“Gavin, segera cari dia. Aku tidak peduli bagaimana caranya. Gunakan semua CCTV, semua akses… aku tidak peduli kau harus meretas sistem kepolisian sekalipun. Aku harus tahu di mana Liora!” suara Adrian pecah, nadanya tegang namun juga penuh ketakutan.Gavin yang berdiri di sisi ranjang mencoba tetap tenang. “Tuan… tolong istirahat dulu. Saya yang akan mencari Nyonya. Saya janji, saya akan menemukannya. Tapi Tuan harus tenang, biarkan saya bekerja.”Namun Adrian menggeleng keras. Tangan yang lemah, yang penuh jarum infus meraih lengan Gavin dengan kekuatan terakhir.“Tidak! Kau tidak bisa diam saja, Gavin. Dia bisa saja dalam bahaya. Aku sudah kehilangan banyak hal… aku tidak akan kehilangan dia juga. Aku akan ikut, denganmu. Biarpun aku harus dibawa dengan kursi roda, dengan perawat, dengan tabung oksigen, aku akan ikut!”Juliana yang sejak tadi menangis langsung menahan bahu anaknya. “Adrian! Kau jangan bikin Mama khawatir?! Tubuhmu bahkan tidak bisa menahan diri sendiri. Kita akan t
Gavin, Liora dan Ibu Panti duduk di salah satu kafe yang tidak jauh dari rumah sakit. Seperti permintaan Gavin. Hanya tiga puluh menit untuk dia menjelaskan, lalu Liora bebas memutuskan.Tanpa basa-basi, Gavin langsung menjelaskan semuanya.“Nyonya Liora, dengarkan aku. Soal kafe Ryan yang kebakaran, itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Tuan Adrian. Aku ada buktinya. Ryan sepertinya sedang ingin klaim asuransi kafenya.Lalu soal pembunuh Ibu Nyonya, itu juga bukan Tuan Adrian. Dia bahkan baru tahu ada kejadian pembunuhan di balik kasus percobaan pembunuhan ayahnya oleh Bennedict beberapa tahun lalu.”Gavin menghela napas untuk melanjutkan penjelasannya.“Dan soal Clara. Semua itu juga fitnah. Ada CCTV di kamar Tuan yang membuktikan semuanya. Tuan Adrian benar-benar sangat mencintai Nyonya. Hidupnya berubah setelah dia menyadari perasaannya pada Nyonya. Dia hanya ingin Nyonya merasa nyaman dan dicintai olehnya.”Liora terlihat membuang wajah mendengar semua penjelasan Gavin. Seak
Liora berdiri kaku, wajahnya tegas tapi matanya sebenarnya mulai basah. Seperti tidak siap untuk masuk ke dalam kamar itu dan melihat Adrian.“Ini ruangannya? Ayo,” ucap Ibu Panti.Liora menoleh, lalu melangkah masuk ke dalam.Juliana, Camila dan Gavin langsung menoleh saat melihat Liora masuk.Adrian yang meringis, mengigau, menyebut nama Liora lalu meminta maaf pun tiba-tiba terdiam.“Liora?” sapa Juliana.Liora menatap wajah wanita itu. Wajah yang masih tegas dan tatapan yang penuh luka.“Kamu datang, Liora? Aku tahu kamu pasti datang. Maafkan kami, Liora. Tolong lihat Adrian. Maafkan dia…”“Li- Liora… Maafkan aku…” Mata Adrian basah, memerah dan lemah.“Tu- tuan… jangan beranjak dulu,” ucap Gavin menahan.Liora melangkah dingin mendekati Adrian. Dia mendekat, tapi hatinya tidak. Apalagi rasa bencinya. Sama sekali tidak bera
Kini Juliana dan Camila yang bergantian menjaga Adrian. Mereka tidak pernah melihat pria itu dalam keadaan seburuk ini. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat, dan bibirnya sering kali hanya menggumam menyebut nama Liora. Terkadang, Adrian terbangun dengan teriakan lirih, memohon maaf kepada sosok yang tidak ada di hadapannya. Matanya kosong, tapi basah oleh air mata yang tak bisa ia bendung.Juliana beberapa kali mencoba menghibur, namun yang terdengar hanyalah permintaan maaf yang diulang-ulang, seakan-akan Adrian terjebak dalam lingkaran penyesalan yang tak berujung.Camila pun ikut tertekan. Terlebih lagi, ancaman Clara kian menghantui mereka. Meski mereka sudah memberikan uang dalam jumlah besar agar mulut Clara tetap terkunci. Namun, itu tidak menghentikan bayangan buruk yang terus menekan mereka.Sementara itu, Gavin tidak tinggal diam. Ia tahu Adrian tidak akan bertahan jika Liora tidak segera kembali. Setelah kedatangan Juliana dan Camila dan diperintahkan untuk mencari Liora, dengan
Adrian membayar taksi dengan tangan yang gemetar. Napasnya terengah, keringat dingin membasahi pelipisnya. Dengan map cokelat berisi berkas-berkas lama yang ia genggam erat, ia melangkah sempoyongan melewati pintu utama rumah sakit. Setiap langkah terasa seperti menapak di atas duri.Suster yang berjaga di meja depan spontan berdiri. “Tuan Adrian! Astaga, kondisi Anda—”Namun sebelum sempat dipapah, tubuh Adrian sudah goyah. Untung saja Gavin datang tepat waktu. “Tuan!” serunya, segera menahan bahu Adrian agar tidak jatuh. Melihat wajah pucat sang majikan, Gavin panik. “Apa yang Anda lakukan? Seharusnya tetap di kamar, bukan berkeliaran seperti ini!”Adrian tidak menjawab. Matanya hanya menatap map di tangannya, seakan itu lebih penting dari nyawanya sendiri. “Gavin… simpan ini. Tunjukkan ini pada Liora…” suaranya serak, nyaris tak terdengar.Dengan cepat Gavin dan suster memapahnya masuk ke ruang perawatan. Dokter dipanggil tergesa. Setelah diperiksa, hasilnya jelas tubuh Adrian drop
Adrian masuk ke rumah dengan langkah terseok, kemejanya kusut, wajah pucat pasi, dan napasnya terengah. Setiap gerakan seperti menyayat tubuhnya, namun tekadnya lebih besar dari rasa sakit. Juliana yang masih terjaga karena diliputi ketakutan akan teror Clara, langsung terkejut melihat sosok anaknya pulang dengan kondisi mengenaskan.“Adrian!” Juliana berlari menghampiri, memegangi lengannya agar tidak jatuh. “Kau kenapa? Kamu sakit? Tubuhmu—”Adrian menepis pelan tangan ibunya pelan namun matanya tajam, penuh dengan sisa amarah dan tekad.“Aku tidak punya waktu, Ma,” suaranya serak. “Aku harus… membuktikan sesuatu. Liora tidak akan percaya kata-kataku begitu saja. Aku harus menunjukkan kebenaran dengan bukti.”“Kebenaran apa?!” Juliana memaksa menahan tubuh Adrian yang hampir roboh. “Kau bahkan hampir tidak bisa berdiri, Adrian. Kau sakit??!”Namun, Adrian sama sekali tidak peduli. Ia menyeret kakinya menuju ruang kerja, meninggalkan Juliana yang panik di belakang.Di ruang kerja, Ad