Share

BAB 2. PEKERJAAN

Malam harinya Arum berkutat didapur untuk membuat makan malam, sedangkan kedua orang tuanya sedang duduk diruang tamu yang hanya beralaskan tikar, tanpa ada sofa bahkan tidak ada tv. Itu karna siang tadi para rentenir tidak berperikemanusiaan itu sudah menyita tv dan sofa yang ada dirumah ini, katanya untuk jaminan hutang mereka yang menumpuk.

Arum menatap miris, tidak ada bahan makanan yang bisa dia masak malam ini. Dia pun tidak sempat membeli sore tadi, hanya ada sisa nasi tadi siang yang sepertinya cukup untuk dimakan mereka bertiga. Akhirnya Arum berinisiatif memasak nasi goreng untuk makan malam mereka bertiga.

"Apa kita jual rumah saja ya Bu?" tanya bapa pada ibu, perbincangan mereka terdengar oleh Arum.

"Ga usah pak! nanti Arum usahain bakal bantu lunasin hutang ini!" jawab Arum sedikit berteriak.

Gadis itu keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi tiga porsi nasi goreng yang sudah tertata dipiring.

"Pak, Bu. Makan dulu yah, Arum sudah masak nasi goreng" ucap Arum, sambil menyuguhkan makan malam ini kepada kedua orang tuanya.

"Makasih ya, Rum. Mungkin kalo ga ada kamu bapak sama ibu sudah memilih mengakhiri hidup saja dari pada harus menganggung hutang, dan menanggung rasa malu seperti ini" Ucap ibu pelan. Mendengar perkataan ibu, Bapak langsung menyeka air matanya dengan mulut yang nampak sedang mengunyah makan malamnya.

Sedangkan Arum, dia menggelengkan kepala kuat "Ibu ga boleh ngomong seperti itu, Arum akan berusaha bekerja keras supaya kita bisa melunasi hutang-hutang ini. Ibu sama Bapak do'akan saja semoga restoran tempat Arum kerja ramai, supaya Arum bisa dapat uang tambahan" Arum langsung berhambur memeluk ibunya.

Arum memang sudah 2 bulan berkerja sebagai pelayan restoran di dekat rumahnya, tapi walau sudah bekerja, dia belum bisa melunasi hutang yang begitu banyak ini.

"Sudah lah, jangan sedih-sedih terus. Nanti juga pasti dapat jalan keluar, mending sekarang kita makan dulu. Arum laper" Celetuk Arum sambil tertawa, tawa yang terkesan begitu terpaksa.

Pagi harinya, Arum sudah rapi menggunakan pakaian hitam putih. Karna masih tahap magang selama tahun tiga bulan jadi dia belum memakai seragam ditempat kerjanya, biasanya Arum berangkat bersama dengan temanya Rani. Rani akan datang menjemput Arum dirumah, atau biasanya Arum yang akan jalan kaki kedepan gang rumah untuk menunggu Rani.

Arum menyambar tas kecil di atas kasur, lalu berjalan keluar menemui ibunya.

"Bu, Arum berangkat kerja dulu yah. Do'akan Arum semoga restoran hari ini ramai" Pamitnya pada ibu, sambil menyalami tangan kanan ibunya dengan takdzim.

Ibu yang sedang menyapu halaman menghentikan aktivitasnya, "Bareng sama Rani?" Tanya ibu, Gadis itu mengangguk sambil tersenyum.

"Iya Bu, kata Rani dia yang jemput Arum. Jadi Arum nunggu di rumah hari ini"

"Haduh Arum! Arum! Makanya beli motor, jangan bisanya cuma nebeng doang" Sindir Bi Asti tetangga paling julid.

Padahal tanpa Bi Asti tau, Arum biasanya memberikan uang pada Rani untuk menggantikan uang bensin, walaupun tidak setiap hari.

"Apaan sih bi! Namanya juga lagi berusaha, besok Arum beli mobil sekalian" Kesal Arum

"Haduh ngayal! beli mobil pakai apa, daun? hutang aja belum lunas mau beli mobil" celoteh Bi Asti. Arum mengepalkan tangannya kuat, ingin sekali dia mencakar mulut Bi Asti yang pedas itu.

"Jaga yah omonganya bi!" Sentak Arum mulai naik pitam

Ibu menyenggol lengan Arum, Ibu sudah paham sifat Bi Asti seperti apa. Dan meladeninya hanya akan membuang waktu dan menguras emosi beserta energi saja.

Arum hanya mendengus kesal setelah lenganya disenggol oleh sang ibu.

"Mau ngapain ya Bi? pagi-pagi datang kemari?" tanya ibu pada Bi Asti.

"Itu loh, mau minta tolong sama suamimu"

"Halah dasar ga tau malu, udah ngehina ujung-ujungnya minta tolong" sindir Arum, Bi Asti hanya mendelik mendengar perkataan Arum.

"Masih kecil ga sopan sama orang tua!" Tegas Bi Asti.

"Orang tua model ginian ko minta di hormati" ledek Arum.

"Aduh. Udah-udah, mau mintq tolong apa bi?" tanya Ibu.

Ibu memang orang yang sangat sabar, dihina seperti itupun dia masih bisa tersenyum dan tidak pernah marah, walau Arum tau di dalam benak dan batin ibunya pasti menyimpan banyak sekali duri yang sudah tertancap dan mungkin akan sulit diobati.

"Itu keran air di rumahku tiba-tiba mati, mau minta tolong benerin"

"Owalah, yaudah nanti saya bilang ke suami saya Bu" jawab Ibu

Tak selang beberapa lama, Rani sudah datang menjemput menggunakan motor matic miliknya.

Arum langsung bergegas pamit dan pergi, dia tak ingin beralama-lama melihat wajah Bi Asti. Takut mempengaruhi harinya menjadi buruk.

"Tapi saya ga mau bayar, soalnya kamu punya hutang sama saya kemarin dua puluh ribu. Itung-itung hutangmu lunas, dibayar sama jasa suamimu benerin kran air" celetuk Bi Asti kemudian pergi meninggalkan ibu.

Ibu langsung mengurut dadanya pelan, kemarin memang ibu berhutang dua puluh ribu untuk membeli minyak, dia bisa saja meminta uang pada Arum. Tapi kemarin Arum belum pulang kerja, jadi terpaksa dia berhutang di warung milik Bi Asti.

"Sabar-sabar" gumam Ibu.

Beruntung suaminya tidak pernah mengeluh walau kerja tidak dibayar seperti ini. Karna bapak memang kerja di bengkel milik saudara jauhnya, dia berangkat agak siang lalu pulang sore dan kadang berangkat lagi lalu pulang saat malam.

Tergantung ramai tidaknya pelanggan di bengkel.

Pria paruh baya itu juga terkadang menerima tawaran para tetangga untuk membenarkan peralatan rumah tangga, atau peralatan elektronik yang rusak. Walau upahnya kecil dan tidak sebanding, tapi dia tetap bersyukur, katanya itung-itung menambah penghasilan untuk membayar hutang miliknya yang menumpuk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status