?" Sindir Alka."Apaan sih," ketus Arum"Beliin aja Alka, pakai uang oma aja" pungkas Oma.Ntah mengapa ada perasaan haru dalam benak Arum, padahal baru hitungan hari Oma dan dirinya saling kenal. Tapi Oma sudah perhatian seperti ini pada dirinya."Ga usah Oma, ngrepotin. Arum kan baru dua hari kerja," tolak Arum perlahan."Memangnya kenapa? Ga harus nunggu kerja lama." Paksa Oma, Arum hanya bisa pasrah."Udah deh nurut aja, bersyukur aja Lo dibeliin sama Oma," sinis Alkana."Makasih Oma," ujar Arum sambil tersenyum manis kepada Oma, Oma hanya menganggukan kepalanya.Alkana langsung membayar kalung dan gelang itu untuk Oma dan Arum. Setelah itu Alka langsung memakaikan kalung liontin indah itu di leher Oma."Cantik," puji Alka pada Oma."Alka!" Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang tidak asing ditelinga mereka bertiga.Kompak mereka menoleh, dan melihat Mona sedang berlari kecil kearah mereka."Mona? Kamu ngapain disini?" Tanya Alkana terkejut."Harusnya aku yang tanya
"Arum, kamu kamana saja. Jangan tiba-tiba menghilang seperti itu," ucap Oma saat Arum baru saja mendudukan tubuhnya di jok mobil samping Oma."Maaf Oma, tadi Arum terserat. Untung bisa ketemu tuan Alkana," jawab Arum.Alkana mendesis kesal, "Makanya jadi orang jangan terlalu polos, di mall aja sampe nyasar gitu." Sentak Alkana, Arum hanya terdiam."Udah-udah lebih baik kita pulang saja sekarang, Oma sudah cape," pungkas Oma melerai perdebatan antara dua manusia ini. Tubuh rentanya sudah mulai kelah karena jalan-jalan hari ini, apalagi kalau ditambah perdebatan antara Arum dan Alkana yang tidak ada habisnya pasti akan tambah pusing dibuatnya.Alkana langsung menancap gas membelah jalanan ibukota disore hari, sengaja memang pulang sebelum jam empat sore. Karena jam itu adalah jam rawan macet di ibukota.Tak butuh waktu lama, mobil mewah Alkana sudah masuk ke area halaman rumah yang luas. Halaman yang dijaga oleh beberapa satpam, dengan baju rapih di depan gerbang."Ngapain lagi dia kesin