Home / Romansa / ISTRI BONEKA TUAN SADEWA / Sebelum 'Pekerjaan' Pertama

Share

Sebelum 'Pekerjaan' Pertama

Author: Vera Nox
last update Last Updated: 2025-07-13 04:55:11

"Pak Sadewa?" kata Linda tak yakin. Pria di seberang telepon itu tampak berdecak pelan sebelum ia menjawab pernyataan—atau pertanyaan perempuan itu.

"Betul,” katanya.

“Bukannya saya sudah menyuruh kamu untuk menyimpan nomor saya sebelum kamu keluar dari ruangan saya?" lanjut pria itu.

Perkataan Sadewa memang tidak salah. Setelah ia menandatangani surat perjanjian kontrak 'kerja'nya, Sadewa memang menyebutkan deretan angka—yang adalah nomor ponselnya, dan menyuruh Linda untuk menyimpannya. Namun, jangankan untuk mengetik nomor yang disebutkan pria itu dan menyimpannya, untuk bernapas saja Linda tidak bisa. Pikirannya mendadak kosong seketika. Pun juga seluruh kemampuan inderanya.

"Maaf, Pak. Sepertinya tadi saya nggak fokus dan lupa menyimpannya," kata Linda.

Pria itu tak bicara apapun. Namun jika boleh Linda tebak, pria itu pasti sedang mengerutkan kedua keningnya, yang membuat alis tebal pria itu menyatu, tanda jika ia tak puas atau tak suka dengan jawaban yang Linda berikan—kebiasaan si bos tampan sinting yang tak sengaja Linda sadari selama satu setengah jam memperhatikan pria itu.

"Pastikan kamu menyimpannya setelah ini," kata pria itu pada akhirnya.

Linda mengangguk—dan Linda buru-buru bergumam "ya" saat ia menyadari pria itu tak bisa melihatnya.

"Tapi, Pak. Bapak sendiri bisa tahu nomor saya dari mana?" Linda bertanya heran. Karena seingat Linda, hanya pria itu yang menyebutkan nomor ponselnya. Dan ia langsung keluar begitu si bos tampan menyuruhnya pergi setelahnya.

"Tentu saja Eka."

Ah. Benar juga. Memangnya dari siapa lagi pria itu bertanya soal dirinya selain dari Mbak Eka. Dia yang sudah 'menjual' Linda pada Pria itu, tentu saja Mbak Eka juga pasti sudah memberikan informasi yang cukup untuk membuat pria itu pada akhirnya memilih Linda—kalau hanya sekadar nomor ponsel, jelas itu bukan apa-apa, karena jumlah utang yang ia miliki saja pria itu mengetahuinya.

"Ah..." Jadi Linda hanya bisa diam saja. Perempuan itu tidak tahu harus berkata apa atau bereaksi seperti apa.

Namun Linda tiba-tiba saja sedikit penasaran mengenai alasan sesungguhnya pria itu menghubunginya sore ini. Apakah pria itu menghubunginya hanya karena dia ingin mengecek Linda sudah menyimpan nomor ponselnya saja?

Tidak mungkin, kan? Pasti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan selain itu. Karena oh, ayolah, seorang yang sibuk seperti Sadewa Atmadja—yang tak lain adalah CEO Perusahaan besar, tidak mungkin membuang waktunya yang berharga itu hanya karena alasan yang sepele.

"Dan satu lagi, Linda."

Benar saja kan dugaan Linda. Ada maksud lain kenapa pria itu menghubunginya.

"Iya, Pak?" Linda sedikit merubah posisi berbaringnya. Jika tadi ia menengadah menatap langit-langit kamar, maka sekarang ini perempuan itu tengah menghadap ke sisi kiri—yang langsung menghadap ke arah pintu kamarnya. Tangannya yang lain memeluk bantal guling miliknya dengan erat.

"Besok kamu mulai bekerja sebagai istri saya."

Linda mengernyit bingung..bagaimana ia tidak bingung? Ia saja baru menandatangani surat perjanjian pernikahan kontrak mereka tadi pagi. Itu artinya belum ada satu hari kontrak itu berlaku, tetapi pria di seberang telepon sudah menyuruhnya untuk bekerja sebagai istrinya?

Mereka bahkan belum mengucapkan janji suci. Jangankan mengucapkan janji suci, mengisi formulir permohonan untuk menikah saja ia—dan Sadewa Atmadja tentu saja— belum!

"Besok, Pak? Tapi bukannya kita saja belum mendaftarkan pernikahan kita?"

Ia geli sendiri saat menyebut kata 'kita' dan 'pernikahan'. Namun Linda sepertinya harus mulai terbiasa dengan dua kata itu.

"Itu biar saya yang urus. Besok kamu hanya perlu berdandan yang cantik karena kamu akan bertemu dengan calon kakek mertua kamu," katanya yang lebih mirip seperti perintah dibandingkan dengan sebuah pernyataan.

"Calon kakek mertua saya itu berarti kakeknya Pak Sadewa, ya?" tanya Linda. Entah kenapa ia merasa sedikit ada yang aneh dan ganjil dengan perkataan pria itu. Namun ia sendiri tidak tahu apa yang aneh dari perkataannya.

"Iya, memangnya siapa lagi yang akan menjadi kakek mertua kamu selain kakek saya?" kata pria itu.

Dan ah. Ia baru sadar sekarang. Pria itu, alih-alih mengajaknya bertemu dengan calon Ibu dan Bapak mertuanya—yang tak lain dan tak bukan adalah orangtua Sadewa Atmadja — pria itu malah mengajak Linda untuk bertemu dengan Kakeknya.

Memangnya kemana kedua orangtua bos tampannya itu sampai-sampai ia malah diajak bertemu kakeknya? Apakah mereka juga sudah meninggal dunia seperti kedua orangtuanya? Atau— ada alasan lain kenapa kedua orangtua bosnya itu tidak bisa ia temui.

Linda ingin menanyakannya, tetapi ia mengurungkan niatnya tersebut. Selain karena ia takut terlalu ikut campur, ia juga tiba-tiba jadi teringat satu hal pasal yang ada di dalam kontrak yang ia tanda-tangani: Linda tak boleh banyak bertanya jika Sadewa Atmadja memberikan perintah. Dan tanpa Linda sadari, ia malah sudah melanggar perintah itu saat bertanya tadi.

"Besok saya akan jemput kamu jam 10 pagi, jadi bersiaplah sebelum jam itu. Saya paling tidak suka menunggu." Sadewa kembali memberikan perintah mutlaknya.

"Baik, Pak."

"Bagus, sampai berjumpa besok pagi kalau begitu, Linda," katanya lalu panggilan itu ditutup sepihak bahkan sebelum Linda sempat menjawabnya.

Perempuan itu berdecak. Ia benar-benar kesal main ditinggal begitu saja setelah dibuat tegang dan takut setengah mati.

Padahal, satu hari saja belum semenjak ia menandatangani kontrak kerja budak itu. Namun pria itu sudah memperlakukannya dengan seenaknya. Yah, dia bahkan sudah memperlakukan Linda seenaknya sebelum ia menandatangani kontrak itu, sih. Dan itu makin membuat Linda kesal.

Padahal, Linda juga ingin bertanya soal isi kontrak itu lebih jauh. Minimal, ia ingin tahu kapan ia akan menerima sejumlah uang yang dijanjikan pria itu padanya. Bukankah bos tampan dan sombong itu berkata Linda akan langsung mendapatkan 200 juta begitu ia menandatangani kontrak budak itu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ISTRI BONEKA TUAN SADEWA   Pasangan Penipu

    Pertanyaan bertubi-tubi yang diajukan Kakek Atmadja sedikit banyak membuat Linda kembali gugup. Apalagi si Kakek Tua itu juga seperti memberikan tatapan dan aura yang horor dan mencekam. Makin saja Linda dibuat gugup bukan main. Meski sejauh ini pertanyaan yang keluar dari bibir pria tua itu hampir sama dengan pertanyaan yang tertulis di file 'tanya-jawab' yang dikirim oleh Sadewa Atmadja yang ia hafalkan—meski ia juga tak mengerti kenapa pria itu bisa memprediksi dengan 'hampir' tepat setiap pertanyaan yang akan diajukan si Kakek tua.Namun sepertinya persiapan yang dilakukan pria itu dan dirinya tidak terlalu berguna. Buktinya Linda kembali gugup bukan main hanya karena beberapa rentetan pertanyaan dan tatapan tajam penuh selidik dari pria tua di depannya. Dan juga—karena sekali lagi, perempuan itu paling tak tahan dengan aura yang mendominasi. Dan sayangnya sepasang kakek dan cucu ini malah—sepertinya— senang sekali menunjukkan aura mendominasi yang membuat Linda kesulitan."Itu ka

  • ISTRI BONEKA TUAN SADEWA   Pria Tua Berwajah Seram

    Glup. Entah sudah berapa kali Linda Hayden menelan ludahnya sendiri karena gugup. Senyum tetap mengembang di wajahnya, tapi itu tak lebih dari topeng—menutupi kegelisahan yang mengaduk-aduk isi perutnya. Bagaimana ia tidak gugup? Di seberang meja makan panjang itu duduk seorang pria tua dengan wajah yang mirip Sadewa Atmadja— hidung mancungnya, garis muka yang tampan dan rupawan sekalipun sudah berumur senja, dan bahkan aura seramnya pun mirip Sadewa Atmadja! Jika saja Sadewa Atmadja tidak duduk di sebelahnya, mungkin Linda sudah pingsan karena tekanan psikologis yang diberikan si kakek tua. Tadi saat pertama menginjakkan kaki ke rumah megah ini, si Kakek tua kebetulan sedang duduk di meja makan sambil membaca buk. Jelas bukan hal yang wajar dan aneh seolah tahu akan kedatangan cucunya. Namun sepertinya si kakek memang sudah tahu cucunya akan datang—entah karena diberitahu atau memang hanya sekadar feeling. Karena mereka berdua langsung disuruh duduk saat keduanya sampai di hadap

  • ISTRI BONEKA TUAN SADEWA   Bertemu Kakek Mertua?

    "Sekali lagi, pastikan kamu sudah menghafal semua pernyataan yang saya kirimkan." Sadewa Atmadja kembali mengingatkan Linda saat mobil mereka berhenti setelah perjalanan yang—cukup lama. Perjalanan itu terasa cukup lama dan panjang untuk Linda. Entah karena ia yang tidak biasa naik mobil mewah, atau karena tugas yang diberikan Sadewa Atmadja padanya selama perjalan. Melihat ponsel saat naik mobil saja sudah cukup membuat ia mual, apalagi ini disuruh membaca dan menghafalkan rentetan kata-kata yang cukup panjang dan banyak. Beruntungnya, Linda itu saat sekolah—dan berkuliah dulu— cukup cepat dalam menghapal. Jadi, hanya butuh dua sampai tiga kali lihat saja ia sudah bisa menghafal seluruh isi pesan yang dikirimkan bosnya."Tenang saja, Pak. Saya ini cukup pintar menghafal." Linda berkata sambil menepuk dadanya kelewat percaya diri. Sadewa Atmadja yang mendengar perkataannya itu menyeringai tampan. pria itu lalu menoleh ke arah Linda, kepalanya sedikit miring ke arah kemudi yang mak

  • ISTRI BONEKA TUAN SADEWA   Pak Sadewa Atmadja

    Keesokan paginya, si bos tampan tapi sinting itu benar-benar muncul pukul sepuluh tepat. Mobil Benz mewahnya sudah terparkir manis di depan rumah kontrakan Mbak Eka—tempat Linda tinggal. Sadewa Atmadja berdiri santai, bersandar di pintu mobil, penuh percaya diri. Wajahnya yang putih bersih tampak berkilau diterpa cahaya matahari pagi. Rambutnya yang sedikit panjang ikut menari ditiup angin semilir, menciptakan kesan dramatis bak tokoh utama drama Korea versi gila. Linda meringis, bahkan pria itu tahu alamat tempat tinggalnya tanpa bertanya padanya lebih dulu. Ia jadi bertanya-tanya, seberapa banyak informasi mengenai dirinya yang diketahui oleh seorang Sadewa Atmadja? Drrt. Drrt. Linda segera menutup gorden jendela rumah—tempat ia mengintip kedatangan Sadewa— dan berlari keluar saat ia melihat layar ponselnya menampilkan satu panggilan masuk dari Sadewa Atmadja. "Kamu telat dua menit." Linda membulatkan matanya. Ia benar-benar tak mengira akan langsung ditodong kalimat

  • ISTRI BONEKA TUAN SADEWA   Sebelum 'Pekerjaan' Pertama

    "Pak Sadewa?" kata Linda tak yakin. Pria di seberang telepon itu tampak berdecak pelan sebelum ia menjawab pernyataan—atau pertanyaan perempuan itu. "Betul,” katanya. “Bukannya saya sudah menyuruh kamu untuk menyimpan nomor saya sebelum kamu keluar dari ruangan saya?" lanjut pria itu. Perkataan Sadewa memang tidak salah. Setelah ia menandatangani surat perjanjian kontrak 'kerja'nya, Sadewa memang menyebutkan deretan angka—yang adalah nomor ponselnya, dan menyuruh Linda untuk menyimpannya. Namun, jangankan untuk mengetik nomor yang disebutkan pria itu dan menyimpannya, untuk bernapas saja Linda tidak bisa. Pikirannya mendadak kosong seketika. Pun juga seluruh kemampuan inderanya. "Maaf, Pak. Sepertinya tadi saya nggak fokus dan lupa menyimpannya," kata Linda. Pria itu tak bicara apapun. Namun jika boleh Linda tebak, pria itu pasti sedang mengerutkan kedua keningnya, yang membuat alis tebal pria itu menyatu, tanda jika ia tak puas atau tak suka dengan jawaban yang Linda ber

  • ISTRI BONEKA TUAN SADEWA   Awal Kemalangan

    Sembilan ratus juta. Total utang yang ditinggal oleh kedua orangtuanya itu adalah sembilan ratus juta. Jumlah yang sangat banyak untuk utang pribadi, bukan? Bahkan Ayahnya sendiri yang hanya seorang Kepala SMP Negeri yang hidupnya sangat sederhana itu, tak pernah bermimpi akan terjerumus sedalam ini. Gajinya bahkan tak menyentuh angka dua digit per bulan. Namun itulah kenyataannya—satu keputusan bodoh yang menyeret seluruh keluarga ke jurang kehancuran. Semua bermula dari tawaran manis seorang rekan sejawat. Skema investasi yang disebut Tabungan Cuan, menjanjikan pengembalian dua kali lipat hanya dalam waktu sebulan. Satu juta menjadi dua juta. Lima juta menjadi sepuluh juta. Terlalu indah untuk menjadi kenyataan—tetapi pada awalnya, itu memang terjadi. Ayah Linda, yang awalnya penuh keraguan, akhirnya luluh karena rayuan bertubi-tubi. Ia mencoba dengan nominal kecil, dan saat hasilnya nyata, ia mulai percaya. Rasa percaya itu tumbuh menjadi keyakinan, dan dari keyakinan muncullah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status