Satu bulan setelah mereka berpisah, Kayvandra menerima satu email dari mantan istrinya. Email tersebut berisi surat pengunduran diri Zivanna dari perusahaan Dirgantara, "Berani-beraninya dia ...." gumam Kayvandra setelah membuka email tersebut.
Ia membuka ponsel yang diletakkan tak jauh dari tempat duduknya. Kayvandra mencari nomor kontak Zivanna yang sudah tidak pernah lagi ia hubungi sejak perceraian kemarin. Jari Kayvandra menekan tombol panggil, "Sialan! Apa dia mengabaikan aku sekarang?" gerutu Kayvandra setelah telepon darinya tidak ada jawaban. Ia mencoba kembali untuk yang kedua kalinya, "Sedang apa kau?!" teriak pria itu begitu emosi. Zivanna mematung, ia memegang erat ponselnya agar tidak terjatuh. Baru saja ia hendak menyapa, namun suara lantang di seberang membuatnya terkejut dan membeku. [Aku? Aku sedikit .... sibuk] Jawab Zivanna dengan tenang, ia berhasil menstabilkan keadaan. "Sibuk? Sok banget kamu sekarang? Ini apalagi? Kenapa tidak datang langsung ke kantor dan menyerahkan surat pengunduran diri? Kenapa harus kirim email segala? Apa kamu sudah lupa siapa yang membesarkan nama Anumerta di sini? Kenapa kamu sekarang jijik menginjakkan kaki di tempatku?" cecar Kayvandra layaknya kereta api. Zivanna menghembuskan napas panjang, lalu [Bukankah sama saja? Lagi pula ....] "Datang ke kantor, menghadap padaku, sekarang juga!" jari telunjuk Kayvandra ditekan di atas meja kerjanya. [Tapi Mas ....] "Sekarang, Zivanna!" [Baik] Zivanna mengalah, ia memiliki alasan kuat. Zivanna harus menyelesaikan kekacauan ini segera agar terbebas sepenuhnya. Ia menutup telepon dan menyambar tas miliknya. "Titip kantor bentar ya, Ryn!" titah Zivanna pada Maureen, sahabatnya. "Lho, mau ke mana kamu, Zee?" tanya Maureen yang semula masih fokus pada layar monitor, ia memeriksa beberapa desain produk yang baru saja dikirim Zivanna padanya. "Ada sesuatu yang harus aku selesaikan di luar," jawab Zivanna saat menghentikan langkahnya sejenak. "Itu?" tunjuk Maureen dengan dagu pada amplop panjang yang dipegang oleh, Zivanna. "Iya. Aku harus serahin ini pada, Kay." Jawab Zivanna seolah membenarkan tebakan, Maureen. "Zee ...." "Aku baik-baik saja, Ryn." Ucap Zivanna seolah menenangkan Maureen yang tengah mengkhawatirkan dirinya. *** Dirgantara Corp, Moonville. "Nona, emh, Nyonya! Saya mohon, berhenti! Saya hubungi tuan Kayvandra terlebih dahulu, Nyonya!" tahan sekretaris Kayvandra saat Zivanna menerobos masuk ke dalam kantor milik mantan suaminya. Zivanna tidak peduli, ia berjalan dengan tegap melewati dua security yang tidak memiliki kekuasaan penuh untuk mengusirnya. "Huft ...." Zivanna menarik napas panjang lalu menghembuskan perlahan. Ia sudah berdiri di depan pintu besar beraksen kupu-kupu. Tangan kanannya ragu ketika hendak meraih handle pintu kayu jati tersebut, namun dengan keberanian tersisa akhirnya .... "Masuk, Zee!" dengan angkuhnya Kayvandra menyuruh Zivanna mendekat. Pria dengan perawakan 180 centimeter, tegap, berdada bidang dan berhidung mancung tersebut duduk di singgasananya dengan sebelah kaki terangkat. "Aku tidak akan lama," Zivanna menyerahkan amplop yang sudah disiapkan dari jauh hari. "Sudah makan siang?" tanya Kayvandra menatap lekat pada presensi Zivanna yang tengah meletakkan amplop pengunduran dirinya di atas meja. Zivanna memanyunkan bibirnya, lalu mengangkat wajahnya. "Urusan aku di sini sudah selesai, aku permisi." "Zee!" Kayvandra berhasil meraih tangannya. "Apaan sih, Mas! Lepas!" Zivanna berusaha menepis, tapi terlambat. "Jangan kasar dong sama perempuan! Lepas atau aku teriak!" ancam Zivanna dengan wajah penuh amarah. Manik kebiruan milik Kayvandra menatap tajam, "Teriak aja! Silahkan! Tidak akan ada yang mendengar suara kamu dalam ruangan ini," kata Kayvandra yang sudah mengunci tubuh Zivanna di sudut meja. "Mas! Kita sudah berpisah, apa kata orang kalau lihat kita seperti ini?" Zivanna panik, tiba-tiba hawa dingin menyusup di seluruh tubuhnya. "Siapa yang peduli? Bahkan jika kita bercinta di sini, semua orang pasti akan menutup mata dan telinganya." "Mas! Sadar! Apa-apaan sih kamu?" "Aku sadar, Zee. Aku tidak mabuk, aku masih waras." Sahut Kayvandra dengan wajah berkerung. "Hanya saja aku bodoh sudah melepaskan kamu waktu itu," kini tangannya berpindah pada dagu Zivanna. Bukan belaian lembut yang diterima perempuan itu, namun jari Kayvandra menjapit di kedua pipinya. "S-Sakit, Mas! Lepaskan!" Permintaan Zivanna agar Kayvandra menghentikan sikap kasarnya tidak digubris oleh pria yang sudah terbakar emosi tersebut. Semakin Zivanna merongrong Kayvandra, pria itu pun semakin berani bertindak kasar sebagai pelampiasan. "Kau sudah mencuri ilmu bisnisku, lalu kau minta bercerai dengan dalih aku berselingkuh. Memangnya aku sebodoh itu tidak mengetahui rencana licikmu, hah?!" Dan benar adanya, Kayvandra berhasil menguasai Zivanna sepenuhnya. Ia menarik kasar Zivanna ke dalam kamar pribadi yang ada di samping ruangan nya, tubuh ramping itu tersungkur di atas single bed dengan satu kali sentakan. "Kau memang berselingkuh, Mas! Apa masih kurang bukti yang aku tunjukkan padamu? Dia adalah salah satu karyawan di divisi keuangan bukan? Perempuan itu sudah mengandung darah dagingmu." "Diam!" bentak Kayvandra membuat Zivanna mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Riak kebencian di wajah Kayvandra begitu mendalam. Penyesalan yang datang di akhir membuatnya frustasi, Kayvandra tidak bisa menerima keputusan yang diambil dalam kondisi emosi. "Berani kamu membantahku? Memangnya siapa kamu?" kaki jangkung Kayvandra naik ke tepi single bed, perlahan ia mendekat ke arah Zivanna yang mundur hingga beringsut ke arah head bed. "Mundur, Mas! Jangan macam-macam!" Namun sayangnya, jari telunjuk Zivanna ditangkap cepat oleh Kayvandra. Pria itu menyingkirkannya dan semakin merangsek maju dengan sorot mata tidak bersahabat. "Mas Kay! Jangan! Aduh! Awh ....!" Plak ....! Tamparan keras dihadiahkan pada Zivanna yang tidak menurut, perempuan itu terus memberontak sebagai bentuk perlawanan. "Makanya jangan sok tahu jadi orang," suara itu menggema di telinga Zivanna saat bibir Kayvandra menyentuh sisi lehernya yang jenjang. "Berengsek kamu, Mas!" Zivanna masih mencoba untuk melawan, namun usahanya berakhir dengan kata sia-sia. Kemeja biru muda miliknya terkoyak, kancing terlepas dari tempatnya saat tangan kekar milik Kayvandra mencabik dengan tenaga penuh. "Diamlah! Aku tidak akan menyakitimu, kita sudah pernah melewati malam pertama bersama. Aku yakin, kamu pasti tidak akan pernah melupakan bagaimana nikmatnya bersamaku ...." "Tidak! Mas! Jangan gila kamu!" "Aku bilang, diam, Zivanna!" "Tidak ....! Argh .....!" tangisnya pecah, bersamaan dengan rasa perih yang didapat ketika pelepasan Kayvandra mendapatkan puncaknya. Sudut bibirnya pecah. Ada lebam di beberapa bagian yang membuat Zivanna seperti mayat hidup saat semuanya sudah terjadi. Ia meremas ujung seprei untuk meluapkan hancurnya hati, tatapan itu kian terasa -- kosong. "Itu akibatnya kalau kamu berani melawan aku. Jangan menangis! Ini __bayaran buat kamu. Aku akan menyuruh Jessi menyiapkan baju ganti, setelah itu pergilah!" keringat dan peluh masih membasah di tubuh kekarnya, Kayvandra memakai boxer dan membuka laci yang ada di samping single bed. Segepok uang ia lemparkan ke arah Zivanna yang masih terkulai di atas kasur, tubuhnya hanya berbalut selimut tipis. 'Sialan kamu Mas, kamu sudah menjebakku!' Zivanna membuang muka, ia menyesal telah menginjakkan kakinya ke Dirgantara Corp kembali."Zee...." panggil Kay setelah terkulai di samping perempuan itu."Hm...?" jawab Zivanna dengan suara gumamam, ia masih sibuk menetralkan perasaannya yang kacau akibat khilaf yang disengaja kali ini."Kita rujuk, yuk!" kalimat singkat yang barusan terucap dari bibir Kayvandra membuat Zivanna menoleh.Ia menelan saliva, Zivanna hanya memandang pria lelah di sampingnya dengan raut sulit ditebak. “Huft…” kedua manik mata indahnya menatap ke atas langit-langit kamar.Tangannya meraih selimut dan membungkus tubuhnya lalu turun dari atas ranjang dan mengambil air putih hangat yang disediakan di atas meja kecil. Sedangkan Kay, ia mengenakan boxer miliknya kembali. Kayvandra berjalan mendekat ke arah meja dan meraih bungkus rokok, “1402,” kata Kay saat mengambil satu batang rokok dan menyalakannya dengan pemantik.Dahi Zivanna berkerut samar, “Apa?” ia tidak mengerti. Diletakkannya gelas yang sudah kosong ke tempatnya. “14… apa?” ulang Zivanna meminta penjelasan.“Kamu bisa menggunakannya. Di
“Akh! Mas….” Zivanna terkejut saat Kayvandra menarik tangannya dengan tiba-tiba.Bruk…Tubuh ramping itu jatuh di atas kasur yang empuk. Tanpa memberi kesempatan pada Zivanna, Kay segera menindih tubuhnya. “Apa maksudnya ini?” kedua tangannya mengunci pergelangan tangan, Zivanna. Raut wajahnya terlihat dingin tanpa senyuman.“A-Aku nggak sengaja, Mas….” kata Zivanna seolah terlambat untuk menyesali perbuatannya yang ceroboh itu.Ia melihat pria di atasnya begitu marah atas kelancangannya. Otak kecil Zivanna tiba-tiba membeku, hingga tarikan napasnya tersengal karena menahan segala emosi dalam dada. “A-Aku boleh pergi ‘kan, Mas?” tanya Zivanna dengan sangat hati-hati, ada ketakutan saat pria itu menampakkan sisi garangnya.“Setelah apa yang kamu lakukan padaku?” hembusan napasnya membelai lembut di wajah, Zivanna. “Kamu akan pergi begitu saja?” aroma khas rokok mint bercampur minuman anggur tercium dan membangkitkan gairah yang mulai terserap di setiap inci pori-pori kulitnya.Zivanna
“Bukankah kamu senang kalau melihatku celaka? Atau… aku mati sekalian?” Kay, dengan wajah datarnya mengatakan apa yang ia rasakan selama ini. Ketika Zivanna tidak pernah menunjukkan perasaannya setelah mereka bercerai 7 tahun yang lalu.“M-Mas, kamu ngomong apa sih?” ia terlihat salah tingkah di hadapan, Kay. Zivanna menarik mundur kedua tangannya dan menggeser posisi duduknya agar sedikit berjarak.Kalimat yang diucapkan Kay adalah penafsiran terhadap keadaannya di masa lalu. ketika ia merasa tersakiti dengan kehadiran Jessica dan pengkhianatan Kayvandra padanya. Saat ini... Zivanna hanya takut kehilangan Sovia dan Ethan, untuk masalah yang lain, Zivanna tidak peduli.“Huft….” Kayvandra menghembuskan napas perlahan. Rasa sakit itu masih dirasakan, tapi ada yang lebih sakit daripada luka bekas timah panas yang menghujam di bagian dadanya. “Aku memang salah, dari segi manapun aku memang bersalah. Waktu itu, aku bersama tim manajemen melakukan meeting di luar kota. Cerobohnya aku yang t
“Kita sudah makan malam ‘kan? Ayo! Antar aku pulang ke New Archadia sekarang. Tugasku sudah selesai, aku sudah membayar lunas. Jadi jangan menagihku lagi dengan urusan-urusan yang tidak masuk akal begini.” Zivanna berdiri dari duduknya, ia meletakkan jas milik Kay di atas sandaran kursi.“Kenapa buru-buru sekali?” kedua alis Kay menyatu, ditatapnya Zivanna dengan raut wajah yang rumit. “Oh… aku tahu,” ujar Kay menebak sendiri, “Kamu ingin segera bertemu dengan pria bernama David-David itu ‘kan?” “....” Zivanna mencoba menelaah kalimat yang barusan terlontar dari mulut mantan suaminya. Kedua alisnya menukik tajam, pria itu mulai lagi dengan argumentasinya. Padahal beberapa detik yang lalu mereka menikmati makan malam dengan tenang.“Ternyata benar dugaanku,” gumam Kay yang masih bisa didengar jelas oleh, Zivanna.“Kalau Mas masih ingin di sini, silahkan. Yang jelas malam ini juga aku akan kembali ke New Archadia.” Zivanna meraih tas pestanya, gurat kekesalan jelas terlihat di wajah ca
“Kau,” langkah Zivanna maju setapak. Wajah murkanya tidak dapat ia sembunyikan lagi.“Kenapa? Bukankah itu kenyataannya? Mereka adalah anak-anakku. Sovia dan Ethan adalah keturunan Dirgantara.” Kay meletakkan gelas di atas meja, lalu memandang tenang pada Zivanna yang berapi-api.“Beraninya kamu bilang kalau mereka darah dagingmu, setelah Mas terang-terangan menghina ibunya ini.” Zivanna menunjuk dirinya sendiri.“Kita cari tempat lain untuk bicara?” Kay mengajaknya pergi dari keramaian Galeri Investasi BEI. Ia berniat untuk membicarakan soal putra putri mereka yang belum jelas siapa yang pantas menyandang predikat ‘ayahnya.’“Kenapa nggak di sini aja, Mas? Nggak ada yang curi dengar pembicaraan kita di tempat ini kok. Mereka sibuk sendiri dengan visi misi masing-masing. Mas nggak perlu takut ketahuan kalau Mas pernah menjadi suami aku 7 tahun yang lalu.” Zivanna mencoba meredam emosinya sendiri. Ia tidak ingin memancing keributan di tempat umum seperti ini, apalagi di hadapan para in
Setelah beberapa bulan berlalu, Kayvandra akhirnya pulih dari cedera yang dialaminya. Ia terlihat lebih kuat dan sehat, meskipun masih ada sedikit bekas luka yang membekas. “Kita akan hadir di sini? Sungguh? Membosankan, ck....” kay membaca kertas undangan yang ada di tangannya. “Harus,” jawab Alvaro yang berjalan mendekat ke arahnya dengan membawa dua gelas wine. Dalam undangan tersebut, Kayvandra menerima undangan untuk menghadiri sebuah perkumpulan investor di Galeri Investasi BEI dan Komunitas Pasar Modal. Mereka belum memutuskan untuk hadir, masih ada beberapa jadwal meeting yang harus diselesaikan. “Bisa nggak kamu aja yang pergi?” Kay berharap Alvaro bisa menggantinya. “Di situ akan berkumpul banyak investor kaya, Kay. Akan lebih baik kalau kamu bisa ikut dan merayu mereka.” Alvaro meletakkan gelas wine di meja yang berada tepat di hadapan, Kayvandra. “Aku? Merayu mereka?” Kay menunjuk dirinya sendiri, bola matanya melebar sempurna. “Kenapa harus aku?” lanjutnya. “Kare