"Bu, aku minta uang. Gajiku yang kemarin dipegang semuanya sama Adel. Aku jadi enggak punya pegangan sama sekali!" Suara Rudy terdengar jelas saat aku hendak melintasi ruang tamu. Aku memutuskan menunda kepergianku, sekedar ingin tahu reaksi ibu mertuaku saat dimintai uang oleh anaknya.
"Memang ibu yang nyuruh Adel ambil semua uangmu. Kalau enggak begitu kamu cuma habisin buat mabuk-mabukan di luar sana," jawab ibu mertua dengan tenang sambil membetulkan kacamata tebalnya. "Tapi aku juga punya kebutuhan sendiri, Bu. Masa tiap ada keperluan aku harus susah payah minta uang ke Adel. Itu kan hasil kerja kerasku sendiri!" keluh Rudy terdengar frustrasi. Namun ibunya tetap bersikap dingin seolah-olah menantunya itu tak pernah salah. Adel, si menantu kesayangan selalu mendapat pembelaan bahkan dalam situasi yang tampak jelas tidak adil. "Kebutuhan apa memangnya? Untuk makan, jajan, dan uang bensin ibu selalu ambilkan dari keuntungan toko. Adel simpankan uangmu biar enggak boros. Kalau tabungan kalian banyak,kamu juga yang nanti senang!" balas ibu mertua dengan suara tegas. Wajah Rudy tampak kecewa namun ibunya sama sekali tak mempedulikannya. "Kalau aku enggak bisa menikmati hasil kerja kerasku sendiri mending aku keluar saja dari pekerjaan. Malas banget selalu diatur-atur seperti ini!" Melihat ekspresi frustasi Rudy, aku tak bisa menahan senyum. Sebelum aku sempat merencanakan sesuatu untuk menghancurkan keluarga ini, rupanya kehancuran sudah datang dengan sendirinya. Aku bahkan tak perlu repot-repot menggerakkan jari. "Jadi cuma karena enggak dikasih uang, kamu lebih memilih jadi pengangguran? Apa kamu bangga jadi beban keluarga? Ibu benar-benar enggak habis pikir. Kok kamu sekarang jadi mirip banget sama Nara, orang yang enggak ada gunanya sama sekali! Menjengkelkan!" Rudy terlihat tak terima karena di sama-samakan denganku. Tapi dia hanya memendam kemarahan, takut masalah ini bertambah besar. Saat suasana di ruang tamu berubah hening, aku berjalan melintas tanpa peduli. Tak ada ucapan permisi ataupun basa-basi. "Malam begini mau ke mana kamu, Nara?" Suara ibumertuaku menghentikan langkahku. "Mau ketemu teman," jawabku singkat tanpa niat melibatkan diri dalam obrolan. "Emang ketemunya enggak bisa besok? Ini sudah malam. Ibu enggak izinin kamu pergi. Enggak baik istri orang keluyuran malam-malam!" Ucapan tajamnya membuatku menoleh dengan senyum kecut. "Adel hampir tiap malam pergi ketemu temannya tapi ibu enggak pernah melarang. Kenapa baru sekali aku keluar ibu langsung melarang?" Aku menantang dengan nada tak kalah tegas. "Adel pergi ada tujuan jelas. Sedangkan kamu? Paling cuma nongkrong enggak jelas sama teman-temanmu!" Lagi-lagi wanita tua itu membela Adel tanpa sedikit pun ragu. "Bu, diizinkan atau tidak aku tetap pergi. Ibu enggak punya hak melarangku seperti ini." Tanpa menunggu jawaban aku membuka pintu meninggalkan ibu mertuaku yang terus mengomel tanpa henti. Namun sebelum langkahku mencapai pintu gerbang, suara Rudy memanggil. "Mbak Nara, tunggu!" Aku berhenti, menoleh dengan tatapan malas. "Kalau kamu mau menyuruhku berhenti atas perintah ibumu lebih baik kembali saja. Aku tetap pergi tak peduli dapat izin ataupun tidak dari kalian," ucapku dingin. "Bukan, Mbak. Aku cuma mau minta tolong." Wajah Rudy tampak berbeda. Tidak sesombong biasanya. "Minta tolong apa?" tanyaku tanpa menunjukan wajah ramah sedikit pun. "Aku pinjam uang dua juta, boleh? Aku ada keperluan mendadak. Minta sama ibu malah diomelin. Adel juga pelit banget padahal semua gajiku dia yang pegang!" Rudy mengeluh panjang lebar tapi aku tetap berdiri kaku tak tergerak sedikit pun. "Aku mana punya uang sebanyak itu? Abangmu saja cuma kasih aku sedikit. Alasannya karena makan dan minum sudah dicukupi orangtuanya jadi aku enggak perlu pegang banyak uang," jawabku santai. "Masa, sih? Tapi Adel selalu bilang ke aku dan ibu kalau kamu dijatah banyak uang tiap bulan sama Bang Galih. Makanya dia enggak mau kalah dan minta semua uang gajiku," cerita Rudy. Dasar Adel! Rupanya ini akar masalahnya. Tak heran kedua mertuaku semakin membenciku belakangan ini. Fitnah seperti ini jelas ulah Adel yang ingin menguasai semua uang Rudy. "Itu bohong, Rudy. Akal-akalan istrimu saja biar dia bisa kuasai uangmu!" Aku memanfaatkan momen ini untuk menyudutkan Adel. Sesekali wanita itu perlu diberi pelajaran. "Iya, bener juga ya, Mbak. Bulan depan aku enggak akan kasih semua gajiku lagi ke dia. Dasar pembohong!" Rudy tampak benar-benar marah dan aku hanya bisa tersenyum kecil membayangkan wajah kesal Adel saat gajian nanti. "Udah malam. Aku pergi dulu ya," ucapku sambil membuka pintu gerbang. "Tunggu, Mbak! Jangan pergi dulu. Tolonglah aku kali ini saja. Aku benar-benar ada kebutuhan mendadak," Rudy memegang lenganku.Memohon dengan wajah penuh harap. "Rudy, uang dua juta itu banyak. Aku benar-benar enggak punya. Kalau mau coba tanya Bang Galih. Pendapatan toko tiap hari banyak, enggak mungkin kalau dia enggak punya," saranku, berusaha cepat menyudahi percakapan. "Bang Galih sama saja pelitnya kayak Adel. Tiap aku pinjam uang dia selalu nuduh aku mau pakai buat mabuk-mabukan," Rudy mengeluh lagi. Tapi aku tak merasa iba sedikit pun. Semua orang sudah tahu kebiasaan buruknya yang tiap malam mabuk jadi wajar saja tak ada yang percaya. "Mbak, tolonglah. Kalau kamu enggak punya dua juta kasih aku sejuta enggak apa-apa. Cuma sejuta saja, Mbak enggak mungkin enggak punya, kan?" Suaranya memelas dan dua tangannya memegang lenganku tapi aku tetap menolak memberikannya uang. Sebenarnya siang tadi aku baru ambil uang di mesin ATM dan nominalnya cukup untuk kuberikan pada adik iparku. Namun jika mengingat betapa jahatnya dia selama ini padaku, aku jadi tak ada niatan sedikitpun untuk membantunya. Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar di depan rumah. Aku menoleh dan melihat kalau Bang Galih turun bersama Adel dari mobil. Tanpa pikir panjang aku segera melepaskan tangan Rudy yang masih menggenggam lenganku. Bukan karena takut Galih salah paham tapi aku tahu betul situasi seperti ini bisa dimanfaatkan menjadi fitnah lain yang akan merusak reputasiku di rumah ini. "Sedang apa kalian disini?" Wajah Bang Galih merah padam saat bertanya. Tidak mungkinkan dia cemburu pada adik lelakinya hanya karena menyentuh dua lenganku sedangkan dia melakukan hal lebih gila lagi pada istri adiknya. "Mbak Adel mau ngeluyur malam-malam, Bang. Aku lagi nyegah dia biar enggak pergi!" ucap Rudy takut dimarahi jika Abang kandungnya tahu kejadian sebenarnya. Dasar munafik! Bang Galih beralih menatapku, "Mau kemana kamu malam-malam begini?" tanyanya dingin penuh amarah. "Aku mau ketemu Sintia, ada hal penting yang ingin kubahas dengan dia!" jawabku tanpa menatap matanya. "Apa enggak bisa ditunda besok saja? Ini udah malam." ucap suamiku sembari melihat jam di tangan kirinya. "Enggak bisa. Ini hal penting, aku tidak bisa menundanya." balasku singkat. "Hal penting? Omong kosong! Tidak ada hal yang lebih penting dari mengurus suami. Kalau kamu pergi, siapa yang akan menyiapkan air hangat untukku mandi?" tanya suamiku kemudian. "Minta tolong saja sama Adel. Bukannya tiap hari dia selalu nempel sama sama kamu. Enggak mungkin kan dia keberatan cuma karena disuruh nyiapin air anget doang. Anggap ini sebagai balas budinya karena selalu nebeng mobilmu selepas ketemuan sama temen-temennya!" jawabanku membuat wajah Bang Galih dan Adel gelisah. Takut aku membahas lagi perselingkuhan mereka sedangkan ada Rudi diantara kami. "Kalau kamu nekad pergi, jangan salahkan aku nanti kamu tidak bisa masuk karena aku akan mengunci semua pintu rumah!" Bang Galih pergi setelah mengancam sedangkan Adel menarik paksa suaminya masuk dalam rumah sembari melirik sinis ke arahku seolah takut aku balas dendam dan gantian menggoda suaminya.Mobil melaju perlahan menyusuri kota yang di padati oleh kendaraan. Di dalam mobil tersebut, Nara duduk kaku di kursi penumpang. Matanya menatap kosong ke luar jendela. Hening menyelimuti keduanya, hanya sesekali terdengar suara mesin dan klakson dari luar.Erryl sempat beberapa kali melirik gelisah ke arah wanita di sampingnya, tapi wanita itu sama sekali tak menggubris, tetap membisu seperti patung.Dan akhirnya Erryl memberanikan diri memulai percakapan, meski dia tahu resiko tindakan nekadnya akan membuat Nara marah."Nar, aku ingin jujur. Sebenarnya selama ini kamu sudah di bohongi oleh Lusi. Aku sama sekali tidak--""Pak, bukankah Anda sudah berjanji tidak akan membahas hal di luar pekerjaan?" Potong Nara cepat. Suaranya datar namun penuh penekanan."Sampai kapan kamu akan seperti ini, Nar? Kalau kita terus menghindar, kamu akan terus salah paham padaku. Dan saat itu terjadi, orang yang paling diuntungkan adalah Lusi.""Salah paham?"Nara mendengus kecil."Jelas-jelas Anda dan L
"Hey, kalian udah dengar belum. Katanya Pak Justin di jodohkan sama anak pemilik salah satu perusahaan besar di kota ini. Dan kabarnya mereka akan segera bertunangan!" ujar Dara memecah suasana pagi di kantor dengan suara nyaring yang sengaja di buat agar semua mendengar, terutama Nara.Nara ingin berpura-pura tak mendengar tapi jarak meja yang berdekatan membuat ucapan itu terasa menamparnya secara langsung."Ya, aku juga denger kok. Waduh, siap-siap ada yang patah hati nih!" timpal Lani sambil melirik ke arah Nara.Nara tetap diam. Tak ada senyum, tak ada bantahan. Hanya nafasnya yang mendadak berat."Rasain! Salah sendiri ngarep sama atasan. Dia pikir siapa dia? Pak Justin itu enggak akan mungkin jatuh cinta sama cewek kelas bawah. Ngaca makanya!" Lusi ikut membuka suara. Suaranya penuh racun. Kalimatnya sengaja di tembakan ke arah Nara seperti anak panah beracun yang siap menghancurkan sisa ketenangannya.Pandangan Nara langsung menusuk Lusi. Ia kenal baik wajah itu. Wajah seorang
Tok...tok...!Sebuah ketukan terdengar jelas di pintu rumah Nara. Nara yang hampir terlelap sontak terbangun dengan dahi berkerut. Ia yakin, pintu gerbang sudah dikunci rapat. Lalu, bagaimana mungkin ada orang yang bisa sampai ke pintu rumah?Dengan langkah hati-hati dan nafas sedikit memburu Nara menggenggam sebilah pisau kecil untuk berjaga-jaga. Dalam hati ia mengumpat pelan siapa yang berani datang bertamu di jam selarut ini."Nara, buka pintunya cepat!"Suara berat dan terburu-buru terdengar dari balik pintu. Nara mengenal suara itu yakni suara Justin, atasannya."Nara tolong Nara, cepat buka pintunya!" seru Justin lagi sambil terus mengetuk pintu. Tanpa pikir panjang, Nara buru-buru membuka pintu.Begitu pintu terbuka Justin terbelalak. Matanya langsung tertuju pada benda tajam yang tergenggam di tangan Nara."Nara, ngapain kamu bawa pisau segala?" tanyanya kaget dan nyaris mundur selangkah."Aku kira yang ngetuk tadi orang jahat, Pak. Tengah malam begini ada yang mengetuk pintu
"Ayah, aku enggak mau di jodohin. Aku udah punya seseorang yang aku sukai!" tegas Justin menatap ayahnya tanpa ragu.Ali menghela nafas panjang. Sorot matanya melirik tak nyaman ke arah Andika dan Zaskia. Meski ia tahu sejak awal bahwa Justin tidak pernah menyukai Zaskia tapi tetap saja ia merasa canggung karena anaknya terlalu berterus terang di depan keluarga calon besan."Pak Andika, mohon maaf. Bolehkah saya bicara secara pribadi dengan anak saya?" ucap Ali dengan nada sopan"Tentu saja kau harus bicara dengannya Pak Ali!" jawab Andika dengan nada dingin."Dan jangan lupa, ingatkan anakmu agar tidak berlaku tak sopan seperti tadi pada anakku. Kalau tidak, kau akan kehilangan kesempatan emas untuk mendapatkan investasi dariku. Kau paham maksudku, kan? Investasi ini bukan angka kecil. Perjodohan ini akan memguntungkan kedua pihak!"Ali menelan ludah, lalu mengangguk. "Baik, Pak Andika."Ia pun segera menarik lengan Justin lalu membawanya ke ruang keluarga agar bisa berbicara lebih l
Hampir satu jam berlalu. Nara masih setia berdiri di depan restoran yang ia pilih untuk mentraktir Justin. Namun sayangnya Justin tak kunjung datang. Hatinya mulai di liputi rasa kesal. Ia pun segera mencoba menghubungi Justin. Namun sayangnya tidak satupun panggilannya di jawab oleh Justin."Tadi siang ngencem enggak boleh sampai enggak jadi. Tapi dia sendiri malah yang ngilang enggak jelas gini!" gumam Nara. Kesabarannya akhirnya runtuh. Ia merasa seperti orang bodoh yang sedang di permainkan. Dengan nafas berat dan hati kecewa ia memutuskan untuk pulang.Namun, saat melihat jam di ponselnya yang baru menunjukan pukul 19.30 malam, Nara mengurungkan niatnya untuk langsung kembali ke rumah. Ia tidak ingin kepergiannya malam ini menjadi sia-sia. Sebuah ide tiba-tiba terlintas. Ia ingin menemui Sofia untuk menanyakan sesuatu. Ada rasa penasaran yang sejak siang tadi mengusik pikirannya. Itu tentang Surti, mantan ibu mertuanya yang tiba-tiba muncul dan membuatnya terlambat menemui klien
"Sekarang kamu kembali ke ruang kerjamu. Ingat, masalah tadi jangan kamu pusingkan lagi. Aku akan lapor ke Abang sepupuku dan bertanggungjawab penuh!" ucap Justin begitu mereka kembali ke kantor. Nara menunduk merasa bersalah. "Tapi saya rasa saya juga harus menghadap ke Pak Erryl untuk ikut bertanggungjawab, Pak. Biar bagaimanapun, semua salah saya. Kalau bukan karena mantan ibu mertua saya mengacau, ini tidak akan terjadi!" ucap Nara. "Kamu enggak boleh bilang apa-apa, Nara! Jika sampai abang sepupuku tahu soal tadi, dia akan mencari orang-orang yang tadi mengganggumu dan menghajarnya tanpa ampun. Kamu mau keadaannya makin rumit jika itu terjadi?" "Tapi, pak--" "Percaya padaku, Nara. Dia bisa berbuat lebih gila dariku jika sudah merasa orang yang ingin dia lindungi di ganggu. Ini demi kebaikan semua pihak." ucap Justin penuh kekhawatiran. Nara menghela nafas dalam. Wajahnya terlihat lelah dan penuh tekanan. Ia tahu ucapan Justin ada benarnya juga, namun membiarkan seseorang