Home / Romansa / ISTRI BISU Tuan Terhormat / 7. Ceraikan Dia Sekarang!

Share

7. Ceraikan Dia Sekarang!

Author: desafrida
last update Last Updated: 2025-06-01 18:16:09

Langit sore tampak muram, seolah ikut berduka bersama pemakaman Samuel. Tanah merah perlahan menutupi peti kayu tempat tubuh itu dibaringkan untuk terakhir kalinya. Suara doa mengalun lirih, diiringi isak tertahan yang tak terdengar.

Liora berdiri kaku di sisi pusara. Wajahnya basah oleh air mata yang tak mampu ia tangisi dengan suara. Tubuhnya berguncang halus. Tangannya menggenggam erat bunga melati yang mulai layu. Ia meletakkannya dengan gemetar di atas gundukan tanah yang belum rata.

Ia jatuh berlutut. Bahunya menunduk. Tangannya menekan tanah yang masih basah, seakan ingin menggali kembali dan memeluk ayahnya sekali lagi. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Tidak ada suara yang bisa ia keluarkan. Tangisnya diam, nyaris tak terdeteksi. Sesak.

Di kejauhan, kilatan kamera mulai bermunculan. Wartawan berkumpul diam-diam di balik pagar, mengintip dari balik mobil dan pepohonan. Mereka membidik wajah perempuan bisu yang kini resmi menjadi istri Adrian Ashton.

Adrian memperhatikannya dari jarak dekat. Wajahnya tenang, dingin seperti biasa. Tapi di balik kacamata hitam yang dikenakannya, ada bayang-bayang emosi yang ia tahan. Ia duduk perlahan di samping Liora, kemudian merangkul bahunya, menempelkan bibir ke telinga gadis itu.

“Sudah cukup. Ayo pulang,” bisiknya pelan namun jelas. “Tahan air matamu sekarang. Di luar pagar itu banyak wartawan. Kita harus terlihat seperti pasangan yang berduka… bersama.”

Liora membeku. Hanya sesaat. Ia menoleh perlahan, menatap pria itu dengan mata sembab yang merah dan lelah. Tatapan itu kosong namun tajam. Seakan berkata, “Kau benar-benar tidak punya hati!”

Tapi ia tidak bisa berkata apapun. Hanya menarik napas, menegakkan tubuhnya perlahan.

Adrian membantu Liora berdiri dan kembali memeluk bahunya. Bukan karena cinta, bukan karena ingin melindungi, tapi karena itu bagian dari skenario. Di luar pagar, kamera mulai berbunyi. Beberapa wartawan mulai maju lebih dekat, mencoba bertanya meski ditahan oleh pihak keamanan rumah sakit dan petugas pemakaman.

“Tuan Adrian, apakah benar ini istri Anda? Sejak kapan menikah?”

“Kenapa pernikahannya mendadak?”

“Maaf, apa benar istri seorang Adrian Ashton, bisu?”

Semua suara itu mengambang di udara. Liora ingin menjerit, ingin hilang, ingin melarikan diri dari semua mata yang menyorot seperti jarum tajam. Tapi dia hanya diam. Menggenggam kuat gaun hitamnya, menunduk, membiarkan Adrian menjawab dengan senyum palsunya.

“Kami mohon privasi. Hari ini adalah hari duka. Kami berharap tidak ada yang mengganggu momen pribadi kami,” ucap Adrian diplomatis sambil tetap memeluk Liora erat, menciptakan gambaran suami yang penuh empati.

Di balik kepura-puraan itu, Liora semakin membatu. Di dalam hatinya, ia menangis lebih keras dari sebelumnya. Ayahnya telah tiada. Dan kini, ia berdiri di sisi pria yang memaksanya berpura-pura kuat… hanya untuk menyelamatkan nama baik dan harga diri keluarganya.

“Apakah benar ini terkait kecelakaan beberapa waktu lalu?”

Pertanyaan itu membuat Adriaan berusaha mengontrol emosinya. Namun jika dia tidak menjawab, itu akan membuat orang-orang semakin curiga.

“Kecelakaan? Saya memang mendengar berita itu. Tapi… saya tidak mengerti kenapa pertanyaan seperti itu dilontarkan pada kami? Kami sedang berduka. Ayah mertua saya terkena serangan jantung. Dan tadi pagi tidak dapat bertahan. Saya rasa cukup. Kasihan istri saya, dia butuh ketenangan.”

Adrian merangkul pinggang Liora. Membawanya berjalan lurus, mengabaikan wartawan, hingga akhirnya mereka masuk ke dalam mobil.

Sementara itu di sisi lain, keluarga Adrian juga didatangi wartawan. Dengan manis Juliana berkata, “Maaf, semua. Tolong jangan berikan banyak pertanyaan dulu. Liora, menantu saya sedang terpukul. Hargai situasi kami yang sedang berduka.”

Di dalam mobil, dalam perjalanan pulang, Liora duduk diam menatap jendela. Jemarinya saling memilin dan meremas. Marah tapi tak bisa. Kehilangan itu terlalu menyiksa.

Sementara Adrian hanya menghela napas panjang, melepaskan dasi dan menyandarkan kepala. Ia hanya melirik Liora, sekilas, namun tidak berkata apa-apa. Yang jelas ada rasa lega di dalam hatinya setelah bisa menghadapi wartawan-wartawan itu dengan tenang.

Mereka tiba di rumah. Papan bunga berdiri berderet menghiasi jalanan hingga depan gerbang. Liora turun dengan langkah pelan. Matanya menyapu seluruh papan ucapan itu satu per satu, dan dadanya makin sesak. Semuanya tampak megah, mahal, penuh kata-kata indah, tapi kosong dari makna. Tak ada satu pun yang benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semua hanya ingin terlihat peduli untuk menjaga citra.

Beberapa wartawan yang sudah dibatasi oleh penjaga rumah, terlihat berusaha mencari informasi. Hal itu membuat Juliana mendekati Liora, menggamit tangannya seperti seorang ibu mertua yang peduli. Namun dari cengkeraman tangan itu, Liora tahu semuanya hanya tampilan luar.

“Kau harus kuat, Liora. Ingat, sekarang kau adalah istri Adrian. Semua orang menatapmu. Jangan mempermalukan nama keluarga ini dengan air mata atau wajah cemberut,” bisiknya dengan suara manis namun tajam.

Lalu Adrian pun ikut merangkulnya. Benar-benar seperti pasangan dan keluarga yang saling menyayangi.

Sesampainya di dalam rumah. Juliana malah langsung mendorong Liora dan melepas seolah jijik.

Liora yang lemah, terjatuh terduduk ke lantai.

“Semua sudah berakhir, Adrian! Ceraikan dia sekarang!”

Bersambung…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   69. Memeluk Liora Erat

    Adrian berdiri mematung di sisi ranjang, menatap sosok rapuh yang kini kembali membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, gerakannya lemah, tapi napasnya mulai teratur.“Liora...” bisiknya nyaris tak terdengar, suara yang penuh haru, penuh rasa syukur yang tak sanggup ia sembunyikan, “Kamu sudah sadar?”Liora langsung memejamkan matanya kembali—dalam. Napasnya mendesah pelan, tapi bukan karena lega. Wajahnya meringis, tubuhnya menegang menahan sakit yang seolah menyerbu tanpa ampun.Adrian langsung panik. Ia mendekat, membungkuk dengan gugup.“Liora? Apa yang sakit? Mana yang sakit?” tanyanya terburu-buru. “Kepalamu? Perutmu?”Ia refleks menggenggam tangan Liora yang berada di samping ranjang. Genggaman itu hangat, tapi tidak sempat menguat. Karena Liora langsung menepisnya.Pelan, tapi jelas.Penolakan itu begitu nyata dan terasa seperti tamparan telak di wajah Adrian.

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   68. Tersadar, Takut Kehilangan

    Adrian seperti membatu. Matanya menatap lantai kosong. Napasnya pelan tapi berat. Hampa. Tak ada kata yang keluar setelah ia bertanya seperti itu pada Gavin. Seolah seluruh pikirannya kosong atau justru terlalu penuh sampai tak ada ruang untuk berpikir.Hingga akhirnya, Gavin menunduk sedikit dan menyentuh bahu tuannya itu.“Tuan…” panggilnya pelan.Adrian tak bereaksi.Gavin pun mengulurkan tangan dan membantu pria itu berdiri.“Ayo, duduk lebih nyaman di sofa,” ucap Gavin, dengan nada yang lembut, penuh empati. Ia menuntun Adrian ke sofa yang lebih empuk, lalu ikut duduk di sampingnya.Beberapa saat mereka hanya diam. Tapi Gavin tahu… ini bukan waktunya untuk membiarkan semuanya mengendap. Tuannya butuh seseorang yang berani bicara.Dan tak ada yang lebih tahu isi hati Adrian selain dirinya sendiri.“Aku tidak menyangka, Tuan …” ujar Gavin akhirnya, menoleh sedikit ke a

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   67. Ternyata Hamil

    Mobil itu melaju cepat, suara mesin meraung bagai jeritan panik yang tak terucapkan. Gavin menggenggam kemudi erat-erat, matanya fokus pada jalanan di depan, tapi dari sudut kaca, ia terus mencuri pandang ke arah belakang. Ke arah tuannya dan perempuan yang tengah sekarat dalam pelukannya.Liora berada di dada Adrian, tubuhnya gemetar dalam dingin dan nyeri. Napasnya dangkal. Kepala terkulai lemah. Darah membasahi ujung pakaiannya… dan kini, juga membasahi celana jok yang diduduki dan lantai mobil.Adrian tak berkata sepatah kata pun.Ia hanya merangkul tubuh itu erat-erat, seolah pelukannya bisa menahan jiwa Liora agar tidak pergi. Matanya yang biasanya tajam, kini kosong namun penuh kegelisahan. Ia tidak menangis. Tapi matanya tampak basah.Tidak ada satu detik pun ia alihkan pandangan. Tidak ke jalanan. Tidak pada Gavin. Hanya pada wajah Liora. Pada tiap hembusan napas lemahnya.Napas Adrian pun terasa tercekat melihat betapa lemahnya Liora.

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   66. Menemukan Liora dan Tetesan Darah

    Di dalam ruang kantor dengan pencahayaan temaram, suara keyboard terdengar cepat dari balik meja kerja. Gavin duduk di samping Adrian, sementara seorang pria dengan headphone dan laptop terbuka memperlihatkan rekaman CCTV yang telah disiapkan.“Ini titik awal,” ujar rekan Gavin sambil menunjuk layar. “Mobil melaju dari arah jalan pertama ke rumah itu. Terekam di simpang pertama lalu—”Ia berhenti sejenak. Menekan beberapa tombol cepat.“—di persimpangan kedua, tiba-tiba hilang. Kamera di situ mati total sejak lima menit sebelum mobil itu sampai. Sabotase. Bukan rusak biasa. Potongannya rapi.”Adrian menyipitkan mata. “Dan setelah itu?”“Mobil muncul lagi di simpang ketiga. Tapi ini aneh... plat sudah terlihat jelas, tapi posisi kamera memberi gambaran jelas, mobil berbeda. Warna cat pun sedikit lebih mengkilap. Mungkin niatnya ingin mengalihkan agar mereka terus diikuti dari persimpa

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   65. Mata dan Telinga Baru Adrian

    Keesokan harinya, Adrian tidak ikut sarapan. Ia masih terbaring di ranjang besarnya, menatap kosong langit-langit kamar yang tak pernah terasa sepi seperti pagi ini. Kepalanya berat, pikirannya kalut. Setiap detik yang berlalu tanpa kabar dari Liora membuat dadanya semakin sesak. Seolah dunia hanya menunggu kehancuran, dan ia, penyebab sekaligus korban dari semuanya.Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Pelan, sopan, tapi cukup membuatnya tersadar dari lamunannya.“Masuk,” gumamnya malas. Ia pikir itu ART yang biasa mengantarkan makanannya.Namun yang muncul bukanlah sosok berseragam abu-abu itu, melainkan Clara.Adrian mengerutkan kening. Ia bahkan tidak tahu kalau wanita itu masih di rumah ini, apalagi sampai bermalam. Clara melangkah masuk membawa nampan berisi bubur dan teh hangat. Dengan santai, ia meletakkannya di atas meja kecil di dekat sofa, lalu berjalan mendekati ranjang tanpa dipersilakan.Seolah-olah tidak pernah ada ancaman dari Lior

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   64. Sejak Awal Luca ...

    Cepat-cepat Adrian menjawab panggilan dari Gavin. Sambil melangkah ia ke lantai atas untuk mendengarkannya. Berharap ada kabar baik.“Tuan… untuk malam ini pencarian belum bisa dilanjutkan. Kami sudah menemukan ke arah mana mobil itu pergi di persimpangan pertama, selanjutnya belum ditemukan. Kalau terus dipaksa, rekanku ini akan kehilangan fokus jika tidak istirahat.”Adrian terdiam beberapa detik. Hatinya kecewa mendengar kabar itu tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.“Ka- kalau begitu lanjutkan pencariannya besok sepagi mungkin! Aku ingin Liora segera ditemukan, Gavin!” tegasnya.“Mengertu Tuan!” jawab Gavin.Panggilan berakhir.Perasaan Adrian hampa. Namun emosinya meninggi. Apalagi saat mengingat perdebatan yang baru saja terjadi di meja makan.Sementara itu di ruang yang minim cahaya, Liora masih terduduk lemah dengan kaki dan tangan di rantai. Ia memegang perutnya. Bukan hanya karena l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status