Sadewa Atmadja hanya butuh istri boneka—cantik, patuh, tanpa cinta. Linda, gadis polos yang terjebak hutang, menerima pernikahan kontrak itu tanpa tahu apa yang akan dia hadapi kedepannya. Namun Sadewa tak seperti yang ia kira. Tatapannya menusuk, sentuhannya mengguncang, dan bisikannya membuat Linda goyah. Hari demi hari, batas antara peran dan perasaan pun memudar. Linda tak tahu lagi mana yang nyata: kebencian, ketakutan... atau ketergantungan. Dan saat Sadewa mulai terobsesi, Linda justru menjadi candu yang tak bisa ia lepaskan. “Kamu tidak akan bisa lepas dariku, Linda. Tidak akan pernah.”
view more"Jadi, nama kamu Linda Hayden?"
Linda Hayden menganggukkan kepalanya pelan. Lidahnya seolah tak berfungsi dengan baik saat ini. Pun demikian juga dengan otak kecilnya yang mendadak blank—tak bisa memikirkan apapun yang bisa ia katakan sebagai jawab dari pertanyaan sederhana itu. Sedari tadi, sejak ia memasuki ruang yang katanya adalah ruang kerja bos barunya itu, Linda sudah terpaku pada sosok itu. Sesosok pria tinggi besar dengan garis rahang tegas, dan mata tipis yang sangat bertolak belakang dengan alis lebat yang membuat pria itu makin menakutkan. "Be- betul, Pak." Akhirnya ia menjawab juga, sedikit terbata yang membuat pria itu mengerutkan keningnya. "Kamu tahu kenapa kamu di sini?" Suara berat si tampan berjas hitam itu kembali menggema. “Wawancara kerja, Pak?” jawab Linda yang—lebih terdengar seperti pertanyaan. "Dan— kamu melamar ke sini sebagai apa tepatnya, Linda?" tanya Pria itu lagi yang tidak puas dengan jawaban menggantung Linda. Raut mukanya sedikit berubah, lebih datar dan terkesan mendominasi? Terlebih ketika ia juga menyilakan di atas kursi. Tangannya juga, ikut tersilang yang anehnya malah membuat pria itu makin terlihat tampan dan gagah di matanya. "Office girl?" lagi, jawaban Linda terdengar ragu. Karena sejujurnya saja, ia tidak begitu ingat tawaran pekerjaan apa yang ia terima dari sepupunya. Yang jelas Mbak Eka—sepupupu Linda—menawari Linda untuk bekerja di perusahaan tempatnya bekerja. Linda yang memang sedang butuh pekerjaan karena tiba-tiba diwarisi tumpukan hutang oleh kedua orangnya pun, tanpa banyak bertanya segera mengiyakan tawaran Mbak Eka. Dan kemarin malam, Mbak Eka memberitahu Linda kalau ia dipanggil wawancara langsung oleh calon bos barunya. Mbak Eka tidak memberitahu jenis pekerjaan apa yang akan ia lamar, dan bodohnya lagi Linda juga tidak bertanya pada perempuan itu. Jadi, ia hanya asal menjawab saja. Toh, apalagi yang bisa dikerjakan oleh lulusan SMA sepertinya di perusahaan 20 lantai ini selain menjadi pesuruh? "Office girl?" ulang si bos tampan. Pria itu malah mengernyitkan kedua alisnya, sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas, membentuk sebuah seringai kecil yang cocok sekali dengan wajah tampannya. Maksudnya—dia memang tampan dan menawan, tetapi cukup menyeramkan juga. “Anu… Pak… Sebenarnya saya nggak terlalu tahu pekerjaan apa yang saya lamar, saya lupa bertanya pada Mbak Eka—orang yang memberitahu saya lowongan di sini— tapi sepertinya memang office girl.” Pria itu tergelak. Tertawa cukup puas seolah ia baru saja mendengar lelucon paling lucu dari peserta stand up comedy terlucu sepanjang sejarah. Linda sendiri yang bingung kenapa pria itu tertawa hanya bisa terkekeh canggung. "Linda, Linda. Kamu ini polos atau bodoh sebenarnya? Bisa-bisanya kamu melamar pekerjaan yang kamu sendiri tidak tahu job desc dan rincian pekerjaannya bagaimana?" kata pria itu. Tawanya hilang, ekspresinya pun kembali datar. Linda jadi bertanya-tanya. Apakah pria ini aktor yang sedang menyamar menjadi CEO perusahaan multinasional? Kalau bukan, kenapa ia sangat pintar mengubah ekspresinya secara drastis hanya dalam hitungan detik? "Maksud bapak?" tanya Linda. Namun pria itu hanya menggelengkan kepalanya. Masih dengan seringai anehnya yang entah kenapa membuat bulu roma Linda seketika meremang. Lalu tangannya yang semula menyilang di atas perut itu terulur, mengambil sesuatu yang ada di atas nakas—tepat di samping sofa tempatnya duduk, dan menyimpannya di atas meja. "Buka." Linda mengernyitkan keningnya. Bingung juga tidak mengerti dengan perintah tidak jelas yang diucapkan oleh pria itu. Apanya yang dibuka? "Apanya, Pak?" "Map itu. Buka dan baca kontrak kerja kamu. Kamu saya terima bekerja." Mata Linda berbinar. Perempuan itu senang luar biasa. Ditatapnya mata Sang bos barunya lama-lama, dengan tatapan penuh haru yang membuat seringai pria itu makin lebar. "Serius, Pak?" tanyanya masih tak percaya. Alangkah indahnya hidup Linda jika begini. Sekalipun ia ditinggalkan banyak hutang oleh kedua orangtuanya, tetapi ia bisa bekerja di perusahaan besar dengan bos super tampan. Tidak hanya itu, bosnya itu juga jauh dari kata dingin dan menyeramkan seperti kebanyakan bos atau CEO yang digambarkan di novel-novel roman picisan yang sering ia baca. Justru, pria itu banyak bicara dan suka tertawa. "Iya, buka dulu makanya," kata Bos barunya itu. Nada suaranya sangat lembut dan manis, dengan senyuman setengah seringai yang menghiasi wajahnya. Kedua mata pria itu sedari tadi menatapnya, seolah menunggu Linda membuka map itu dan membacanya. Maka dari itu, Linda pun segera mengambil map itu, membukanya, dan perlahan membaca isinya dengan seksama. "Tapi, kalau kamu sudah membukanya, kamu wajib menandatangani surat kerja itu." Mata Linda membulat sempurna. Perempuan itu terkejut bukan main. Bukan hanya karena perkataan bernada kelewat manis yang keluar dari bibir atasannya, melainkan juga judul yang tertera di surat kontrak kerja yang baru saja ia buka. Makin ia baca isi kontraknya, makin membulat pula mata dan juga bibir mungilnya. "Apa maksudnya ini, Pak? Istri kontrak?!" Linda membeo.Glup. Entah sudah berapa kali Linda Hayden menelan ludahnya sendiri karena gugup. Senyum tetap mengembang di wajahnya, tapi itu tak lebih dari topeng—menutupi kegelisahan yang mengaduk-aduk isi perutnya. Bagaimana ia tidak gugup? Di seberang meja makan panjang itu duduk seorang pria tua dengan wajah yang mirip Sadewa Atmadja— hidung mancungnya, garis muka yang tampan dan rupawan sekalipun sudah berumur senja, dan bahkan aura seramnya pun mirip Sadewa Atmadja! Jika saja Sadewa Atmadja tidak duduk di sebelahnya, mungkin Linda sudah pingsan karena tekanan psikologis yang diberikan si kakek tua. Tadi saat pertama menginjakkan kaki ke rumah megah ini, si Kakek tua kebetulan sedang duduk di meja makan sambil membaca buk. Jelas bukan hal yang wajar dan aneh seolah tahu akan kedatangan cucunya. Namun sepertinya si kakek memang sudah tahu cucunya akan datang—entah karena diberitahu atau memang hanya sekadar feeling. Karena mereka berdua langsung disuruh duduk saat keduanya sampai di hadap
"Sekali lagi, pastikan kamu sudah menghafal semua pernyataan yang saya kirimkan." Sadewa Atmadja kembali mengingatkan Linda saat mobil mereka berhenti setelah perjalanan yang—cukup lama. Perjalanan itu terasa cukup lama dan panjang untuk Linda. Entah karena ia yang tidak biasa naik mobil mewah, atau karena tugas yang diberikan Sadewa Atmadja padanya selama perjalan. Melihat ponsel saat naik mobil saja sudah cukup membuat ia mual, apalagi ini disuruh membaca dan menghafalkan rentetan kata-kata yang cukup panjang dan banyak. Beruntungnya, Linda itu saat sekolah—dan berkuliah dulu— cukup cepat dalam menghapal. Jadi, hanya butuh dua sampai tiga kali lihat saja ia sudah bisa menghafal seluruh isi pesan yang dikirimkan bosnya."Tenang saja, Pak. Saya ini cukup pintar menghafal." Linda berkata sambil menepuk dadanya kelewat percaya diri. Sadewa Atmadja yang mendengar perkataannya itu menyeringai tampan. pria itu lalu menoleh ke arah Linda, kepalanya sedikit miring ke arah kemudi yang mak
Keesokan paginya, si bos tampan tapi sinting itu benar-benar muncul pukul sepuluh tepat. Mobil Benz mewahnya sudah terparkir manis di depan rumah kontrakan Mbak Eka—tempat Linda tinggal. Sadewa Atmadja berdiri santai, bersandar di pintu mobil, penuh percaya diri. Wajahnya yang putih bersih tampak berkilau diterpa cahaya matahari pagi. Rambutnya yang sedikit panjang ikut menari ditiup angin semilir, menciptakan kesan dramatis bak tokoh utama drama Korea versi gila. Linda meringis, bahkan pria itu tahu alamat tempat tinggalnya tanpa bertanya padanya lebih dulu. Ia jadi bertanya-tanya, seberapa banyak informasi mengenai dirinya yang diketahui oleh seorang Sadewa Atmadja? Drrt. Drrt. Linda segera menutup gorden jendela rumah—tempat ia mengintip kedatangan Sadewa— dan berlari keluar saat ia melihat layar ponselnya menampilkan satu panggilan masuk dari Sadewa Atmadja. "Kamu telat dua menit." Linda membulatkan matanya. Ia benar-benar tak mengira akan langsung ditodong kalimat
"Pak Sadewa?" kata Linda tak yakin. Pria di seberang telepon itu tampak berdecak pelan sebelum ia menjawab pernyataan—atau pertanyaan perempuan itu. "Betul,” katanya. “Bukannya saya sudah menyuruh kamu untuk menyimpan nomor saya sebelum kamu keluar dari ruangan saya?" lanjut pria itu. Perkataan Sadewa memang tidak salah. Setelah ia menandatangani surat perjanjian kontrak 'kerja'nya, Sadewa memang menyebutkan deretan angka—yang adalah nomor ponselnya, dan menyuruh Linda untuk menyimpannya. Namun, jangankan untuk mengetik nomor yang disebutkan pria itu dan menyimpannya, untuk bernapas saja Linda tidak bisa. Pikirannya mendadak kosong seketika. Pun juga seluruh kemampuan inderanya. "Maaf, Pak. Sepertinya tadi saya nggak fokus dan lupa menyimpannya," kata Linda. Pria itu tak bicara apapun. Namun jika boleh Linda tebak, pria itu pasti sedang mengerutkan kedua keningnya, yang membuat alis tebal pria itu menyatu, tanda jika ia tak puas atau tak suka dengan jawaban yang Linda ber
Sembilan ratus juta. Total utang yang ditinggal oleh kedua orangtuanya itu adalah sembilan ratus juta. Jumlah yang sangat banyak untuk utang pribadi, bukan? Bahkan Ayahnya sendiri yang hanya seorang Kepala SMP Negeri yang hidupnya sangat sederhana itu, tak pernah bermimpi akan terjerumus sedalam ini. Gajinya bahkan tak menyentuh angka dua digit per bulan. Namun itulah kenyataannya—satu keputusan bodoh yang menyeret seluruh keluarga ke jurang kehancuran. Semua bermula dari tawaran manis seorang rekan sejawat. Skema investasi yang disebut Tabungan Cuan, menjanjikan pengembalian dua kali lipat hanya dalam waktu sebulan. Satu juta menjadi dua juta. Lima juta menjadi sepuluh juta. Terlalu indah untuk menjadi kenyataan—tetapi pada awalnya, itu memang terjadi. Ayah Linda, yang awalnya penuh keraguan, akhirnya luluh karena rayuan bertubi-tubi. Ia mencoba dengan nominal kecil, dan saat hasilnya nyata, ia mulai percaya. Rasa percaya itu tumbuh menjadi keyakinan, dan dari keyakinan muncullah
Linda Hayden keluar dari ruangan Sadewa Atmadja dengan muka kusut. Matanya berkaca-kaca, seolah sedang menahan tangis yang bisa menetes kapan saja. Bukan seolah—ia memang sedang berjuang mati-matian agar air matanya tidak jatuh saat itu juga.Jangan sebut ia cengeng. Karena Linda yakin, siapa pun yang berada di posisinya pasti akan menangis.Bagaimana tidak? Orangtuanya meninggal dunia dan mewariskan utang yang menumpuk. Saat Linda mencoba bertahan hidup—berhenti kuliah dan bekerja serabutan demi membayar semuanya—ia malah dijebak oleh kakak sepupunya sendiri. Satu-satunya keluarga yang tersisa, justru menyeretnya menjadi istri kontrak seorang CEO kaya raya... yang gila.Memang sih, bayarannya besar. Dengan uang 200 juta yang ia terima di awal, dan 25 juta perbulan, ia bisa melunasi utang kedua orangtuanya itu dalam waktu dua belas sampai lima belas bulan. Linda tak harus bekerja mati-matian seumur hidup untuk melunasi utang-utang itu berkat kontrak nikah yang ia tandatangani. Namun
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments