“Kamu dari tadi manyun terus. Ada apa, Nar? Bertengkar lagi sama suamimu?” Sintia membuka percakapan ketika aku duduk di meja restoran, wajahku yang kusut jelas menarik perhatiannya.Aku menarik napas panjang, mencoba mengatur emosi yang sudah lama mengendap. “Iya, tiap hari aku dipaksa melihat kedekatan Bang Galih sama Adel. Seolah belum cukup, keluarganya enggak pernah berhenti menghinaku. Aku bener-bener di ujung sabar, Sintia.” Aku menyesap jus jeruk yang sudah mulai mencair, berharap sedikit rasa manis bisa meredakan pahit yang mengeram di dada.Sintia menatapku tajam, ekspresinya mencampurkan amarah dan frustrasi. “Nara... Nara...! Kamu ngeluh terus, bilang enggak kuat, tapi kamu tetap aja tinggal di sana. Udah tahu lingkungan itu toksik, kamu malah betah-betah aja. Sampai kapan kamu mau jadi martir?” Nada suaranya meninggi, tapi aku tahu semua ini karena dia peduli.Aku menunduk, menatap gelas di depanku dengan pandangan kosong. “Aku tahu aku bodoh, Sintia. Tapi aku enggak mau
Huling Na-update : 2025-05-22 Magbasa pa