Liora menegang seketika. Napasnya tercekat. Tatapan Adrian menembus matanya, begitu dekat dan mengancam.
Namun dalam sekejap, Adrian menarik diri. Ia seolah jijik pada apa yang baru saja dilakukan. Ia berdiri menjauh dan melepas jasnya dengan gerakan kesal. “Kau pikir aku menginginkanmu? Menyentuhmu? Tidak akan!” Liora memandangnya dengan napas masih memburu. Tapi, setidaknya dia lega mengetahui pria itu tak benar-benar akan menyentuhnya. Adrian berjalan ke arah jendela besar, membelakangi Liora. Suaranya terdengar berat. “Kalau bukan karena nama baik keluargaku, aku tidak akan mungkin menikahi gadis bisu yang tidak berguna sepertimu!” Dia berbalik perlahan, menatap Liora dengan mata tajam yang menyimpan luka lama. “Kau hanya perisai. Boneka yang aku pajang di depan publik agar mereka berhenti mempertanyakan tabrak lari itu. Sekaligus memastikan kalau kau tidak akan bisa mengungkapkan yang sebenarnya pada publik!” Liora menelan ludahnya dan menahan air matanya. Namun, wajahnya tetap menantang. Matanya menyala dengan perlawanan yang hanya bisa ia tunjukkan lewat diam. Penuh kebencian. “Aku sudah sangat lelah hari ini. Kau tidurlah di situ. Jangan berpikiran untuk membuat masalah!” Adrian menaiki tempat tidurnya yang luas dan empuk. Sementara itu, Liora tetap diam di sofa. Kakinya yang sudah dibalut perban masih berdenyut perih, namun rasa itu kalah jauh dibanding luka di dalam dadanya. Ia memeluk tubuh sendiri, membiarkan air mata jatuh tanpa suara. Dengan harapan besok tak seburuk hari ini. ** Pagi menyapa lewat sinar matahari yang menembus tirai kamar. Adrian bangun lebih dulu. Ia melirik sekilas ke arah sofa. Liora masih tertidur dalam posisi meringkuk. Ia mengambil ponsel dan membuka beberapa notifikasi. Satu pesan membuatnya terdiam. Dari rumah sakit. [Tuan Adrian, ayah dari Nona Liora telah sadar pagi ini. Beliau mencari anaknya. Kondisinya stabil, namun emosional. Kami menunggu konfirmasi kunjungan dari pihak keluarga.] “Permainan ini akan semakin rumit,” gumamnya dingin. Adrian bangkit. Turun dari tempat tidur dan berdiri di hadapan Liora yang tidur tidak nyaman di sofa. “Kau, bangunlah!” suara itu tegas dan berhasil membuat Liora lekas tersadar. “Ayahmu sudah sadar. Dia mencarimu. Kalau kau ingin berjumpa dengannya, cepatlah bersiap-siap!” jelas Adrian datar. Liora langsung duduk dengan tatapan penuh haru dan hati yang sedikit bersemangat. Segera ia melangkah sedikit pincang untuk ke kamar mandi. Saat selesai mandi, dia melihat ada dress yang indah di atas kasur. Adrian pun masuk. “Pakai itu! Mulai hari ini kau harus siap menghadapi media yang akan terus mengejar kita. Tunjukkan wajah bahagia, senyum dan tenang. Jangan sampai kau memberi kode tertentu! Apalagi merespon pertanyaan yang mengarah pada kecelakaan itu!” ancamnya. Liora hanya menatapnya, tidak menjawab walau hanya sebatas anggukan. Namun, ia tetap mengenakan baju itu sementara Adrian tengah mandi. Saat Adrian selesai mandi, dia pun terkejut melihat Liora. Dress itu sangat cocok di tubuhnya. Sesaat dia terdiam namun dengan cepat membuang wajahnya saat Liora menatapnya. “Kamu turun ke bawah dan sarapan,” suruh Adrian, namun Liora justru menunggunya di luar kamar.“Kenapa kau masih di sini? Apa kau juga sudah tuli? Aku bilang turun ke bawah dan sarapan!” bentaknya.
Liora hanya diam. Adrian berdecak kesal. “Cepat!” ujarnya berjalan cepat meninggalkan Liora. Saat Adrian menoleh ke belakang, dia melihat wanita itu berjalan dengan langkah yang masih pincang. Dia tidak menolongnya sama sekali. Juliana dan Camilla saling menatap saat melihat wanita yang dianggap asing. “Ma, kami akan ke rumah sakit. Ayahnya sudah sadar. Kalau ada media yang datang ke sini, tidak perlu menjelaskan apa-apa soal tabrak lari itu. Tapi, kalau ada yang bertanya pernikahan kami, katakan semua itu pilihanku,” jelas Adrian tegas. “Mama tidak sabar semua ini berakhir agar tidak ada orang asing lagi di rumah ini!” balas Juliana. Sarapan itu tidak sedap lagi di mulut Liora. Sulit rasanya untuk menelan dalam kepahitan meski ia menyentuh perutnya yang lapar. ** Di dalam ruangan, Samuel—ayah Liora—masih terbaring lemah di tempat tidur, selang infus masih terpasang di tangan. Di televisi yang menggantung di dinding, tayangan ulang berita pernikahan Liora dan Adrian masih mengalir. Semua itu membuatnya tegang dan gamang. Dadanya sesak. Matanya membelalak saat melihat Liora di ambang pintu. “Liora…?” suaranya serak. Liora segera berlari kecil, lututnya bergetar, lalu memeluk ayahnya erat dengan tumpahan air mata yang coba ia paksa tahan namun tidak bisa. Samuel membelai rambut putrinya dengan lembut, meski tangan itu bergetar. “Kamu... menikah?” Liora tidak sanggup menjawab. Pria paruh baya itu menoleh pada Adrian. “Kenapa kau menikahi putriku?” lirihnya. Adrian menarik napas, menegakkan tubuh. “Pernikahan ini harus terjadi karena mobil saya menabrak Anda. Saya bertanggung jawab. Saya menikahinya karena saya tidak ingin kalian mengatakan yang sebenarnya pada publik dan membuat nama keluarga saya jatuh,” jelasnya. Samuel menekan dadanya karena terasa sakit. Apalagi melihat isakan putrinya yang mengadu lewat diam dan tatapan mata yang sembab. Ia pun menatap Adrian lama. “Tapi, aku tahu bukan kamu pelakunya…,” lirih Samuel. Liora terkejut mendengar ucapan ayahnya. Dia menatap Adrian. Wajah Samuel mulai pucat. Napasnya mulai tidak beraturan. Namun, ia tetap tersenyum lirih dan berkata dengan suara paling tegas yang bisa ia keluarkan. “Tapi tolong... jaga anak saya. Dia... tidak punya siapa-siapa lagi.” Adrian malah terdiam. Samuel menatap putrinya. Seketika itu juga monitor detak jantung mengeluarkan bunyi peringatan. Bersamaan saat Samuel menekan dadanya sendiri. Liora memeluk tubuh ayahnya. Tangannya gemetar. Sorot matanya ketakutan. Ia mengguncang tubuh itu perlahan, berharap masih ada respons. Ia tidak ingin melepas, sampai dokter dan perawat melakukan pemeriksaan. “Kami sudah berusaha. Pasien tiba-tiba mengalami serangan jantung dan tidak bisa bertahan. Kami turut berduka.” Liora jatuh terduduk saat menggenggam tangan ayahnya yang mulai dingin. Mulutnya mangap seperti orang yang hendak menjerit, namun tidak ada yang mendengar betapa hancurnya hidupnya saat itu. Tak kuat menahan badai yang menerpanya, tubuh itu pun ikut terkulai di lantai rumah sakit. Bersambung…Sebuah tembakan mengenai atap ruangan itu. Liora terkejut dan diam di tempat.Gavin merasa sedikit lega karena Bennedict tidak langsung menembak tuannya. Namun ia semakin berhati-hati, begitu juga anak buahnya agar Adrian selamat.Tubuh Liora gemetar. Dia menutup mulutnya yang ingin berteriak menangis memanggil Adrian.“Sudah kubilang diam di tempat! Jangan pancing aku!” bentak Bennedict.Gavin melirik empat anak buah tuannya. Seolah berbicara lewat lirikan mata.Saat Bennedict lengah di tengah ancaman yang dia berikan, tiba-tiba…BUG!!!Salah seorang anak buah langsung menunjang lengan Bennedict dan membuat pistol itu jatuh dari tangannya dan terlempar.Sigap Bennedict berlari dan merangkak untuk meraih kembali pistol itu, namun, Liora berlari cepat menendang pistol itu semakin jauh. Saat itu pula ke empat anak buah Adrian langsung menangkap Bennedict dan menguasainya.“Bajingan! Lepaskan!” teriak Bennedict.“Bawa, tahan dan amankan dia!” ucap Gavin pada ke empat anak buah Adrian.Li
Belum sempat Liora berkata apapun, tiba-tiba pintu ruang yang gelap itu didobrak. Empat orang yang badannya tidak kalah besar dari dua penculik yang menahannya, langsung melawan dan mengepung. Adu fisik tidak dapat dielakkan. Namun, apapun itu Liora yang panik, yakin ini adalah kesempatannya untuk kabur.Keributan pecah dalam ruangan sempit itu. Kursi terbalik, kaca pecah, geraman dan dentuman benda-benda meenuhi udara. Dua orang penculik dihajar habis-habisan oleh anak buah Adrian.Adrian dan Gavin pun tiba.“Liora…” panggil Adrian. Suaranya lemah. Selemah posisi berdirinya yang tidak kuat. “Gavin! Amankan Liora terlebih dahulu…” ucapnya.Gavin langsung mendekati Liora dan berusaha melepas ikatannya.Namun fokus semua orang seketika terhenti ketika Bennedict muncul dengan pistol teracung tepat di pelipis Adrian.“Jangan bergerak!” bentak Bennedict, suaranya berat, sarat dengan kebencian.Semua orang menegang. Gavin yang baru saja menarik Liora ke belakang, mendesis pelan. “Sial…”Adr
“Gavin, segera cari dia. Aku tidak peduli bagaimana caranya. Gunakan semua CCTV, semua akses… aku tidak peduli kau harus meretas sistem kepolisian sekalipun. Aku harus tahu di mana Liora!” suara Adrian pecah, nadanya tegang namun juga penuh ketakutan.Gavin yang berdiri di sisi ranjang mencoba tetap tenang. “Tuan… tolong istirahat dulu. Saya yang akan mencari Nyonya. Saya janji, saya akan menemukannya. Tapi Tuan harus tenang, biarkan saya bekerja.”Namun Adrian menggeleng keras. Tangan yang lemah, yang penuh jarum infus meraih lengan Gavin dengan kekuatan terakhir.“Tidak! Kau tidak bisa diam saja, Gavin. Dia bisa saja dalam bahaya. Aku sudah kehilangan banyak hal… aku tidak akan kehilangan dia juga. Aku akan ikut, denganmu. Biarpun aku harus dibawa dengan kursi roda, dengan perawat, dengan tabung oksigen, aku akan ikut!”Juliana yang sejak tadi menangis langsung menahan bahu anaknya. “Adrian! Kau jangan bikin Mama khawatir?! Tubuhmu bahkan tidak bisa menahan diri sendiri. Kita akan t
Gavin, Liora dan Ibu Panti duduk di salah satu kafe yang tidak jauh dari rumah sakit. Seperti permintaan Gavin. Hanya tiga puluh menit untuk dia menjelaskan, lalu Liora bebas memutuskan.Tanpa basa-basi, Gavin langsung menjelaskan semuanya.“Nyonya Liora, dengarkan aku. Soal kafe Ryan yang kebakaran, itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Tuan Adrian. Aku ada buktinya. Ryan sepertinya sedang ingin klaim asuransi kafenya.Lalu soal pembunuh Ibu Nyonya, itu juga bukan Tuan Adrian. Dia bahkan baru tahu ada kejadian pembunuhan di balik kasus percobaan pembunuhan ayahnya oleh Bennedict beberapa tahun lalu.”Gavin menghela napas untuk melanjutkan penjelasannya.“Dan soal Clara. Semua itu juga fitnah. Ada CCTV di kamar Tuan yang membuktikan semuanya. Tuan Adrian benar-benar sangat mencintai Nyonya. Hidupnya berubah setelah dia menyadari perasaannya pada Nyonya. Dia hanya ingin Nyonya merasa nyaman dan dicintai olehnya.”Liora terlihat membuang wajah mendengar semua penjelasan Gavin. Seak
Liora berdiri kaku, wajahnya tegas tapi matanya sebenarnya mulai basah. Seperti tidak siap untuk masuk ke dalam kamar itu dan melihat Adrian.“Ini ruangannya? Ayo,” ucap Ibu Panti.Liora menoleh, lalu melangkah masuk ke dalam.Juliana, Camila dan Gavin langsung menoleh saat melihat Liora masuk.Adrian yang meringis, mengigau, menyebut nama Liora lalu meminta maaf pun tiba-tiba terdiam.“Liora?” sapa Juliana.Liora menatap wajah wanita itu. Wajah yang masih tegas dan tatapan yang penuh luka.“Kamu datang, Liora? Aku tahu kamu pasti datang. Maafkan kami, Liora. Tolong lihat Adrian. Maafkan dia…”“Li- Liora… Maafkan aku…” Mata Adrian basah, memerah dan lemah.“Tu- tuan… jangan beranjak dulu,” ucap Gavin menahan.Liora melangkah dingin mendekati Adrian. Dia mendekat, tapi hatinya tidak. Apalagi rasa bencinya. Sama sekali tidak bera
Kini Juliana dan Camila yang bergantian menjaga Adrian. Mereka tidak pernah melihat pria itu dalam keadaan seburuk ini. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat, dan bibirnya sering kali hanya menggumam menyebut nama Liora. Terkadang, Adrian terbangun dengan teriakan lirih, memohon maaf kepada sosok yang tidak ada di hadapannya. Matanya kosong, tapi basah oleh air mata yang tak bisa ia bendung.Juliana beberapa kali mencoba menghibur, namun yang terdengar hanyalah permintaan maaf yang diulang-ulang, seakan-akan Adrian terjebak dalam lingkaran penyesalan yang tak berujung.Camila pun ikut tertekan. Terlebih lagi, ancaman Clara kian menghantui mereka. Meski mereka sudah memberikan uang dalam jumlah besar agar mulut Clara tetap terkunci. Namun, itu tidak menghentikan bayangan buruk yang terus menekan mereka.Sementara itu, Gavin tidak tinggal diam. Ia tahu Adrian tidak akan bertahan jika Liora tidak segera kembali. Setelah kedatangan Juliana dan Camila dan diperintahkan untuk mencari Liora, dengan