Home / Romansa / ISTRI BISU Tuan Terhormat / 5. Luka yang Menganga

Share

5. Luka yang Menganga

Author: desafrida
last update Last Updated: 2025-06-01 18:16:01

Liora buru-buru turun dari tempat tidur, panik, enggan disentuh. Tubuhnya masih gemetar, emosinya belum pulih dari tamparan Juliana sebelumnya.

Ia berlari menjauhi ranjang.

Krak!

Liora meringis keras dalam diam. Ia jatuh terduduk, menggigit bibir menahan perih.

Telapak kakinya menginjak pecahan beling yang belum dibersihkan dari kejadian sebelumnya. Darah segar langsung mengalir membasahi lantai.

Adrian mendekat cepat, menatap luka itu dengan rahang mengeras.

“Bodoh! Kau bahkan tidak bisa menjaga dirimu sendiri!” serunya tajam. Dia memelototi Liora, seakan kejadiannya adalah kesalahan mutlak wanita itu.

Liora berusaha mengesot mundur, tapi rasa sakit di kakinya membuatnya tak mampu melangkah lebih jauh.

Adrian meraih remote TV dan menyalakan layar besar di dinding. Suara siaran langsung memenuhi ruangan.

“...dan inilah potongan eksklusif pernikahan diam-diam pewaris keluarga Ashton. Sosok mempelai wanita masih menjadi misteri, namun masyarakat penasaran dengan ekspresi wajahnya yang tampak begitu tenang dan menunduk sepanjang acara….”

Liora membeku setelah ia menatap ke layar itu. Wajahnya terpampang di sana. Meski tak sepenuhnya jelas, tapi cukup menunjukkan siluet dirinya berdiri bersama Adrian, gaun putih sederhana, dan ekspresi beku di wajahnya yang bisu.

Suaranya mungkin tidak terdengar, tapi seluruh dunia kini melihatnya.

Sakit di kakinya sangatlah perih, tapi kini jantungnya justru seperti dicekik.

“Lihatlah baik-baik,” ujar Adrian datar. “Kau bukan lagi gadis bisu yang hanya harus bersembunyi di balik dinding rumah ini.”

Ia menatap Liora tajam, lalu jongkok di hadapannya, menahan tangan wanita itu dengan kuat.

“Tapi kau mulai dicari-cari media. Mulai sekarang, kau harus belajar menggunakan wajahmu sebagai senjata. Wajahmu harus bisa berbicara. Aku tidak mau melihat wajah muram atau tekanan di depan kamera. Jangan menimbulkan tanda tanya pada media!”

Liora menatapnya takut-takut, matanya menggenang namun tetap menyala dengan kemarahan tersembunyi.

“Kita harus terlihat bahagia. Kita akan jadi pasangan paling harmonis di mata publik. Mereka tidak perlu tahu apa pun tentang yang sebenarnya terjadi di sini. Mengerti?” bisik Adrian tajam.

Liora hanya bisa menunduk, air matanya kembali jatuh dalam diam.

“Semua ini demi ayahmu. Dan… nama baik keluargaku.”

Liora menahan isak sambil memegangi kaki yang terluka dan hati yang semakin hancur.

“Tapi sial! Kau malah terluka seperti ini. Apa kata media kalau besok mereka melihatmu dengan keadaan seperti ini?” cecar Adrian geram.

Tanpa berkata apa-apa, ia kembali mendekat dan membungkuk. Sekali rengkuh, ia mengangkat tubuh Liora yang ringan itu ke pelukannya dan membawanya ke sofa panjang di sisi ruangan.

Liora mendorong dada Adrian lemah, menolak disentuh, tapi pria itu mengabaikannya.

“Diamlah,” ujarnya dingin. “Lukamu makin parah kalau kau banyak bergerak.”

Ia membaringkan Liora dengan hati-hati di atas sofa, lalu menghubungi kepala ART.

“Bersihkan kamar ini sekarang juga,” katanya datar. “Dan hubungi Dokter, katakan ini darurat.”

Tak lama kemudian, seorang ART masuk, terkejut melihat darah di lantai tapi langsung bergerak cepat membersihkan area tersebut.

Adrian tidak menoleh. Ia hanya berdiri di dekat Liora, menyilangkan tangan di depan dada dan memandang wanita itu dengan tatapan marah.

“Jangan pikir aku peduli padamu. Aku hanya tidak ingin ada bekas luka atau ekspresi bersedih yang terlihat di media karena mereka akan mencium ketidakwajara,” jelas Adrian. “Dan aku tidak suka perhatian yang tidak sesuai dengan arahanku.”

Liora memalingkan wajahnya, menahan air mata yang semakin deras. Ia merasa semakin kecil dan tidak berdaya.

Beberapa menit kemudian, dokter datang membawa tas medis. Ia sempat tertegun melihat siapa pasiennya. Sosok yang saat ini sedang ramai dibicarakan.

“Lukanya cukup dalam, tapi tidak berbahaya,” ucap dokter setelah memeriksa. “Saya akan bersihkan dan beri obat. Tidak akan meninggalkan bekas, tenang saja, Tuan Adrian.”

Adrian hanya mengangguk, “Bagus kalau begitu, Dok. Saya sangat khawatir dengan keadaan istri saya,” ucapnya dengan nada penuh perhatian. Ia bahkan duduk di sebelah Liora dan merangkul pinggangnya erat.

Ia menyentuh dagu Liora. Menatapnya penuh perhatian. Ia bahkan mengusap air matanya dengan lembut.

“Sudah, Sayang, jangan menangis lagi. Lukanya akan kering dan sembuh. Bukan begitu, Dok?”

“Ya, Tuan. Benar sekali. Oh ya, selamat untuk pernikahan, Tuan Adrian!” ucapnya tersenyum ramah.

Dokter itu pun pulang setelah selesai dengan pekerjaannya.

“Cukup dokter saja yang melihat kekacauan di wajahmu seperti ini. Berikutnya, siapa pun yang melihatmu, kau harus menunjukkan wajah bahagia. Senyum tawa dan ramah,” ujar Adrian. “Untungnya kau bisu jadi tak bisa berbicara apa-apa,” gerutunya lagi.

Liora langsung menolak tubuh Adrian. Ia merasa jijik disentuh oleh pria iblis itu. Pria terhormat yang bahkan hati pun tidak dia miliki.

Tatapan Liora menyimpan amarah dan kebencian.

Bukannya menjauh, Adrian justru mencengkeram dagu Liora. Dia mendekatkan wajahnya.

“Kau tidak suka kusentuh? Apa kau lupa ini malam pertama kita?”

Bersambung…

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Evi Erviani
kasian Liora
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   130. Akhir Segalanya, Awal yang Baru

    Adrian menatap Liora lama, seolah ingin memastikan bahwa ia tak sendiri dalam keputusan besarnya. Liora hanya mengangguk pelan sambil tersenyum tipis, memberi dukungan tanpa suara.Dengan tarikan napas berat, Adrian akhirnya memiringkan tubuhnya dan meraih Liora dalam pelukan. Ia mendekap istrinya erat, seakan meyakinkan dirinya untuk memaafkan keluarganya.Liora membalas pelukan itu tanpa ragu. Tangannya mengusap pelan punggung Adrian, menyalurkan kekuatan tanpa satu kata pun.Setelah beberapa saat, Adrian menarik napas dan melepaskan pelukan Liora perlahan. Ia menoleh pada ibunya.Dengan sisa tenaga, ia maju dan memeluk Juliana.Wanita itu langsung pecah dalam tangis, tubuhnya bergetar hebat.“Aku maafkan Mama…” lirih Adrian.“Terima kasih… Nak… terima kasih…” katanya berulang-ulang sambil membenamkan wajah di bahu putranya. Pelukan itu bukan hanya permintaan maaf—itu adalah penyerahan diri seorang ibu yang akhirnya benar-benar rela.Tak lama kemudian, Camila yang sejak tadi berdiri

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   129. Jangan Membenci

    Liora menatap Adrian cukup lama. Dia terdiam.Adrian mengelus tangan Liora yang digenggamnya. “Tidak perlu memikirkan mereka,” ucap Adrian dingin, nada suaranya jelas dan penuh luka.Liora masih terdiam, menatap wajah Adrian dengan bingung. Ia tidak menyangka, di balik tangis dan pelukan hangat tadi, tersimpan bara yang masih membakar hatinya. Dengan suara bergetar, ia mencoba menegur pelan, “Bagaimana pun juga… dia tetap ibumu. Dia sudah menyesal, Adrian. Kamu tidak boleh seperti ini. Camila juga… Bahkan mereka sudah meminta maaf padaku, Adrian.”Namun, sorot mata Adrian justru mengeras. Tangannya yang menggenggam jemari Liora sedikit bergetar, seolah menahan emosi yang ingin meledak.“Liora…” katanya lirih tapi tajam, “kita seperti ini karena mereka. Karena ambisi, karena kebutaan, karena keegoisan. Aku hampir kehilanganmu. Kita bahkan kehilangan anak kita yang pertama. Aku tidak bisa begitu

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   128. Sadar Namun Dingin

    Juliana kembali dilarikan ke rumah sakit. Camila mendampinginya dengan perasaan panik. Ia dibaringkan di atas ranjang darurat dan dilarikan ke ruang perawatan. Selang oksigen segera dipasang di hidungnya, sementara perawat memeriksa detak jantung dan tekanan darahnya dengan cepat.Camila hanya bisa berdiri di samping, tangan gemetar memegang lengan ibunya. Air matanya menetes deras, hatinya dicekam rasa takut kehilangan. “Mama… bertahanlah…” bisiknya lirih, tak henti mengusap punggung tangan Juliana.Saat itulah, di tengah kepanikan, kesadaran perlahan menusuk benak Camila. Hatinya bergetar hebat, menyadari sesuatu yang selama ini ia abaikan.Semua ini… semua masalah yang menimpa keluarga… bahkan penderitaan Kak Adrian dan Kak Liora… semuanya karena ambisi keluarga kami. Dan… Mama akhirnya seperti ini karena tekanan dari rasa bersalahnya.Air matanya semakin deras jatuh. Ia menggigit bibir, suaranya pecah ketika berbicara pada dirinya sendiri. “Aku… aku juga bersalah… Selama ini aku h

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   127. Ancaman yang Terus Datang

    Malam itu, setelah semua tenang, Liora sudah dipindahkan kembali ke ruangannya. Dokter mewanti-wanti agar ia beristirahat total, menjaga tubuhnya dan kandungan yang masih sangat muda. Gavin berjaga di depan pintu, memastikan tidak ada gangguan.Sementara itu, di kamar Adrian, Juliana masuk dengan langkah perlahan. Camila menunggu di luar, memberi ruang bagi ibunya.Juliana berdiri lama di sisi ranjang Adrian, menatap wajah putranya yang pucat. Air matanya kembali mengalir, tapi kali ini bukan karena amarah atau gengsi, melainkan kasih sayang yang sempat terkubur terlalu lama.“Adrian…” Juliana mendekat ke sisi ranjang, jemarinya gemetar saat menyentuh tangan anaknya. Ia lalu membungkuk, memeluk tubuh Adrian dengan lembut. “Adrian, maafkan Mama… selama ini Mama terlalu egois. Mama hanya memikirkan nama keluarga, kehormatan, dan harga diri… tanpa pernah membuka mata tentang perasaanmu.”Bahunya terguncang hebat. Ia mengecup punggung tangan Adrian, suaranya pecah di antara tangis.“Mama

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   126. Penyesalan Terdalam

    Liora diam. Dia tidak menjawab ucapan Juliana.Air mata Juliana dan Camila membuat suasana kamar semakin pilu. Liora masih menatap mereka dengan wajah yang tidak begitu yakin. Tangannya tak bergeser sedikit pun dari perutnya, seolah itu adalah benteng terakhir yang melindungi hidupnya. Namun, perlahan napasnya mulai teratur.Tangis Juliana yang terdengar begitu tulus, serta suara Camila yang lirih memohon, sedikit demi sedikit melunakkan hati Liora. Bukan saatnya untuk berpikiran buruk apalagi mengingat masa lalu. Meski tidak sepenuhnya percaya, ia mencoba menurunkan ketegangan di dadanya.“Aku… aku tidak tahu harus percaya atau tidak…” ucapnya terbata. “Tapi… aku hanya ingin satu hal sekarang.”Juliana mengusap air matanya cepat, menatap Liora penuh harap. “Apa pun itu, Nak, katakanlah…”Liora menggenggam selimutnya erat, menunduk sejenak sebelum berani membuka suara lagi. “Aku ingin bertemu Adrian. Bawa aku ke ruangannya… aku harus menemuinya.”Juliana dan Camila saling pandang. Tan

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   125. Kabar Baik dan Keharuan

    Liora sudah terlalu lelah. Setelah lama menangis sambil berusaha membangunkan Adrian, tubuhnya akhirnya menyerah. Air matanya mengering di pipi, napasnya memburu, dan pandangannya berkunang sebelum gelap menyergap. Tubuhnya terkulai di sisi ranjang Adrian, tangannya masih menggenggam jemari pria itu.Di luar ruangan, Gavin yang sedari tadi berjaga merasa ada sesuatu yang tidak beres. Awalnya ia mendengar suara tangis tertahan, tetapi lama-lama hening. Hening yang justru membuatnya resah. Ia melangkah mendekat ke pintu, lalu sedikit mengintip dari celah yang terbuka. Matanya langsung melebar saat melihat tubuh Liora terkulai lemah di sisi ranjang.“Nyonya Liora!” serunya panik, segera mendorong pintu dan berlari masuk.Tanpa pikir panjang, Gavin memanggil perawat yang berjaga. “Tolong cepat suster!”Beberapa suster segera datang, memeriksa denyut nadi Liora dan mencoba menyadarkannya. Suasana ruangan mendadak kacau, suara instruksi medis bergantian terdengar. Gavin berdiri tegang di sa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status