LOGINRaungan mesin Lamborghini Aventador milik Ethan membelah keheningan jalanan menuju sirkuit pribadi di pinggiran kota. Di balik kemudi, Bella tampak seperti orang yang berbeda. Rambutnya yang biasa tergerai rapi kini diikat kuda, menampakkan garis rahangnya yang tegas.Ethan, yang duduk di kursi penumpang, sesekali melirik takometer yang jarumnya terus menanjak. Ia harus mengakui, Bella punya nyali yang luar biasa."Kau yakin bisa mengendalikan monster ini, Bel?" tanya Ethan, suaranya hampir tenggelam oleh suara mesin.Bella hanya meliriknya dengan seringai tipis. "Jangan remehkan Bella si kutu buku ini, Mas. Diam-diam aku belajar banyak dari kamu, sang mantan pembalap.”***Setibanya di sirkuit, dua mobil telah siap. Ethan memilih Porsche 911 GT3 miliknya. Ia tidak ingin membiarkan Bella menang begitu saja, meski tawaran di akhir balapan sangat menggoda. Ego seorang Dirgantara tetaplah tinggi."Tiga putaran," seru Ethan melalui interkom helm. "Kalau aku menang, aku yang menentuka
Langkah kaki Ethan dan Bella bergema di sepanjang lorong pualam Chateau De Valois. Genggaman tangan Ethan terasa begitu kokoh, memberikan kekuatan yang tidak pernah Bella bayangkan sebelumnya. Namun, saat mereka mendekati tangga utama yang menuju ruang tengah, riuh rendah suara manusia dan kilatan lampu flash kamera mulai terasa.Elena berdiri di tengah lobi dengan gaun merah yang mencolok, tampak kontras dengan suasana klasik Chateau yang tenang. Di sampingnya, beberapa jurnalis dari Moonville Daily sudah siap dengan perekam dan kamera mereka....Saat sosok Ethan muncul di puncak tangga bersama Bella, suasana seketika hening. Elena mendongak, matanya berkilat antara amarah dan kecemburuan saat melihat tautan tangan mereka."Ethan!" seru Elena, suaranya melengking memecah keheningan. "Apa maksud semua ini? Kamu membiarkan perempuan tidak jelas asal usulnya ini tinggal di Chateau? Publik perlu tahu bahwa pernikahan kalian bukan hanya sandiwara bisnis semata. Kamu memiliki rencana
Sinar matahari pagi yang menembus celah gorden Chateau De Valois perlahan membangunkan Bella. Ia merasakan beban hangat di pinggangnya—lengan kokoh Ethan yang masih memeluknya erat, seolah takut ia akan menghilang begitu fajar menyapa.Bella terdiam sejenak, menatap langit-langit kamar yang tinggi. Rasa nyeri di tubuhnya menjadi pengingat nyata bahwa malam tadi bukanlah mimpi. Ia bukan lagi sekadar "asisten" atau "partner kontrak". Batas yang selama ini ia jaga dengan ketat telah runtuh sepenuhnya."Sudah bangun?" Suara bariton Ethan yang serak khas bangun tidur menggetarkan punggung Bella.Ethan mengecup bahu Bella yang terbuka, lalu membalikkan tubuh gadis itu agar menghadapnya. Mata Ethan yang biasanya tajam dan mengintimidasi, kini tampak lembut dan penuh proteksi."Mas..." panggil Bella lirih. Ada keraguan yang tiba-tiba menyelinap di hatinya. "Tentang yang Mas katakan semalam... soal kontrak itu..."Ethan menjauhkan anak rambut yang menutupi wajah Bella, menatapnya dalam-da
Ethan mengangkat dagu Bella, menatap bibir ranum yang sedari tadi menggoda logikanya. "Bella...""Ya, Mas?""Malam ini, jangan pergi. Tetaplah di sini, bersamaku. Bukan sebagai partner kerja, tapi sebagai Violla Isabella yang selalu membuat hatiku menjadi hangat."Tanpa menunggu jawaban, Ethan menunduk dan menyatukan bibir mereka dalam sebuah ciuman yang lembut namun penuh tuntutan. Ciuman itu tidak lagi dingin seperti kontrak kerja mereka; itu adalah ungkapan terima kasih, rasa bersalah, dan benih cinta yang mulai tumbuh di tengah reruntuhan masa lalu yang baru saja mereka lalui bersama.Ciuman yang awalnya terasa seperti ungkapan terima kasih itu dengan cepat berubah menjadi api yang membakar sisa-sisa kontrol diri Ethan. Di bawah temaram lampu Chateau De Valois, setiap sentuhan terasa ribuan kali lebih intens. Bella bisa merasakan detak jantung Ethan yang berdentum keras di dadanya, seirama dengan miliknya sendiri yang kian tak beraturan.Ethan melepaskan tautan bibir mereka s
Ethan menoleh, sedikit terkejut dengan keberanian Bella. Rasa bersalah yang tadi menggerogotinya perlahan berganti dengan sesuatu yang lebih hangat."Makan malam selesai," ujar Ethan tiba-tiba langsung berdiri. Ia menarik kursi Bella. "Mama, terima kasih atas undangannya. Tapi sepertinya aku dan calon istriku harus menghirup udara segar setelah dari sini."Kata 'calon istri' itu menggema di seluruh ruangan, membuat Alexander terdiam dan Zivanna mengangkat alisnya tinggi. Tanpa menunggu balasan, Ethan menarik Bella keluar dari restoran, meninggalkan kemegahan yang terasa mencekik itu.Di bawah rintik hujan yang kian deras di pelataran parkir, Ethan menyandarkan tubuhnya di mobil, menutup matanya rapat-rapat."Damn," gumamnya menyerupai geraman."Mas... Are you okey?" tanya Bella begitu mendekat, gadis itu mencemaskannya.Ethan membuka mata, menatap Bella dengan intensitas yang membuat napas gadis itu tertahan. "Papa meninggal karena ambisiku, Bella. Aku yang bersalah. Aku memang
Udara di dalam kamar seketika terasa menipis. Ethan, yang biasanya selalu memiliki kontrol diri, terpaku di ambang pintu. Pemandangan di depannya—lekuk punggung Bella yang seputih pualam di bawah temaram lampu kamar—meruntuhkan tembok ketenangan yang ia bangun susah payah sejak semalam.Ethan berdeham pelan, mencoba mengusir kekakuan yang menjalar di tenggorokannya. Ia melangkah mendekat, sepatunya meredam suara di atas karpet bulu yang tebal. Setiap langkahnya terasa seperti beban bagi jantung Bella yang kini berpacu tidak keruan.“Aku... aku tidak bermaksud lancang. Pintu tidak dikunci, jadi aku langsung masuk, nggak tau kalau kamu sedang…” gumam Ethan rendah saat ia sudah berdiri tepat di belakang Bella.Jemari Ethan yang dingin menyentuh kulit punggung Bella, mengirimkan sensasi elektrik yang membuat gadis itu sedikit bergidik. Dengan sangat hati-hati, Ethan meraih kepala ritsleting logam di bagian bawah punggung Bella. Ia menariknya ke atas dengan gerakan perlahan, sangat perl







