Zivanna, menjelang sore hari terlihat turun di salah satu gang sempit. Sebuah minivan mengantarnya hanya sampai separuh perjalanan menuju apartemen miliknya.
"Maafkan saya Nyonya," ucap sopir yang masih berdiam di belakang kemudi, tega ataupun tidak, ia hanya menjalankan perintah. Zivanna tidak menjawab, ia turun dengan kondisi menyedihkan. Tangan kirinya menggenggam erat kerah baju yang terkoyak, sengaja ia tidak menyentuh barang pemberian dari Kayvandra, Zee tidak sudi. Ia berjongkok di sudut gang gelap setelah minivan itu meninggalkannya. Zivanna merogoh tasnya untuk mengambil telepon genggam, tangannya gemetar saat menekan nomor Maureen. "R-Ryn, bisa jemput aku di simpang tiga Moonville? Mobilku tertinggal di gedung Dirgantara." "Iya .... nanti aku jelasin, Ryn. Aku baik-baik aja, kamu jangan marah gitu dong ...." tiba-tiba saja ia terisak, wajah Zivanna kembali basah dengan air mata. Rasa sakit di seluruh tubuhnya tidak sebanding dengan hancurnya hati karena perbuatan mantan suaminya. Keputusan cerai yang diambil Zivanna satu bulan lalu berujung petaka, Kayvandra mengerjainya habis-habisan hingga Zivanna terlihat seperti perempuan murahan. "Zee ....!" Maureen datang setelah Zivanna menunggu sepuluh menit. Zivanna mengangkat wajahnya, lidahnya kelu. "Ya Tuhan, apa yang sudah dilakukan pria berengsek itu?" gumam Maureen yang lekas melepas jaket jeans miliknya dan segera menyampirkan ke bahu Zivanna. "Sudah aku bilang, biar aku temenin. Kalau udah begini, kamu juga yang nyesel kan? Ngapain sih pake acara nyamperin Kay segala? Kamu tuh ...." bukannya simpati, Maureen dengan terang-terangan mengomelinya habis-habisan. "Udah, Ryn! Iya aku salah. Bisa langsung pulang kan? Kepalaku pusing banget, Ryn." Kata Zivanna setelah Maureen membawanya masuk ke dalam mobil, ia merebahkan kepalanya pada sandaran kursi. Maureen menoleh, ia menggeleng kecil. Tanpa banyak bicara, Maureen pun menghidupkan mesin mobil dan meninggalkan tempat sepi itu sebelum gelap datang. *** Dengan semangat tersisa, Zivanna bertekad untuk kembali menatap hidupnya. Ia ingin hidup seperti apa yang dimau, bukan karena paksaan atau aturan dari orang lain. "Kasih kabar kalau udah sampai," Maureen mengantarnya ke bandara. Kejadian tempo hari membuat Zivanna memilih untuk pergi ke Archenland, ia akan membuka usaha pertamanya di negara orang. "Tentu saja, kalau ada waktu berkunjunglah ke sana. Mungkin sedikit menyebrang benua, kamu bisa mendapatkan jodoh di sana." Kelakar Zivanna yang mengenakan kacamata hitam untuk menyamarkan lebam di wajahnya. "Ide menarik, tapi aku akan berpikir seribu kali lipat untuk itu ...." jawab Maureen dengan bibir dimanyunkan. "Kenapa?" tanya Zivanna mengernyit samar. "Emh ...." tampak Maureen berpikir, ia tidak ingin melukai hati sahabatnya. "Kenapa? Ada apa, Ryn? Apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" "Ah, tidak! Ayo, lekas masuk! Udah boarding pass, kan?" Maureen mengalihkan pembicaraan. Mana mungkin ia mengatakan, kalau saat ini dirinya masih belum ingin serius dalam menjalin hubungan. Maureen tidak ingin nasib percintaannya sama seperti, Zivanna. "He em, iya ...." angguk Zivanna dengan senyum tipis. "Kamu hati-hati di sana, jangan godain buaya darat di Archenland." Senggol Maureen untuk mengurai kekakuan di antara mereka. Zee tertawa kecil saat Maureen menyenggol lengannya. "Aku mau tahu, sebuas apa buaya Archenland sama betina Moonville ...." "Wohooo .... rupanya nakal juga temanku yang satu ini, huh?" kemudian Maureen mengacak pucuk rambut, Zivanna. "Udah, ah! Kita sambung lagi nanti, aku takut ketinggalan pesawat." Ujar Zivanna agar Maureen tidak terus menggodanya. "Aku pasti akan merindukanmu ...." Maureen memeluk erat Zivanna, ia belum rela sahabatnya itu pergi. "Makasih, Ryn." Ucap Zivanna saat berada di dalam pelukan, Maureen. "Untuk ....?" Maureen melepaskan pelukannya, ia menatap lekat Zivanna. "Semuanya," ujar Zivana singkat. "Tanpa kamu, mungkin aku sudah di alam lain setelah kejadian itu ...." lanjutnya dengan kelopak mata sayu. "Kamu nggak boleh menyerah hanya karena satu pria. Kamu harus bahagia, Zee ...." Keduanya pun kembali berpelukan, seakan takdir akan memisahkan keduanya -- lama. Di atas pesawat, Zivanna mengeluarkan telepon genggam hitam metalik. Ia membuang sim card yang ada di dalam ponsel miliknya, perempuan itu memutuskan untuk tidak lagi bersinggungan dengan keluarga Dirgantara. *** Dua bulan berlalu di Archenland, tidak ada kendala serius saat Zivanna memulai bisnis garmen di sana. Ia membuka sebuah butik baju dan ekspor impor bahan baku seperti yang ia kerjakan di Moonville. "Hallo, Ryn. Gimana kabar di sana, lancar?" telepon Zivanna sambil memilah bahan baku di galeri miliknya. [Lancar, dong! Penjualan makin meningkat di bulan ini] jawab Maureen sama sibuknya dengan kondisi Zivanna saat ini. "Oh, ya? Bagus! Kamu hebat, Ryn." Puji Zivanna yang telah mempercayakan bisnisnya di Moonville pada, Maureen. [Bu CEO, sehat kan di Archenland? Aku dengar, bentar lagi ada pagelaran busana di sana. Pasti sibuk sekali saat ini, ya?] tanya Maureen yang memastikan tentang berita terbaru dari usaha milik Zivanna di Archenland. "Hu um, begitulah. Aku harap kamu bisa datang hari itu, aku ingin kamu menjadi asistenku di acara pagelaran." Jawab Zivanna membenarkan, lalu ia meletakkan bahan yang baru dilihatnya dan duduk sebentar di sebuah kursi. [Jangan terlalu diforsir, kamu harus sehat. Minta bantuan sementara sama karyawan yang lain, aku akan datang beberapa hari sebelum hari H] Zivanna terlihat lelah, wajahnya pucat. Ia memijat pangkal hidungnya, "Iya, Ryn ...." jawab Zivanna dengan suara terdengar lemah. [Kamu baik-baik aja kan, Zee?] Maureen merasa ada yang aneh. "Ya, aku .... aku hanya lelah. Setelah istirahat bentar pasti baik-baik aja ...." Zivanna tidak ingin sahabatnya itu khawatir. [Ya udah, istirahat aja dulu, Zee. Minum obat, tidur bentar, jangan pegang kerjaan dulu kalau masih capek] "Iya, Ryn. Sorry, ya ...." Zivanna merasa tidak enak hati. [Santai aja lagi, lekas sehat, ya!] "Makasih, Ryn. Sampai ketemu minggu depan ...." Zivanna pun memutuskan untuk mengakhiri teleponnya. [Oke, bye!] jawab Maureen mengerti. "Bye ...." Zivanna pun mematikan teleponnya segera. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan. Zivanna merasa ada yang aneh dengan tubuhnya, ia tidak pernah merasa sakit berkepanjangan seperti ini. "Aku butuh aspirin ...." monolog Zivanna pada diri sendiri. Setelah menyerahkan pekerjaan pada salah satu karyawan kepercayaannya, Zivanna pulang lebih cepat hari ini. Ia menghabiskan waktu dengan tidur sepanjang sore, tepat jam satu dini hari ia terbangun di apartemennya dan berniat ke dapur untuk mengambil air minum. "Kenapa kepalaku masih terasa pusing?" ia merasa heran dengan kondisi fisiknya yang melemah. Zivanna mencoba mencari tahu, ia menerka-nerka, kemudian kembali ke dalam kamar setelah menghabiskan satu gelas air putih. "Aku mohon, ini adalah sebuah kesalahan ...." ia menggenggam alat yang baru saja diambilnya dari dalam laci nakas yang berada di samping tempat tidur. Buru-buru Zivanna melangkah ke arah kamar mandi untuk menjawab pertanyaan yang belum ada ujungnya. Tak perlu menunggu lama, dalam hitungan detik saja kedua bola matanya bisa melihat jelas. Dua garis merah melintang horizontal di benda membujur yang ada dalam genggaman tangannya. "Aku hamil?" ia menutup mulutnya yang terngaga. "Tidak mungkin," lalu kepalanya menggeleng tak percaya."Zee...." panggil Kay setelah terkulai di samping perempuan itu."Hm...?" jawab Zivanna dengan suara gumamam, ia masih sibuk menetralkan perasaannya yang kacau akibat khilaf yang disengaja kali ini."Kita rujuk, yuk!" kalimat singkat yang barusan terucap dari bibir Kayvandra membuat Zivanna menoleh.Ia menelan saliva, Zivanna hanya memandang pria lelah di sampingnya dengan raut sulit ditebak. “Huft…” kedua manik mata indahnya menatap ke atas langit-langit kamar.Tangannya meraih selimut dan membungkus tubuhnya lalu turun dari atas ranjang dan mengambil air putih hangat yang disediakan di atas meja kecil. Sedangkan Kay, ia mengenakan boxer miliknya kembali. Kayvandra berjalan mendekat ke arah meja dan meraih bungkus rokok, “1402,” kata Kay saat mengambil satu batang rokok dan menyalakannya dengan pemantik.Dahi Zivanna berkerut samar, “Apa?” ia tidak mengerti. Diletakkannya gelas yang sudah kosong ke tempatnya. “14… apa?” ulang Zivanna meminta penjelasan.“Kamu bisa menggunakannya. Di
“Akh! Mas….” Zivanna terkejut saat Kayvandra menarik tangannya dengan tiba-tiba.Bruk…Tubuh ramping itu jatuh di atas kasur yang empuk. Tanpa memberi kesempatan pada Zivanna, Kay segera menindih tubuhnya. “Apa maksudnya ini?” kedua tangannya mengunci pergelangan tangan, Zivanna. Raut wajahnya terlihat dingin tanpa senyuman.“A-Aku nggak sengaja, Mas….” kata Zivanna seolah terlambat untuk menyesali perbuatannya yang ceroboh itu.Ia melihat pria di atasnya begitu marah atas kelancangannya. Otak kecil Zivanna tiba-tiba membeku, hingga tarikan napasnya tersengal karena menahan segala emosi dalam dada. “A-Aku boleh pergi ‘kan, Mas?” tanya Zivanna dengan sangat hati-hati, ada ketakutan saat pria itu menampakkan sisi garangnya.“Setelah apa yang kamu lakukan padaku?” hembusan napasnya membelai lembut di wajah, Zivanna. “Kamu akan pergi begitu saja?” aroma khas rokok mint bercampur minuman anggur tercium dan membangkitkan gairah yang mulai terserap di setiap inci pori-pori kulitnya.Zivanna
“Bukankah kamu senang kalau melihatku celaka? Atau… aku mati sekalian?” Kay, dengan wajah datarnya mengatakan apa yang ia rasakan selama ini. Ketika Zivanna tidak pernah menunjukkan perasaannya setelah mereka bercerai 7 tahun yang lalu.“M-Mas, kamu ngomong apa sih?” ia terlihat salah tingkah di hadapan, Kay. Zivanna menarik mundur kedua tangannya dan menggeser posisi duduknya agar sedikit berjarak.Kalimat yang diucapkan Kay adalah penafsiran terhadap keadaannya di masa lalu. ketika ia merasa tersakiti dengan kehadiran Jessica dan pengkhianatan Kayvandra padanya. Saat ini... Zivanna hanya takut kehilangan Sovia dan Ethan, untuk masalah yang lain, Zivanna tidak peduli.“Huft….” Kayvandra menghembuskan napas perlahan. Rasa sakit itu masih dirasakan, tapi ada yang lebih sakit daripada luka bekas timah panas yang menghujam di bagian dadanya. “Aku memang salah, dari segi manapun aku memang bersalah. Waktu itu, aku bersama tim manajemen melakukan meeting di luar kota. Cerobohnya aku yang t
“Kita sudah makan malam ‘kan? Ayo! Antar aku pulang ke New Archadia sekarang. Tugasku sudah selesai, aku sudah membayar lunas. Jadi jangan menagihku lagi dengan urusan-urusan yang tidak masuk akal begini.” Zivanna berdiri dari duduknya, ia meletakkan jas milik Kay di atas sandaran kursi.“Kenapa buru-buru sekali?” kedua alis Kay menyatu, ditatapnya Zivanna dengan raut wajah yang rumit. “Oh… aku tahu,” ujar Kay menebak sendiri, “Kamu ingin segera bertemu dengan pria bernama David-David itu ‘kan?” “....” Zivanna mencoba menelaah kalimat yang barusan terlontar dari mulut mantan suaminya. Kedua alisnya menukik tajam, pria itu mulai lagi dengan argumentasinya. Padahal beberapa detik yang lalu mereka menikmati makan malam dengan tenang.“Ternyata benar dugaanku,” gumam Kay yang masih bisa didengar jelas oleh, Zivanna.“Kalau Mas masih ingin di sini, silahkan. Yang jelas malam ini juga aku akan kembali ke New Archadia.” Zivanna meraih tas pestanya, gurat kekesalan jelas terlihat di wajah ca
“Kau,” langkah Zivanna maju setapak. Wajah murkanya tidak dapat ia sembunyikan lagi.“Kenapa? Bukankah itu kenyataannya? Mereka adalah anak-anakku. Sovia dan Ethan adalah keturunan Dirgantara.” Kay meletakkan gelas di atas meja, lalu memandang tenang pada Zivanna yang berapi-api.“Beraninya kamu bilang kalau mereka darah dagingmu, setelah Mas terang-terangan menghina ibunya ini.” Zivanna menunjuk dirinya sendiri.“Kita cari tempat lain untuk bicara?” Kay mengajaknya pergi dari keramaian Galeri Investasi BEI. Ia berniat untuk membicarakan soal putra putri mereka yang belum jelas siapa yang pantas menyandang predikat ‘ayahnya.’“Kenapa nggak di sini aja, Mas? Nggak ada yang curi dengar pembicaraan kita di tempat ini kok. Mereka sibuk sendiri dengan visi misi masing-masing. Mas nggak perlu takut ketahuan kalau Mas pernah menjadi suami aku 7 tahun yang lalu.” Zivanna mencoba meredam emosinya sendiri. Ia tidak ingin memancing keributan di tempat umum seperti ini, apalagi di hadapan para in
Setelah beberapa bulan berlalu, Kayvandra akhirnya pulih dari cedera yang dialaminya. Ia terlihat lebih kuat dan sehat, meskipun masih ada sedikit bekas luka yang membekas. “Kita akan hadir di sini? Sungguh? Membosankan, ck....” kay membaca kertas undangan yang ada di tangannya. “Harus,” jawab Alvaro yang berjalan mendekat ke arahnya dengan membawa dua gelas wine. Dalam undangan tersebut, Kayvandra menerima undangan untuk menghadiri sebuah perkumpulan investor di Galeri Investasi BEI dan Komunitas Pasar Modal. Mereka belum memutuskan untuk hadir, masih ada beberapa jadwal meeting yang harus diselesaikan. “Bisa nggak kamu aja yang pergi?” Kay berharap Alvaro bisa menggantinya. “Di situ akan berkumpul banyak investor kaya, Kay. Akan lebih baik kalau kamu bisa ikut dan merayu mereka.” Alvaro meletakkan gelas wine di meja yang berada tepat di hadapan, Kayvandra. “Aku? Merayu mereka?” Kay menunjuk dirinya sendiri, bola matanya melebar sempurna. “Kenapa harus aku?” lanjutnya. “Kare