"Kamu dari tadi manyun terus. Ada apa, Nar? Apa kamu bertengkar lagi dengan suamimu?" Sintia membuka percakapan ketika aku duduk di kursi dalam sebuah restoran. Wajahku yang terlihat begitu kusut menarik perhatiannya.
Aku menarik nafas panjang mencoba mengatur emosi yang sudah lama mengendap."Iya,tiap hari aku dipaksa melihat kedekatan Bang Galih sama Adel. Seolah belum cukup, keluarganya enggak pernah berhenti menghinaku. Aku bener-benner diujung sabar Sintia." Aku menyesap jus jeruk yang sudah mulai mencair, berharap sedikit rasa manis bisa meredakan pahit yang mengeram di dada. Sintia menatapku tajam.Ekspresinya mencampurkan amarah dan frustasi."Nara...Nara...!Kamu ngeluh terus bilang enggak kuat tapi kamu tetap aja tinggal di sana. Udah tahu keluarga jahat itu selalu membuat kamu menderita tapi kamu malah betah-betah aja. Sampai kapan kamu mau jadi orang bodoh terus, huh?" Nada suaranya meninggi tapi aku tahu semua ini karena dia peduli. Aku menunduk menatap gelas di depanku dengan pandangan kosong. "Aku tahu aku bodoh Sintia. Tapi aku enggak mau pergi sebelum semuanya berbalik. Aku enggak mau Adel menang. Dia enggak pantas dapat apa yang jadi milikku." Sintia mendengus setengah tak percaya. "Kamu yakin bisa balikin keadaan? Dua tahun ini kamu cuma bisa diam. Bahkan kamu selalu bisa memaafkan kejahatan mereka saat memperlakukanmu seperti sampah. Kamu bucin, Nar. Cepat atau lambat kamu bakal luluh lagi ke Bang Galih. Aku bisa pastikan itu!" Kata-kata Sintia menusuk tapi aku tak marah. Karena apa yang dia katakan benar. Hanya saja kali ini aku berbeda. Kali ini aku yakin bisa melawan. "Itu waktu aku belum tahu aku telah dikhianati Bang Galih, Sintia. Sekarang cintaku sudah habis. Aku takkan menjadi Nara bodoh yang dulu lagi." Sintia memandangku dengan mata menyipit. Mencoba membaca keteguhan dalam kata-kataku. Akhirnya dia menggenggam tanganku, "Baiklah. Aku akan mencoba percaya. Tapi tolong buktikan kalau aku salah.Aku capek lihat kamu terus-terusan diinjak seperti ini." Aku mengangguk yakin. "Aku enggak akan mengecewakanmu. Aku janji!" Setelah kami selesai mengobrol aku segera menyerahkan dokumen lamaran kerjaku pada Sintia. Pamannya adalah seorang manajer di sebuah perusahaan besar dan dia berjanji akan membantuku. Ada secercah harapan yang mulai tumbuh di tengah kehancuranku. Namun harapan itu tak berlangsung lama. Saat aku berdiri di depan restoran menunggu taksi, sosok yang tak kuinginkan justru muncul. Rudy. Wajahnya terlihat bengis, matanya memancarkan niat jahat yang sudah kukenal dengan baik. "Mbak, tadi aku masih sopan minta uang sama Mbak. Tapi karena Mbak enggak mau kasih ya jangan salahkan aku kalau aku ambil secara paksa!" Dia berbicara dengan nada rendah yang penuh ancaman. Dan tanpa basa-basi dia meraih tas jinjingku. Aku menahan tas itu sekuat tenaga tapi kekuatanku kalah jauh dari laki-laki yang satu ini. Saat aku mencoba merebutnya kembali dia mendorongku hingga tubuhku terhempas keras ke tembok. Rasa sakit menyambar kepalaku dan seketika dunia sekitarku menggelap. Ketika aku membuka mata, aku berada di sebuah ruangan rumah sakit. Cahaya lampu yang terang menyilaukan mataku. Aku mengerjap beberapa kali sebelum menyadari ada seorang pria berdiri di dekat ranjangku. Wajahnya asing tapi pakaiannya yang rapi dan jas mahalnya menunjukan dia bukan orang sembarangan. "Syukurlah Anda sudah sadar," ucapnya terdengar lega. "Apa yang terjadi? Kenapa saya ada di sini?" tanyaku pelan sembari memegang kepalaku yang masih berdenyut sakit. "Menurut saksi, Anda jadi korban perampokan. Anda di dorong sampai pingsan. Saya kebetulan lewat jadi saya membawa Anda ke rumah sakit." Pria itu menjelaskan dengan nada tenang. Tiba-tiba ingatan tentang Rudy kembali menyerbu pikiranku. Dia merampas tasku dan mendorongku hingga aku tak sadarkan diri. Aku merogoh saku celanaku, bersyukur karena ponselku tidak ikut hilang. "Restoran itu ada CCTV, kan? Saya harus punya bukti buat memasukan adik ipar saya ke penjara!" kataku tegas tanpa menyembunyikan rasa frustasi. Pria itu mengerutkan kening. "Adik ipar Anda? Maksud Anda orang yang beberapa saat lalu merampok Anda adalah..." Aku memotongnya, "Iya, adik ipar saya sendiri. Saya sudah muak dengan keluarganya. Saya akan gunakan bukti itu untuk mengancam mereka mengembalikan uang saya. Atau saya akan memastikan dia mendekam di penjara!" Pria itu mengangguk. "Baik. Kebetulan pemilik restoran itu teman saya. Saya akan menghubunginya untuk meminta rekaman CCTV.' Aku menatapnya penuh rasa terimakasih. "Terimakasih banyak, Pak! Kalau bukan karena Anda, saya enggak tahu apa yang akan terjadi." Dia hanya tersenyum tipis sebelum beranjak keluar untuk mengurus semuanya. Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan rekaman CCTV yang di kirimkan ke ponselku. Setelah membayarkan biaya rumah sakit, dia bahkan menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Aku menerima tawarannya karena malam sudah terlalu larut. Ketika aku tiba di rumah, pintu gerbang terkunci rapat. Tak ingin menunggu, aku memanjatnya. Amarahku terlalu besar untuk menunggu lebih lama. "Rudy! Keluar kamu sekarang juga!" teriakku sambil menghentak-hentakan pintu dengan keras. Beberapa saat kemudian Bang Galih muncul dengan wajah kesal. Ada bekas merah di lehernya. Tanda yang tak ada beberapa jam lalu. Aku tahu itu ulah Adel dan aku semakin muak. "Kamu ngapain teriak-teriak kaya orang gila?" Bentaknya. "Aku enggak mau ribut sama kamu, mas. Aku cuma mau ketemu Rudy. Mana dia?" tanyaku tajam. "Dia pergi setelah kamu pergi tadi," jawabnya dingin. Tiba-tiba Adel muncul dengan baju tidur yang sengaja dipilih untuk memperlmalukanku. "Kenapa nyari Rudy, Mbak? Mau balas dendam ke aku?" tanyanya sambil menyeringai. Aku meludah ke lantai di depannya. "Kamu pikir aku serendah itu? Aku tak sama denganmu, Del. Aku bukan jenis istri yang gampang sekali tidur dengan lelaki lain selain suamiku sendiri!" Adel tersinggung, wajahnya memerah karena malu. "Kalau bukan untuk balas dendam terus kenapa nyari suamiku malam-malam?" "Aku enggak akan ngomong banyak sebelum Rudy pulang. Jadi cepat telepon dia atau aku bawa polisi ke sini!" bentakku. Meski terlihat terpaksa Adel mau menurut perintahku. Dia masuk dalam kamarnya dan kembali membawa ponsel di tangannya Saat wanita itu mulai menelepon, suara telepon terdengar dari teras rumah. Ternyata Rudy sudah pulang diantar temannya dalam keadaan mabuk. Dasar pencuri! Uang yang susah payah ku kumpulkan malah dia pakai untuk mabuk-mabukan.Hari itu langit cerah, tapi hati Nara justru mendung. Dengan langkah berat, ia kembali masuk kerja meski hatinya penuh gejolak. Ia tahu, hari-hari menyedihkannya yang penuh dengan ejekan, hinaan, sindiran dan tuduhan kejam dari rekan-rekan kerjanya mungkin akan kembali ia rasakan terutama dari Lusi, teman dekat yang kini berbalik jadi musuh.Nara sendiri tak tahu bahwa Lusi sebenarnya sudah tak bekerja lagi di perusahaan itu. Yang ia tahu hanyalah bayangan buruk yang menunggu di balik pintu kantor. Dengan helaan nafas panjang, ia melangkah masuk ke ruangannya seakan sedang menyiapkan perisai untuk menghadapi hujatan yang pasti akan datang."Semua akan baik-baik saja, Nara. Pak Justin bilang aku tak boleh lari lagi dari masalah," gumamnya, berusahael menyemangati diri sendiri meski suaranya bergetar.Namun, sesampainya di meja kerjanya, ia justru dibuat bingung. Semua orang yang biasanya menyambutnya dengan cacian kini diam. Tak ada satupun yang menatapnya apalagi melempar sindiran."K
"Bang, besok pagi pinjemi aku baju. Aku mau kerja lagi." ucap Justin mantap, tatapan matanya penuh tekad.Erryl yang bersandar di sofa menoleh terkejut, keningnya berkerut. "Kau tak takut lagi kalau Ayahmu akan menangkapmu?" tanyanya dengan nada serius."Sebenarnya takut," Justin menarik nafas panjang lalu menghembuskannya berat, "tapi aku enggak bisa biarin Nara celaka. Lusi pasti akan berbuat macam-macam di kantor."Erryl menyandarkan tubuh ke depan, suaranya tenang tapi tegas. "Lusi sudah kupecat, dia tidak bisa menyakiti Nara di perusahaan. Untuk sekarang, setidaknya perusahaan tempat paling aman untuknya."Justin terperanjat, "Dipecat?" Tanyanya seolah tak percaya."Iya. Siang tadi Ayahmu datang dan hampir saja menggeledah rumah Nara kalau aku tak mencegahnya. Dan kau tahu dalang di balik semua ini?" Erryl menatap lurus ke arah Justin."Lusi, kah?" Justin balik bertanya, suaranya bergetar menahan emosi."Betul sekali. Makanya setelah tahu aku langsung memecat wanita itu dan menyu
"Bang, kamar tamu kok banyak barang. Enggak diberesin dulu apa biar aku bisa tidur dengan nyaman?" tanya Justin sambil keluar dari kamar tamu dengan wajah masam.Erryl yang tengah bersandar santai di sofa menoleh sejenak, alisnya sedikit terangkat. "Barang?" gumamnya berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Oh, itu semua barang Bastian. Mungkin karena buru-buru, dia enggak sempat bawa pulang."Justin berjalan mendekat lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa, tepat di samping Erryl. "Barang Bastian? Bukannya dia sekarang ada di luar kota?" tanyanya curiga."Tadi aku ada urusan mendesak dengannya," jawab Erryl sambil menatap ke langit-langit mengenang kembali rasa kecewa yang beberapa jam lalu ia rasakan. "Aku kan suruh dia pulang hari ini, dan jujur aku lega sekali karena semua urusan ini selesai meski aku ngerasa sedikit kecewa dengan keputusan akhir yang dia ambil."Justin memberanikan diri menatap wajah abang sepupunya. "Apa ini soal Lusi?" tanya Justin hati-hati.Alis Erryl l
Setelah Justin tertangkap basah berada di dalam rumah Nara, kini mereka bertiga duduk di ruang keluarga. Suasana terlihat begitu tegang."Nara, apa maksudnya ini? Justin tinggal di rumahmu tapi kamu tak memberitahuku?" tanya Erryl dengan tatapan tajam yang membuat udara di ruangan seakan menipis."Nara enggak salah, Bang. Aku yang memohon sama dia untuk diizinkan tinggal di sini tanpa memberi tahu siapapun!" sela Justin cepat seolah ingin membela Nara."Kamu juga sama. Punya masalah sebesar ini bukannya mencariku malah datang ke Nara. Kamu sadar enggak kalau Ayahmu tahu kamu ada di sini, ini bisa jadi masalah serius!" Suara Erryl meninggi, nadanya penuh geram."Kamu itu dekat dengan Ayahku maka dari itu aku enggak bisa mempercayaimu. Menurutku rumah Nara merupakan tempat paling aman. Ayahku enggak akan pernah curiga aku tinggal di sini!" Balas Justin, matanya menantang.Padahal, ingin rasanya Erryl mengatakan pada Justin tentang kejadian tadi siang saat Ayah Justin hampir saja datang
"Kak Erryl, boleh aku masuk?" Suara Bastian terdengar ragu saat melihat pintu kamar Erryl tidak tertutup rapat.Erryl yang duduk di tepi ranjang mengangkat kepalanya. "Aku memang sengaja tidak mengunci pintu karena menunggumu. Jadi gimana? Apa kau sudah menyelesaikan masalah dengan istrimu? Kau akan meninggalkan wanita jahat itu kan?" tanya Erryl penasaran.Bastian menarik nafas panjang seperti sedang mengumpulkan keberanian sebelum berbicara. "Maafin aku, Kak!" Hanya itu yang keluar dari bibirnya, suaranya bergetar."Maaf? Kenapa kau minta maaf?" Dahi Erryl berkerut, firasatnya langsung buruk."Jangan bilang kau mau memberikan kesempatan kedua untuk wanita itu!" ucap Erryl cepat, matanya tajam menatap adiknya.Bastian menunduk. "Kak, aku enggak bisa hidup tanpa Lusi. Aku belum siap kehilangannya. Maaf kalau aku mengecewakanmu!" Bastian berbohong, itu jelas bukan alasan sebenarnya membatalkan cerai. Tapi sayangnya dia tak mungkin mengatakan alasan sebenarnya pada pada sang kakak.Erry
"Sayang, aku bisa jelasin semua. Ini enggak seperti yang kamu pikirkan!' suara Lusi bergetar, matanya memohon, mencoba meraih tangan suaminya.Namun tanpa sepatah kata, Bastian langsung mengayunkan tangannya. Plak!Tamparan keras itu mendarat di pipi Lusi. Rasa panas membakar kulitnya dan air mata seketika mengalir. Bukan hanya sakit yang Lusi rasakan tapi juga malu. Apalagi Bastian melakukannya di hadapan Erryl."Kak, aku minta maaf. Aku enggak tahu istriku segila ini sama kamu!" ucap Bastian dengan suara berat menahan amarah."Maaf!" ucapnya lagi.Erryl menatap dingin. "Kalau bukan karena menjaga perasaanmu, aku sudah memasukan wanita jahat ini ke penjara. Sekarang, aku kasih waktu kalian selesaikan masalah ini sendiri. Aku dukung seratus persen kalau kamu mau membuangnya. Dia bukan istri yang baik!" Nada suaranya penuh kebencian tapi ia memilih menjauh tanpa ingin ikut campur. Erryl kemudian berbalik meninggalkan ruangan.Begitu Erryl pergi, Lusi langsung meraih lengan Bastian. "B