Keesokan paginya, si bos tampan tapi sinting itu benar-benar muncul pukul sepuluh tepat.
Mobil Benz mewahnya sudah terparkir manis di depan rumah kontrakan Mbak Eka—tempat Linda tinggal. Sadewa Atmadja berdiri santai, bersandar di pintu mobil, penuh percaya diri. Wajahnya yang putih bersih tampak berkilau diterpa cahaya matahari pagi. Rambutnya yang sedikit panjang ikut menari ditiup angin semilir, menciptakan kesan dramatis bak tokoh utama drama Korea versi gila. Linda meringis, bahkan pria itu tahu alamat tempat tinggalnya tanpa bertanya padanya lebih dulu. Ia jadi bertanya-tanya, seberapa banyak informasi mengenai dirinya yang diketahui oleh seorang Sadewa Atmadja? Drrt. Drrt. Linda segera menutup gorden jendela rumah—tempat ia mengintip kedatangan Sadewa— dan berlari keluar saat ia melihat layar ponselnya menampilkan satu panggilan masuk dari Sadewa Atmadja. "Kamu telat dua menit." Linda membulatkan matanya. Ia benar-benar tak mengira akan langsung ditodong kalimat protes dari Sadewa Atmadja begitu ia sampai di depannya. Padahal ia sudah susah-susah berlari dari rumah untuk sampai ke sini, tetapi ia masih saja mendapat kalimat protes dari pria itu. "Bapak tidak bilang saya harus sudah ada di depan Bapak tepat pukul 10 pagi," dengus Linda tanpa sadar. Linda bisa melihat pria itu yang mengernyitkan keningnya. Matanya yang memang sudah sipit itu makin menyipit saat mendengar perkataan Linda barusan. "Kamu bilang apa barusan?" tanya Sadewa Atmadja. Linda menggelengkan kepalanya dan hanya tersenyum kecil. "Nggak, bukan apa-apa, Pak." Dan untungnya, Sadewa Atmadja hanya mengangguk dan menerima saja ucapannya barusan tanpa banyak protes. Sebagai gantinya, pria itu malah melemparkan sebuah tote bag yang ia bawa ke arahnya. Linda mengernyitkan keningnya bingung. Ia menatap bergantian ke arah Tote bag itu dan ke arah Sadewa Atmadja. "Ini apa, Pak?" Sadewa Atmadja tak menjawabnya. Dan alih-alih menjawab pertanyaan barusan, bos tampan tapi sintingnya itu malah masuk lagi ke dalam mobilnya tanpa sepatah katapun. Linda yang ditinggal begitu saja oleh Sadewa Atmadja mematung. Jelas ia bingung. Apa maksudnya coba, pria itu hanya melemparkan tote bag—yang entah isinya apa itu— tanpa memberi penjelasan apapun padanya. Apakah Linda disuruh untuk membawanya sampai ke rumah sang kakek mertua? Atau ini hadiah untuk Linda? Lama Linda hanya diam mematung, sampai kemudian ia dibuat terkejut (lagi) saat kepala Sadewa Atmadja menonjol dari jendela mobil. "Kenapa diam saja? Cepat masuk lagi ke rumah kamu dan pakai baju yang saya kasih," Alis mata pria itu naik ke atas, seakan tengah menghakimi Linda yang hanya terpaku bisu seperti orang bodoh. 'Ah. Jadi tote bag itu isinya baju.' Linda bergumam samar. "Atau... kamu mau mengganti baju kamu di dalam mobil?" tanyanya sambil menyeringai jahil yang membuat bola mata Linda membulat sempurna. Pipinya tiba-tiba saja merah tanpa alasan. "N- Nggak, Pak. Saya- kalau begitu saya ganti baju dulu." Linda buru-buru saja kembali ke rumah kontrakan Mbak Eka setelah berkata dengan bertaba begitu. Ia bisa merasakan pipinya yang panas. Entah karena efek sinar matahari yang mulai bersinar terik, atau karena perkataan kurang ajar Sadewa Atmadja barusan. Ah. Ia bahkan tak sempat memprotes kenapa ia harus mengganti bajunya. Padahal Linda sendiri yakin bajunya cukup bagus dan pantas untuk dikenakan saat bertemu dengan calon mertua. Memang sih, dress biru tua tanpa lengannya itu sudah terlihat agak tua dan ketinggalan jaman, tetapi dress itu masih cukup bagus dan terkesan elegan, kok. Apalagi, ia juga sudah susah-susah berdandan cantik seperti yang dikatakan pria itu. Kalau ia mengganti bajunya, itu artinya riasannya akan sedikit rusak dan ia harus merias wajahnya lagi. Ugh. Benar-benar merepotkan! Namun sekali lagi, Linda tak bisa memprotes dan hanya bisa menuruti permintaan—perintah pria itu. .... Lima belas menit kemudian, Linda sudah selesai berganti baju dengan baju yang disiapkan Sadewa. Ia juga sudah merapikan riasannya. Linda sedikit tidak menduga pria itu akan membawakan model baju yang seperti ini. Ia pikir pria itu akan membawa dress mewah berlapiskan pertama dengan belahan dada rendah. Namun ternyata, baju yang dibawa pria itu hanyalah blouse silk shirt berwarna nude dan rok midi lipat yang—terkesan santai dan biasa saja. Bahkan, dress biru tuanya lebih kelihatan mewah—atau berlebihan jika dibandingkan dengan pakaian yang dibawa oleh Sadewa Atmadja. Perempuan itu sedikit menunduk lalu mengetuk pintu mobil bos tampannya. Tak lama kemudian, kaca jendela itu sedikit turun dan membuat Linda melihat wajah tampan tetapi tanpa ekspresi milik sang atasan. "Saya sudah selesai ganti baju, Pak," katanya. Linda dapat merasakan tatapan mata tipis si bos tampan yang seolah sedang menilai ketika kaca mobil itu turun. Matanya melirik dari atas sampai ke kaki yang sedikit banyak membuat Linda tak nyaman dibuatnya. "Kerja bagus," katanya kemudian sambil menyeringai. "Tapi, Pak. Bukannya baju ini kelihatan biasa saja?" tanyanya bingung. "Biasa saja?" Pria itu mengerutkan keningnya. "Iya, terlalu biasa dan sederhana. Saya pikir bapak akan menyuruh saya memakai dress seksi warna merah," kata Linda yang sukses membuat pria itu tertawa terbahak. Cukup lama pria itu tertawa sebelum akhirnya ia kembali bersuara. Linda mengernyitkan keningnya bingung. Jelas, pria itu tertawa tiba-tiba, wajar saja jika ia dibuat bingung. "Saya lebih suka perempuan polos seperti ini daripada perempuan seksi," kata pria itu lalu mengisyaratkan Linda untuk masuk ke dalam—duduk di sebelah kursi kemudi. Dan Linda menurut tanpa banyak tanya lagi. "Dan, saya juga sudah mengirimkan apa saja yang harus kamu katakan di depan kakek saya. Saya harap kamu menghafalnya selama perjalan kita ke sana," kata Pria itu setelah Linda duduk dan berusaha memasangkan seatbelt. "Ya?" Linda membulatkan lagi matanya. Oke, ia memang sudah tahu kalau ia harus berakting menjadi calon istri kontrak Sadewa Atmadja. Namun ia tak tahu kalau ia juga harus sampai menghafalkan apa saja yang harus ia katakan. "Latar belakang kamu, pekerjaan, kapan pertama kali kita bertemu dan kita saling jatuh cinta, alasan kenapa kita akhirnya menikah—semuanya sudah ada di sana. Hafalkan baik-baik dan jangan sampai ada satu katapun yang terlewat, mengerti, Linda?" Sebenarnya perjanjian macam apa yang sudah ia tandatangani kemarin?Waktu yang seharusnya dipakai mandi itu malah dipakai untuk bercumbu lagi. Dan Linda tidak bisa memprotes. Karena setiap kali memprotes, Sadewa akan semakin membuat Linda gila dengan setiap sentuhannya. Barulah setelah hampir satu jam, Sadewa benar-benar memandikan Linda. Lalu segera membungkus Linda dengan handuk setelah selesai membersihkan perempuan itu."Saya takut malah membuat kamu kotor lagi," bisik Sadewa saat menutupi tubuh Linda dengan handuk kimono itu. Dan setelahnya barulah Sadewa membilas tubuhnya sendiri. Iya. Dia membilas tubuhnya di hadapan Linda yang duduk mematung. Menyaksikan pria itu basah-basahan tanpa busana. Benar-benar gila. "Sadewa... Apa Arum hari ini juga akan menata rambut dan wajahku?" tanya Linda saat mereka akhirnya keluar dari kamar mandi. Sadewa langsung mendudukan Linda di kursi rias. Sementara pria itu mencari baju. Satu untuknya. Dan satu setel lagi untuk Linda. Pria itu langsung memberikan satu dress panjang tanpa lengan ke arah Linda.War
"Ini masih pagi."Linda menepis tangan Sadewa yang kembali bergerilya di tubuhnya. "Dan kamu harus bangun karena ini sudah pagi." Sadewa tak mau kalah. Pria itu mencium kening istrinya lalu ke arah bibirnya."Hari ini ikut saya ke kantor."Linda yang masih memejamkan matanya sambil memeluk guling itu otomatis membuka matanya. Matanya membola, menatap bingung ke arah Sadewa yang kembali mengecup bibirnya."Ayo, bersiap," kata Sadewa lagi sebelum Linda sempat memprotes. Ah, tidak. Linda menelan bulat-bulat keinginannya untuk memprotes atau bertanya saat ia ingat betapa mengerikannya Sadewa kemarin.Jadi, Linda hanya menganggukan kepala patuh. Sadewa yang melihat Linda menganggukkan kepalanya itu pun kembali mengecup pelan kening perempuan itu. Bibirnya sedikit melengkung ke atas membuat senyuman tipis yang cukup menyilaukan mata. Ah. Linda benar-benar membenci Sadewa yang begini. Kadang pria itu selembut kapas. Kadang pula sekasar dan sekeras kulit durian. Mau dia itu apa sih se
"Ugh... Sadewa..." Ini masih siang. Matahari juga masih bersinar sangat terik dan panas. Namun apa yang dilakukan Sadewa jauh lebih panas dan membara. Lebih panas dari kuah malatang yang jatuh dan mengenai pahanya akibat ulah Sadewa yang tiba-tiba menyambar bibirnya. Ah. Bahkan Linda sendiri tak ingat bagaimana mulanya. Perempuan itu tak sadar, tahu-tahu jarak mereka makin dekat dan tipis. Napas memburu Sadewa yang makin panas di kulit wajahnya, dan.... Cup. Satu kecupan ringan yang berubah menjadi kecupan panas dan ganas. Arum dan kedua pelayannya yang lain—juga beberapa orang pelayan lain selain pelayan pribadinya langsung saja bubar barisan. Tak ingin melihat adegan tak senonoh Tuan dan Nyonya yang mereka layani. "Ah..." Panas. Rasanya panas. Bukan hanya sapuan bibir Sadewa yang membakar, tapi juga kuah malatang mendidih yang tumpah dan mengenai pahanya saat pria itu semakin memperdalam pagutannya. Namun sensasi perih itu tak bertahan lama. Sadewa dengan s
Sadewa pergi lagi setelah bertemu dengan Kakeknya. Dan pria itu belum kembali juga sampai sekarang. Linda? Tentu saja dia khawatir. Bukan khawatir karena Sadewa yang belum kembali pulang. Melainkan khawatir dengan isi pembicaraan Sadewa dengan sang kakek. 'Apa Kakek Atmadja akhirnya tahu kalau dia itu cuma istri kontraknya Sadewa?'Kalau ketahuan kan, bahaya. Ugh. Mana, Sadewa juga tak bisa dihubungi lagi. "Apa kamu tahu kemana Sadewa?" tanya Linda pada Arum yang tentu saja dibalas oleh gelengan kecil pelayan itu. "Mohon maaf, Nyonya. Tapi tuan sama sekali tidak mengatakan apapun saat pergi," katanya sambil membungkuk hormat. Linda hanya menggigit bibir bawahnya. Ia lalu kembali menghubungi nomor Sadewa. Namun lagi-lagi nomor ponselnya tak dapat dihubungi. Kemana sebenarnya Sadewa pergi?.....Besoknya pun, Sadewa masih belum kembali. Ponselnya pun masih tak bisa dihubungi. Saat dia bertanya pada Mbak Eka pun—sekretarisnya— dia berkata kalau Sadewa malah membatalkan semua a
Begitu mobil berhenti di rumah Sadewa, Linda kembali ditarik secara paksa.Tidak ada sedikit pun kelembutan. Sadewa benar-benar memperlakukan Linda layaknya barang, bukan lagi seorang manusia.Perlakuan itu membuat Linda marah sekaligus sedih setengah mati."Pa... Pak..."Sadewa tidak menyahut. Ia masih menyeret lengan Linda untuk mengikuti langkah lebarnya.Hingga akhirnya, langkah mereka berdua terhenti oleh sosok tamu tak diundang yang tiba-tiba muncul dari balik pintu rumah megah itu."Eyang? Apa yang Eyang lakukan di sini?" tanya Sadewa, suaranya serta-merta kehilangan nada kasar dan berubah menjadi lebih tertahan.Dalam sekejap, cengkeraman Sadewa yang keras dan menyakitkan di lengan Linda melemah. Jari-jarinya yang tadinya menggenggam seperti besi berubah menjadi sebuah genggaman yang halus, bahkan hampir protektif. Seolah dalam sedetik, Linda berubah dari "barang" tak berharga menjadi "harta" yang harus dilindungi di depan kakeknya.Linda pun tak mau kalah. Ia memasang senyuma
"Ah... Sa... Sadewa..."Linda meringis ketika pria itu menghentikan langkahnya, lalu dengan kasar melemparkan tubuhnya ke kursi samping kemudi."Sepertinya saya sudah terlalu lunak sama kamu," ucap Sadewa, suaranya dingin menusuk.Linda cepat-cepat menggeleng. Tatapannya gemetar, terpaku pada sosok Sadewa yang kini tampak jauh lebih menyeramkan.Ia selalu tahu Sadewa menakutkan. Tapi baru kali ini Linda menyadari betapa mengerikannya pria itu ketika sedang marah."Sa... Sadewa..." bisiknya lirih.Blam!Pintu mobil dibanting keras, membuat Linda tersentak kaget.Sadewa benar-benar tidak menghiraukannya. Pria itu bahkan tidak sudi melirik sedikit pun ke arahnya.Sadewa masuk ke mobil dari sisi pengemudi. Suara gesekan kulit jok terdengar ketika tubuh tegapnya menghantam kursi.Tangannya langsung meraih setir, sementara rahangnya mengeras, urat di lehernya menegang.Linda menelan ludah. Jemarinya bergetar di atas pahanya. Ia ingin bicara, tetapi lidahnya terasa kelu.Ugh. Sepertinya ia