Liora buru-buru turun dari tempat tidur, panik, enggan disentuh. Tubuhnya masih gemetar, emosinya belum pulih dari tamparan Juliana sebelumnya.
Ia berlari menjauhi ranjang. Krak! Liora meringis keras dalam diam. Ia jatuh terduduk, menggigit bibir menahan perih. Telapak kakinya menginjak pecahan beling yang belum dibersihkan dari kejadian sebelumnya. Darah segar langsung mengalir membasahi lantai. Adrian mendekat cepat, menatap luka itu dengan rahang mengeras. “Bodoh! Kau bahkan tidak bisa menjaga dirimu sendiri!” serunya tajam. Dia memelototi Liora, seakan kejadiannya adalah kesalahan mutlak wanita itu. Liora berusaha mengesot mundur, tapi rasa sakit di kakinya membuatnya tak mampu melangkah lebih jauh. Adrian meraih remote TV dan menyalakan layar besar di dinding. Suara siaran langsung memenuhi ruangan. “...dan inilah potongan eksklusif pernikahan diam-diam pewaris keluarga Ashton. Sosok mempelai wanita masih menjadi misteri, namun masyarakat penasaran dengan ekspresi wajahnya yang tampak begitu tenang dan menunduk sepanjang acara….” Liora membeku setelah ia menatap ke layar itu. Wajahnya terpampang di sana. Meski tak sepenuhnya jelas, tapi cukup menunjukkan siluet dirinya berdiri bersama Adrian, gaun putih sederhana, dan ekspresi beku di wajahnya yang bisu. Suaranya mungkin tidak terdengar, tapi seluruh dunia kini melihatnya. Sakit di kakinya sangatlah perih, tapi kini jantungnya justru seperti dicekik. “Lihatlah baik-baik,” ujar Adrian datar. “Kau bukan lagi gadis bisu yang hanya harus bersembunyi di balik dinding rumah ini.” Ia menatap Liora tajam, lalu jongkok di hadapannya, menahan tangan wanita itu dengan kuat. “Tapi kau mulai dicari-cari media. Mulai sekarang, kau harus belajar menggunakan wajahmu sebagai senjata. Wajahmu harus bisa berbicara. Aku tidak mau melihat wajah muram atau tekanan di depan kamera. Jangan menimbulkan tanda tanya pada media!” Liora menatapnya takut-takut, matanya menggenang namun tetap menyala dengan kemarahan tersembunyi. “Kita harus terlihat bahagia. Kita akan jadi pasangan paling harmonis di mata publik. Mereka tidak perlu tahu apa pun tentang yang sebenarnya terjadi di sini. Mengerti?” bisik Adrian tajam. Liora hanya bisa menunduk, air matanya kembali jatuh dalam diam. “Semua ini demi ayahmu. Dan… nama baik keluargaku.” Liora menahan isak sambil memegangi kaki yang terluka dan hati yang semakin hancur. “Tapi sial! Kau malah terluka seperti ini. Apa kata media kalau besok mereka melihatmu dengan keadaan seperti ini?” cecar Adrian geram. Tanpa berkata apa-apa, ia kembali mendekat dan membungkuk. Sekali rengkuh, ia mengangkat tubuh Liora yang ringan itu ke pelukannya dan membawanya ke sofa panjang di sisi ruangan. Liora mendorong dada Adrian lemah, menolak disentuh, tapi pria itu mengabaikannya. “Diamlah,” ujarnya dingin. “Lukamu makin parah kalau kau banyak bergerak.” Ia membaringkan Liora dengan hati-hati di atas sofa, lalu menghubungi kepala ART. “Bersihkan kamar ini sekarang juga,” katanya datar. “Dan hubungi Dokter, katakan ini darurat.” Tak lama kemudian, seorang ART masuk, terkejut melihat darah di lantai tapi langsung bergerak cepat membersihkan area tersebut. Adrian tidak menoleh. Ia hanya berdiri di dekat Liora, menyilangkan tangan di depan dada dan memandang wanita itu dengan tatapan marah. “Jangan pikir aku peduli padamu. Aku hanya tidak ingin ada bekas luka atau ekspresi bersedih yang terlihat di media karena mereka akan mencium ketidakwajara,” jelas Adrian. “Dan aku tidak suka perhatian yang tidak sesuai dengan arahanku.” Liora memalingkan wajahnya, menahan air mata yang semakin deras. Ia merasa semakin kecil dan tidak berdaya. Beberapa menit kemudian, dokter datang membawa tas medis. Ia sempat tertegun melihat siapa pasiennya. Sosok yang saat ini sedang ramai dibicarakan. “Lukanya cukup dalam, tapi tidak berbahaya,” ucap dokter setelah memeriksa. “Saya akan bersihkan dan beri obat. Tidak akan meninggalkan bekas, tenang saja, Tuan Adrian.” Adrian hanya mengangguk, “Bagus kalau begitu, Dok. Saya sangat khawatir dengan keadaan istri saya,” ucapnya dengan nada penuh perhatian. Ia bahkan duduk di sebelah Liora dan merangkul pinggangnya erat. Ia menyentuh dagu Liora. Menatapnya penuh perhatian. Ia bahkan mengusap air matanya dengan lembut. “Sudah, Sayang, jangan menangis lagi. Lukanya akan kering dan sembuh. Bukan begitu, Dok?” “Ya, Tuan. Benar sekali. Oh ya, selamat untuk pernikahan, Tuan Adrian!” ucapnya tersenyum ramah. Dokter itu pun pulang setelah selesai dengan pekerjaannya. “Cukup dokter saja yang melihat kekacauan di wajahmu seperti ini. Berikutnya, siapa pun yang melihatmu, kau harus menunjukkan wajah bahagia. Senyum tawa dan ramah,” ujar Adrian. “Untungnya kau bisu jadi tak bisa berbicara apa-apa,” gerutunya lagi. Liora langsung menolak tubuh Adrian. Ia merasa jijik disentuh oleh pria iblis itu. Pria terhormat yang bahkan hati pun tidak dia miliki. Tatapan Liora menyimpan amarah dan kebencian. Bukannya menjauh, Adrian justru mencengkeram dagu Liora. Dia mendekatkan wajahnya. “Kau tidak suka kusentuh? Apa kau lupa ini malam pertama kita?” Bersambung…Sebuah tembakan mengenai atap ruangan itu. Liora terkejut dan diam di tempat.Gavin merasa sedikit lega karena Bennedict tidak langsung menembak tuannya. Namun ia semakin berhati-hati, begitu juga anak buahnya agar Adrian selamat.Tubuh Liora gemetar. Dia menutup mulutnya yang ingin berteriak menangis memanggil Adrian.“Sudah kubilang diam di tempat! Jangan pancing aku!” bentak Bennedict.Gavin melirik empat anak buah tuannya. Seolah berbicara lewat lirikan mata.Saat Bennedict lengah di tengah ancaman yang dia berikan, tiba-tiba…BUG!!!Salah seorang anak buah langsung menunjang lengan Bennedict dan membuat pistol itu jatuh dari tangannya dan terlempar.Sigap Bennedict berlari dan merangkak untuk meraih kembali pistol itu, namun, Liora berlari cepat menendang pistol itu semakin jauh. Saat itu pula ke empat anak buah Adrian langsung menangkap Bennedict dan menguasainya.“Bajingan! Lepaskan!” teriak Bennedict.“Bawa, tahan dan amankan dia!” ucap Gavin pada ke empat anak buah Adrian.Li
Belum sempat Liora berkata apapun, tiba-tiba pintu ruang yang gelap itu didobrak. Empat orang yang badannya tidak kalah besar dari dua penculik yang menahannya, langsung melawan dan mengepung. Adu fisik tidak dapat dielakkan. Namun, apapun itu Liora yang panik, yakin ini adalah kesempatannya untuk kabur.Keributan pecah dalam ruangan sempit itu. Kursi terbalik, kaca pecah, geraman dan dentuman benda-benda meenuhi udara. Dua orang penculik dihajar habis-habisan oleh anak buah Adrian.Adrian dan Gavin pun tiba.“Liora…” panggil Adrian. Suaranya lemah. Selemah posisi berdirinya yang tidak kuat. “Gavin! Amankan Liora terlebih dahulu…” ucapnya.Gavin langsung mendekati Liora dan berusaha melepas ikatannya.Namun fokus semua orang seketika terhenti ketika Bennedict muncul dengan pistol teracung tepat di pelipis Adrian.“Jangan bergerak!” bentak Bennedict, suaranya berat, sarat dengan kebencian.Semua orang menegang. Gavin yang baru saja menarik Liora ke belakang, mendesis pelan. “Sial…”Adr
“Gavin, segera cari dia. Aku tidak peduli bagaimana caranya. Gunakan semua CCTV, semua akses… aku tidak peduli kau harus meretas sistem kepolisian sekalipun. Aku harus tahu di mana Liora!” suara Adrian pecah, nadanya tegang namun juga penuh ketakutan.Gavin yang berdiri di sisi ranjang mencoba tetap tenang. “Tuan… tolong istirahat dulu. Saya yang akan mencari Nyonya. Saya janji, saya akan menemukannya. Tapi Tuan harus tenang, biarkan saya bekerja.”Namun Adrian menggeleng keras. Tangan yang lemah, yang penuh jarum infus meraih lengan Gavin dengan kekuatan terakhir.“Tidak! Kau tidak bisa diam saja, Gavin. Dia bisa saja dalam bahaya. Aku sudah kehilangan banyak hal… aku tidak akan kehilangan dia juga. Aku akan ikut, denganmu. Biarpun aku harus dibawa dengan kursi roda, dengan perawat, dengan tabung oksigen, aku akan ikut!”Juliana yang sejak tadi menangis langsung menahan bahu anaknya. “Adrian! Kau jangan bikin Mama khawatir?! Tubuhmu bahkan tidak bisa menahan diri sendiri. Kita akan t
Gavin, Liora dan Ibu Panti duduk di salah satu kafe yang tidak jauh dari rumah sakit. Seperti permintaan Gavin. Hanya tiga puluh menit untuk dia menjelaskan, lalu Liora bebas memutuskan.Tanpa basa-basi, Gavin langsung menjelaskan semuanya.“Nyonya Liora, dengarkan aku. Soal kafe Ryan yang kebakaran, itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Tuan Adrian. Aku ada buktinya. Ryan sepertinya sedang ingin klaim asuransi kafenya.Lalu soal pembunuh Ibu Nyonya, itu juga bukan Tuan Adrian. Dia bahkan baru tahu ada kejadian pembunuhan di balik kasus percobaan pembunuhan ayahnya oleh Bennedict beberapa tahun lalu.”Gavin menghela napas untuk melanjutkan penjelasannya.“Dan soal Clara. Semua itu juga fitnah. Ada CCTV di kamar Tuan yang membuktikan semuanya. Tuan Adrian benar-benar sangat mencintai Nyonya. Hidupnya berubah setelah dia menyadari perasaannya pada Nyonya. Dia hanya ingin Nyonya merasa nyaman dan dicintai olehnya.”Liora terlihat membuang wajah mendengar semua penjelasan Gavin. Seak
Liora berdiri kaku, wajahnya tegas tapi matanya sebenarnya mulai basah. Seperti tidak siap untuk masuk ke dalam kamar itu dan melihat Adrian.“Ini ruangannya? Ayo,” ucap Ibu Panti.Liora menoleh, lalu melangkah masuk ke dalam.Juliana, Camila dan Gavin langsung menoleh saat melihat Liora masuk.Adrian yang meringis, mengigau, menyebut nama Liora lalu meminta maaf pun tiba-tiba terdiam.“Liora?” sapa Juliana.Liora menatap wajah wanita itu. Wajah yang masih tegas dan tatapan yang penuh luka.“Kamu datang, Liora? Aku tahu kamu pasti datang. Maafkan kami, Liora. Tolong lihat Adrian. Maafkan dia…”“Li- Liora… Maafkan aku…” Mata Adrian basah, memerah dan lemah.“Tu- tuan… jangan beranjak dulu,” ucap Gavin menahan.Liora melangkah dingin mendekati Adrian. Dia mendekat, tapi hatinya tidak. Apalagi rasa bencinya. Sama sekali tidak bera
Kini Juliana dan Camila yang bergantian menjaga Adrian. Mereka tidak pernah melihat pria itu dalam keadaan seburuk ini. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat, dan bibirnya sering kali hanya menggumam menyebut nama Liora. Terkadang, Adrian terbangun dengan teriakan lirih, memohon maaf kepada sosok yang tidak ada di hadapannya. Matanya kosong, tapi basah oleh air mata yang tak bisa ia bendung.Juliana beberapa kali mencoba menghibur, namun yang terdengar hanyalah permintaan maaf yang diulang-ulang, seakan-akan Adrian terjebak dalam lingkaran penyesalan yang tak berujung.Camila pun ikut tertekan. Terlebih lagi, ancaman Clara kian menghantui mereka. Meski mereka sudah memberikan uang dalam jumlah besar agar mulut Clara tetap terkunci. Namun, itu tidak menghentikan bayangan buruk yang terus menekan mereka.Sementara itu, Gavin tidak tinggal diam. Ia tahu Adrian tidak akan bertahan jika Liora tidak segera kembali. Setelah kedatangan Juliana dan Camila dan diperintahkan untuk mencari Liora, dengan