Mag-log inLangit sore tampak muram, seolah ikut berduka bersama pemakaman Samuel. Tanah merah perlahan menutupi peti kayu tempat tubuh itu dibaringkan untuk terakhir kalinya. Suara doa mengalun lirih, diiringi isak tertahan yang tak terdengar.
Liora berdiri kaku di sisi pusara. Wajahnya basah oleh air mata yang tak mampu ia tangisi dengan suara. Tubuhnya berguncang halus. Tangannya menggenggam erat bunga melati yang mulai layu. Ia meletakkannya dengan gemetar di atas gundukan tanah yang belum rata. Ia jatuh berlutut. Bahunya menunduk. Tangannya menekan tanah yang masih basah, seakan ingin menggali kembali dan memeluk ayahnya sekali lagi. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Tidak ada suara yang bisa ia keluarkan. Tangisnya diam, nyaris tak terdeteksi. Sesak. Di kejauhan, kilatan kamera mulai bermunculan. Wartawan berkumpul diam-diam di balik pagar, mengintip dari balik mobil dan pepohonan. Mereka membidik wajah perempuan bisu yang kini resmi menjadi istri Adrian Ashton. Adrian memperhatikannya dari jarak dekat. Wajahnya tenang, dingin seperti biasa. Tapi di balik kacamata hitam yang dikenakannya, ada bayang-bayang emosi yang ia tahan. Ia duduk perlahan di samping Liora, kemudian merangkul bahunya, menempelkan bibir ke telinga gadis itu. “Sudah cukup. Ayo pulang,” bisiknya pelan namun jelas. “Tahan air matamu sekarang. Di luar pagar itu banyak wartawan. Kita harus terlihat seperti pasangan yang berduka… bersama.” Liora membeku. Hanya sesaat. Ia menoleh perlahan, menatap pria itu dengan mata sembab yang merah dan lelah. Tatapan itu kosong namun tajam. Seakan berkata, “Kau benar-benar tidak punya hati!” Tapi ia tidak bisa berkata apapun. Hanya menarik napas, menegakkan tubuhnya perlahan. Adrian membantu Liora berdiri dan kembali memeluk bahunya. Bukan karena cinta, bukan karena ingin melindungi, tapi karena itu bagian dari skenario. Di luar pagar, kamera mulai berbunyi. Beberapa wartawan mulai maju lebih dekat, mencoba bertanya meski ditahan oleh pihak keamanan rumah sakit dan petugas pemakaman. “Tuan Adrian, apakah benar ini istri Anda? Sejak kapan menikah?” “Kenapa pernikahannya mendadak?” “Maaf, apa benar istri seorang Adrian Ashton, bisu?” Semua suara itu mengambang di udara. Liora ingin menjerit, ingin hilang, ingin melarikan diri dari semua mata yang menyorot seperti jarum tajam. Tapi dia hanya diam. Menggenggam kuat gaun hitamnya, menunduk, membiarkan Adrian menjawab dengan senyum palsunya. “Kami mohon privasi. Hari ini adalah hari duka. Kami berharap tidak ada yang mengganggu momen pribadi kami,” ucap Adrian diplomatis sambil tetap memeluk Liora erat, menciptakan gambaran suami yang penuh empati. Di balik kepura-puraan itu, Liora semakin membatu. Di dalam hatinya, ia menangis lebih keras dari sebelumnya. Ayahnya telah tiada. Dan kini, ia berdiri di sisi pria yang memaksanya berpura-pura kuat… hanya untuk menyelamatkan nama baik dan harga diri keluarganya. “Apakah benar ini terkait kecelakaan beberapa waktu lalu?” Pertanyaan itu membuat Adriaan berusaha mengontrol emosinya. Namun jika dia tidak menjawab, itu akan membuat orang-orang semakin curiga. “Kecelakaan? Saya memang mendengar berita itu. Tapi… saya tidak mengerti kenapa pertanyaan seperti itu dilontarkan pada kami? Kami sedang berduka. Ayah mertua saya terkena serangan jantung. Dan tadi pagi tidak dapat bertahan. Saya rasa cukup. Kasihan istri saya, dia butuh ketenangan.” Adrian merangkul pinggang Liora. Membawanya berjalan lurus, mengabaikan wartawan, hingga akhirnya mereka masuk ke dalam mobil. Sementara itu di sisi lain, keluarga Adrian juga didatangi wartawan. Dengan manis Juliana berkata, “Maaf, semua. Tolong jangan berikan banyak pertanyaan dulu. Liora, menantu saya sedang terpukul. Hargai situasi kami yang sedang berduka.” Di dalam mobil, dalam perjalanan pulang, Liora duduk diam menatap jendela. Jemarinya saling memilin dan meremas. Marah tapi tak bisa. Kehilangan itu terlalu menyiksa. Sementara Adrian hanya menghela napas panjang, melepaskan dasi dan menyandarkan kepala. Ia hanya melirik Liora, sekilas, namun tidak berkata apa-apa. Yang jelas ada rasa lega di dalam hatinya setelah bisa menghadapi wartawan-wartawan itu dengan tenang. Mereka tiba di rumah. Papan bunga berdiri berderet menghiasi jalanan hingga depan gerbang. Liora turun dengan langkah pelan. Matanya menyapu seluruh papan ucapan itu satu per satu, dan dadanya makin sesak. Semuanya tampak megah, mahal, penuh kata-kata indah, tapi kosong dari makna. Tak ada satu pun yang benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semua hanya ingin terlihat peduli untuk menjaga citra. Beberapa wartawan yang sudah dibatasi oleh penjaga rumah, terlihat berusaha mencari informasi. Hal itu membuat Juliana mendekati Liora, menggamit tangannya seperti seorang ibu mertua yang peduli. Namun dari cengkeraman tangan itu, Liora tahu semuanya hanya tampilan luar. “Kau harus kuat, Liora. Ingat, sekarang kau adalah istri Adrian. Semua orang menatapmu. Jangan mempermalukan nama keluarga ini dengan air mata atau wajah cemberut,” bisiknya dengan suara manis namun tajam. Lalu Adrian pun ikut merangkulnya. Benar-benar seperti pasangan dan keluarga yang saling menyayangi. Sesampainya di dalam rumah. Juliana malah langsung mendorong Liora dan melepas seolah jijik. Liora yang lemah, terjatuh terduduk ke lantai. “Semua sudah berakhir, Adrian! Ceraikan dia sekarang!” Bersambung…Waktu berlalu, kabar kehamilan kembar membuat seluruh keluarga Ashton hidup dalam babak kebahagiaan yang baru. Namun masih ada satu orang lagi yang belum tahu apa-apa, yaitu Luca.Hari ini Luca dijemput dari asrama. Sebenarnya Adrian ingin menjemput anak itu bersama Liora, tapi dokter melarang Liora bepergian terlalu jauh. Adrian pun keras kepala: “Kalau Liora tidak ikut, aku juga tidak akan pergi.” Akhirnya, solusinya adalah Camila yang menjemput putranya sendiri, dikawal oleh Gavin sebagai sopir — tentu atas perintah penuh dari Adrian.***Di dalam mobil, Gavin menyetir dengan tenang. Camila duduk di sampingnya sambil menatap pemandangan.Tak biasanya, mobil itu sunyi hingga Gavin membuka suara duluan.“Nona Camila… ini pertama kalinya saya bertugas khusus untuk Anda.”Camila mengangkat alis.“Biasanya kamu sibuk menempel ke Kakakku.”Gavin tersenyum kecil.“Ya haha, tapi sebenarnya tugas saya lebih dari mendampinginya, justru bisa juga mendampingi Nona” jawabnya ringan.Keheningan
Satu bulan berlalu.Rumah keluarga Ashton yang dulu penuh tekanan kini berubah menjadi tempat hangat terutama bagi Liora. Kamar yang sebelumnya menjadi saksi ketakutan dan air matanya kini telah direnovasi total oleh Adrian. Dinding-dinding yang dulu gelap berganti dengan warna krem lembut, tirai putih transparan membiarkan sinar matahari masuk setiap pagi, dan di sudut ruangan ada sofa mungil dengan selimut rajut yang dipilih Juliana sendiri untuk kenyamanan Liora.Kini kamar itu terasa menjadi tempat paling aman bagi seorang ibu hamil.Dan sejak pindah, Adrian resmi menjelma menjadi satpam pribadi. Bahkan lebih dari itu.Liora baru hendak berdiri dari tempat tidur, langsung disergap.“Duduk.”“Adrian, aku cuma mau ambil air minum.”“Aku yang ambil.”“Tapi gelasnya di sebelahku.”Adrian menggeser badan, mengambil gelas satu centimeter dari tangan Liora dengan ekspresi yang sangat serius. “Tetap. Kamu duduk.”Liora hanya bisa menatap suaminya dengan ekspresi setengah geli, setengah le
Adrian menatap Liora lama, seolah ingin memastikan bahwa ia tak sendiri dalam keputusan besarnya. Liora hanya mengangguk pelan sambil tersenyum tipis, memberi dukungan tanpa suara.Dengan tarikan napas berat, Adrian akhirnya memiringkan tubuhnya dan meraih Liora dalam pelukan. Ia mendekap istrinya erat, seakan meyakinkan dirinya untuk memaafkan keluarganya.Liora membalas pelukan itu tanpa ragu. Tangannya mengusap pelan punggung Adrian, menyalurkan kekuatan tanpa satu kata pun.Setelah beberapa saat, Adrian menarik napas dan melepaskan pelukan Liora perlahan. Ia menoleh pada ibunya.Dengan sisa tenaga, ia maju dan memeluk Juliana.Wanita itu langsung pecah dalam tangis, tubuhnya bergetar hebat.“Aku maafkan Mama…” lirih Adrian.“Terima kasih… Nak… terima kasih…” katanya berulang-ulang sambil membenamkan wajah di bahu putranya. Pelukan itu bukan hanya permintaan maaf—itu adalah penyerahan diri seorang ibu yang akhirnya benar-benar rela.Tak lama kemudian, Camila yang sejak tadi berdiri
Liora menatap Adrian cukup lama. Dia terdiam.Adrian mengelus tangan Liora yang digenggamnya. “Tidak perlu memikirkan mereka,” ucap Adrian dingin, nada suaranya jelas dan penuh luka.Liora masih terdiam, menatap wajah Adrian dengan bingung. Ia tidak menyangka, di balik tangis dan pelukan hangat tadi, tersimpan bara yang masih membakar hatinya. Dengan suara bergetar, ia mencoba menegur pelan, “Bagaimana pun juga… dia tetap ibumu. Dia sudah menyesal, Adrian. Kamu tidak boleh seperti ini. Camila juga… Bahkan mereka sudah meminta maaf padaku, Adrian.”Namun, sorot mata Adrian justru mengeras. Tangannya yang menggenggam jemari Liora sedikit bergetar, seolah menahan emosi yang ingin meledak.“Liora…” katanya lirih tapi tajam, “kita seperti ini karena mereka. Karena ambisi, karena kebutaan, karena keegoisan. Aku hampir kehilanganmu. Kita bahkan kehilangan anak kita yang pertama. Aku tidak bisa begitu
Juliana kembali dilarikan ke rumah sakit. Camila mendampinginya dengan perasaan panik. Ia dibaringkan di atas ranjang darurat dan dilarikan ke ruang perawatan. Selang oksigen segera dipasang di hidungnya, sementara perawat memeriksa detak jantung dan tekanan darahnya dengan cepat.Camila hanya bisa berdiri di samping, tangan gemetar memegang lengan ibunya. Air matanya menetes deras, hatinya dicekam rasa takut kehilangan. “Mama… bertahanlah…” bisiknya lirih, tak henti mengusap punggung tangan Juliana.Saat itulah, di tengah kepanikan, kesadaran perlahan menusuk benak Camila. Hatinya bergetar hebat, menyadari sesuatu yang selama ini ia abaikan.Semua ini… semua masalah yang menimpa keluarga… bahkan penderitaan Kak Adrian dan Kak Liora… semuanya karena ambisi keluarga kami. Dan… Mama akhirnya seperti ini karena tekanan dari rasa bersalahnya.Air matanya semakin deras jatuh. Ia menggigit bibir, suaranya pecah ketika berbicara pada dirinya sendiri. “Aku… aku juga bersalah… Selama ini aku h
Malam itu, setelah semua tenang, Liora sudah dipindahkan kembali ke ruangannya. Dokter mewanti-wanti agar ia beristirahat total, menjaga tubuhnya dan kandungan yang masih sangat muda. Gavin berjaga di depan pintu, memastikan tidak ada gangguan.Sementara itu, di kamar Adrian, Juliana masuk dengan langkah perlahan. Camila menunggu di luar, memberi ruang bagi ibunya.Juliana berdiri lama di sisi ranjang Adrian, menatap wajah putranya yang pucat. Air matanya kembali mengalir, tapi kali ini bukan karena amarah atau gengsi, melainkan kasih sayang yang sempat terkubur terlalu lama.“Adrian…” Juliana mendekat ke sisi ranjang, jemarinya gemetar saat menyentuh tangan anaknya. Ia lalu membungkuk, memeluk tubuh Adrian dengan lembut. “Adrian, maafkan Mama… selama ini Mama terlalu egois. Mama hanya memikirkan nama keluarga, kehormatan, dan harga diri… tanpa pernah membuka mata tentang perasaanmu.”Bahunya terguncang hebat. Ia mengecup punggung tangan Adrian, suaranya pecah di antara tangis.“Mama







