Sembilan ratus juta. Total utang yang ditinggal oleh kedua orangtuanya itu adalah sembilan ratus juta. Jumlah yang sangat banyak untuk utang pribadi, bukan?
Bahkan Ayahnya sendiri yang hanya seorang Kepala SMP Negeri yang hidupnya sangat sederhana itu, tak pernah bermimpi akan terjerumus sedalam ini. Gajinya bahkan tak menyentuh angka dua digit per bulan. Namun itulah kenyataannya—satu keputusan bodoh yang menyeret seluruh keluarga ke jurang kehancuran. Semua bermula dari tawaran manis seorang rekan sejawat. Skema investasi yang disebut Tabungan Cuan, menjanjikan pengembalian dua kali lipat hanya dalam waktu sebulan. Satu juta menjadi dua juta. Lima juta menjadi sepuluh juta. Terlalu indah untuk menjadi kenyataan—tetapi pada awalnya, itu memang terjadi. Ayah Linda, yang awalnya penuh keraguan, akhirnya luluh karena rayuan bertubi-tubi. Ia mencoba dengan nominal kecil, dan saat hasilnya nyata, ia mulai percaya. Rasa percaya itu tumbuh menjadi keyakinan, dan dari keyakinan muncullah keserakahan yang tak disadari. Lalu datanglah program afiliasi—jebakan sesungguhnya. Jika bisa mengajak orang lain bergabung, sang pengajak akan mendapat bonus 20% dari total investasi orang tersebut. Ayah Linda pun mulai mengajak rekan-rekannya: sesama guru, staf sekolah, bahkan tetangga dekat. Dalam waktu singkat, lebih dari lima puluh orang bergabung lewat tangannya. Dan semuanya, di bulan-bulan awal, benar-benar mendapatkan hasil manis seperti yang dijanjikan. Linda masih ingat betul bagaimana mata ayahnya berbinar saat bercerita. Bagaimana ia merasa seperti pahlawan—membantu banyak orang mendapatkan rezeki tambahan. Namun euforia itu tak bertahan lama. Di bulan ketiga, banyak yang mulai menggila. Ada yang menjual perhiasan, menggadaikan sertifikat, bahkan menarik tabungan pendidikan anak demi bisa setor lebih banyak ke Tabungan Cuan. Dan saat itulah semuanya runtuh. Bank—mereka menyebutnya begitu— tempat mereka menyimpan semua uang dan harta benda mereka itu pun menghilang begitu saja. Tak ada pemberitahuan lebih dulu. Tak ada peringatan, tiba-tiba saja hilang ditelan bumi. Seolah Bank Tabungan Cuan itu memang tak pernah ada. Yang tersisa dari Tabungan Cuan hanyalah orang-orang yang menjadi korban kebodohan dan keserakahan diri mereka sendiri—setidaknya itu menurut Linda. Semua orang panik. Dan dalam kekacauan itu, hanya satu nama yang menjadi sasaran: Ayah Linda. Bukan pemilik Tabungan Cuan, bukan orang asing di balik skema jahat itu—tapi pria tua sederhana yang hanya ingin membantu perekonomian teman-temannya. Dan karena semua itu berawal dari ajakan dan kepercayaannya, maka beban penggantian uang ratusan juta pun jatuh di pundaknya. Di pundak keluarga Linda. Dan diwariskan kepada Linda setelah kedua orangtuanya meninggal saat berusaha kabur dari tanggung jawab. Ah. Uang memang bisa merubah segalanya. Termasuk ayahnya yang begitu penyayang dan hangat itu berubah menjadi sosok menyeramkan, yang tega membuang anak hanya karena takut dikejar-kejar oleh utang dan tanggung jawab. Linda berhasil membayar dua ratus juta dengan menjual rumah rumah dan tanah peninggalan kedua orangtuanya. Meski itu artinya ia tak punya rumah dan harus menginap di rumah sepupunya—Mbak Eka. Linda juga berjanji akan melunasi utang-utang itu pada korban penipuan. Meskipun itu artinya ia harus bekerja seumur hidup untuk membayar utang. Linda tidak masalah. Namun bukan berarti Linda akan melakukan apapun untuk melunasi utang. Menjual diri jelas tak ada dalam rencana Linda. Apalagi sampai menjadi istri kontrak seorang CEO Kaya—bermimpi saja Linda tak pernah. Linda merebahkan dirinya di atas kasur miliknya—aslinya milik sepupunya, tetapi semenjak dua bulan terakhir ini juga menjadi milik Linda. Iya, Linda sudah hampir dua bulan menumpang tidur di rumah sepupunya. Mungkin itu juga alasan kenapa sepupunya tega 'menjual' Linda pada iblis tampan itu. Padahal selama menumpang di sini, Linda cukup tahu diri. Ia membantu Mbak Eka membersihkan rumah, ia juga memasak dan menyiapkan makan pagi, siang, dan malam untuk Mbak Eka. Namun sepertinya, itu tidak cukup untuk membuat perempatan itu mau menampung Linda lebih lama. Hahh... Linda menarik napas dalam. Matanya menatap lurus ke arah langit-langit kamar yang dihiasi stiker berbentuk bintang dan bulan. Sementara pikirannya sendiri sedang melayang jauh entah kemana. Mungkin sedang membayangkan saat-saat sebelum ayahnya terjebak skema Tabungan Cuan. Mungkin juga memikirkan apa yang harus ia lakukan ke depannya sebagai 'istri kontrak' CEO Muda yang gila. Cukup lama Linda hanya diam dan menatap kosong ke arah langit-langit. Kegiatan melamunnya baru selesai saat ia mendengar ponselnya berdering cukup nyaring. Segera saja Linda mengambil ponselnya yang masih ada di dalam tas kecilnya. Keningnya mengerut saat ia melihat nomor asing yang tertera di layar ponselnya. Awalnya Linda tak mengangkat panggilan itu sampai dering telepon berhenti. Namun saat panggilan kedua dari nomor itu terjadi, Linda mengangkatnya. "Iya, Halo? Maaf dengan siapa?" sapa Linda begitu saluran telepon terhubung. "Oh, apa kamu belum menyimpan nomor saya?" Ah. Suara itu. Suara yang baru hari ini ia dengar, tetapi sudah tertanam di dalam ingatannya sebagai suara orang yang paling tidak ia sukai.Pertanyaan bertubi-tubi yang diajukan Kakek Atmadja sedikit banyak membuat Linda kembali gugup. Apalagi si Kakek Tua itu juga seperti memberikan tatapan dan aura yang horor dan mencekam. Makin saja Linda dibuat gugup bukan main. Meski sejauh ini pertanyaan yang keluar dari bibir pria tua itu hampir sama dengan pertanyaan yang tertulis di file 'tanya-jawab' yang dikirim oleh Sadewa Atmadja yang ia hafalkan—meski ia juga tak mengerti kenapa pria itu bisa memprediksi dengan 'hampir' tepat setiap pertanyaan yang akan diajukan si Kakek tua.Namun sepertinya persiapan yang dilakukan pria itu dan dirinya tidak terlalu berguna. Buktinya Linda kembali gugup bukan main hanya karena beberapa rentetan pertanyaan dan tatapan tajam penuh selidik dari pria tua di depannya. Dan juga—karena sekali lagi, perempuan itu paling tak tahan dengan aura yang mendominasi. Dan sayangnya sepasang kakek dan cucu ini malah—sepertinya— senang sekali menunjukkan aura mendominasi yang membuat Linda kesulitan."Itu ka
Glup. Entah sudah berapa kali Linda Hayden menelan ludahnya sendiri karena gugup. Senyum tetap mengembang di wajahnya, tapi itu tak lebih dari topeng—menutupi kegelisahan yang mengaduk-aduk isi perutnya. Bagaimana ia tidak gugup? Di seberang meja makan panjang itu duduk seorang pria tua dengan wajah yang mirip Sadewa Atmadja— hidung mancungnya, garis muka yang tampan dan rupawan sekalipun sudah berumur senja, dan bahkan aura seramnya pun mirip Sadewa Atmadja! Jika saja Sadewa Atmadja tidak duduk di sebelahnya, mungkin Linda sudah pingsan karena tekanan psikologis yang diberikan si kakek tua. Tadi saat pertama menginjakkan kaki ke rumah megah ini, si Kakek tua kebetulan sedang duduk di meja makan sambil membaca buk. Jelas bukan hal yang wajar dan aneh seolah tahu akan kedatangan cucunya. Namun sepertinya si kakek memang sudah tahu cucunya akan datang—entah karena diberitahu atau memang hanya sekadar feeling. Karena mereka berdua langsung disuruh duduk saat keduanya sampai di hadap
"Sekali lagi, pastikan kamu sudah menghafal semua pernyataan yang saya kirimkan." Sadewa Atmadja kembali mengingatkan Linda saat mobil mereka berhenti setelah perjalanan yang—cukup lama. Perjalanan itu terasa cukup lama dan panjang untuk Linda. Entah karena ia yang tidak biasa naik mobil mewah, atau karena tugas yang diberikan Sadewa Atmadja padanya selama perjalan. Melihat ponsel saat naik mobil saja sudah cukup membuat ia mual, apalagi ini disuruh membaca dan menghafalkan rentetan kata-kata yang cukup panjang dan banyak. Beruntungnya, Linda itu saat sekolah—dan berkuliah dulu— cukup cepat dalam menghapal. Jadi, hanya butuh dua sampai tiga kali lihat saja ia sudah bisa menghafal seluruh isi pesan yang dikirimkan bosnya."Tenang saja, Pak. Saya ini cukup pintar menghafal." Linda berkata sambil menepuk dadanya kelewat percaya diri. Sadewa Atmadja yang mendengar perkataannya itu menyeringai tampan. pria itu lalu menoleh ke arah Linda, kepalanya sedikit miring ke arah kemudi yang mak
Keesokan paginya, si bos tampan tapi sinting itu benar-benar muncul pukul sepuluh tepat. Mobil Benz mewahnya sudah terparkir manis di depan rumah kontrakan Mbak Eka—tempat Linda tinggal. Sadewa Atmadja berdiri santai, bersandar di pintu mobil, penuh percaya diri. Wajahnya yang putih bersih tampak berkilau diterpa cahaya matahari pagi. Rambutnya yang sedikit panjang ikut menari ditiup angin semilir, menciptakan kesan dramatis bak tokoh utama drama Korea versi gila. Linda meringis, bahkan pria itu tahu alamat tempat tinggalnya tanpa bertanya padanya lebih dulu. Ia jadi bertanya-tanya, seberapa banyak informasi mengenai dirinya yang diketahui oleh seorang Sadewa Atmadja? Drrt. Drrt. Linda segera menutup gorden jendela rumah—tempat ia mengintip kedatangan Sadewa— dan berlari keluar saat ia melihat layar ponselnya menampilkan satu panggilan masuk dari Sadewa Atmadja. "Kamu telat dua menit." Linda membulatkan matanya. Ia benar-benar tak mengira akan langsung ditodong kalimat
"Pak Sadewa?" kata Linda tak yakin. Pria di seberang telepon itu tampak berdecak pelan sebelum ia menjawab pernyataan—atau pertanyaan perempuan itu. "Betul,” katanya. “Bukannya saya sudah menyuruh kamu untuk menyimpan nomor saya sebelum kamu keluar dari ruangan saya?" lanjut pria itu. Perkataan Sadewa memang tidak salah. Setelah ia menandatangani surat perjanjian kontrak 'kerja'nya, Sadewa memang menyebutkan deretan angka—yang adalah nomor ponselnya, dan menyuruh Linda untuk menyimpannya. Namun, jangankan untuk mengetik nomor yang disebutkan pria itu dan menyimpannya, untuk bernapas saja Linda tidak bisa. Pikirannya mendadak kosong seketika. Pun juga seluruh kemampuan inderanya. "Maaf, Pak. Sepertinya tadi saya nggak fokus dan lupa menyimpannya," kata Linda. Pria itu tak bicara apapun. Namun jika boleh Linda tebak, pria itu pasti sedang mengerutkan kedua keningnya, yang membuat alis tebal pria itu menyatu, tanda jika ia tak puas atau tak suka dengan jawaban yang Linda ber
Sembilan ratus juta. Total utang yang ditinggal oleh kedua orangtuanya itu adalah sembilan ratus juta. Jumlah yang sangat banyak untuk utang pribadi, bukan? Bahkan Ayahnya sendiri yang hanya seorang Kepala SMP Negeri yang hidupnya sangat sederhana itu, tak pernah bermimpi akan terjerumus sedalam ini. Gajinya bahkan tak menyentuh angka dua digit per bulan. Namun itulah kenyataannya—satu keputusan bodoh yang menyeret seluruh keluarga ke jurang kehancuran. Semua bermula dari tawaran manis seorang rekan sejawat. Skema investasi yang disebut Tabungan Cuan, menjanjikan pengembalian dua kali lipat hanya dalam waktu sebulan. Satu juta menjadi dua juta. Lima juta menjadi sepuluh juta. Terlalu indah untuk menjadi kenyataan—tetapi pada awalnya, itu memang terjadi. Ayah Linda, yang awalnya penuh keraguan, akhirnya luluh karena rayuan bertubi-tubi. Ia mencoba dengan nominal kecil, dan saat hasilnya nyata, ia mulai percaya. Rasa percaya itu tumbuh menjadi keyakinan, dan dari keyakinan muncullah