Share

Bab 2 Berniat Bunuh Diri

Keesokan harinya di sebuah cafe ...

Seorang wanita cantik dan modis, mengulas senyum jahat karena tujuannya telah tercapai. Ia menarik salah satu sudut bibirnya dan membayangkan penderitaan yang akan dialami oleh Aisyah.

"Apa benar kamu sudah membuat wanita itu menderita seumur hidupnya? Kalau boleh saya tahu, apa yang telah kau lakukan pada wanita itu?" tanya dia penasaran.

Pria berjas hitam tebal itu menyilangkan kaki, dan meneguk minuman bersoda beberapa kali, lalu menjawabnya, "Aku sudah merenggut kehormatannya. Menurut kamu apakah yang aku lakukan padanya sudah sebanding dengan apa yang ia perbuat pada saudaraku?"

Adam Smith, pria berdarah Jerman, yang memiliki perusahaan terbesar di kota ini, merasa lega telah meluapkan kesalnya pada wanita yang sudah dianggap menghancurkan keluarganya.

"Apa?" Dengan menutup mulut karena tidak percaya, akan apa yang diperbuat Adam.

"Kenapa memangnya? Sepertinya kau sangat terkejut? Bukankah itu sudah sebanding dengan kesedihan yang keluargaku alami?" 

Ia menurunkan kakinya dan menatap wajah wanita yang memakai bando merah di atas kepala itu dengan serius.

Huft!

Dia adalah Jenny, wanita sekaligus teman bisnis Adam, mengatur ritme nafasnya. Jantungnya bekerja dua kali lipat. Tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar.

"Kamu benar, Adam. Dia sudah turut andil dalam kejadian itu. Dia memang pelakunya. Wanita itu pantas mendapatkan hukuman itu!"

Raut wajahnya kembali menunjukkan kebencian. Ia menatap dalam pandangan kosong, dan menggerakkan gigi-giginya membayangkan kejahatannya.

"Kamu tenang saja, penderitaan itu akan terus berlanjut!" ucapnya, sembari mengulas senyum dinginnya.

"Lalu selanjutnya, apa yang akan kamu lakukan pada wanita itu?" tanya Jenny serius. 

"Tunggu saja sampai waktunya tiba, kau akan mengetahui sendiri."

Wanita itu beberapa kali mengukir senyumnya tanpa diketahui Adam.

"Apa kamu tidak ingin melaporkannya ke polisi? Ia akan dihukum seumur hidup!" Jenny memberi pendapat lain.

Adam menggelengkan kepala. "Tidak! Aku ingin siksa dia sesuai keinginanku."

Tangan kanannya mengepal. Menunjukkan otot tangannya yang kuat. Ia mengangkat dan menjatuhkan kemeja dengan keras. Membuat Jenny ketakutan.

'Aku tidak bisa bayangkan, jika pria ini tiap hari menyiksanya. Membayangkannya saja aku tidak sanggup,' batinnya.

Kling kling…

Terdengar suara dering ponsel Adam. Ia meraih benda pipih itu dari saku kemejanya.

Melihat kontak pemanggil. 'Heru?'

Sebuah panggilan dari anak buahnya, mengabarkan jika wanita itu berhasil meloloskan diri. Tanpa sepengetahuan mereka.

Ia berteriak dengan uratnya memberikan titah untuk mencari dan menemukannya.

"Baik Bos!" jawabnya dari seberang telpon.

"Dasar bodoh!" umpat Adam.

Di lain tempat, dimana Aisyah berada.

[Ikuti terus wanita itu, kemanapun ia pergi! Berikan laporan padaku!] Sebuah perintah yang dikirimkan dari pesan chat diberikan pada dua pengawal yang akan memantau keseharian Aisyah.

[Baik, Bos!] Salah satunya membalas.

Sebuah hijab panjang sedikit lusuh berwarna hitam, menutupi kepalanya. Ia menarik ujung hijab dan melingkarkan, menutupi sebagian wajahnya.

Meski Ia tidak menyangka banyak juga satu di antara lainnya mengenali bahwa dia adalah : Aisyah.

Wanita itu hanya menunduk dan berjalan saja melewati tepi jalan raya. Satu tangan kiri terlihat sedang melambai menghalang angkot yang akan lewat.

Sebuah angkutan umum berwarna hijau muda berhenti di depannya, lekas ia naik ke dalam angkutan umum itu.

Dua pria berbadan kekar mengikuti angkutan itu dari belakang dengan sebuah mobil hitam yang diberikan Adam untuk mempermudah pekerjaannya.

"Berhenti disini, Pak!" ucapnya sedikit serak. Tenggorokannya hampir kering, karena seharian kemarin ia gunakan untuk menangis.

Bahkan saat ini saja, wajahnya sudah terlihat seperti gadis buruk rupa.

Setelah memberikan ongkosnya, Aisyah berjalan memasuki TPU daerah setempat. 

Sementara dua pria yang mengikutinya tadi merasa heran, apa yang akan dilakukan wanita itu di tempat pemakaman?

Berjalan sedikit lambat, ia beberapa kali memegang keningnya, dengan langkah terhuyung-huyung.

Sesampainya di sebuah gundukan yang terlihat masih baru dengan beberapa taburan bunga yang baru saja layu. Bertuliskan nama Dewangga Adiwiyata.

Ia duduk di samping pusara seorang pria yang baru dimakamkan -- Aisyah meletakkan kepala di atasnya. Kembali Ia membuat linangan air mata di kedua pelupuk matanya.

Satu tangan mengelus tanah yang masih basah, terdengar isak tangisnya yang lirih. Mulutnya terbuka seraya mengatakan, "Mas Dewa, hidupku telah hancur! Aku harus bagaimana melanjutkan hidupku ini? Apa aku mati saja menemanimu disana?" ucapnya -- sesekali menyeka air mata.

Diikuti tangis yang menjadi, membuat yang melihatnya turut iba. Ia memukul gundukan tanah itu berulang kali, ingin meluapkan kesalnya. Ia tidak memiliki harapan lagi.

"Aku benci kehidupan ini! Mengapa aku tidak ditakdirkan untuk bahagia! Aku tidak memiliki siapapun didunia ini kecuali kamu, Mas Dewa!" teriaknya, suara itu kian meninggi.

Dua orang yang mengikutinya tadi hampir tidak percaya. Mereka saling bertukar pandang. Menyaksikan wanita itu mencurahkan isi hatinya.

"Apa Bos tidak salah, jika menuduh wanita itu sebagai pelakunya? Aku merasa tidak yakin."

"Kamu benar. Seperti ada yang salah. Tapi ... Kita tidak berani membantah Bos."

Laporan telah dikirimkan melalui pesan chat, salah satu anak buah Adam mengirimkan hasil foto dan rekam video Aisyah.

Pria itu segera melihatnya, merasa aneh saja. Akan tingkah wanita itu.

"Apa yang sedang ia lakukan disana? Bukankah kejadian itu adalah murni kesalahannya? Kenapa saat ini seakan ia sedang mengadukan nasib buruknya? Benar-benar munafik! Cih!" oloknya.

Aisyah masih dalam kesedihannya, meratapi hidup tiada habisnya.

Berteriak pada Sang Pencipta, kenapa kehidupan ini tidak ada keadilan untuknya?

"Aku malu ... Bagaimana aku bisa menjalani kehidupan ini selanjutnya, pasti orang-orang akan menganggap jijik diriku ini, bagaimana aku bisa bertahan?"

"Mas Dewa! Kenapa kamu pergi secepat ini? Katanya kamu akan dampingi hidupku untuk selamanya, bahkan beberapa bulan lagi kau berjanji akan melamar-ku? Tapi? Kamu malah meninggalkan aku sendiri, Mas! Kamu jahat, Mas! Tidak ada lagi yang menjaga diriku! Lihatlah aku sudah kotor! Aku tidak pantas hidup! Aku malu! Aku akan menyusul-mu ke surga saja!" teriaknya berjalan sembari menoleh gundukan itu sambil berjalan menjauh.

Aisyah berbicara dengan lantang, sepertinya ia sudah tidak dapat berpikir jernih karena masalah ini terlalu berat baginya.

Dua pria itu bersiap, mereka dapat memastikan jika wanita itu akan mengakhiri hidupnya. Mereka masih diam menunggu pergerakan Aisyah selanjutnya.

Ia mulai berdiri dengan langkah gontai. Meninggalkan pusara yang baru disinggahinya.

Aisyah mengangkat kepala, lalu berdiri. Kakinya yang sedikit lemah ia paksa untuk melangkah. Di bawah teriknya matahari siang ini yang membakar kulit.

Kembali ia menutup wajahnya, dengan bantuan hijabnya yang panjang. Dan pergi meninggalkan area tempat pemakaman umum tersebut dengan wajah pucat.

Kali ini ia berjalan saja, dua pria tadi masih mengekor di belakangnya, tanpa sepengetahuan Aisyah.

Kaki yang sudah tidak bisa lagi menahan beban tubuhnya -- berhenti di sebuah jembatan besar. Ia membalikkan tubuhnya menghadap pagar besi pembatas jalan.

"Aku malu menanggung semua ini," pikirnya pendek.

Melihat di sekitar jalan sepi, dan siapa juga yang akan memperdulikannya saat ia sudah tidak memiliki harga diri lagi.

"Ini jalan terbaik!"

Mga Comments (3)
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
lom ngeh m ceritanya msh muter2...
goodnovel comment avatar
Titik Balik Author
makin penasaran ... Aisyah...mangat
goodnovel comment avatar
Goresan Pena Bersyair
Semngt aisyah
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status