"Nara, kau baik-baik saja, kan?" tanya Justin lembut ketika mereka sudah berada di dalam mobil. Sorot mata Justin tak pernah lepas dari wajah Nara yang terus menatap ke luar jendela seolah ingin menyembunyikan kegundahan dari tatapan Justin ke arahnya.Tanpa Nara tahu kalau Justin adalah orang yang paling memahami betapa rapuh dan kacau perasaan wanita itu sekarang. Tak peduli sekuat apa wanita itu mencoba menyembunyikan luka hatinya tetap Justin akan tahu."Ya, Pak. Saya baik-baik saja." Suara Nara terdengar datar. Ia mencoba tersenyum meski sangat jelas bahwa senyum itu dipaksakan."Saya sudah memutuskan untuk melepaskan semua perasaan saya. Pak Erryl bukan orang yang bisa saya gapai. Dia milik Lusi dan tidaklah pantas jika saya masih menyimpan perasaan untuknya."Justin menoleh sedikit, memperhatikan Nara. Hatinya teriris. Kalimat itu terdengar tegar tapi sorot mata Nara membocorkan semuanya. Wanita itu tengah berbohong tapi bukan pada Justin melainkan pada dirinya sendiri."Nar, g
"Nara, kau sudah siapkah?" tanya Justin seraya menghampiri meja kerja wanita itu."Sudah, Pak. Mari kita berangkat sekarang," jawab Nara dwngan senyum tipis. Justin mengangguk lalu melangkah sejajar di sisi Nara. Namun ketika mereka melewati deretan meja rekan-rekan kerjanya, Nara merasakan tatapan sinis menghujani langkahnya. Ia menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan hati yang terasa makin sesak terlebih saat melewati meja Lusi.Sesampainya di depan lift, Justin menoleh dengan alis mengernyit."Kenapa kamu terlihat sangat tegang? Bukankah kamu sudah sering mendampingi Bu Alisha bertemu klien yang jauh lebih penting dari hari ini?"Nara menggeleng pelan, "Saya bukan gugup karena itu, Pak.""Lalu karena apa?" tanya Justin penasaran"Akhir-akhir ini banyak gosip tak sedap yang beredar soal kita. Bisakah kita menjaga jarak selama di kantor? Saya tak ingin kesalahpahaman ini makin membesar," ucap Nara hati-hati, menyusun kalimat sehalus mungkin agar tak menyinggung.Justin menghela
Tiga puluh menit berlalu. Nara menutup laptopnya dengan nafas lega. Ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu. Perutnya yang sedari tadi keroncongan membuatnya tak lagi peduli pada segala emosi negatif yang sempat meletup dalam hatinya usai bersitegang dengan Lusi. Ia pun melahap habis makanan yang diberikan Justin seolah-olah rasa lapar bisa menenggelamkan rasa kecewa.Setelah membuang bungkus makanan ke tempat sampah, langkahnya terarah menuju toilet teedekat. Tapi baru saja hendak masuk, ia mendengar suara yang membuat langkahnya tertahan."Lusi, tadi kudengar kamu bertengkar dengan Nara? Biasanya kan kalian akrab banget, tumben sekarang kalian seperti itu?" tanya Fitri, teman sekantor Lusi dan Nara dengan nada penasaran.Nara menahan nafas, tubuhnya menegang. Ia mengurungkan niat masuk dan memilih diam bersembunyi di balik tembok dekat pintu. Telinganya siaga mendengar."Akrab? Cuih!" suara Lusi terdengar sinis penuh ejekan saat ia membenarkan make up-nya di depan cermin.
"Nara, ini udah jam istirahat. Kamu enggak mau hentikan ketikanmu apa? Ingat Nara, kamu itu baru sembuh. Jangan terlalu memaksa diri sampai lupa makan siang!" ucap Lusi dengan nada sok peduli yang terdengar manis di luar tapi busuk di dalam."Telat sebentar enggak apa-apa, Lus. Udah nanggung ini mau selesai!" balas Nara tanpa menoleh. Jari-jarinya baru saja berhenti menari di atas keyboard."Kamu ini gila kerja banget. Enggak bisa di lanjutin nanti aja apa? Ayolah ke kantin bareng aku, udah lama banget kita enggak makan siang bareng!" Desak Lusi."Kamu duluan aja, Lus. Aku harus cepet nyelesein file ini. Pak Justin bilang harus selesai sebelum jam dua nanti," jawab Nara dengan ekspresi bersalah."Pak Justin ini kok tega banget, sih. Kamu kan baru aja sembuh, bukannya dikasih waktu buat pemulihan malah di tumpukin kerjaan," gumam Lusi pura-pura kesal, suaranya terdengar seolah-olah membela Nara padahal dalam hatinya sedang menyusun strategi lain"Dia enggak jahat kok, Lusi. Ini buat ke
"Maaf aku datengnya telat, Sintia. Tadi aku sempetin buat mampir kerumah sebentar untuk mengambil beberapa barang," ujar Justin dengan nada lembut pada Sintia"Enggak apa-apa, Pak Justin. Kebetulan Nara juga masih tertidur. Demamnya kembali naik padahal siang tadi kondisinya sempat membaik. Bahkan Dokter sudah bilang kalau besok dia bisa dipulangkan!" Jawab Sintia pelan. Sorot matanya mengarah penuh iba ke arah tempat tidur Nara. Justin segera menghampiri dan menempelkan punggung tangannya ke kening Nara."Dia kan rutin minum obat, kenapa bisa demam lagi?" gumam Justin jelas tampak kekhawatiran tergurat di wajahnya."Tentu saja dia rutin meminumnya, Pak. Tapi entah kenapa keadaanya memburuk lagi," balas Sintia.Justin mengalihkan pandangannya ke nakas samping tempat tidur, melihat tumpukan makanan dan buah segar."Kau membawakannya makanan sebanyak ini? Apa dia mau makan?" tanya Justin dengan alis mengernyit."Bukan saya yang membelikan, Pak. Itu tadi dari temen kantornya. Sayangnya N
"Sintia, di sekitar sini ada yang jual kopi?" tanya Lusi, memecah keheningan."Ya, tentu saja ada. Kau mau aku belikan!" tanya Sintia pada Lusi."Ya, tolong ya!" Lusi membuka dompetnya tapi buru-buru tangan Sintia menghentikannya."Cuma secangkir kopi, biar aku yang traktir. Lagian, kamu udah bawain banyak makanan dan buah-buahan untuk Nara. Secangkir kopi dariku tidak sebanding dengan uang yang kamu keluarkan untuk membeli semuanya." ucap Sintia tulus."Cuma makanan dan buah-buahan, enggak usah sampai ngomong berlebih gitu Sintia. Tapi kalau kau memang bersikeras mentraktirku, ya udah aku terima. Makasih banyak ya!" ucap Lusi."Sama-sama, Lusi. Aku pergi beli dulu, ya!" pamit Sintia kemudian beranjak pergi dari ruangan itu."Gimana kabar temen-temen kita di kantor, Lus. Kamu enggak ngasih tau mereka aku di rawat di sini, kan?" tanya Nara setelah kepergian Sintia."Aku mana sempet ngasih tahu mereka, aku sibuk berduaan dengan Pak Erryl, Nara. Dia enggak tahu tempat. Entah di kantor ma